Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Sebuah Pilihan

Hari ini update dua kalii, yuhuu
Seneng nggak? 

"Aku emang nggak bisa milih takdir buat hidup aku. Tapi aku bisa milih kamu buat jadi bagian dari takdir di hidup aku."

***

Semesta berjalan sedikit tertatih saat menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Tadi Bagas, Ayah Mentari, mengantarkannya pulang. Seperti yang sudah Mentari sampaikan. Mobil pria itu sedang berada di bengkel. Jadi Semesta diantar pulang menggunakan taksi. Hal itu sebenarnya membuat Semesta semakin tidak enak karena merasa dirinya sangat merepotkan. 

Oleh karena itu, ia menolak saat Ayah Mentari hendak menuntunnya sampai ke dalam rumah. Bukannya apa-apa, lagi pula Semesta juga tidak mau kalau Bagas sampai bertemu dengan Kakeknya. Ia takut Kakeknya akan berkata yang tidak-tidak jika bertemu langsung dengan Ayah Mentari. Mengingat sang kakek memang tidak terlalu suka dengan Mentari.

Sejak kemarin Semesta merasa sudah cukup banyak merepotkan Mentari dan kedua orang tuanya. Ralat, dari dulu Semesta merasa merepotkan kedua orang tua Mentari yang selalu baik dengannya. Kali ini Semesta hanya tidak mau membuat mereka lebih repot lagi dengan ucapan sang Kakek yang beresiko menyinggung perasaan mereka. Meskipun Semesta yakin, selama ini orang tua Mentari tidak pernah merasa ia repotkan, akan tetapi tetap saja Semesta harus tahu diri.

"Jadi laki-laki lemah sekali kamu."

Itu adalah suara pertama yang Semesta dengar saat kakinya menginjak pertengahan anak tangga. Benar. Itu adalah suara Batara, Kakeknya.

Batara berjalan menghampiri Semesta. Membantunya berjalan hingga mereka masuk ke dalam kamar. Semesta sama sekali tidak menolak bantuan dari Batara. Sebab ia merasa sudah tidak sanggup lagi jika harus berjalan sambil menahan rasa sakit. Terlalu lama berdiri, membuat sekujur tubuhnya terasa semakin sakit.

"Sampai kapan kamu mau hidup seperti ini, Semesta?"

Pertanyaan yang kurang enak didengar itu Batara lontarkan begitu saja sesaat setelah tubuh Semesta terbaring di atas tempat tidur. Batara terus menatap ke arah Semesta dengan tatapan dingin seolah menunggu jawaban.

"Maksud Kakek?" tanya Semesta pura-pura bodoh. Walau sebenarnya ia sudah tahu kemana arah pembicaraan pria tua itu yang selalu berputar di topik yang sama.

Batara melipat tangannya di depan dada. Ia menghela napas panjang dengan tatapan yang masih sama. Dingin. 

"Mau sampai kapan hidup kamu, kamu habiskan hanya untuk mengejar perempuan yang bahkan tidak cinta dengan kamu? Kamu pikir Kakek tidak tau kamu sakit seperti ini gara-gara dia?"

"Kakek sudah memberikan kesempatan selama satu tahun lebih untuk kamu menjalani hidup sesuai pilihan kamu, Semesta. Tapi sampai detik ini kamu tidak bisa menunjukkan hasil apa-apa. Jadi, Kakek rasa, ini adalah saatnya untuk mengikuti jalan hidup terbaik yang sudah Kakek pilihkan buat kamu."

"Berhenti kuliah di jurusan tidak jelas itu dan mulai lagi tahun depan di jurusan pilihan Kakek. Kamu masuk kedokteran," tambah Batara.

Semesta menatap Kakeknya tidak terima. Apa-apaan ini? Bukankah sudah ia jelaskan berkali-kali kalau dirinya sama sekali tidak berminat menjadi seorang dokter seperti Kakeknya, Ayahnya, dan juga Bundanya. Semesta ingin memilih jalan hidupnya sendiri. Apakah itu hal yang salah? Bahkan dulu kedua orang tuanya tidak pernah memaksanya untuk mengikuti jejak karir mereka sebagai seorang dokter. Mereka tidak pernah menuntut Semesta agar menjadi ini dan itu. Mereka selalu mengatakan Semesta boleh jadi apa pun yang ia mau dan ia inginkan. Asal pilihan Semesta tidak merugikan siapa pun.

"Kek, aku masih mahasiswa semester 3. Kakek berharap apa dari aku? Jelas aku belum bisa membuktikan apa-apa ke Kakek karena aku belum lulus kuliah. Belum bisa cari kerjaan yang bagus kayak yang Kakek harapkan."

Semesta berusaha tetap sabar. Meski sebenarnya dadanya sudah memburu naik turun menahan emosi sejak tadi. Ia tidak paham lagi bagaimana jalan pikir Kakeknya ini. Ia tahu Kakeknya seperti itu karena menginginkan kehidupan yang layak untuk masa depannya. Namun, Semesta ingin keputusannya untuk tidak menjadi seorang dokter, dihargai oleh sang Kakek. Seperti orang tuanya dulu yang selalu menghargai setiap keputusan yang ia ambil. Bukan malah terus-terusan dipaksa dan dicecar seperti ini.

Terkadang Semesta juga heran, kenapa mendiang Ayahnya yang baik hati itu bisa mempunyai Ayah kandung seperti Kakeknya ini. Sikapnya benar-benar jauh berbeda. Seperti bukan seorang ayah dan anak. Sikap mereka sangat berbanding terbalik.

"Lagian selama ini aku nggak pernah merepotkan Kakek dari segi materi, kan? Biaya kuliah aku juga dari tabungan pendidikan yang udah Ayah dan Bunda siapin sebelum mereka pergi. Sementara untuk biaya sehari-hari, aku selalu pakai uang tabungan aku sendiri yang aku dapetin dari hasil freelance sebagai fotografer."

Memang, selama ini Semesta tinggal di rumah sang Kakek—ralat, rumah kedua orang tua Semesta yang dulu memang dibelikan oleh Batara. Namun, untuk semua biaya kuliah dan hidup, ia tidak pernah merepotkan Batara. Fasilitas seperti mobil, motor, dan lainnya, juga ia dapatkan dari kedua orang tuanya sejak dulu. Ditambah ia juga masih mempunyai tabungan yang sudah ia kumpulkan sejak orang tuanya masih hidup. Juga mendapat tambahan dari hasil kerja sebagai fotografer di beberapa project. Semesta rasa itu semua sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa dirinya bisa bertanggung jawab atas diri sendiri.

Batara tersenyum sinis mendengar jawaban Semesta. Ia menatap Semesta seolah meremehkan. "Semoga kelak kamu tidak akan menyesal dengan pilihan kamu yang sangat rendahan itu."

Sebelum benar-benar keluar dari kamar, Batara yang sudah berjalan hampir sampai di depan pintu, tiba-tiba berhenti. Pria tua itu berbalik badan, menatap Semesta tanpa ekspresi, lalu berucap. "Jauhi perempuan itu. Kalau nanti kehidupan kamu di masa depan tidak sebaik yang Kakek harapkan, setidaknya hidup kamu tidak semakin buruk dengan mempertahankan perempuan semacam dia."

"Dia punya nama, Kek. Namanya Mentari. Jangan sebut Mentari kayak gitu."

Batara tidak lagi menanggapi kalimat protes yang Semesta layangkan. Pria tua itu keluar dari kamar Semesta begitu saja. Membuat Semesta menghela napas kesal sekaligus lega.

Semesta membuka ponsel. Ia menatap dan menggeser beberapa foto yang tersimpan rapi di dalam satu album galerinya. Di sana ada foto orang-orang yang ia sayangi. Ada foto Bundanya, Ayahnya, Atlas, Jemisha, dan juga foto Mentari.

Semesta menatap salah satu foto Mentari yang ia ambil diam-diam beberapa waktu yang lalu. Lantas ia tersenyum tipis. "Aku emang nggak bisa milih takdir buat hidup aku. Tapi aku bisa milih kamu buat jadi bagian dari takdir di hidup aku."

Kakeknya memang bukan orang jahat. Beberapa kali Mentari datang ke rumahnya dan bertemu dengan sang Kakek, Batara masih menyambut Mentari dengan baik, selayaknya menyambut tamu pada umumnya. Namun, dari gestur tubuh pria tua itu, sangat jelas kalau Batara tidak menyukai Mentari. Ditambah akhir-akhir ini sang Kakek semakin berani menunjukkan ketidaksukaannya pada Mentari secara blak-blakan.

Tangan Semesta beralih menggeser layar ponsel. Menampakkan foto Ayah dan Bundanya. Foto mereka bertiga sewaktu liburan bersama di pantai dua tahun yang lalu. Semesta memejamkan mata sejenak, ia berusaha menahan air mata yang entah sejak kapan sudah menggenang di pelupuk matanya, agar tidak terjatuh.

"Dari kecil kalian nggak pernah maksain dan nuntut apa pun ke aku. Kalian cuma mau aku jadi anak baik yang paham bagaimana cara memanusiakan manusia."

"Bahkan waktu aku nangis karena dapet nilai nol di ulangan harian matematika, Ayah bilang itu bukan masalah besar. Aku masih kelas 5 SD, Ayah bilang aku masih punya banyak waktu dan kesempatan untuk memperbaiki. Kalaupun nanti aku tetap nggak bisa meski udah belajar, Ayah sama Bunda janji nggak akan marah."

Semesta menarik napasnya dalam-dalam mengingat semua memori di masa lalu yang begitu menyenangkan. "Tapi karena Ayah sama Bunda nggak pernah berhenti buat dukung aku, nggak pernah nyalahin aku kalau nilai aku jelek, akhirnya waktu kelas 2 SMP aku malah bisa jadi juara satu olimpiade matematika tingkat nasional."

Tangan Semesta bergerak cepat mengusap air matanya yang berjatuhan. Ia sudah tidak kuat lagi menahan desakan air mata sejak tadi memaksa keluar. "Kata Ayah sama Bunda dulu, aku boleh jadi apa aja yang aku suka. Aku boleh jadi apa pun. Tapi kenapa Kakek selalu nyalahin pilihan aku, Bun, Yah?"

***

Sepulang kuliah, Mentari pergi ke rumah Semesta bersama Jemisha dan juga Atlas. Mereka bertiga pergi satu mobil menggunakan mobil milik Atlas. Sebenarnya Mentari sempat menolak ajakan mereka untuk ikut ke rumah Semesta. Mengingat tadi saat di kampus, Mentari mengalami satu kejadian yang membuatnya benar-benar bad mood sampai sekarang. Ditambah ia juga merasa sangat lelah karena dari kemarin jadwal pemotretannya sangat padat. Namun, karena Jemisha dan juga Atlas tidak mau berhenti membujuknya, berakhirlah mereka di sini sekarang. Di depan pintu utama rumah Semesta.

Lagi pula, sudah dua hari ini Mentari tidak bertemu dengan Semesta karena keadaan cowok itu masih belum stabil. Setelah ia pikir-pikir, tidak ada salahnya juga kalau sekarang ikut ke rumah Semesta bersama kedua temannya sekaligus sepupu Semesta ini.

"Astaga, ada cucu-cucu Kakek ternyata." Batara menyambut kehadiran dua cucunya, Jemisha dan juga Atlas dengan senyuman hangat. Senyum lega seorang Kakek yang sudah lama tidak dikunjungi oleh cucu-cucunya.

"Biasa aja lah Kek, kayak nggak pernah ketemu kita aja. Perasaan minggu lalu kita ke sini juga dah," sahut Atlas. Seperti biasa Atlas memang suka ceplas-ceplos dengan Kakeknya. Sangat berbeda dengan Semesta.

"Tujuan kalian ke sini cuma untuk bertemu Semesta, bukan bertemu Kakek. Kalau Semesta tidak tinggal di rumah ini, mana mungkin kalian mau ke sini?" jawab Batara merasa sedikit prihatin dengan dirinya sendiri. Sebab cucu-cucunya datang ke rumahnya hanya untuk Semesta. Bukan untuk dirinya. "Makanya biarpun kalian sering ke sini, kita tetap jarang bertemu."

Jemisha, cewek berambut hitam sepunggung yang dibiarkan tergerai itu menyahut tiba-tiba. "Bener sih, Kek. Ini kita ke sini sekarang juga mau nemuin Esta, Kek. Bukan nemuin Kakek."

Atlas menahan tawa mendengar penjelasan Jemisha barusan. Cowok itu menatap ekspresi wajah muram Kakeknya tanpa rasa kasihan. "Pffftt... "

"Ckck kalian berdua ini sama saja. Sudah-sudah, sana ke dal— ini Mentari, kan?"

Jemisha dan Atlas memisahkan diri. Membuat Mentari yang sejak tadi diam, berdiri di belakang mereka, kini terlihat.

Mentari tersenyum lebar. Menyapa Batara. "Halo, Kakek. Apa kabar?"

Batara hanya mengangguk sekilas. Tanpa menjawab pertanyaan basa-basi dari Mentari, pria tua itu langsung pergi begitu saja ke area garasi. Sepertinya Batara memang hendak pergi.

"Udah nggak usah dipikirin." Jemisha merangkul pundak Mentari. Berusaha menenangkan Mentari agar tidak mengambil hati perbuatan Kakeknya yang menyebalkan itu.

Sementara Atlas, cowok itu terkekeh pelan. "Itu karma lo kali, Tar. Lo kan suka nyebelin kalau sama Semesta. Makanya lo disebelin balik sama Kakek—awww!! Sakit, Jem!"

Jemisha yang baru saja memukul pundak Atlas sekuat tenaga, mendengus pelan. "Makanya jangan nyebelin kayak Kakek!"

Jemisha mengajak Mentari masuk terlebih dahulu. Disusul Atlas di belakang mereka.

"Gue bercanda, elah."

"Tenang aja, Tar. Paling bentar lagi Kakek juga meninggal. Namanya aki-aki ya pasti nyebelin kayak gitu," tambah Atlas ngawur.

"Kenapa ya Kakek kayak nggak suka gitu sama Mentari?" heran Jemisha. Mereka bertiga berjalan menaiki anak tangga menuju kamar Semesta. "Emang pas pertama kali ketemu lo, dulu Kakek gimana sih, Tar? Ini ke berapa kalinya lo ketemu Kakek?"

"Ini ke lima kalinya gue kesini setelah Kakek tinggal di rumah ini. Tapi ketemu Kakek baru empat kali, soalnya pernah kesini tapi Kakek nggak ada."

"Maksudnya ke sini pas lagi nggak orang di rumah? Cuma ada Semesta doang? Waduh ngapain tuh lo berdua?" sahut Atlas curiga.

"Ck! Jangan mikir aneh-aneh!" decak Mentari. "Waktu itu kita lagi ngerjain tugas kelompok."

Atlas tertawa jahil. "Oh tugas kelompok, kirain tugas yang lain."

Dengan kesal Mentari melangkah mundur. Ia meninju kecil punggung lebar Atlas hingga berkali-kali.

"Njir, mulai berani lo sama gue, Tar?"

"Udah ah, kalian berdua gelut mulu. Biasanya cuma gelut adu bacot. Sekarang malah mau adu fisik," lerai Jemisha. Bosan melihat Mentari dan Atlas yang tidak pernah akur.

Mentari mendengus kasar. Menghadapi sikap menyebalkan Atlas memang melelahkan. "Sepupu lo tuh Jem, nyebelin banget."

"Bakal jadi sepupu lo juga kalau lo nikah sama Semesta," kekeh Atlas.

Melipat tangan di depan dada, Mentari kembali berjalan mendahului Atlas. Namun, tiba-tiba tepat di anak tangga terakhir yang harus ia pijak, Mentari terpeleset. Beruntung detik itu juga Atlas dengan sigap menangkap tubuhnya dari belakang.

"Mentariii... Atlas... "

***

Waduuh, ada siapa tuh? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro