Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Sempurna


Hellow Marsmillow!!! Apa kabar???

Di bab 1 ini ceritanya kita akan flashback ke masa lalu ya, saat Semesta baru mau gabung ke Aspire dan baru jadian sama Mentari

Selamat membaca, jangan lupa buat vote dan komen yang banyak ya Millow!!!

***

"Sama kayak judulnya, lagu ini adalah lagu paling sempurna untuk didengar. Dan Mentari, dia adalah ciptaan Tuhan paling sempurna untuk dimiliki Semesta." — Semesta Auriga

***

Namanya Mentari, Mentari Gauri. Gue lebih suka manggil dia Mentari daripada Tari seperti panggilan orang-orang kebanyakan. Tidak ada alasan tertentu. Tapi menurut gue nama Mentari terlalu indah untuk tidak disebutkan secara keseluruhan.

Mentari adalah perempuan paling cantik setelah Bunda. Senyumnya hangat dan teduh seperti Ayah. Matanya indah. Mampu membuat siapa saja terpikat saat menatapnya dalam-dalam.

Apa mungkin Tuhan sedang berbahagia saat menciptakan Mentari? Hingga Mentari tercipta dengan wujud begitu sempurna di setiap mata yang melihatnya. Terutama di mata gue.

Mentari, pemilik suara lembut yang selalu menenangkan hati itu, adalah satu-satunya perempuan yang sanggup membuat gue jatuh cinta kala itu.

Gue kira, jatuh cinta dengan Mentari adalah hal biasa yang akan membuat perasaan gue luntur semakin lama. Nyatanya salah. Ternyata jatuh cinta dengan Mentari tidak sesederhana itu. Jatuh cinta dengan Mentari adalah hal luar biasa yang nggak pernah gue duga sebelumnya.

Jatuh cinta yang mampu membuat gue melakukan segala cara untuk mempertahankannya. Untuk menahannya agar tidak pergi dari hidup gue. Untuk tetap bersama apapun keadaannya.

Ya, Mentari benar-benar membuat gue jatuh cinta. Jatuh dan cinta sendirian dengan perasaan yang sedikit gila.

***

Selesai menuliskan segala hal tentang Mentari di halaman terakhir bukunya, Semesta menutup dan menyimpan buku itu di meja belajar. Sebenarnya tadi Semesta tidak berniat menulis kalimat-kalimat yang sedikit puitis itu. Hanya saja karena dirinya sedang merindukan Mentari di sela-sela kesibukannya mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk, Semesta lantas menuliskannya untuk mengobati rasa rindu itu. Hanya tulisan asal. Namun, sepertinya memiliki makna yang cukup dalam.

Sudah satu minggu ini Semesta tidak bertemu dan tidak mendapatkan kabar apapun dari Mentari. Sebab, cewek itu tengah melakukan pemotretan di luar kota. Berprofesi sebagai seorang model, membuat Mentari selalu sibuk sendiri. Sibuk dengan dunianya sendiri, dengan pekerjaannya, hingga jarang mempunyai waktu untuk Semesta.

Hebatnya, Semesta tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Semesta selalu bisa memahami keadaan Mentari. Semesta tidak mau mempersulit segala hal yang Mentari senangi. Semesta selalu mendukung apapun yang ingin Mentari lakukan untuk meraih mimpi-mimpinya. Semesta akan menjadi garda terdepan untuk Mentari. Sesuai janjinya.

"Gue kangen sama lo, Mentari. Tapi kalau gue telfon duluan, lo pasti marah."

Semesta menghela napasnya kasar. Ingin sekali menghubungi Mentari dan menceritakan banyak hal yang terjadi selama seminggu terakhir ini pada Mentari. Namun, sepertinya hal itu lebih baik tidak ia lakukan. Daripada berujung pertengkaran yang membuat Mentari badmood dengan dirinya, lebih baik Semesta mengalah. Ia harus bisa menahan diri untuk tidak menghubungi Mentari sekarang. Apalagi hubungan mereka baru berjalan beberapa bulan.

Semesta mengambil gitar dari atas kasur. Lalu memposisikan dirinya yang duduk di depan meja belajar dengan posisi senyaman mungkin. Jari-jemarinya yang panjang mulai bergerak lincah memetik senar gitar berwarna hitam itu.

Semesta menyanyikan satu lagu yang membuatnya selalu teringat dengan sosok Mentari. Lagu dengan intro dan lirik terindah yang pernah Semesta dengar. Lagu berjudul "Sempurna" yang dipopulerkan oleh Andra and the BackBone.

Suara nyanyiin Semesta yang pelan dan sedikit serak itu memenuhi sudut-sudut kamarnya. Semesta menyanyikannya sambil memejamkan mata. Menghayati. Membayangkan wajah cantik Mentari yang selalu berhasil membuatnya tergila-gila.

Atau, mungkin dirinya memang sudah gila karena Mentari?

Semesta terus bernyanyi. Melupakan tugas-tugasnya yang masih menumpuk dan tergeletak di atas meja belajar.

"Janganlah kau tinggalkan diriku..."

"Tak 'kan mampu menghadapi semua..."

"Hanya bersamamu ku akan bisa..."

"Kau adalah darahku..."

"Kau adalah jantungku..."

"Kau adalah hidupku, lengkapi diriku..."

"Oh sayangku kau begitu..."

"Sempurna, sempurna..."

Semesta menghentikan nyanyiannya juga petikan gitar dari jemarinya. Ia lantas tersenyum tipis. Lagi-lagi penyebabnya adalah Mentari.

Ya, segila itu Semesta pada Mentari.

"Sama kayak judulnya, lagu ini adalah lagu paling sempurna untuk didengar. Dan Mentari, dia adalah ciptaan Tuhan paling sempurna untuk dimiliki Semesta."

"Milik gue."

***

"Lo jadi ikut audisi band kampus itu?"

Atlas memberikan satu minuman kaleng kesukaan Semesta yang langsung diterima dengan senang hati oleh cowok berambut dark brown yang mengenakan kaos hitam polos itu.

Semesta mengangguk cepat untuk menjawab pertanyaan dari Atlas. Selesai kelas pagi mereka tadi, kini keduanya sedang menikmati waktu dengan duduk-duduk santai di kursi taman yang berada di Danau Tengah—salah satu tempat favorit mahasiswa di Harnus University. Sembari menunggu kelas siang mereka nanti.

"Jadi. Tapi gue belum bilang ke Mentari. Dia masih sibuk. Mau gue kasih tau lewat telfon, gue takut dia terganggu."

"Kalau Mentari ngelarang, lo tetap ikut?"

"Gue bakal jelasin baik-baik sampai dia paham kenapa gue mau ikut audisi band kampus ini," jawab Semesta santai. "Tapi gue yakin, Mentari nggak akan melarang. Mentari bukan tipe cewek kayak gitu."

"Makanya cepetan kabarin. Gitu doang takut, Ta. Telfon tinggal telfon. Udah jadian juga. Nggak kayak dulu masih friendzone-an."

Semesta tertawa renyah. "Bukan takut. Gue cuma mau menghargai aja, Tlas. Soalnya sebelum berangkat ke Surabaya Mentari udah bilang, kalau gue nggak boleh menghubungi dia sebelum dia duluan yang menghubungi gue."

"Sama aja. Itu namanya takut," dengus Atlas. "Heran gue sama lo, Ta. Lo itu cowok. Harusnya lo yang memegang kendali atas hubungan kalian. Bukan malah ngebiarin Mentari seenaknya gitu."

"Selagi apa yang Mentari lakuin itu hal yang positif dan demi mimpi-mimpinya, gue nggak masalah. Lagian Mentari lagi kerja. Bukan lagi jalan-jalan sama cowok lain yang membuat gue harus marahin dia," sanggah Semesta tidak setuju dengan ucapan Atlas yang terkesan menjelekkan Mentari.

Atlas sedikit menjahili Semesta. "Tapi kan fotografernya kebanyakan cowok, Ta. Nggak takut lo?"

Merasa sedikit kesal, Semesta menendang tulang kering Atlas hingga cowok itu mengadu kesakitan.

"Diem lo!"

Atlas mengangguk-anggukkan kepala. Memilih mengakhiri perdebatan mereka karena menyadari jika Semesta ini memang bucin akut dengan ceweknya.

"Terus lo udah bilang ke Kakek kalau mau ikutan audisi band ini?"

Semesta menggeleng setelah meminum habis minuman kalengnya dan membuang kalengnya pada tempat sampah yang berada di sebelah tempat duduk mereka.

"Nggak. Gue nggak bilang."

"Lah? Lo nggak takut diamuk? Bilang dulu lah, Ta. Kayak lo nggak tau Kakek aja."

"Ntar gue bilang kalau udah keterima. Lagian belum tentu gue keterima jadi gitaris di band kampus. Pasti banyak yang lebih jago dari gue. Gue belajar main gitar kan cuma karena hobi. Itupun autodidak. Sama belajar ke lo dikit-dikit."

Atlas menjawab dengan helaan napas pasrah. "Ya udah deh terserah lo. Ntar kalau diamuk Kakek, tinggal call gue aja. Gue ajakin lo cari cewek baru mumpung Mentari nggak ada, haha!"

Atlas justru semakin tertawa kencang ketika mendapatkan hadiah jitakan di kepalanya dari Semesta.

"Enak aja lo! Nggak bakal ada cewek lain di hidup gue selain Mentari!" Semesta berdecak. "Mau lo kasih seribu cewek cantik, kalau gue maunya cuma Mentari ya mereka nggak bakal terlihat di mata gue!"

Atlas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari menelan ludahnya susah payah melihat Semesta menatapnya tajam dan serius.

"Elah, bercanda gue, Ta. Serem amat muka lo."

***

Tok tok tok...

"Semesta! Kakek ingin bicara!"

Dengan sedikit malas, Semesta yang baru saja memejamkan matanya lima menit yang lalu karena dirinya kecapekan baru pulang dari kampus, terpaksa bangun dan membukakan pintu kamarnya untuk Batara—Kakeknya.

Ceklek

"Kenapa Kek?" tanya Semesta begitu pintu ia buka dan dirinya berhadapan langsung dengan Batara yang berdiri tepat di ambang pintu.

"Apa ini?!" Batara melemparkan selembaran brosur ke wajah Semesta hingga membuat cowok itu tersentak kaget.

"SUDAH KAKEK BILANG! JANGAN MEMBUANG-BUANG WAKTU DENGAN HAL TIDAK BERGUNA SEPERTI INI SEMESTA!" bentak Batara dengan napas memburu naik turun.

Pria tua berusia sekitar enam puluh lima tahunan namun memiliki tubuh yang masih gagah itu menatap Semesta dengan mata berkobar penuh amarah. Hingga membuat urat-urat di sekitar wajah dan lehernya terlihat begitu jelas.

Sementara Semesta, cowok itu hanya diam sambil menunduk. Tangannya memegang brosur audisi band kampus dengan gemuruh luar biasa di dadanya. Namun, sebisa mungkin Semesta berusaha menahan segala amarahnya ketika mendengar ucapan sang kakek. Bagaimanapun juga kakeknya adalah pengganti orang tuanya sekarang.

"Kamu mau jadi apa?!" Batara kembali berucap. Kali ini memang tidak dengan teriakan seperti tadi. Namun, dengan penekanan yang nadanya membuat Semesta merasa semakin tersudutkan

"Sudah kuliah di jurusan yang tidak jelas! Sekarang malah mau ikut-ikutan band-band tidak jelas seperti itu!" ucap Batara dengan tawa pelan meremehkan.

Sebelum pergi dari sana, Batara kembali menambahkan. "Kalau dulu orang tua kamu meninggal lebih cepat, sebelum kamu masuk kuliah, sudah Kakek buat kamu tidak bisa masuk di jurusan Komunikasi!"

Selepas kepergian sang kakek, Semesta menutup pintu kamarnya keras-keras. Ia duduk di tepi tempat tidur sambil menatap brosur audisi band kampus yang berada di tangannya dengan badan gemetar, perasaan tidak karuan, juga dada yang masih memburu tidak beraturan.

Kosong. Semesta tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Ia hanya menatap segala penjuru kamarnya dengan tatapan kosong. Sementara itu, kepalanya terasa sangat berisik. Suara-suara makian dan bentakan dari kakeknya seolah terekam jelas dalam kepala dan akan terputar ulang secara otomatis dalam keadaan-keadaan tertentu seperti ini.

Pikiran Semesta semakin bertambah kacau saat ia menyadari gitar kesayangannya yang biasa ia letakkan di samping meja belajar, tidak ada di sana. Semesta bangkit dan segera mencarinya di segala sudut kamar.

Hingga ia menemukan gitar kesayangannya itu di tempat sampah kamar mandinya dengan keadaan yang sudah tidak baik-baik saja. Semua senar-senarnya putus. Pinggiran lubang suaranya yang berbentuk lingkaran retak. Juga beberapa tuner gitarnya yang patah.

Tak hanya itu, Semesta lebih dikejutkan lagi dengan keberadaan kamera kesayangannya yang tergeletak di bawah gitarnya. Semesta mengambilnya dan mengusap lensa kameranya yang sudah pecah dengan perasaan campur aduk.

Lensa kamera keluaran terbaru yang harganya cukup fantastis itu baru ia beli beberapa minggu lalu dengan uang hasil menabungnya selama satu tahun. Dan sekarang, lensa itu rusak parah.

Dengan hati yang berusaha kuat, Semesta membawa dua barang kesayangannya ke tempat tidur. Tidak perlu mencari tahu siapa pelakunya. Semesta tahu, sudah pasti ini semua adalah ulah kakeknya sendiri.

Batara, pria tua itu memang tidak pernah mendukung apapun yang Semesta lakukan. Semenjak kepergian kedua orang tua Semesta dua bulan lalu akibat kecelakaan mobil, Semesta merasa tidak ada satupun orang yang mendukung mimpi-mimpinya.

Mentari.

Semesta mencari ponselnya. Ia ingin cepat-cepat menghubungi Mentari untuk menceritakan segala perasaan kacaunya sekarang.

Satu-satunya orang yang terlintas di kepala Semesta dalam keadaan seperti ini memang hanya Mentari. Cewek yang ia anggap sebagai rumah. Tempat pulang. Tempat berteduh dari segala badai besar yang mungkin akan ia lewati dalam hidup ini.

Semesta menunggu panggilannya tersambung dengan perasaan harap-harap cemas. Ia sudah tidak memikirkan apakah Mentari akan marah atau tidak saat dirinya menghubunginya lebih dulu seperti ini. Semesta benar-benar mengabaikan pesan Mentari tempo hari yang melarangnya untuk menghubungi lebih dulu.

"Mentari?"

Semesta tersenyum lega karena panggilannya dijawab oleh Mentari. Perasaan kacaunya perlahan runtuh hanya dengan mendengar pertanyaan "kenapa" yang Mentari lontarkan dari seberang sana. Sayangnya senyum itu hanya bertahan sepersekian detik saja sebelum luntur karena ucapan Mentari selanjutnya.

"Kenapa?! Kan aku udah bilang! Jangan telfon aku duluan Sem! Aku tuh di sini sibuk! Kerja! Bukan jalan-jalan! Aku nggak mau buang-buang waktu cuma buat telfonan nggak berguna sama kamu!"

Tut!

Mentari mematikan sambungan telfon mereka.

Seperti biasa, Semesta hanya menghela napasnya sabar dan kembali berusaha memperbaiki gitar juga lensa kameranya yang rusak, sebisanya. Semesta berusaha untuk kuat. Ah, pura-pura kuat lebih tepatnya.

***

Siapa yang mau peluk Semesta?😔☝

Eh, kalian juga harus baca versi AU Instagramnya yaa, ada di instagram aku @tamarabiliskii

Lanjuttt??!!

Spam emoticon 🪐☀ di sini :

Follow akun instagram kita biar kalian nggak ketinggalan info lainnya :

@tamarabiliskii

@semesta.auriga

@mentari.gauri

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro