Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Memaafkan Manusia Lain

Sebelum mulai baca, jangan lupa klik bintangnya ya!

"Nggak semua orang pengin lihat kamu gagal. Tapi beberapa orang pasti nggak suka lihat kamu lebih dari mereka."

***

"Kamu beneran nggak apa-apa?"

Pertanyaan itu sudah lima kali Semesta tanyakan pada Mentari. Entah harus dengan kalimat seperti apalagi Mentari menjawabnya agar Semesta percaya kalau dirinya benar-benar baik-baik saja. Tidak seperti yang Semesta khawatirkan sejak tadi.

"Aku nggak apa-apa, Semesta. Kamu jangan nyebelin deh."

Semesta yang duduk di tepi tempat tidur hanya bisa mendengus pelan mendengar jawaban ketus Mentari. Bukannya ia ingin membuat Mentari jengkel dengan segala macam pertanyaan yang ia lontrakan berulang-ulang, hanya saja Semesta takut kalau Mentari sedang menutupi sesuatu darinya. Semesta hanya tidak mau Mentari merasa sendirian.

Pasalnya sejak masuk ke dalam kamar, ekspresi wajah Mentari tampak tidak baik-baik aja. Mukanya terlihat kusut entah sedang menahan rasa kesal, marah, emosi, sakit atau yang lainnya. Semesta tidak bisa menebak. Ditambah tadi Semesta juga melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Mentari hampir jatuh dari tangga kalau saja tidak ada Atlas yang menangkap. Hal itu membuat Semesta semakin berpikir kemana-mana. Kalau berjalan saja sampai jatuh, artinya tadi Mentari sedang melamunkan sesuatu hingga membuatnya tidak fokus saat berjalan.

"Tadi kamu ngelamun ya sampai mau jatuh dari tangga kayak gitu?" Semesta menarik kursi yang Mentari duduki lebih dekat ke hadapannya.

"Hm?"

"Tadi kamu ngelamun ya sampai mau jatuh dari tangga kayak gitu?" ulang Semesta setelah lamunan Mentari buyar.

Mentari menghela napas. Ia menjawab dengan sedikit sisa rasa kesal, mengingat tadi Atlas memang sangat menyebalkan—ralat, setiap hari Atlas memang selalu menyebalkan. "Tadi aku lagi berantem sama Atlas, terus aku pukulin punggung dia. Pas aku mau jalan dahuluin dia, aku malah kepleset."

Untungnya kini Atlas tidak ada di sini. Atlas sedang memasak nasi goreng di dapur bersama Jemisha. Hanya tersisa dirinya dan Semesta di dalam kamar Semesta.

Semesta merapikan rambut panjang Mentari yang sedikit berantakan. Bibirnya yang masih terlihat pucat, tersenyum tipis. Ia mencubit hidung Mentari gemas. "Jangan sering-sering berantem sama Atlas makanya."

"Sepupu kamu nyebelin!" adu Mentari. Kalau biasanya ada Semesta yang selalu siap membelanya saat Atlas membuatnya kesal, tadi Mentari hanya bisa bersabar karena tidak ada Semesta.

Tawa renyah Semesta terdengar. Cowok dengan kaus dan celana pendek rumahan itu mengangkat kedua alisnya, menatap Mentari penuh rasa ingin tahu. "Emang tadi Atlas ngapain sampai kamu kesel, hm?"

Tangan Mentari terlipat di depan dada. Bibirnya mengerucut sebal dengan tatapan mata tak tentu. Menatap kemana saja asal tidak menatap mata Semesta yang kini tidak sedikit pun teralihkan darinya. "Tadi lagi bahas Kakek, tapi pertanyaan Atlas tuh bikin aku emosi."

Tanpa sadar ekspresi yang Mentari tampakkan sekarang membuat Semesta merasa gemas. Ingin sekali ia mencubit pipi cewek yang duduk berhadapan dengannya. Dua hari tidak bertemu, membuat Semesta jadi merasa sangat rindu. Ah, kalau seperti ini, rasanya Semesta ingin cepat-cepat bisa masuk kuliah agar bisa bertemu Mentari setiap hari. Selama tiga hari sakit, kegiatannya di dalam kamar hanya berbaring dan bermain gitar di atas tempat tidur. Ia sampai bosan. Bingung harus berbaring dengan gaya apalagi.

Satu alis Semesta terangkat. Ia lumayan terkejut saat menyadari ucapan Mentari barusan. Pertanyaan, apakah tadi Mentari sempat bertemu dengan sang Kakek? Kini memenuhi kepalanya. Pasalnya tadi Semesta kira Kakeknya pergi terlebih dahulu sebelum mereka bertiga, Mentari, Jemisha, dan Atlas datang. Namun, ternyata mereka sempat bertemu.

"Jadi tadi kalian sempet ketemu Kakek?"

Mentari menatap Semesta yang kini terlihat sedikit panik entah karena apa, dengan anggukan pelan. "Iya."

"Tadi Kakek ngomong apa aja?" tanya Semesta langsung.

"Nggak ngomong ke aku sih. Ngomong ke Atlas sama Jemisha doang."

Semesta menghela napas lega. Meski ia tidak tahu bagaimana kebenarannya, setidaknya Mentari tidak mengatakan kalau dia diapa-apakan oleh Kakeknya yang suka nekat itu. Mengingat pria tua itu memang tidak pernah menyukai Mentari. Apalagi setelah perdebatannya dengan sang Kakek dua hari lalu.

Semesta kembali bertanya. Kali ini tangannya bergerak cepat meraih air mineral dari tangan Mentari. Membukakan tutup botol ketika menyadari Mentari kesusahan membukanya. "Emang bahas Kakek gimana sih kok sampai kamu kesel sama Atlas?"

Semesta bertanya dengan penuh kehati-hatian. Ia mengulurkan air mineral yang langsung diminum oleh Mentari. Mengingat mood Mentari siang menjelang sore ini terlihat sedang tidak baik-baik saja, sesuai dugaannya tadi, membuat Semesta tidak boleh sembarangan berucap agar kata-katanya tidak menyinggung ataupun memancing kekesalan Mentari lebih jauh lagi.

"Ya gitu deh, tapi kayaknya Kakek emang nggak suka deh sama aku." Mentari menghela napas kasar. Ia menatap Semesta merasa ucapan Jemisha saat di tangga tadi benar. Batara, Kakek Semesta itu memang tidak menyukai kehadirannya. "Kelihatan banget soalnya."

Tersenyum, satu tangan Semesta kembali terulur. Kali ini cowok itu mengacak puncak kepala Mentari. "Nggak apa-apa, lagian kamu juga nggak suka sama Kakek, kan? Jadi, sama. Sama-sama nggak suka."

"Kata siapa aku nggak suka sama Kakek?"

"Loh? Jadi selama ini kamu suka sama Kakek? Kamu mau jadi Nenek tiri aku?" tanya Semesta jahil.

"Semesta!!!" Mentari memukul lengan Semesta cukup kencang. Membuat cowok itu tertawa pelan.

"Kamu kan sukanya sama aku," jawab Semesta dengan sisa tawanya

Mentari menatap Semesta dengan dengusan lelah. "Malah bercanda!"

"Tapi kamu benaran nggak apa-apa? Soalnya dari tadi aku perhatiin kamu kayak lagi nahan sesuatu gitu. Are you okay?"

Sontak Mentari langsung teringat dengan kejadian saat di kampus tadi mendengar pertanyaan Semesta barusan. Sebenarnya ia sudah tidak kenapa-kenapa. Merasa keadaannya membaik setelah bertemu dengan Semesta. Namun, karena pertanyaan 'are you okay?' yang Semesta lontarkan baru saja, entah kenapa justru membuat hati Mentari jadi melemah. Mentari tiba-tiba ingin menangis begitu saja.

"Hei?" panggil Semesta lembut saat Mentari justru terdiam sambil menundukkan kepala. Ini sama sekali bukan Mentari yang Semesta kenal. Mentari yang ia kenal itu bukan cewek cengeng. Kalau sampai Mentari terlihat akan menangis seperti sekarang, artinya Mentari benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Pasti ada hal yang menjadi penyebabnya. Dan Semesta yakin sebabnya bukan hanya karena pertengkaran Mentari dengan Atlas tadi.

"Mau cerita?" tawar Semesta pelan. Semesta tidak ingin memaksa Mentari untuk bercerita. Ia ingin Mentari bercerita dengan rasa nyaman tanpa paksaan. Ia ingin menjadi pendengar yang baik untuk setiap hal yang Mentari bagikan.

Kepala Mentari menggeleng. Semesta sedang sakit, ia tidak mau membebani cowok itu dengan berbagai macam cerita tidak pentingnya. Mengingat Semesta itu hobi sekali overthinking. Takut-takut justru Semesta yang akan kepikiran dengan masalahnya nanti.

"Mentari... " Semesta memegang kedua tangan Mentari yang saling bertaut. "Kamu—"

"DOR!" gertak Jemisha. Cewek dengan cengiran lebar itu berjalan memasuki kamar Semesta bersama Atlas di belakangnya. 

"MAU NGAPAIN KALIAN BERDUA HAYO?!"

Semesta dan Mentari menoleh kaget. Mereka mendengus bersamaan ke arah Jemisha dan Atlas.

"Ngagetin aja sih, Jem!" decak Mentari menatap Jemisha sebal. Sedangkan yang ditatap hanya cengengesan merasa tidak bersalah.

Atlas meletakkan satu piring besar nasi goreng buatannya dan Jemisha di atas tempat tidur. Cowok itu langsung memakannya dengan lahap.

"Bahaya kalau kalian ditinggal berdua doang," celetuk Atlas dengan mulut sibuk mengunyah nasi goreng. Ia lantas menatap Semesta dan Mentari bergantian. "Nih, mau nggak lo berdua?"

"Atlas! Jangan dipilihin sosisnya doang!" Jemisha yang ikut bergabung makan di atas tempat tidur bersama Atlas, memukul punggung tangan cowok itu kala melihat Atlas sengaja mengarahkan semua sosis ke arahnya.

"Makanya lo jangan lemot-lemot makannya!" cibir Atlas tak mau disalahkan.

Atlas beralih menatap Semesta. Ia memberikan satu sendok bersih yang tadi ia bawakan untuk Semesta. "Nih, Ta, makan."

"Jahat banget lo, Mentari nggak dibawain sendok," balas Semesta.

Di samping Atlas, Jemisha yang menyadari hal tersebut, langsung tersedak. Dengan mulut penuh nasi goreng ia menyahut, "Astaga, Tar. Sorry gue lupa nggak bawain lo sendok."

"Nggak apa-apa. Gue udah kenyang," jawab Mentari tak mau ambil pusing. Lagi pula ia memang sedang tidak ingin makan.

Sementara Atlas, cowok itu tetap sibuk menyantap nasi goreng. Tidak peduli dengan ucapan Semesta yang menuduhnya jahat. Sepertinya Atlas dan Jemisha memang benar-benar sedang kelaparan. Terlihat dari cara makan mereka yang sangat rakus. Mengingat tadi mereka harus mengikuti kelas dari pagi hingga siang tanpa jeda istirahat sedikit pun.

Semesta mendekat ke Atlas. Ia menyendok nasi goreng, lalu mengarahkannya pada Mentari. "Buka mulut kamu," instruksinya.

Dengan gelengan cepat, Mentari langsung menolak. "Nggak. Aku kenyang."

"Coba satu kali aja," bujuk Semesta. "Nasi goreng buatan mereka enak. Kamu harus cobain."

Tak dapat Semesta pungkiri, nasi goreng buatan Atlas dan Jemisha dari dulu memang enak. Ya meski dua sepupunya itu memang menyebalkan. Gara-gara mereka masuk tiba-tiba, Mentari tidak jadi bercerita apa masalahnya.

"Nggak, Semesta. Aku nggak laper," tolak Mentari lagi.

Atlas menyahut. "Udah jangan dipaksa, Ta. Buru lo makan sendiri sebelum dihabisin sama Jemisha."

Jemisha memukul pelan pundak Atlas. Padahal di sini yang makannya paling rakus itu Atlas, bukan dirinya. "Enak aja. Lo tuh yang makannya serakah banget. Kayak nggak makan satu tahun tau nggak?"

Semesta tertawa kecil melihat cara makan Atlas dan Jemisha yang berebut seperti anak kecil. Momen ini mengingatkan Semesta dengan momen-momen di masa lalunya. Dari dulu ia, Atlas, dan juga Jemisha memang sangat dekat karena kebetulan sama-sama anak tunggal. Mereka sering menginap bergantian di rumah masing-masing, lalu makan satu piring bertiga. Dan berebut apa pun yang bisa direbutkan. Bahkan hingga kuliah, mereka memang sengaja mengambil jurusan yang sama di kampus yang sama. Agar tetap bisa sama-sama. Ya, meski awal Semesta masuk ke jurusan komunikasi sebenarnya bukan karena Atlas atau pun Jemisha. Namun, karena ia ingin mendekati Mentari.

"Kamu beneran nggak mau?" tanya Semesta lagi. Ia ingin memastikan.

Mentari kembali menggeleng. "Enggak, Semesta."

"Nggak laper emang?"

"Aku udah sarapan di rumah tadi."

"Tapi itu pagi, Mentari. Sekarang udah mau sore. Mau aku pesenin makanan, nggak?"

"Nggak usah."

"Aku potongin buah melon di kulkas, ya?" tawarnya lagi. Ini dia salah satu kebiasaan Semesta, tidak mudah menyerah dalam hal membujuk Mentari.

Mentari berdecak. "Kamu tuh dibilang nggak usah ya nggak usah."

Semesta mengangguk pasrah. Ia mengusap pelan punggung tangan Mentari. "Oke. Jangan marah-marah dong."

Mentari tersenyum tipis melihat Semesta kini ikut bergabung, makan bersama Atlas dan juga Jemisha. Selama ini sebenarnya Mentari kagum dengan persahabatan antara ketiga sepupu itu. Kalau saja dulu dirinya tidak satu kelas dengan Jemisha saat di SMA, mungkin sekarang ia tidak bisa mengenal mereka. Terutama Semesta. Pasalnya mereka tidak pernah satu kelas.

"Haduh kenyang banget, perut gue."

Atlas menarik tangan Jemisha yang tiba-tiba berbaring di sebelahnya. "Kelar makan nggak boleh tidur, Jem! Bangun!"

"Elah, Tlas. Bentar doang, perut gue kekenyangan, nih," jawab Jemisha sambil mengusap-usap perutnya dari balik baju yang ia kenakan.

"Nggak boleh, Jem. Habis makan nggak boleh tidur," tambah Semesta mengingatkan.

Dengan malas, Jemisha kembali bangun. Daripada kupingnya panas mendengar ocehannya dua sepupunya. Lebih baik ia segera menurut. Mata Jemisha kemudian melirik ke arah Mentari yang terlihat sibuk bermain ponsel.

"Tar, tadi lo nggak jadi nemuin Pak Adi, ya?" tanya Jemisha membuat Semesta langsung menatap Jemisha dan Mentari bergantian, setelah menghentikan makannya.

"Emang Mentari kenapa sampai mau nemuin Pak Adi?" tanya Semesta penasaran.

Mentari menyahut cepat. Ia memberi kode pada Jemisha melalui tatapan mata. "Nggak apa-apa, Semesta. Udah nggak usah dipikirin."

"Jem?" panggil Semesta tetap menuntut penjelasan dari Jemisha.

Jemisha yang merasa bimbang mendapat dua tatapan menuntut sekaligus dari Semesta dan juga Mentari, hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung harus menuruti ucapan siapa. Antara Semesta atau Mentari.

"Kayaknya gue mau ke kamar mandi dulu, deh," pamit Jemisha pada akhirnya. Daripada ia terjebak dalam situasi sulit seperti ini, lebih baik dirinya kabur. "Perut gue mules banget habis makan nasi goreng."

Jemisha menarik Atlas ikut bersamanya. Ia ingin memberi ruang agar Mentari dan Semesta bisa berbicara empat mata. Menyadari mungkin saja masalah Mentari dengan teman satu kelompoknya saat di kelas tadi, ingin cewek itu sampaikan sendiri pada Semesta.

Tangan Semesta terulur mengambil tisu di atas nakas. Dengan cepat ia membersihkan tangan dan juga mulutnya dari sisa makanan. Kemudian berdiri untuk membuang tisu tesebut di tempat sampah dekat pintu kamar mandi.

Semesta kembali duduk. Ia tersenyum tipis ke arah Mentari yang sejak tadi sibuk memerhatikan gerak-geriknya dalam diam. Ia lantas mengambil air mineral dari tangan Mentari dan meminum air sisa Mentari itu hingga tersisa sedikit.

Semesta terkekeh pelan. Ia menatap Mentari penuh kelembutan. "Maaf ya aku minum air kamu. Aku males ngambil keluar."

"Hm," angguk Mentari pelan.

"Sekarang mau cerita?"

Mentari menarik napasnya dalam-dalam. Ia menatap Semesta bimbang. Namun, tak lama kemudian akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan semua pada Semesta.

"Waktu kerja kelompok kemarin, aku yang mikir semua idenya. Tapi tadi Jena bilang ke dosen kalau itu ide dia semua. Akhirnya Jena dapet nilai A dan aku B."

Semesta tertawa kecil melihat Mentari tiba-tiba menangis. Selama satu tahun lebih mereka menjalin hubungan, sepertinya ini baru yang ketiga kalinya Mentari menangis di depan Semesta.

Tangan Semesta terulur. Mengusap lembut kepala Mentari setelah menghapus sisa air matanya. "Mentari, nggak semua orang pengin lihat kamu gagal. Tapi beberapa orang pasti nggak suka lihat kamu lebih dari mereka. Manusia emang serakah dan nggak mau kalah."

Semesta menarik Mentari ke dalam dekapannya. "Nangis dulu sampai puas. Sekuat apa pun kamu, kamu boleh jadi lemah di depan aku. Setelah ini kita temui dosennya, okay?"

"Tapi sekarang kamu masih sakit."

"Langsung sembuh karena udah ketemu kamu." Semesta tertawa pelan. Ia mengurai pelukannya, lalu merangkum wajah Mentari menggunakan kedua tangannya. "Tadi aku sengaja nyuruh Jemisha dan Atlas buat bawa kamu ke sini."

Mentari berdecak sebal. Ternyata karena itu Atlas dan juga Jemisha kekeuh mengajaknya ke rumah Semesta. "Pantesan tadi mereka maksa banget waktu ngajak aku."

"Udah puas belum nangisnya?"

Kepala Mentari mengangguk. Ia berusaha agar tidak menangis lagi meski sebenarnya masih ingin terus menangis karena kesal dengan ulah teman satu kelompoknya itu. "Udah."

"Setelah kita temui dosennya, nanti kamu harus janji ya mau maafin Jena? Kita nggak boleh hidup dengan menyimpan dendam ke orang lain. Sekecil apa pun, nggak boleh. Kita harus bisa hidup dengan memaafkan manusia lain."

Air mata Mentari tiba-tiba mengalir semakin deras. Pikirannya langsung kemana-mana. Entah hal apa yang tiba-tiba terlintas dalam benak Mentari kala mendengar ucapan Semesta barusan. "Sebesar apa pun kesalahan manusia lain, harus tetap dimaafin?" tanya Mentari.

"Iyaaa... " angguk Semesta yakin.

"Kalau yang melakukan kesalahan besar itu orang terdekat yang paling kamu percaya, kamu tetap mau maafin?"

***

Coba keluarin emoji yang mewakili part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro