Part 16 -Ujian Cinta
Cahaya menghela napas cukup dalam, ia menuruti omongan Bagas dan buru-buru membuka undangan itu. Saat undangan terbuka, betapa terkejutnya ia saat melihat susunan huruf demi huruf yang terangkai dari pasangan pengantin yang tertulis dalam undangan itu adalah Bagas dan Vera.
Dada Cahaya mendadak sesak, hatinya sangat nyeri seakan tertusuk sembilu. Matanya memerah, menatap tajam ke arah laki-laki yang kini tersenyum dengan tangan bersedekap.
"Sudah jelas, kan? Aku akan menikah dengan Vera bukan sama kamu!" ucap Bagas dengan tegas dan langsung berlalu dari hadapan Cahaya.
Cahaya terpaku dengan mulut membisu, cairan bening dari sudut matanya langsung mengalir dengan cepat. Netranya sama sekali tak berkedip menatap laki-laki dan wanita yang semakin dekat berdiri berjajar dengan tangan saling menggenggam erat.
"Kamu hanya bercanda kan, Gas?" ucap Cahaya menatap pilu ke arah Bagas dengan air mata yang dirinya saja tak mampu menghentikannya. Bibirnya ia paksa untuk tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala, berharap jika apa yang terjadi saat ini hanyalah prank dari kekasih dan sepupunya itu.
"Ayolah, Gas. Aku tak lagi ulang tahun hari ini. Jadi jangan becanda kayak gini. Ini sama sekali nggak lucu, Gas. Mana orang tua kamu? Kamu mau lamar aku malam ini, kan?"
Bagas berdecih lalu tampak senyum sinisnya. "Apakah dengan ini kamu masih menganggap bercanda?" tanya bagas menunjukkan tangannya yang menggenggam erat tangan Vera.
"Halah, pegangan tangan nggak ada salahnya dengan sepupu sendiri, Gas. Udah dong, Gas. Hentikan sandiwara kalian."
Bagas pun sontak memajukan wajahnya lebih dekat ke arah Cahaya. "Oke, Ay. Aku akan turutin keinginanmu. Aku akan melamarmu malam ini juga," ucap Bagas tersenyum sangat manis, membuat Cahaya menatapnya intens. "Ka-kamu serius, Gas?"
Bagas mengangguk lalu berucap, "Asalkan ...."
Sepertinya bagas sengaja menggantungkan ucapannya, lalu menampakkan senyum liciknya.
"Asalkan apa, Gas?" tanya Cahaya penasaran.
"Asalkan kamu mau jadi istri keduaku. Hahaha."
Cahaya terdiam, dunia seakan runtuh. Apa yang baru saja ia dengar, benar-benar menyakiti hatinya. Ia bergeming dan menggenggam erat undangan di tangannya, lalu dengan cepat membuang kertas yang tak lagi berbentuk itu.
Darah yang mengaliri tubuhnya seakan mendidih, amarah kini benar-benar menguasi dirinya. Tangan Cahaya dengan cepat terangkat dan dengan sekuat tenaga ia ayun tangannya lalu mendarat tepat di rahang laki-laki itu.
Bagas sungguh terkejut, ia tak menyangka jika Cahaya akan menamparnya, ia pegang pipinya yang mulai memerah seraya melotot ke arah wanita itu.
Tak pedulikan tatapan Bagas yang menyeramkan. Cahaya terus memukuli dada laki-laki itu sambil berteriak, "Brengsek kamu, Gas. Brengsek!"
Tak puas dengan pukulan kepada laki-laki yang telah menyakiti hatinya. Cahaya menoleh ke arah gadis di sampingnya dengan tatapan tajam. "Kamu!" teriak Cahaya dengan tangan yang kembali melayang dan siap mengayun ke arah Vera.
Namun, dengan sigap tangan bagas memegang lengan cahaya. Menahan tangan gadis itu agar tak menyakiti gadisnya.
"Cukup, Ay!" bentak Bagas dengan sorot matanya yang tampak begitu emosi.
"Kalau sampai kamu menyakiti wanita yang sangat aku cintai. Kupastikan kamu akan lebih menderita setelah ini." Dengan kasar Bagas melepaskan tangan Cahaya. Lalu laki-laki itu merengkuh tubuh Vera dan bergegas membawanya pergi.
Cairan bening langsung deras menganak sungai di pipi Cahaya. Otot-otot penopang tubuhnya seakan lemas tak bertenaga. Tubuh gadis itu langsung ambruk ke lantai dengan posisi terduduk, "Ya Allah ... kenapa jadi begini!" jerit Cahaya dalam hati sembari memegangi dadanya yang semakin terasa sesak.
Cinta sebelum halal itu ujian. Namun, tak luput juga cinta setelah halal juga ada ujiannya. Sebab, selama napas ini masih bisa keluar masuk melalui hidung, maka selama itulah Allah akan menguji hamba-Nya sesuai kadar kemampuannya.
Cinta Cahaya pun kini teruji oleh ketidak setiaan atau malah cinta Bagas yang palsu. Ia pun tak habis pikir, apa sebenarnya tujuan Bagas melakukan ini semua kepadanya.
'Kamu tega banget sih, Gas mengkhianati aku. Aku kurang apa, Gas, sampai-sampai kamu berpaling kepada wanita lain? Atau aku yang terlalu bodoh dan tertipu selama ini atas nama cintamu yang palsu? Ya Allah, kenapa ini terjadi padaku? Kenapa saat aku sangat mencintai, aku terkhianati. Kenapa saat aku membuka hati, aku malah dilukai? Sakit ya Allah ... sangat sakit.' hati gadis yang tetesan air matanya tak berhenti itu, kian bergejolak dalam diamnya dengan pikiran penuh tanda tanya.
Hati Cahaya benar-benar patah, ditinggal kekasih saat masih cinta-cintanya. Ia tak pernah bermain-main dengan cinta, sekali cinta ia sulit melupakan. Namun, lain hal lagi, jika yang dicinta justru mengkhianati. Luka hatinya sungguh sulit terobati.
Hati Cahaya kini benar-benar hancur berkeping-keping. Bagaimana tak hancur, jika dirinya telah melambung dalam rasa bahagia yang tinggi karena ia kira Bagas datang melamar. Namun tiba-tiba dalam hari yang sama, ia dijatuhkan sejatuh-jatuhnya oleh laki-laki yang dicinta akibat dicampakkan dan memilih wanita lain.
Sakit, hatinya begitu kesakitan oleh luka kasat mata yang tak berdarah. Cahaya tampak memukul-mukul dadanya pelan untuk mengurangi kesesakan dada akibat hatinya yang semakin nyeri.
Apalah arti kebersamaan kita selama ini, Gas? Tega banget kamu menipu hatiku selama berbulan-bulan. Tega kamu, Gas. Tega, ucap Cahaya lirih sembari memukul-mukul lantai diiringi deraian air mata yang enggan terhenti.
Hampir tiga puluh menit, Cahaya terdiam seorang diri di teras rumah. Dengan posisi yang masih bersimpuh, tatapannya kosong ke depan dengan air mata yang terus mengalir. Bu Titik yang curiga karena sang majikan tak kunjung masuk, ia memutuskan untuk melihat keluar karena penasaran dengan apa yang terjadi.
Benar saja, saat Bu Titik telah sampai di ambang pintu, ia melihat Cahaya yang duduk tersimpuh dan terisak dengan kepala menunduk. "Astaghfirullahal'adzim, Mbak ada apa, Mbak?" tanya Bu Titik terlihat panik menghampiri Cahaya.
Tanpa menunggu jawaban dari Cahaya yang semakin terisak, bergegas ia membantu wanita itu untuk masuk ke dalam rumah. "Kita masuk yuk, Mbak. Di luar makin dingin ini." Tanpa sepatah kata pun Cahaya yang lunglai hanya mengikuti gerak Bu Titik. Ia berjalan lemas masuk dan di bawa hingga ke dalam kamar.
Sesampainya di kamar, Cahaya merebahkan tubuh dengan pakaian yang sedikit berantakan. Tampak gadis itu menghela napas cukup dalam berkali-kali, berusaha menenangkan hati dan mengurangi sesak di dada, meski air mata enggan berhenti mengalir. Namun, belum juga hatinya sampai menemukan kata tenang. Tiba-tiba bunyi ponsel terdengar.
Cahaya bergeming, ia hanya butuh ingin sendiri dulu saat ini. Dibiarkan ponselnya terus bergetar sampai panggilan pertama terhenti. Tak berselang lama, ponselnya berdering kembali, membuat Cahaya menghela napas jengah, hingga akhirnya tangannya meraih benda pipih itu dengan terpaksa.
Keningnya sontak berkerut saat sebuah nama Pak Niko--bawahannya di kantor--yang menelepon. 'Tumben,' pikir Cahaya. Tanpa menunda waktu lebih lama, tangan gadis itu pun menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
"Iya, ada apa Pak Niko?" tanya Cahaya langsung tanpa basa basi. Ia sengaja tak mengucapkan salam, karena Pak Niko adalah non muslim.
'Ini Bu, Bu! Terjadi kebakaran di perusahaan sekarang, Bu,' ucap Niko dengan sangat cepat seperti orang panik dan sedikit mengeraskan suara, karena di balik suaranya terdengar bising.
.
.
.
.
.
Bersambung
29 Syawwal 1441 H
Gimana dg part ini?
Hayuk komenin 😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro