Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part-09 - Berusaha Tegar

Awan mendung tak selalu berarti pertanda akan turun hujan. Begitu pun senyum di bibir, tak selalu menandakan jika hatinya sedang berbahagia.

Adam dan Hawa, saudara kembar ini sangat pandai menyembunyikan kecewa dalam hati. Kepiluan tak membuat aura wajah keduanya sendu atau malah menatap Cahaya dengan tatapan tak suka.

Keduanya berusaha bersikap seperti biasanya. Tak ada bias kesenduan akibat niatan yang tak bisa terlaksana. Patah hati, ya sebenarnya itulah yang dirasakan Adam. Laki-laki yang sejak lama menyimpan rasa itu kepada Cahaya, harus melapangkan dada untuk menahan hati yang patah.

Adam harus bisa meyakinkan hatinya, jika niatan dan rencana manusia itu tak seindah apa yang direncanakan Sang Pemberi Cinta. Adakalanya kita beranggapan itu buruk untuk kita, tetapi malah baik menurut Allah. Begitu pun sebaliknya. Apalah kita yang tahu apa-apa. Bukankah hanya Allahlah yang Maha mengetahui segala perkara?

"Sejak kapan kamu kenal sama Bagas, Ay? Kok nggak pernah cerita ke aku. Apalagi udah jadi calon suami lagi," tanya Hawa yang kini keduanya tengah bersantai di tepi kolam ikan belakang rumah Cahaya. Sedangkan kakak kembarnya tadi pamit salat Duha selepas sarapan bersama.

"Belum genap empat bulan, Wa. Sorry ya. Akhir-akhir ini sibuk banget, pegang ponsel aja jarang," ujar Cahaya mempersembahkan senyum getir, tampak merasa bersalah.

Ia sadar, semenjak bertemu dengan Bagas. Waktunya seakan tersita banyak bersama laki-laki itu. Kerja pun ia lebih sering pulang normal dan sangat jarang sekali lembur.

Sebenarnya Cahaya bersyukur, ia tak gila kerja lagi. Namun, dibalik itu, hatinya merasa gelisah saat mengingat waktu salat wajibnya terbengkalai. Bagas sering mengajaknya keluar sampai larut malam, hingga ia lupa salat Isya dan ketinggalan salat Subuh akibat bangun kesiangan.

"Sebenarnya Bagas itu dulu kakak kelas aku, Wa. Sudah dari dulu aku menyimpan rasa untuknya. Jadi, nggak perlu waktu lama aku udah merasa nyaman sama dia dan aku pun jatuh cinta lagi untuk kedua kalinya sama dia."

Hawa yang melihat pancaran kebahagiaan dari wajah Cahaya turut mengukir senyum. Dalam hatinya ia hanya bisa mendoakan sang abang agar segera bisa move on dari gadis di hadapannya ini.

"Semoga dia memang yang terbaik buat kamu ya, Ay. Segala urusan dan rencana kalian dilancarkan."

"Aamiin." Cahaya dana Hawa kompak mengamini.

"By the way. Gimana dengan pangeran songkok putih kamu? Udah ada hilal?"

"Alhamdulillah, dua pekan lagi aku akan nikah sama dia, Ay?"

"Aaaah serius?" tanya Cahaya memastikan jika sahabatnya itu tak bercanda. Hawa tampak menganggukkan kepala beberapa kali seraya merekahkan senyumnya.

"Alhamdulillah, cinta dalam dian kalian akhirnya berjodoh. Ikut seneng banget dengernya, selamat ya, Wa," ucap Cahaya antusias memeluk Hawa sebentar saja.

"Makasih, Ay."

"Emang kapan tuh pangeran songkok putih pulang ke tanah air?"

"Dua pekan yang lalu. Sepekan yang lalu dia datang ke rumah melamar aku."

"Aduuuhhh kenapa prosesnya cepet banget, sih. Bikin iri, deh. Melly juga cepet banget, tuh. Baru sebulan ketemu udah main nikah aja. Lah aku?" curhat Cahaya dengan muka sedikit kesal.

"Sabar, kalau jodoh tak akan kemana. Kamu kan tahu sendiri, sedari kapan aku memendam rasa ini ke pangeran aku?"

"Em, sejak SMP, kan ya?"

"Yap. Bener banget. Hehe"

Setelah hampir satu jam keduanya mengobrol tentang banyak hal. Tiba-tiba Adam datang menghampiri mereka. "Dek, sebentar lagi kita pulang ya, Abi telepon suruh cepet-cepet pulang. Mobil juga udah beres di bengkel."

"Kok cepet amat, Kak. Nggak nunggu sampai sore aja di sini dulu?" protes Cahaya ikut berdiri saat Hawa bangkit mendekati sang kakak.

"Maaf ya, Ay. Ummi mendadak sakit, jadi kami harus segera pulang," ucap Adam sesekali menunduk, ia benar-benar menjaga pandangan agar netranya tak melihat ke arah Cahaya.

Bukan berarti tak sopan, tetapi memang begitulah sosok Adam yang berupaya untuk menjalankan syariat agama. Agar menjaga pandangan dari yang bukan mahram.

"Ha! Ummi Rifa sakit? Sakit apa, Mas?"  Cahaya cukup terkejut, begitu pun Hawa. Pasalnya saat dirinya berangkat dengan sang kakak umminya tampak sehat wal'afiyat. Namun, Hawa hanya bungkam karena pertanyaannya yang akan terlontar sudah terwakili oleh pertanyaan Cahaya.

"Kayaknya typusnya kambuh."

"Astaga, maaf ya, Wa, Mas. Aku nggak bisa jenguk sekarang. Aku hanya bisa doain semoga Ummi Rifa segera sembuh dan sehat seperti sediakala."

"Aamiin, makasih, Ay," ujar Hawa tersenyum menatap Cahaya.

Selang waktu lima belas menit. Adam dan Hawa telah siap berpamitan. Mobil Adam sudah terparkir di depan halaman rumah Cahaya beberapa menit yang lalu.

"Aku pamit ya, Ay. Kamu harus datang lo ke acara pernikahan aku," ucap Hawa sembari menyerahkan selembar undangan dan satu kotak berukuran sedang.

"Ini apa, Wa?" tanya Cahaya mendapati kotak cantik bewarna putih ditali pita warna biru muda.

"Hadiah dari Mas Adam." Kening Cahaya berkerut, netranya langsung melihat ke arah laki-laki yang masih berdiri di belakang Hawa.

"Dalam rangka apa nih, Mas. Ulang tahun aku kan bukan bulan ini," ucap Cahaya lalu terkekeh.

Sebenarnya itu rencana seserahan aku buat kamu, Ay, batin Adam dengan senyum getir.

"Anggap aja oleh-oleh dari aku saat umroh kemarin."

"Oalah Mas Adam dari Umroh. Asli barang dari Mekkah, nih?" tanya Cahaya tampak sangat bahagia.

Adam pun menganggukkan kepala. "Jangan lupa dibaca meski hanya satu ayat sehari ya, Ay. Kami pamit dulu," ucap Adam langsung berlalu saat Cahaya mengangguk dan mengatakan insyaAllah.

Mendengar pesan Adam barusan, Cahaya bisa menyimpulkan jika dalam kotak ini adalah mushaf Al Quran.

Kalau saja kamu jadi kakak ipar aku, Ay. Aku pasti sekarang pulang dengan hati yang bahagia banget, ucap Hawa dalam hati seraya netranya tak lepas menatap sang sahabat.

"Wei! malah bengong, nggak peluk aku, nih sebelum pulang?" Cahaya memukul lengan Hawa pelan saat mendapati gadis itu malah terpaku menatap dirinya.

Hawa yang sempat terkesiap menarik bibirnya membentuk senyuman. Kedua tangannya langsung terbuka, mendekap tubuh sang sahabat ke pelukannya.

"Aku sebenarnya masih kangen sama kamu, Ay," ucap Hawa sendu.

"Sama, Wa. Aku juga masih kangen. Doain aku dalam waktu dekat bisa nganter undangan pernikahan kayak kamu ini ya, hehe." Cahaya terkekeh setelah pelukan keduanya terurai. Sepertinya virus ingin menikah, menular pada dirinya saat ini.

"Aamiin. Aku tunggu kabar bahagianya ya, Ay. Aku pamit. Assalamualaikum."

"Iya, Wa. Hati-hati ya. Waalaikumsalam. Salam buat Ummi dan Abi."

Hawa pun menganggukkan kepala seraya tersenyum sebelum dirinya menaiki mobil.

Kesepian, itulah yang dirasakan Cahaya ketika kakinya memasuki pintu rumah. Suasanya kembali sunyi, padahal baru tadi ia begitu gembira dengan kedatangan sang sahabat, kini ia kembali sendiri.

Kapan sih, Gas. Kamu nikahin aku? Biar aku nggak kesepian kayak gini terus, batin Cahaya sembari langkahnya menaiki setiap anak tangga perlahan-lahan.

.
.
.
.
Bersambung

Gimana dengan part ini?
Komenin yuk 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro