16. Hal-hal Menyebalkan
Haiiii, weekend masih lama, yuk semangat!
***
"Dunia memang tempat hal-hal menyebalkan. Maka dari itu Semesta membutuhkan Mentari untuk bertahan."
***
"Kenapa sih manusia banyak yang nyebelin?"
"Kalau nggak nyebelin, bukan manusia namanya."
"Berarti semua manusia emang nyebelin?"
Semesta tertawa ringan mendengar pertanyaan Mentari. Tatapan matanya jatuh pada tangan kecil Mentari yang berada dalam genggamannya. Ia menatap Mentari dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Dunia memang tempat hal-hal menyebalkan. Maka dari itu ia membutuhkan Mentari di sampingnya untuk bertahan.
"Sebel banget sama Jena. Dia yang salah, tapi setelah dapet teguran dari Pak Adi, malah dia yang merasa seolah jadi korban."
Mentari membuang napasnya kasar. Jena, teman satu kelasnya yang membuat ulah tempo hari, tadi sempat melabraknya saat di kelas. Sebenarnya Mentari tidak takut. Ia tidak segan-segan untuk melabrak balik cewek itu. Namun, karena ia memiliki cowok yang tidak menyukai keributan seperti Semesta ini, alhasil berakhirlah sekarang ia di danau Harnus. Berdiri di tepi danau bersama Semesta di sampingnya.
Tangan kiri Semesta yang tidak menggandeng tangan Mentari, terulur. Ia mencondongkan badannya ke arah Mentari, lalu mengacak pelan puncak kepala Mentari. Semesta sengaja mengajak Mentari ke danau untuk menenangkan pikiran dan juga amarah cewek itu yang tadi terlihat sangat menggebu-gebu.
"Kemarin kamu udah janji sama aku. Mau Jena minta maaf ke kamu atau enggak, kamu harus tetap maafin dia. Yang penting kamu udah dapetin apa yang seharusnya emang buat kamu. Kamu udah dapet nilai A dan Pak Adi juga udah tau kebenarannya," kata Semesta lembut. Ia mengingatkan obrolan mereka tempo hari sewaktu berjalan bersama di koridor. Barangkali Mentari melupakannya.
Tatapan kesal Mentari langsung terarah ke Semesta yang kini sedang menatapnya dengan satu alis terangkat. "Tapi Jena kurang ajar. Harusnya yang ngelabrak dia tuh aku. Bukan malah sebaliknya. Kalau tadi dia nggak ngelabrak aku di depan temen-temen kelas, aku juga bakal maafin dia."
"Jadi kamu masih mau nyimpan dendam ke Jena?"
Mentari menyikut perut Semesta. Tatapannya kini beralih ke danau yang terbentang luas di hadapan mereka. Juga ke beberapa mahasiswa Harnus yang terlihat asyik dengan beragam kegiatan di danau kampus yang udaranya terasa sangat sejuk ini.
"Aku nggak dendam, Semesta. Tapi masih belum bisa kalau harus maafin Jena sekarang."
"Kenapa?"
"Karena dia nyebelin."
"Itu namanya dendam," sahut Semesta terdengar menyebalkan.
Mentari berdecak. "Enggak."
"Iya."
"Enggak!"
Semesta tertawa. Ia mengalah. "Iya-iya. Tapi jangan terlalu dipikirin, ya. Udah biarin aja. Lagian anak kelas juga banyak yang tau kalau yang salah itu Jena bukan kamu."
"Yang suka overthinking tuh kamu. Bukan aku," protes Mentari. "Ngapain juga aku mikirin Jena. Ini aku cuma masih kesel aja karena kejadiannya baru terjadi. Nanti juga aku bodoamatin."
Mereka berdua lalu saling diam. Menikmati embusan angin yang beberapa kali menerpa rambut panjang Mentari yang dibiarkan terurai. Membuat tangan Semesta beberapa kali terulur untuk merapikannya. Sesekali Semesta juga tersenyum saat memandangi wajah Mentari yang kini terlihat jauh lebih tenang. Sepertinya emosi cewek itu sudah sedikit mereda.
"Kayaknya Jena suka deh sama kamu," celetuk Mentari tiba-tiba dengan tatapan yang tidak teralihkan sedikit pun dari danau. Mencoba mengingat sikap Jena saat di kelas selama ini. "Soalnya beberapa kali aku perhatiin Jena tuh kayak nggak suka sama aku. Dia juga kelihatan happy banget kalau satu kelompok sama kamu. Iya, kan?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Semesta jadi panik sendiri. Seolah ia tengah mendapat tuduhan selingkuh dari Mentari.
"Hah? Enggak lah. Kamu jangan ngawur."
"Bilang aja kalau kamu seneng disukain sama Jena. Jena kan cantik. Udah gitu katanya dia anak pejabat. Idaman Kakek kamu banget, kan?"
Semesta tertawa mendengarnya. Ia mempererat genggaman tangannya di tangan Mentari. Jadi ceritanya Mentari ini sedang cemburu, ya?
"Ya udah biar dia nikah sama Kakek aja kalau gitu. Kamu tetap sama aku. Nanti dia jadi Nenek tiri kita," jawab Semesta enteng.
Mentari ikut tertawa meski sedikit menahannya. "Ish!"
"Makan, yuk. Laper banget nih," ajak Semesta.
Ia mengusap perutnya pura-pura kelaparan. Padahal ia sama sekali tidak lapar, yang ada justru masih kekenyangan gara-gara tadi Atlas membawakan banyak makanan untuknya sebelum mereka berangkat ke kampus. Ia berucap demikian hanya karena tidak sengaja mendengar bunyi perut Mentari. Sepertinya Mentari sedang lapar.
"Mau, yaa?" Semesta menatap Mentari penuh harap. Detik berikutnya kedua sudut bibir cowok dengan kemeja kotak-kotak hitam serta celana jeans berwarna senada itu langsung melengkung ke atas saat mendapat anggukan pelan dari Mentari.
"Ya."
Dengan semangat Semesta mengajak Mentari pergi meninggalkan danau. Mereka berjalan menyusuri koridor menuju foodcourt Harnus dengan tangan masih bergandengan. Sesekali Semesta sengaja mengayunkan tangan mereka ke depan dan ke belakang. Seperti anak kecil yang sedang kegirangan entah karena apa. Mengabaikan tatapan beberapa orang yang sebenarnya membuat Mentari sedikit risih.
Mentari itu tipikal orang yang tidak suka memperlihatkan hubungan di hadapan orang-orang seperti yang sengaja Semesta lakukan sekarang. Apalagi ini masih di area kampus. Namun, karena Semesta menggenggam tangannya sangat erat, Mentari jadi tidak punya pilihan lain selain bersikap bodoamat dengan pandangan orang-orang di sekitar. Karena meminta Semesta melepaskan tangannya pun, rasanya akan percuma. Kalau dalam hal seperti ini Semesta memang lebih keras kepala darinya.
Belum lagi kalau nanti kalimat andalan Semesta keluar, "Biar aja. Biar semua orang tau kalau kamu punya aku. Biar mereka nggak genit ke kamu."
Semesta melepas genggaman tangan mereka setelah memasuki area foodcourt Harnus. Pandangan Mentari lantas mengedar ke segala penjuru. Matanya sibuk mencari tempat duduk kosong yang nyaman. Sampai akhirnya di detik ke sepuluh ia menemukan tempat duduk yang sesuai kriterianya tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.
Namun, saat Mentari akan memberitahu Semesta, ia justru dikagetkan dengan Semesta yang kini tiba-tiba berjongkok di hadapannya. Semesta sedang membenarkan ikat tali sepatunya. Ya! Di tengah-tengah keramaian seperti ini!
"Diem dulu coba," titah Semesta saat Mentari berusaha menghindar dengan terus bergerak.
"Aku malu dilihatin sama orang-orang!" gerutu Mentari.
Semesta tidak memedulikannya. Ia tidak menanggapi gerutuan Mentari dan tetap melanjutkan kegiatannya mengikat tali sepatu Mentari dengan benar dan rapi. Setelahnya ia baru kembali berdiri dan menggenggam tangan Mentari. Membawa Mentari ke tempat duduk yang cewek itu mau.
Sepanjang langkah mereka, Semesta hanya tertawa pelan mendengar omelan Mentari karena perbuatannya tadi. Ia melepas genggaman tangannya, lalu menarik satu kursi untuk Mentari duduk.
"Mau makan apa?" tawar Semesta lembut. Ia mendudukkan diri di samping Mentari. Seperti biasa, Semesta akan meminta Mentari duduk manis di sini. Sementara ia akan pergi memesan makanan untuk makan siang mereka hari ini.
"Nggak usah, aku kenyang. Aku ikut ke sini karena mau nemenin kamu makan. Bukan karena mau ikut makan," tolak Mentari.
"Kamu juga dong. Masa aku doang?"
"Jangan ngelunjak deh. Aku udah mau nemenin kamu ke sini. Jadi, buruan sana pesen makanan terus makan sebelum aku berubah pikiran buat balik ke danau sambil nunggu mata kuliah selanjutnya."
"Eh, jangan!" cegah Semesta cepat.
Selain karena ingin mengajak Mentari makan siang. Semesta juga sengaja buru-buru mengajak Mentari ke foodcourt karena tadi ia tidak sengaja melihat Jena dan teman-temannya berjalan menuju danau. Jadi, jangan sampai sekarang Mentari kembali ke danau lagi. Alih-alih ingin menenangkan pikiran di danau sambil menunggu mata kuliah selanjutnya yang akan dimulai satu jam lagi, yang ada Mentari justru akan kembali bad mood melihat keberadaan Jena dan antek-anteknya itu.
"Tapi masa kamu nggak laper?" tanya Semesta lagi. Ia tahu Mentari sedang berbohong. Jelas-jelas tadi ia mendengar suara keroncongan dari perut Mentari. Sejak pagi Mentari pasti belum makan apa pun. Kebiasaan Mentari yang sering melewatkan jam sarapan itu sudah sangat Semesta hafal.
"Enggak, Semesta."
"Tadi pagi kamu ke sini cuma nganter Jemisha beli makanan loh. Kamu nggak beli apa-apa katanya." Semesta kembali mengingatkan Mentari. Benar, tadi pagi Mentari memang pergi ke sini hanya untuk mengantar Jemisha membeli sarapan. Sementara Mentari, cewek itu tidak membeli apa pun. Semesta tahu karena ia memerhatikan mereka saat pergi ke foodcourt, lalu kembali ke kelas.
"Aku bilang, aku kenyang."
Semesta mendengus pelan seiring dengan usapan lembut yang ia berikan di puncak kepala Mentari sebelum akhirnya berdiri. "Ya udah, tunggu dulu, ya. Aku pesen makanan dulu," pamitnya. "Jangan kemana-mana. Kalau ada yang genit colok aja matanya."
Semesta berjalan meninggalkan Mentari untuk memesan makanan. Ia sengaja memilih mengalah dan mengakhiri perdebatan lebih cepat bukan karena percaya dengan ucapan Mentari. Akan tetapi karena tidak mau merusak mood Mentari siang ini. Ceweknya itu memang terlihat lebih sensitif akhir-akhir ini. Tepatnya semenjak penolakan sushi buatannya beberapa hari yang lalu. Mentari jadi lebih gampang marah meski hanya karena kesalahan kecil yang ia perbuat. Ya meski selama satu tahun ini Mentari memang suka bersikap demikian, tetapi kali ini Semesta bisa merasakan perbedaannya. Mentari juga jadi lebih banyak diam dan suka melamun. Tidak seperti biasanya.
Semesta tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Mentari akhir-akhir ini. Meski saat ini ia peka kalau Mentari sedang tidak baik-baik saja, Semesta tetap tidak ingin memaksa Mentari untuk menceritakan semua padanya. Ia menghargai privasi Mentari. Mungkin saja Mentari memang sengaja tidak membagi beberapa masalah yang tengah menimpanya karena merasa belum siap bercerita. Dan tugas Semesta sekarang hanya menunggu sampai Mentari benar-benar siap untuk menceritakan apa pun padanya. Meski tak tahu kapan hari itu akan datang. Namun, Semesta selalu percaya suatu saat nanti Mentari akan kembali luluh dengannya. Seperti saat awal Mentari menerima pernyataan cintanya.
Selepas kepergian Semesta, Mentari hanya sibuk memainkan ponsel yang tadi ia ambil dari dalam tas. Hingga kini matanya melihat satu notifikasi yang menampilkan pesan dari Kinan.
Mama
Mentari... ini bekal makan siang kamu ketinggalan. Apa Mama suruh Ayah antar aja ke kampus kamu, ya? Kamu kan nggak pegang uang sama sekali karena semua uang kamu ada di Mama...
Mentari terdiam sejenak. Semalam ia memang berniat membawa bekal ke kampus agar pengeluarannya lebih hemat. Daripada uangnya ia pakai untuk membeli makanan di foodcourt Harnus yang harganya cukup mahal, lebih baik ia simpan uang itu sebagai tambahan uang yang akan digunakan untuk membayar hutang ke rentenir.
Ia kemudian mengetikkan pesan balasan untuk sang mama. Meminta Kinan untuk menyimpan saja makanan itu. Mentari bilang kalau ia tidak mau merepotkan ayahnya yang kini sudah mulai menjalani pekerjaan barunya sebagai driver ojek online.
"Sendirian aja, Tar? Semesta masih mesen makanan?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Mentari berjingkat kaget. Ia buru-buru menyimpan ponselnya. Jemisha, cewek itu tiba-tiba muncul di hadapannya bersama Atlas di sampingnya. Mereka berdua mendudukkan diri di seberang meja.
"Iya, Semesta masih pesen makan," jawab Mentari seadanya.
"Lo berdua dari mana aja sih? Habis gelut sama Jena di kelas main kabur aja. Kita cariin dari tadi taunya ada di sini," decak Atlas. Tadi ia dan Jemisha memang sibuk mencari keberadaan Mentari dan Semesta. Karena dua-duanya sama-sama tidak ada yang membalas pesan atau mengangkat telfon.
"Tadi di danau terus Semesta ngajak ke sini."
"Tadi gue sama Atlas sampai ke perpustakaan juga tau," sahut Jemisha menunjukkan ekspresi lelahnya. Cewek itu kemudian menoleh ke Atlas yang berada di samping. "Tlas, sana dong pesen makan. Laper nih."
"Nggak. Lo aja sana pesen sendiri," tolak Atlas mentah-mentah. "Lo yang laper kenapa gue yang harus repot?"
Jemisha berdecak. "Ck! Kayak Semesta tuh baik. Mentari disuruh duduk manis di sini. Terus dia yang ngantri pesen makan."
"Itu mah karena Semesta bucin. Lah gue ngapain bucin ke lo?!"
Kalau sudah seperti ini, Jemisha memang harus mengeluarkan jurus andalannya. "Gue traktir tiga hari ke depan. Sana pesenin gue makan sekarang."
Atlas tersenyum senang mendengar imbalan yang Jemisha tawarkan. Meski ia punya banyak uang, tetapi siapa yang menolak traktiran Jemisha? Si cewek royal yang satu ini memang sangat menguntungkan bagi Atlas.
Atlas menaikturunkan kedua alisnya. "Mau makan apa lo, Jem?" tanyanya baik-baik. Sangat berbeda 180 derajat dengan sikapnya tadi.
Bukannya langsung menjawab, Jemisha justru menatap Mentari yang terlihat sedang melamun dengan pertanyaan yang membuat cewek itu lagi-lagi kaget. "Ngelamun mulu, Tar. Tadi lo pesen makan apa?"
Mentari menggeleng cepat. "Gue nggak makan. Kenyang."
"Kenyang atau capek morotin Semesta?" tanya Altas tiba-tiba.
Jemisha melemparkan tatapan kesal ke arah Atlas. Meski kadang ia juga kesal karena Mentari suka bersikap seenaknya pada Semesta, akan tetapi Jemisha tidak rela kalau sahabatnya diledek menggunakan kata-kata pedas seperti itu oleh Atlas. "Udah sana pesenin gue sushi atau gue batalin traktirannya?"
Atlas berdiri. Ia melemparkan tatapan kesal pada Jemisha. "Semua cewek sama aja. Bisanya cuma ngancem doang."
Setelah kepergian Atlas, Jemisha kembali mencerca Mentari dengan beberapa pertanyaan. "Lo kenapa sih, Tar? Akhir-akhir ini gue lihat-lihat lo sering ngelamun. Terus lo banyak diem juga. Nggak kayak biasanya. Terus kenapa lo nggak mau makan? Padahal tadi pagi lo juga nggak sarapan?"
Mata Jemisha memincing, menatap Mentari penuh selidik. "Bukan karena masalah lo sama Jena, kan?"
Mentari menjawab cepat. "Nggak lah. Ngapain mikirin dia."
Satu alis Jemisha terangkat. Ia masih penasaran, Mentari ini sebenarnya kenapa? Perubahan Mentari sejak satu tahun lalu saja belum Jemisha temukan penyebabnya, sekarang cewek itu bersikap lebih aneh lagi. Sebenarnya ada apa dengan sahabat yang ia kenal sejak SMA ini?
"Terus?"
"Gue nggak apa-apa, Jem. Gue lagi capek aja karena akhir-akhir ini banyak job pemotretan. Terus jadwal kuliah kita juga padet banget, kan? Belum lagi tugas-tugasnya. Gue... capek."
"Makanya jangan terlalu ambis. Biasa aja, Tar. Lo harus bisa nikmatin masa muda lo yang nggak bakal terulang lagi. Lagian lo nggak perlu kerja terlalu keras. Cowok lo itu Semesta. Warisan Semesta dari almarhum orang tuanya sama Kakek banyak."
Mentari tertawa singkat. "Yakin banget ya lo kalau gue bakal nikah sama Semesta?"
"Anjir lo, Tar. Bisa gila Semesta kalau lo tinggal nikah sama cowok lain."
Kalau boleh jujur, Mentari juga tidak ingin sekeras ini dalam mencari uang. Tidak ingin sekeras ini pada dirinya sendiri. Apalagi ia masih kuliah dan baru menginjak semester 3. Namun, karena tuntutan keadaan, mau tidak mau dirinya memang harus bekerja lebih keras lagi. Selain untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, juga untuk membantu melunasi hutang-hutang ayahnya dan keperluan rumah lainnya.
Andai Mentari bisa memilih. Ia juga tidak ingin berada dalam posisi rumit seperti ini. Sayangnya semua yang terjadi memang sudah menjadi bagian dari takdir yang Tuhan gariskan untuknya. Mungkin semua orang mengira ia terlalu berambisi menerima job pemotretan sana sini hanya karena terobsesi untuk menjadi model terkenal. Sayangnya itu tidak sepenuhnya benar. Mentari memang ingin menjadi model terkenal sejak dulu. Namun, keadaan ekonomi lah yang kini menuntutnya terlihat sangat berambisi dan bekerja keras di kariernya.
"Lo beneran kenyang, Tar?" tanya Jemisha lagi. "Badan lo kelihatan lemes gitu. Gue telfon Semesta ya biar lo dibeliin makanan?"
"Nggak usah. Gue kenyang."
Sebenarnya apa yang Semesta curigai tadi, benar adanya. Mentari tidak benar-benar kenyang. Justru kini cewek itu sedang menahan rasa lapar. Ia menolak tawaran Semesta untuk makan siang, sebab merasa tidak enak dengan Semesta. Pasalnya saat makan bersama Semesta, pasti cowok itu yang akan membayarnya. Selama ini selalu seperti itu. Di mana pun mereka makan, jajan, atau jalan-jalan, selalu Semesta yang mengeluarkan uang. Apalagi sekarang ia tidak membawa uang sama sekali. Saldonya juga kosong karena uangnya ia alihkan semua ke rekening yang kemarin ia berikan pada Kinan. Semesta memang tipikal cowok yang tidak akan pernah mau jika diajak split bill. Atau setidaknya membiarkan sesekali Mentari yang membayar.
Meski Mentari sering dicap sebagai cewek matre oleh Atlas dan beberapa kali oleh Jemisha juga. Karena selalu mengatakan bahwa ia tidak mau mempunyai pacar pengangguran atau cowok yang suka membebani ceweknya dalam urusan materi. Hanya modal omongan dan ketikan manis, sejujurnya Mentari sering berkata demikian hanya ingin membuat Jemisha dan beberapa cewek di luaran sana sadar.
Sebab, selama ini, jika mempunyai pacar, tingkat kebucinan Jemisha sangat di luar nalar. Apa pun yang Jemisha punya, akan ia berikan semua pada pacarnya. Bahkan dengan senang hati Jemisha selalu memberi dan membelikan ini itu untuk mantan-mantannya dulu. Terutama dalam hal materi. Jemisha tidak segan-segan menguras uang tabungan dan uang jajan dengan nominal yang tidak sedikit hanya untuk membuat cowok-cowoknya senang dan tetap bertahan bersamanya.
Jujur, sebenarnya Mentari memang paling benci dengan tipikal cewek seperti Jemisha. Mentari tidak membenci Jemisha. Namun, ia membenci sikap Jemisha dan cewek-cewek lain di luaran sana yang seperti itu. Apalagi dengan cewek yang sengaja menurunkan harga dirinya hanya untuk mendapat perhatian dari cowok incarannya.
Namun, sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, apa yang Jemisha lakukan itu juga tidak jauh berbeda dengan apa yang Semesta lakukan pada Mentari sekarang. Semesta juga bersikap demikian pada Mentari karena sudah terlanjur bucin. Bedanya, karena di sini posisi Semesta sebagai cowok, maka hal itu terlihat lebih wajar menurut Mentari. Meski mungkin tetap tidak bagi sebagian orang.
Mentari selalu berprinsip, cowok harus mau modal. Siapa pun yang akan menjadi pasangannya kelak, ia harus lebih mapan secara finansial daripada dirinya. Setidaknya mereka setara atau yang paling penting mau bertanggung jawab untuk menghidupi istrinya. Tidak hanya menjadi beban hidup sang istri saja.
Mentari membuang napasnya perlahan. Dari banyaknya masalah ekonomi keluarga yang menimpa dan membebaninya sejak kecil, di mana ia selalu melihat ayah dan ibunya dikejar-kejar oleh rentenir. Serta kejadian satu tahun lalu yang kini mengubah drastis seluruh hidupnya, Mentari tumbuh menjadi sosok yang sangat pemilih dalam mencari pasangan. Ia mempunyai banyak ketakutan yang mungkin tidak bisa dipahami oleh orang-orang di sekitarnya yang hidupnya jauh lebih baik. Mentari tidak membenci ayah dan ibunya. Ia hanya ingin, di masa depan nanti... hidupnya jauh lebih baik dan lebih layak. Hanya itu.
"Lha? Kok ada lo, Jem?" sapa Semesta begitu cowok itu datang membawa dua mangkuk ramen dan dua botol air mineral.
"Nggak suka lo?" sungut Jemisha.
Semesta tertawa. Sepupunya itu galak sekali. Padahal ia hanya bertanya karena kaget. Apa salahnya? Mengabaikan Jemisha, Semesta kemudian mendudukkan dirinya di samping Mentari. Ia meletakkan satu mangkuk ramen dan air mineral di hadapan Mentari yang membuat dahi cewek itu langsung mengernyit bingung.
"Aku bilang aku kenyang, Semesta. Kenapa masih dipesenin sih?" protes Mentari dengan tatapan marah.
Semesta tersenyum lembut. Tangannya mengusap punggung tangan Mentari. Menenangkan cewek itu agar tidak marah-marah. "Iyaaa, cobain dulu aja. Ramen-nya enak loh. Nanti kalau nggak habis, aku yang bakal habisin kok."
Mentari mendengus pelan. Ia menjauhkan tangannya dari tangan Semesta. Sementara Jemisha, seperti biasa cewek itu pura-pura tidak melihat pertengkaran antara Semesta dan Mentari yang sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya dan Atlas.
Tak lama kemudian, Atlas datang. Ia membawa sushi sesuai pesanan Jemisha.
"Minumnya mana?"
Atlas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jujur, ia lupa. "Lupa, Jem. Hehe... "
"Lipi, Jim. Hihi... " tiru Jemisha kesal.
Semesta yang sudah menikmati ramennya ikut menyahut. "Lo mah apa yang nggak lupa, Tlas? Kepala kalau nggak nempel juga pasti lupa."
"Diem lo bucin," decak Atlas meledek balik. Cowok itu duduk dan kembali berucap pada Jemisha. "Makan dulu dah. Ntar gue pesenin minuman. Capek gue kalau harus balik sekarang."
Mau tak mau, meski sedikit tidak ikhlas dengan jawaban Atlas, Jemisha lantas menganggukkan kepala. Cewek itu sudah kelaparan dan ingin menyantap sushi-nya dengan lahap sekarang juga.
"Lo laper apa doyan sih, Jem?" tanya Atlas saat mengakmati cara makan Jemisha.
Jemisha yang masih sibuk mengunyah sushi mencoba menjawab setelah sushi dalam mulutnya berhasil ia telan. "Gue jadi ketagihan makan sushi gara-gara Mentari dulu waktu SMA dan gara-gara kemarin Mentari minta gue habisin sushi buatan Semesta, gue jadi—"
Ucapan Jemisha terhenti seketika kala cewek dengan poni depan itu menyadari sesuatu yang salah dari ucapannya barusan. Gila! Ia lupa kalau kemarin Mentari melarang memberitahu pada Semesta kalau sebenarnya Mentari lah yang menyuruh Jemisha mengirimkan chat untuk menanyakan makanan. Agar sushi buatan Semesta yang waktu itu Mentari tolak tidak terbuang sia-sia.
Tentu saja Semesta terkejut dengan ceplosan Jemisha barusan. Ia sampai terseda mendengarnya. Semesta lalu menatap ke arah Mentari yang kini terlihat menunduk sambil mengaduk ramen-nya. "Jadi yang nyuruh Jemisha habisin sushi aku kemarin, kamu?"
***
Gimana tanggapan buat part ini?
Jangan lupa pencet bintangnya ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro