10. Maaf dari Semesta
Udah siap?
Leggoooo!!!
***
"Sialnya semakin Mentari berusaha ingin lepas, semakin keras juga Semesta berusaha mempertahankannya."
***
Malam ini hawa Jakarta terasa begitu dingin. Sudah tiga puluh menit yang lalu hujan deras mengguyur sudut-sudut kota. Gemuruh petir saling sahut menyahut satu sama lain. Membuat suasana malam terasa semakin tidak karuan. Tidak ada tanda-tanda hujan akan segera reda. Begitu juga dengan Semesta. Tidak ada tanda-tanda cowok itu akan mengakhiri aksi nekatnya malam ini.
Sudah tiga puluh menit cowok yang tubuhnya tampak basah kuyup dan sedikit menggigil karena kedinginan, berdiri di depan pagar rumah Mentari. Dalam keadaan seperti itu, hanya satu hal yang ia harapkan. Mentari mau keluar menemuinya. Ya, itu saja. Meski sampai detik ini, harapan itu rasanya sulit sekali menjadi nyata. Namun, Semesta tidak mau menyerah begitu saja. Ia akan tetap berdiri di sana. Tanpa pelindung apa pun yang bisa melindungi tubuhnya dari dinginnya guyuran air hujan tengah malam begini.
Jika ditanya kenapa Semesta nekat melakukan ini semua? Tentu saja ini Semesta lakukan bukan tanpa alasan. Semesta melakukannya karena ingin mendapatkan maaf dari Mentari.
Oke. Semesta tahu alasannya memang terdengar terlalu klasik untuk perbuatan nekat yang ia lakukan malam ini. Terlebih di mata orang lain, Semesta percaya, apa yang ia lakukan pasti dianggap berlebihan dan... bodoh? Bahkan akan menjadi bahan cemoohan orang-orang di luaran sana yang melihat aksi gilanya ini. Sayangnya Semesta tidak peduli akan hal itu. Ia tidak mempunyai pilihan lain untuk mendapatkan maaf dari Mentari selain mencoba menggunakan cara konyol ini.
Rasanya, otak pintar Semesta yang biasanya digunakan untuk berdebat di dalam kelas mendadak hilang entah kemana. Jika sudah dihadapkan dengan masalah perasaan semacam ini, Semesta memang terlihat seperti cowok yang tidak berdaya.
Mungkin inilah yang dinamakan cinta itu bisa membuat seseorang menjadi bodoh? Atau, lebih tepatnya dalam keadaan-keadaan seperti sekarang, Semesta memang sengaja lebih memilih menggunakan perasaannya dibanding logika. Hal itu karena Semesta menyadari, dirinya ini cowok dengan kebucinan tingkat akut.
Mengingat Mentari adalah sosok perempuan paling keras kepala dan egois yang pernah Semesta temui sepanjang hidupnya. Semesta merasa kewalahan jika dua sikap Mentari itu sudah mendominasi—meski sebenarnya dua sikap itu juga melekat pada diri Semesta. Jadi, nekat seperti sekarang ini memang menjadi jalan satu-satunya yang bisa Semesta pilih. Meski belum tentu akan berhasil, setidaknya Semesta sudah mengusahakan semuanya.
Sama halnya dengan Semesta, di dalam sana Mentari tidak mau keluar menemui Semesta juga bukan tanpa alasan. Cewek itu marah karena tadi Semesta tidak bisa dihubungi selesai acara pemotretan. Hal itu membuat Mentari harus pulang sendiri. Ditambah rencana mereka sore tadi lagi-lagi juga harus gagal.
Sebenarnya tidak akan menjadi masalah, jika Semesta tidak membuat janji untuk menjemputnya. Mentari juga sudah terbiasa pergi kemana-mana sendiri. Bahkan di beberapa keadaan terkadang Mentari justru merasa kesal jika Semesta terlalu posesif. Seolah tidak mengijinkan dirinya pergi sendiri dan sengaja membuatnya bergantung pada cowok itu. Namun, karena posisinya tadi mereka sudah membuat janji akan pergi bersama, tetapi ujungnya tidak jadi, Mentari jadi merasa dibohongi dan dipermainkan. Ia sudah rela meluangkan waktu di tengah kesibukannya, tetapi kini Semesta seakan tidak menghargai hal itu.
Padahal jika dilihat dari sisi Semesta, Semesta juga merasakan hal yang sama, bukan? Hari sudah mulai gelap, tetapi Mentari tak kunjung memberi kabar apa pun. Itu semua membuat Semesta mengira Mentari tidak bisa ia jemput karena pemotretannya belum selesai. Semesta yang sadar diri, merasa harus mengikhlaskan rencana menyaksikan langit senja di rooftop favoritnya sore tadi bersama Mentari. Hingga berujung mengobrol random dengan Atlas yang tiba-tiba datang.
Masalah di antara mereka berdua saat ini, memang hanyalah sebuah kesalahpahaman kecil. Yang membuat rumit, karena di sini Mentari tidak mau mendengarkan penjelasan apa pun dari Semesta. Tidak mau tahu kenapa Semesta sampai tidak mengangkat telfon.
"Aarrgghh!!!" teriak Semesta emosi. Jari-jari tangannya yang mulai keriput karena menahan rasa dingin, mengusap kasar wajah basahnya.
Semesta kembali mendongakkan kepala tinggi-tinggi agar bisa melihat lebih jauh ke halaman rumah Mentari. Matanya mengintip melalui celah-celah pagar di hadapannya yang masih terkunci rapat.
"Mentari! Aku nggak bakal pulang sebelum kamu mau keluar nemuin aku!" teriak Semesta entah untuk yang ke berapa kali. Pastinya itu bukan teriakan pertama. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali teriakan yang teredam oleh suara air hujan itu menggema di halaman rumah Mentari. Sampai-sampai membuat tenggorokan Semesta kering tanpa cowok itu sadari.
Sementara di dalam sana, sepertinya keputusan Mentari sudah bulat. Cewek itu benar-benar tidak mau keluar. Bahkan untuk sekedar menemui Semesta lima menit saja, rasanya Mentari begitu enggan.
Beberapa jam yang lalu lalu, mereka sempat berkomunikasi melalui chat. Sayangnya kini nomor Semesta sudah di-block oleh Mentari. Mungkin Mentari merasa tergganggu dengan spam chat yang Semesta kirim setelah cewek itu memberikan balasan yang membuat Semesta uring-uringan sendiri jika mengingatnya.
kamu nggak berguna. kita putus aja!
Semesta mengacak rambutnya frustasi mengingat ucapan Mentari saat di chat tadi. Tatapan Semesta kini beralih pada mobil hitam miliknya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sebetulnya bisa saja ia menunggu di dalam mobil agar tidak kehujanan. Namun, Semesta rasa cara itu tidak efektif. Tidak akan menghasilkan apa-apa. Ya, meski cara yang ia pilih sekarang juga belum tentu membuat Mentari mau memaafkannya, setidaknya Semesta terlihat bersungguh-sungguh untuk mendapatkan maaf dan menjelaskan kesalahpahaman mereka.
"Aarrgghh!" Semesta kembali mengacak rambutnya frustasi. Kali ini dengan kilatan emosi dari kedua matanya. "Gue nggak bakal nyerah Mentari! Nggak bakal!"
"Gue tau lo sengaja ngelakuin ini biar gue nyerah sama hubungan kita, kan?!" ucap Semesta sambil tertawa miris.
Jangan kira Semesta tidak tahu akal-akalan Mentari. Mentari memang seperti ini dari dulu. Selalu berusaha mencari celah agar hubungan mereka tidak baik-baik saja dan berakhir dengan kata putus. Sialnya semakin Mentari berusaha ingin lepas, semakin keras juga Semesta berusaha mempertahankannya.
Katakanlah Semesta berlebihan dan cintanya sedikit... gila. Akan tetapi, memang seperti itulah kenyataannya. Tidak bisa Semesta pungkiri, dirinya memang sudah terlanjur tergila-gila dengan sosok Mentari. Mentari hadir di waktu yang tepat. Saat Semesta tengah membutuhkan seseorang untuk menjadi pelipur lara setelah kepergian kedua orang tuanya. Hingga tanpa sadar, semakin hari, kehadiran Mentari membuat Semesta ketergantungan. Sampai pada titik Semesta menggantungkan seluruh kebahagiaannya hanya pada Mentari. Semesta tahu hal itu salah. Namun, ia juga tidak tahu bagaimana menghentikannya.
"Dia sengaja nyari-nyari masalah dan besar-besarin masalah biar gue capek sama dia. Haha... "
Semesta tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri yang lemah dalam situasi ini. Ia memijat kepalanya yang tiba-tiba terasa pening. Mungkin ini efek karena terlalu lama berdiri di bawah guyuran air hujan. Sementara rasa dingin yang tadi ia rasakan, kini menghilang entah kemana. Sepertinya Semesta sudah tidak bisa merasakan dingin di tubuhnya dengan pikiran sekacau sekarang.
Detik berikutnya kedua tangan Semesta mengepal kuat seiring dengan lelehan air hujan yang terus-menerus membasahi wajahnya yang mulai memucat. Semesta menahan mati-matian rasa sakit di kepalanya yang tiba-tiba menyerang.
"Sshhh... "
Semesta kembali memegang kepalanya. Matanya mendadak buram. Begitu juga dengan telinganya yang tiba-tiba berdengung panjang. Semakin lama pandangannya semakin kabur, lalu menghitam. Telinganya juga tidak bisa berfungsi dengan baik. Tidak bisa mendengar suara percikan air hujan atau suara apa pun. Dalam hitungan detik semuanya menjadi gelap dan sunyi.
Semesta pingsan.
***
"Jadi cowok lemah banget sih. Kehujanan doang langsung pingsan. Lebay."
"Mentari!" tegur Kinan. Wanita yang duduk di tepi tempat tidur dengan Semesta yang terbaring di sebelahnya itu menatap Mentari geram. Bisa-bisanya Mentari berkata demikian di saat Semesta belum sadar dari pingsannya. "Kamu nggak denger? Tadi dokter bilang Semesta kecapekan. Lihat aja kantong matanya, dugaan dokter Semesta belum tidur dari kemarin. Ditambah kamu biarin dia kehujanan kayak tadi."
Mentari menghela napas panjang. Ini bukan kesalahan dia sepenuhnya, tetapi kenapa Kinan seolah justru melimpahkan semua kesalahan pada dirinya? Aneh sekali. "Dari kemarin Semesta emang belum tidur sama sekali gara-gara ngerjain tugas, terus tadi ada kelas pagi. Jadi bukan salah aku kalau dia kehujanan doang langsung pingsan."
"Jangan bilang Semesta bergadang karena ngerjain tugas kamu?"
Mentari gelagapan mendapat pertanyaan seperti itu dari sang Mama. Sepertinya Kinan memang sudah hafal dengan kebiasaan mereka. Tugas Mentari yang belum selesai, tetapi ujung-ujungnya selalu Semesta yang kerepotan menyelesaikannya semalam suntuk.
"Tapi aku nggak pernah maksa Semesta buat bantuin tugas-tugas aku. Malah Semesta sendiri yang maksa. Salahin Semesta aja yang terlalu baik," balas Mentari tak mau disalahkan. Cewek yang duduk di sofa dekat tempat tidur itu mendengus kasar ketika mendapat tatapan penuh selidik dari Kinan.
Di samping Mentari, Bagas menyahut setelah menghela napas panjang. "Kalau tadi Ayah sama Mama nggak pulang-pulang, gimana nasib Semesta yang kamu biarin pingsan di depan rumah kita? Kamu juga bisa dituntut keluarganya kalau sampai terjadi apa-apa sama Semesta, Mentari."
"Aku nggak tau kalau Semesta pingsan. Aku pikir dia udah pulang karena nggak teriak-teriak lagi," jawab Mentari membela diri. Ia tidak berpikir sampai sejauh itu. Saat tidak lagi mendengar suara teriakan Semesta, ia kira Semesta sudah menyerah dan pulang.
"Lagian Semesta juga udah nggak punya keluarga. Kakeknya mana peduli," tambah Mentari.
Bagas menggeleng tidak habis pikir mendengar jawaban santai yang Mentari lontarkan. "Kamu bener-bener. Ayah nggak habis pikir sama kamu. Meskipun kamu lagi marah sama Semesta, seenggaknya kamu punya rasa tanggung jawab sebagai pacarnya atau setidaknya sebagai sesama manusia."
Mentari berdiri dari duduknya. Sebelum keluar dari kamarnya—tempat Semesta terbaring sekarang—Mentari menatap Ayahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ayah nggak usah nasehatin aku soal tanggung jawab."
"Mentari!" tegur Kinan langsung.
"Udah biarin. Biar Ayah yang ngajak dia bicara," sahut Bagas menyusul Mentari yang keluar kamar. Entah ingin kemana.
Selepas kepergian anak dan suaminya dari kamar, Kinan membenarkan selimut di tubuh Semesta. Wanita itu menatap wajah pucat Semesta dengan perasaan campur aduk. Mengingat, kedua orang tua Semesta yang kini sudah tiada dan cowok itu hanya tinggal bersama sang Kakek, seperti apa yang Mentari katakan tadi, membuat hati Kinan semakin tersentuh. Kinan merasa kasihan dan prihatin dengan Semesta. Semesta masih terlalu muda untuk merasakan segala kepahitan dalam hidupnya.
Tangan Kinan mengusap lembut rambut kusut Semesta. Dibelainya beberapa detik sebagai bentuk rasa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Meski kenyataannya Semesta bukanlah siapa-siapanya. Hanya seorang anak laki-laki yang tulus mencintai anak perempuannya.
"Semoga kamu bisa mendapatkan banyak kebahagiaan di hari-hari selanjutnya, Semesta."
***
Mentari mengusap air matanya cepat saat melihat Ayahnya tiba-tiba ikut duduk di sampingnya. Tepatnya di kursi teras rumah mereka.
Cewek dengan baju tidur berwarna abu-abu itu mengalihkan tatapannya ke arah lain. Kemana pun asal tidak menatap sang Ayah dengan wajahnya yang sekarang mungkin terlihat sembab.
"Nangis aja, Ayah udah lihat," suruh Bagas sambil terkekeh pelan.
Mentari terdiam sejenak. Ia menunduk sambil memainkan jari-jemari lentiknya. Tidak ada niat sedikit pun darinya untuk menanggapi ucapan sang Ayah.
"Mentari?" panggil Bagas lembut. Membuat Mentari menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali menatap ke arah lain.
"Kita udah sepakat untuk nggak membahas hal ini lagi, kan?"
Menghela napas panjang, Mentari yang sudah tahu kemana arah pembicaraan Bagas hanya bisa mengangguk pelan. "Maaf, Yah," sesalnya.
Bagas tersenyum tipis. Tangannya terulur ke samping. Mengusap puncak kepala anak perempuan satu-satunya yang tanpa ia sadari kini sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik seperti istrinya. "Ayah minta maaf. Nggak seharusnya Ayah bawa kamu ke dalam kesulitan ini. Tolong temani Semesta ya, Nak. Bantu dia mendapatkan banyak kebahagiaan pengganti."
bersambung....
***
Mau peluk Semesta, tapi Mentari kenapa nih?
ketik 1 kalau penasaran!
ketik 1 lagi kalau mau cepetan updateeeee!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro