Part 17- Musibah
Suasana pernikahan yang biasanya penuh pancaran kebahagiaan, senyum bertebaran tanpa kenal lelah tersungging di bibir. Namun, ternyata itu tak berlaku sepenuhnya untuk pengantin putri--Hawa--saat acara pernikahannya dengan Hamdan.
Gadis itu memang raganya berada di acara resepsi pernikahan menyambut para tamu undangan. Namun, pikirannya seakan terus mengkhawatirkan keadaan sang sahabat yang semalam kecelakaan.
Iya, tadi setelah salat Subuh, Hawa menelepon Cahaya untuk memastikan jika sahabatnya itu akan datang dalam acara bahagianya. Akan tetapi yang ada, bukanlah Cahaya yang mengangkat teleponnya, melainkan orang asing yang ia pun tak tahu itu siapa.
Hawa hanya bisa menebak itu suara laki-laki dan kasih kabar jika pemilik telepon mengalami kecelakaan cukup parah. Syok, Hawa sangat terkejut mendengar berita itu. Ia panik dan sempat meneteskan air mata saat memberitahu Adam tentang kabar yang menimpa Cahaya.
Hawa sebenarnya ingin langsung ke rumah sakit, untuk memastikan keadaan sang sahabat secara langsung. Namun itu tak mungkin bisa ia lakukan karena pasti keluarganya tak mengizinkan Hawa yang akan menjadi calon pengantin untuk bepergian jauh. Sebab itulah, untuk mengurangi kecemasan sang adik, Adam pun akhirnya memutuskan bahwa dirinyalah yang akan menjenguk di rumah sakit.
Adam yang berangkat setelah akad nikah sang adik jam 7 pagi tadi, baru sampai di rumah sakit pada pukul 09.45 WIB. Kakinya langsung berjalan dengan sedikit cepat menuju meja depan rumah sakit untuk bertanya kepada resepsionis dimana tempat Cahaya dirawat.
Setelah mendapat jawaban, ia langsung menuju ruang ICU--tempat Cahaya dirawat. Saat kakinya hampir sampai, netranya melihat seorang dokter baru saja keluar dari ruang rawat Cahaya. Ia pun langsung menghampiri dan bertanya, "Gimana keadaan pasien yang bernama Cahaya, Dok?"
"Anda keluarganya?" tanya sosok laki-laki berjas putih dan berkaca mata dihadapannya. Adam pun menganggukkan kepala. "Keluarga anak cucuk Nabi Adam," ucap Adam dalam hati. Karena ia tahu, jika Cahaya adalah wanita yang hidup sebatang kara tanpa ada keluarga di sisinya semenjak papa dan mamanya meninggal
"Pasien masih kritis, kondisinya sangat lemah akibat sempat kehilangan banyak darah semalam. Untung saja stok darah mencukupi saat proses tranfusi darah. Namun, untuk kondisi kakinya yang terjepit, masih butuh pemeriksaan lebih lanjut. Doanya, Pak. Agar kondisi pasien segera melewati kritisnya dan kembali stabil."
"Aamiin, baik, Dok. Terimakasih. Boleh saya masuk melihat kondisinya, Dok?"
"Boleh, tetapi pakai masker dan pakaian khusus ini ya, Pak."
Dokter itu pun berlalu setelah mendapati Adam menganggukkan kelal. Meninggalkan Adam yang hatinya pilu mendengar wanita itu kondisinya masih mengkhawatirkan.
"Ya Allah ... angkatlah penyakitnya. Sembuhkanlah sakitnya. Aamiin," batinnya penuh harap.
"Bismillah," ucap Adam lirih sembari memutar knop pintu. Ia memakai gaun luar berwarna hijau sebelum membuka tirai untuk masuk ke ruangan rawat Cahaya.
Adam menghela napas cukup dalam, hatinya masih saja berdebar kencang saat akan bertemu wanita itu seperti sebelum-sebelumnya. Padahal, ia yakin jika Cahaya kali ini tak akan mengetahui kehadirannya.
Begitu tangannya menyibak tirai diikuti langkah kaki memasuki ruangan steril itu. Netra Adam langsung menangkap sosok wanita yang terbaring lemah itu dengan banyak alat yang menembel di bagian tertentu pada tubuhnya.
Hati Adam seakan teriris, ikut nyeri atas apa yang ia lihat. Ia tak tega, sungguh tak tega melihat wanita yang ia cintai dalam diam itu terbaring lemah seperti ini. Adam tak mampu tegar melihat Cahaya lebih lama. Setelah berdoa dalam hati, meminta kesembuhan untuk gadis itu. Adam pun membalikkan tubuhnya dan segera keluar dari ruang ICU dan memutuskan menunggu Cahaya di luar saja.
Belum lama laki-laki itu duduk di bangku panjang depan ruang rawat Cahaya. Tiba-tiba terdengar bunyi kriuuk dari perutnya, seketika itu juga ia ingat bahwa perutnya belum terisi apa pun sejak perjalanan dari rumahnya.
Adam pun bangkit, berniat untuk ke kantin rumah sakit. Namun, baru saja ia melangkahkan kaki, tampak dari arah berlawanan sosok laki-laki datang menghampiri.
"Kamu siapa? Kok ada di depan ruang rawat Bu Cahaya?" tanya laki-laki berkemeja warna biru itu.
"Saya sahabat Cahaya, Adam," ucap Adam seraya mengulurkan tangannya ke depan.
"Sahabat Cahaya? setahu saya Cahaya hanya punya dua sahabat perempuan."
"Iya, saya Kakaknya Hawa. Salah satu sahabatnya Cahaya."
"Oh, saya Haris, yang kebetulan berada di TKP saat Bu Cahaya kecelakaan dan saya bekerja di perusahaan Bu Cahaya. Maaf, anda mau ke mana?" tanya laki-laki bersongkok hitam itu ramah.
"Saya mau ke kantin dulu," pamit Adam dan langsung mendapat anggukan dari Haris.
Selang hampir lima belas menit, Adam menyudahi aktivitas mengisi perutnya. "Mending setelah ini aku ke musala dulu kali, ya. Salat Duha sekalian mendoakan Cahaya. Mumpung Cahaya juga ada yang jaga," pikir Adam dan langsung merealisasikan rencanannya.
---***---
Sang bagaskara telah condong ke barat, Adam masih bertahan seorang diri menjaga Cahaya di depan ruangannya setelah Haris tadi pamit.
Menunggu biasanya menjadi perkara yang membosankan bagi kebanyakan manusia. Namun, tidak untuk Adam. Karena Adam sosok laki-laki salih yang sangat pandai mengatur waktunya. Seperti yang tercantum dalam surat Al 'ashr yang artinya demi masa. Dalam surat itu menjelaskan tentang bukan termasuk manusia merugi yang memanfaatkan waktunya dengan hal yang baik--merekalah orang yang beriman dan mengerjakan amal salih.
Sejak tadi Adam, tak hentinya berzikir, memurojaah hafalannya selagi menunggu. Namun, saat dokter keluar setelah melakukan pemeriksaan, laki-laki itu langsung menghampiri dengan wajah harap-harap cemas.
"Bagaimana keadaan pasien, Dok?"
"Alhamdulillah pasien telah melewati masa kritisnya, Pak. Karena itu, Pasien akan segera dipindahkan ke ruang rawat inap biasa."
"Alhamdulillah ...," ucap Adam seraya mengusap wajahnya dengan kedua tangannya penuh kelegaan. Pengharapan kondisi gadis itu membaik, akhirnya terkabul.
Dokter pun tersenyum dan ikut merasa lega. Setelah itu pun pamit berlalu dari hadapan laki-laki yang tak hentinya memuji syukur kepada Allah atas anugerah yang telah dilimpahkan.
Bunyi ponsel Adam tiba-tiba berbunyi, tangan laki-laki itu pun merogoh sakunya dan segera menyambungkan panggilan.
"Assalamualaikum, Wa."
'Wa'alaikumsalam warohmah, Kak Adam gimana keadaan Cahaya?' terdengar nada kekhawatiran dari wanita di seberang telepon.
"Alhamduliah Cahaya udah melewati masa kritisnya, Wa," ucap Adam dengan perasaan lega dan bibir yang mengukir senyum.
'Alhamdulillaaah!' pekik Hawa kesenangan.
"Iya, Wa. Gimana acara nikahan kamu, Wa? Maaf ya, Kakak nggak bisa nemenin sampai acara selesai."
'Iya, Kak. Nggak apa-apa. Alhamdulillah lancar kok. Ini baru selesai acaranya.'
"Ya udah, kamu istirahat ya. Nggak usah khawatirin Cahaya lagi. Doanya aj jangan lupa."
"Ecieee ciee, ehm. Ngomong-ngomong dari tadi nggak ketemu sama calon suaminya Cahaya, Kak?"
"Enggak ada, Wa. Tadi hanya ada karyawannya Cahaya. Udahan dulu, ya, Wa. Udah azan Magrib. Kakak mau salat dulu."
'Oke, Kak. Assalamualaikum.'
Setelah menjawab salam dari sang adik. Adam pun memutuskan panggilan dan langsung berjalan menuju musala. Ia berniat akan menjenguk ke ruang inap Cahaya nanti saja setelah salat Maghrib.
.
.
.
.
.
Bersambung
30 Syawwal 1442 H
Gimana dg part ini?
Yuk komenin 😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro