25. Berhenti Sampai di Sini
"Sekarang, aku anggap semua tentang kita berhenti sampai di sini."
***
Hari-hari selanjutnya hubungan Mentari dan Semesta benar-benar memburuk. Semenjak pertengkaran itu, Mentari lebih sering menghindar dari Semesta. Mentari selalu berangkat dan pulang kampus lebih dulu tanpa Semesta. Tidak memedulikan Semesta saat mereka bertemu di kelas. Juga tidak mengangkat telfon atau membalas pesan yang Semesta kirimkan setiap hari—bahkan hampir setiap jam. Membiarkan Semesta terus berteriak di depan rumahnya setiap malam. Lebih tepatnya setiap mempunyai waktu luang, Semesta selalu berusaha untuk menemui Mentari. Di sela-sela kesibukannya latihan band, Semesta selalu menyempatkan diri demi Mentari. Demi memperbaiki hubungan mereka.
Bahkan satu minggu yang lalu saat Semesta menyiapkan mobil untuk menjemput ayah Mentari yang sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Mentari justru lebih memilih pulang menggunakan taksi. Mengabaikan kehadiran Semesta yang waktu itu menatapnya dengan sorot mata penuh kekecewaan.
Tidak hanya sampai di situ, yang membuat Semesta lebih sedih lagi, kali ini orang tua Mentari juga melakukan hal yang sama. Mereka seolah mendukung sikap Mentari untuk menjauh dari Semesta. Tidak seperti dulu yang selalu berusaha membantu agar hubungan mereka kembali membaik.
Seperti malam ini contohnya. Tepat pukul sembilan malam dalam keadaan hujan deras sepulang dari studio Aspire, Semesta menyempatkan diri datang ke rumah Mentari. Tak lupa ia membawa dua kantong plastik hitam besar yang berisi semua makanan kesukaan Mentari. Juga kesukaan orang tua cewek itu. Semesta tidak berniat menyogok. Ia hanya ingin menunjukkan kalau sampai hari ini semangatnya untuk bertemu Mentari tidak pernah berkurang. Sekalipun kehadirannya selalu ditolak mentah-mentah.
Awalnya Semesta merasa senang saat Kinan membukakan pintu untuknya. Seolah memberinya sebuah harapan. Namun, sayangnya lagi-lagi Semesta harus menelan rasa kecewa. Sebab, seperti yang terjadi di hari sebelum-sebelumnya, Kinan berakhir mengusirnya.
"Semesta pengin ketemu Mentari, Tante. Tolong ijinin Semesta—"
"Semesta, maaf. Lebih baik kamu pulang. Kamu dan Mentari sekarang udah nggak ada hubungan apa-apa. Dan—soal uang 300 juta itu, saya dan suami saya janji akan melunasi secepatnya meski dengan cara menyicil."
Semesta menggeleng lemah. "Enggak, Tante. Semesta beneran enggak mempermasalahkan soal uang itu apa pun status hubungan Semesta dan Mentari sekarang. Uang itu udah Semesta ikhlasin untuk membantu—"
"Semesta, pulang sekarang. Percuma. Mentari nggak akan mau ketemu dengan kamu."
Semesta dan Kinan menoleh bersamaan ke sumber suara. Bagas, pria paruh baya itu berdiri di ambang pintu dengan satu kakinya yang masih diperban.
"Om, ijinin Semesta buat—"
"Kamu ke sini untuk memberikan—" Tatapan Bagas jatuh pada kantong plastik hitam di kedua tangan Semesta. "Makanan untuk Mentari, kan? Saya bisa bantu. Kamu bisa menitipkan makanan itu ke saya. Tapi untuk mengijinkan kamu bertemu dengan Mentari, maaf Semesta, saya nggak bisa. Ini adalah kemauan Mentari. Kami sebagai orang tua harus menghargai hal itu."
Tatapan Semesta meredup. Ia menghela napas pelan. Merasa putus asa dengan jawaban Bagas. Ya, ayah Mentari memang benar. Seharusnya ia juga bisa menghargai keputusan Mentari yang tidak mau bertemu dengannya. Namun, untuk sekarang Semesta masih ingin egois. Ia ingin tetap bersama Mentari. Karena Mentari adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya kembali merasa hidup setelah kepergian orang tuanya. Mentari seolah menjadi penawar dari mati rasa yang selama ini ia rasakan.
Semesta menatap Bagas yang berjalan mendekatinya dengan tatapan memelas. "Sekali ini aja, Om. Saya—"
"Nggak bisa, Semesta." Potong Bagas cepat dengan nada yang mengisyaratkan kalau dirinya tidak ingin dibantah.
Semesta mengangguk paham. Meski jauh di lubuk hatinya ia tidak bisa menerima hal ini. "Maaf Om kalau Semesta terkesan memaksa. Kalau gitu Semesta titip semua ini untuk Mentari."
Semesta tersenyum simpul seraya mengulurkan semua makanan yang ia bawa pada Bagas yang berdiri tepat di hadapannya. "Ini juga ada beberapa makanan kesukaan Om dan Tante. Semoga suka. Kalau gitu saya pamit dulu."
"Semesta," panggil Kinan dan Bagas bersamaan.
Berhenti, Semesta berbalik badan setelah berjalan tiga langkah. Ia menjatuhkan tatapannya pada Bagas dan Kinan bergantian. Satu alisnya terangkat. "Iya? Kenapa Om? Tante?" tanya Semesta ramah.
Sebelum menjawab, Bagas melirik ke arah Kinan di sampingnya terlebih dahulu. Seolah mereka berdua saling berbicara melalui tatapan mata. Bagas menghembuskan napasnya perlahan. Tatapannya beralih pada Semesta. "Semesta, maaf dan terima kasih untuk semuanya."
Semesta mengangguk pelan. Ia jadi merasa tidak enak karena sejak beberapa hari yang lalu, dirinya selalu datang ke sini dengan tujuan yang sama dan terkesan memaksakan keadaan. Hal itu tentu saja berpotensi mengganggu kenyamanan keluarga Mentari. "Sama-sama, Om, Tante. Harusnya di sini Semesta yang bilang terima kasih dan maaf. Maaf karena selama ini Semesta banyak merepotkan kalian dan beberapa hari ini juga Semesta selalu mengganggu kenyamanan kalian."
"Dan, terima kasih karena selama ini Om Bagas dan Tante Kinan selalu baik dengan Semesta. Terutama... Mentari," imbuhnya.
Kinan menjawab dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sama-sama, Semesta. Kami benar-benar... minta maaf."
Menghela napas, Semesta mencoba memalsukan senyumnya di hadapan mereka. "Tapi yang perlu Om Bagas dan Tante Kinan tahu, apa pun keadaannya Semesta akan selalu mencintai Mentari."
***
Mentari menutup gorden jendela kamarnya saat melihat Semesta berlari kecil ke arah mobil. Cowok itu bahkan rela datang malam-malam dan hujan-hujan begini hanya untuk mengantarkan makanan kesukaannya.
Ya, sejak tadi Mentari memerhatikan Semesta dari dalam kamar. Ia bisa mendengar semua pembicaraan antara Semesta dan kedua orang tuanya tanpa harus keluar.
Mentari berjalan ke arah meja belajar. Ia duduk di depan tugas-tugas yang ia biarkan tergeletak begitu saja di atas meja. Saat ini otaknya sedang tidak bisa ia gunakan untuk berpikir. Apalagi mengerjakan tugas-tugas menyebalkan yang rumit itu. Rasanya otaknya terlalu buntu.
Mata Mentari terpejam sejenak, ia merasa seperti sedang terjebak pada jalan buntu yang tidak ada jalan keluar. Yang membuatnya tidak mempunyai pilihan lain selain pasrah. Ya, sekarang yang bisa ia lakukan memang hanya pasrah sambil menunggu hari itu tiba. Hari yang akan membuat hidupnya berubah drastis dalam waktu sekejap. Cepat atau lambat kakek Semesta pasti akan membeberkan semua.
"Anak pembunuh ini nggak pantes kamu cintai, Semesta."
Mentari memukul kepalanya berkali-kali. Ia menangis sambil menenggelamkan wajahnya di atas meja belajar. Setiap malam Mentari harus berperang dengan perasaan bersalah yang selalu menghantuinya. Ia berharap kenyataan bahwa ayahnya terlibat dalam kecelakaan satu tahun lalu, yang membuat kedua orang tua Semesta meninggal, hanyalah sebuah mimpi. Sayangnya harapan Mentari terlalu mustahil. Ayahnya memang pembunuh. Ayahnya yang menjadi penyebab kecelakaan itu. Iya, ayah Mentari yang membuat kedua orang tua Semesta pergi.
Hari-hari berganti, Mentari menghabiskan waktunya hanya untuk menyalahkan dirinya yang egois dan tidak bisa berbuat apa-apa. Di satu sisi ia ingin sekali menebus semua perasaan bersalahnya dengan berkata jujur. Namun, di sisi lain ia terlalu takut melakukannya. Ia takut keluarganya akan semakin hancur. Ia takut Semesta dan semua orang akan membencinya. Ia takut kehilangan segalanya. Ia terlalu takut.
Pengecut. Sepertinya kata itulah yang pantas diberikan untuk Mentari dan kedua orang tuanya yang selama ini berusaha menutupi kebenaran dari Semesta. Selama ini Bagas dan Kinan berpikir bahwa dengan memberikan kebahagiaan pengganti melalui Mentari, mereka bisa menebus kesalahannya pada Semesta. Padahal semua tidak sesederhana itu. Luka yang Semesta dapat sepeninggal kedua orangnya tidak akan pernah sebanding dengan kebahagiaan pengganti dalam bentuk apa pun yang berusaha Bagas dan Kinan beri.
Apalagi selama ini Mentari sengaja bersikap buruk pada Semesta agar cowok itu membencinya. Karena Mentari tahu betul, rasa sakit yang Semesta dapat ketika mengetahui siapa dalang di balik kepergian orang tuanya, akan semakin besar jika cowok itu terlalu jatuh padanya. Mentari selalu berusaha pergi dari Semesta agar ketika kebenaran itu terungkap, Semesta sudah terbiasa menatapnya dengan perasaan benci.
Sayangnya, selama ini usaha Mentari selalu berakhir sia-sia. Sekuat apa pun Mentari berusaha membuat Semesta benci dan pergi meninggalkannya, sekuat itu juga Semesta justru semakin mencintai dan membuatnya tetap bertahan. Cinta Semesta untuk Mentari terlalu besar. Dan ya, Mentari merasa dirinya tidak pantas mendapatkan hal itu.
Kini, semua ketakutannya itu akan benar-benar terjadi. Sebentar lagi. Sebentar lagi Batara pasti akan memberitahu Semesta dan mengungkap segalanya. Sebentar lagi hidup Mentari akan benar-benar hancur. Sekeras apa pun ia mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi, kenyataannya dirinya memang tidak pernah benar-benar siap untuk menghadapi hari itu.
Perlahan Mentari mengangkat kepalanya dari meja belajar. Ia mengusap air matanya kasar. Dalam tangisnya ia tertawa sumbang. "Kenapa gue selalu takut hidup akan gue hancur? Padahal dari awal hidup Semesta udah hancur gara-gara keluarga gue. Bukannya ini setimpal?"
***
"Lo kenapa sih? Ada masalah sama Semesta? Gue lihat beberapa hari ini Semesta ngejar-ngejar lo sampai segitunya tapi lo tetep cuekin dia."
Jemisha menghembuskan napasnya tidak habis pikir. Sementara di sampingnya Mentari hanya diam sambil melamun. Siang ini kelas mereka memang kosong. Dosen tiba-tiba membatalkan kelas begitu saja.
Selain Mentari dan Jemisha, sekarang beberapa teman satu kelas mereka memang sengaja tidak pulang dan lebih memilih menunggu mata kuliah berikutnya dengan bermain ponsel atau mengobrol satu sama lain di dalam kelas. Beberapa ada juga yang nongkrong di luar kelas. Seperti Semesta dan Atlas.
"Kalau ada masalah coba selesaiin baik-baik, Tar. Semesta itu sayang banget sama lo. Bahkan dia sampai rela jual motornya ke Biru demi bantuin—"
Jemisha menelan ludahnya kasar. Bisa-bisanya ia keceplosan. Padahal sejak kemarin Semesta sudah mewanti-wanti agar dirinya dan Atlas tidak membeberkan hal itu pada Mentari.
"Semesta jual motornya ke Biru demi bantuin hutang bokap gue?" tanya Mentari mengulang ucapan Jemisha.
Jemisha mengigit bibir bawahnya. Mau berbohong pun rasanya percuma. Karena Mentari jelas tidak bodoh. "Tar, sebenernya Semesta ngelarang gue bilang ini ke lo, tapi gue malah... keceplosan. Please jangan marah ke Semesta."
Mata Mentari terpejam sejenak. Ia berusaha mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa sesak. Lagi-lagi Mentari merasa Semesta terlalu berlebihan. Cowok itu terlalu baik karena sering berkorban demi dirinya. Padahal seharusnya Semesta tidak perlu seperti ini. Harusnya Semesta membencinya. Bukan malah membantunya dalam banyak hal.
"Sekarang dia di mana?"
Jemisha tergagap. "H-Hah?"
"Semesta di mana, Jem? Tadi lo bilang Semesta lagi sama Atlas, kan? Gue perlu bicara sama Semesta sekarang."
Jemisha buru-buru mengecek ponselnya. Ia melihat chat Atlas yang tadi mengatakan kalau saat ini sedang menemani Semesta galau di perpustakaan.
Ya, semenjak mendengar ucapan ayah Mentari malam itu, Semesta jadi sadar. Sekarang cowok itu lebih membatasi diri. Mengurangi sikap memaksanya yang justru berpotensi membuat Mentari merasa tidak nyaman.
Semesta tidak menyerah. Hanya saja beberapa hari ini Semesta sengaja berusaha menghargai keputusan Mentari dengan menawarkan apa pun secara baik-baik. Dan jika Mentari menolak, Semesta tidak akan memaksa lagi seperti kemarin-kemarin.
"Kata Atlas, Semesta lagi di perpustakaan—"
"Temenin gue ke sana sekarang!" Mentari berdiri. Tak lupa ia langsung menarik tangan Jemisha hingga cewek itu menjerit kaget.
"Astaga, Tar. Pelan-pelan! Iya-iya gue temenin."
Mentari berjalan menyusuri koridor dengan langkah tergesa-gesa. Sementara di sampingnya, Jemisha susah payah berusaha menyeimbangi langkah Mentari yang benar-benar membuatnya kewalahan.
"Pelan-pelan, Tar. Semesta nggak akan ilang kali."
Jemisha mendengus karena kalimat protesnya sama sekali tidak Mentari gubris. Lalu, tatapannya terarah pada beberapa orang yang berpapasan dengan mereka di koridor. Jemisha merasa ada yang aneh. Sejak tadi kenapa orang-orang seperti menatap mereka—lebih tepatnya menatap Mentari dengan tatapan... julid?
"Tar, orang-orang kenapa lihatin lo kayak—"
"Diem, Jem. Gue harus ngomong sama Semesta sekarang."
Bruk!
Mentari berdecak kesal saat dari arah berlawanan, Jena tiba-tiba menabrakkannya. Tidak hanya menabrak, tetapi dengan sengaja Jena juga menumpahkan minuman berwarna kuning ke dress putih Mentari.
Sepertinya Jena memang sengaja. Terlihat dari ekspresinya yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Cewek itu justru cekikikan tidak jelas.
"Ups! Sorry nggak sengaja." Jena tertawa diikuti Lizzie dan Aradea di belakangnya dengan tawa yang sama. Tawa... mengejek.
"Ini, Tar bersihin pake tisu." Jemisha mengulurkan tisu ke hadapan Mentari setelah memberi tatapan tajam pada mereka bertiga.
Namun, kali ini Mentari mengabaikan ucapan Jemisha. Dengan gerakan cepat Mentari meraih minuman Jena yang masih tersisa setengah. Setelahnya, ia menyiramkan minuman itu tepat di wajah Jena.
"ANJ—LO BENER-BENER, YA TAR!" bentak Jena dengan wajah merah padam menahan amarah.
Satu sudut bibir Mentari tertarik ke atas. "Lo yang mulai duluan. Lo pikir gue bakal takut dan tunduk sama anak manja kayak lo?"
Jena merebut paksa tisu di tangan Jemisha. Ia menggunakan tisu itu untuk mengusap wajahnya hingga terasa lebih baik—meski make up tebalnya jadi berantakan.
"Anjir, main rebut aja lo ondel-ondel," dengus Jemisha. Sebenarnya Jemisha ingin merebut paksa tisu miliknya dari tangan Jena. Sayangnya, Mentari menahan pergerakan Jemisha. Mentari tidak mau masalah semakin panjang. Cukup dirinya dan Jena saja yang terlibat.
Mentari berucap tegas. "Udah, Jem. Setan kayak dia nggak perlu lo ladenin. Biar gue aja."
"Gue nggak nyangka ternyata lo masih punya nyali ke kampus!" Jena menatap Mentari penuh dendam. "Anak pembunuh kayak lo ternyata nyalinya besar, ya."
Deg!
Pergerakan Mentari yang hendak mengajak Jemisha pergi, terhenti. Tubuhnya membeku. Jantungnya terasa berhenti berdetak detik itu juga. Ditambah dengan tenggorokannya yang tercekat dan terasa sangat kering. Mentari menelan ludahnya kasar.
"Maksud lo apa?! Lo kalau ngomong jangan sembarangan deh! Itu namanya fitnah!" marah Jemisha. Cewek itu bahkan maju mendekati Jena. Tidak memedulikan larangan Mentari tadi. "Gue tau lo masih dendam sama Mentari gara-gara nilai tugas, tapi sikap lo kayak gini tuh nggak mencerminkan sebagai mahasiswa. Lo lebih kayak anak TK yang salah saing tau nggak?!"
Jena tertawa sinis. Ia mendorong pelan pundak Jemisha dengan gerakan seolah-olah jijik. "Fitnah? Lo tanya aja tuh sama sahabat lo yang nggak tau diri. Ucapan gue ini fitnah atau fakta? Lagian semua orang udah tau. Lo aja yang kudet!"
Mendengar itu perasaan Mentari semakin tidak karuan. Tanpa banyak kata ia mengambil ponselnya di dalam tas, lalu membukanya setelah menarik napas dalam-dalam. Benar saja, ternyata sejak satu jam yang lalu ada puluhan chat dan panggilan tidak terjawab dari mamanya.
Perlahan langkah kaki Mentari mundur ke belakang. Ia memilih bersandar pada tembok agar tubuhnya tidak ambruk karena terasa lemas tanpa tulang. Matanya jatuh pada ponsel di tangannya sambil menggulir beberapa berita online tentang ayahnya yang kini sudah diunggah di beberapa media sosial.
Pelaku tabrak lari yang tewaskan pasangan Dokter rumah sakit Delima di Jakarta ditangkap di rumahnya.
Mentari membekap mulutnya sendiri. Matanya berkaca-kaca saat melihat ayahnya yang dijemput paksa oleh polisi di rumah mereka.
"Ayah... "
Napas Mentari memburu. Dadanya terasa begitu sesak dengan air mata yang menggenang di sudut mata. Dari kemarin ia tahu, hari ini memang akan segara tiba. Namun, tetap saja Mentari merasa tidak sanggup.
"Tar, lo kenapa?" tanya Jemisha semakin bingung.
Mentari mengangkat pandangannya. Ia menatap Jena, Lizzie, Aradea, dan beberapa orang di koridor yang kini menatapnya dengan tatapan... benci?
Jemisha mendekat. Ia memegang pundak Mentari yang bergetar dengan raut wajah kebingungan. "Tar, lo baik-baik aja, kan? Gue bener-bener nggak paham sumpah. Lo kenapa?"
"Selama ini dia bohongin kita, Jem."
Atlas, cowok itu muncul dengan Semesta di belakangnya. "Selama ini Mentari udah bohongin Semesta, gue, lo, dan semua orang! Dia dan keluarganya adalah penipu!"
Jemisha semakin tidak mengerti. Pembohong? Penipu? Pembohong dan penipu mengenai hal apa yang Atlas maksud? Jemisha sama sekali belum paham kemana arah ucapan Atlas.
"Tlas, lo bisa to the point aja nggak? Gue bener-bener nggak paham lo ngomongin apaan."
Alih-alih menjawab kebingungan Jemisha, Atlas diam dengan napas memburu naik turun. Sementara Semesta, cowok itu lebih memilih berjalan mendekati Mentari. Hingga kini mereka berdua berdiri saling berhadapan dengan jarak satu langkah.
Semenjak Semesta datang, Mentari memang tidak berani menatap ke arah Semesta. Cewek itu hanya diam sambil terus menundukkan pandangan. Tangannya menggenggam erat ponsel di sisi badan dengan debaran jantung yang menggila.
Mata berkaca-kaca Semesta terpejam sejenak sebelum akhirnya kembali terbuka seiring dengan kepala Mentari yang perlahan terangkat. Mata mereka saling bertemu untuk beberapa detik. Namun, Mentari buru-buru mengalihkan pandangannya ke bawah. Mentari kembali menunduk. Ia tidak kuat melihat tatapan Semesta sekarang. Tatapan penuh rasa kecewa dan amarah yang baru pertama kali Semesta tunjukkan secara terang-terangan seperti ini.
"Tadi pagi Kakek udah jelasin semua ke aku, tapi aku tetap nggak percaya. Aku berharap semua itu nggak bener. Sampai akhirnya aku lihat sendiri dari rekaman CCTV kalau itu memang mobil Ayah kamu, Mentari."
Semesta menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Membiarkan air mata yang sejak tadi menggenang di sudut mata perlahan terjatuh. Semesta tidak peduli orang-orang akan menilainya seperti apa. Rasa sakit yang ia terima setelah mengetahui fakta yang selama ini Mentari dan kedua orang tuanya tutupi jauh lebih besar dari rasa malunya.
"Aku nggak pernah nyesel mencintai kamu sebesar ini, Mentari. Tapi, aku kecewa. Aku marah. Aku marah karena orang-orang yang selama ini aku anggap baik ternyata jadi sumber rasa sakit yang paling besar."
Semesta tertawa sumbang. Bahkan di saat-saat seperti ia merasa tidak tega melihat air mata Mentari perlahan turun membasahi kedua pipi memerah cewek itu. Mati-matian Semesta harus menahan diri untuk tidak menggerakkan tangannya. Mengusap air mata Mentari.
"Mungkin kamu emang udah nggak anggap aku dari kemarin-kemarin. Tapi, kamu perlu tau, dari kemarin nggak ada satu hari pun yang aku lewatin tanpa mikirin gimana caranya memperbaiki hubungan kita. Sekalipun kamu selalu nolak aku mentah-mentah."
Semesta tertawa pelan. Menertawakan dirinya yang terlalu lemah hingga membiarkan semua rasa sakit bertubi-tubi datang padanya. Semesta menatap Mentari yang masih menunduk dengan tatapan sangat dalam. Ia tidak ingin mengatakan kalimat ini. Namun, ia harus mengatakannya sekarang juga.
"Sekarang, aku anggap semua tentang kita berhenti sampai di sini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro