Part 08 - Cinta Tersembunyi
Netra Cahaya semakin memicing untuk memastikan dirinya tak salah lihat. Saat posisinya semakin dekat dengan posisi mereka. Cahaya langsung meminta Bagas untuk meminggirkan mobilnya.
"Bagas, tolong minggir dan berhenti sebentar, ya."
"Ada apa, Ay?" tanya Bagas heran karena tak biasanya Cahaya menyuruhnya untuk berhenti di pinggir jalan.
"Itu, sepertinya aku kenal dua orang yang berdiri di samping mobil itu." Bagas pun mengangguk lalu menepikan mobilnya. Setelah mobil berhenti sempurna, bergegas Cahaya turun. "Hawa!" panggilnya dengan suara sedikit memekik saking bahagianya ia tak salah lihat.
Wanita bergamis dan berjilbab syar'i warna hijau botol itu pun langsung menoleh. Mengukir senyum tak kalah sumringah saat mendapati sang sahabatlah yang memanggil. "Cahaya," ucapnya dan langsung menangkap tubuh Cahaya yang menghambur ke pelukannya.
"Ya ampun, Wa. Aku kangen banget sama kamu," ucap Cahaya mempererat pelukannya sembari memejamkan mata, sedangkan senyum terus terukir di bibirnya.
"Sama, Aya. Aku juga sangat merindukan kamu."
Selang beberapa saat, pelukan keduanya terurai. Senyum merekah sama-sama tampak di bibir keduanya.
Hawa adalah sahabat Cahaya sejak kecil. Keduanya terpisah semenjak Hawa kuliah ke luar kota setelah kedua orang tuanya meninggal.
Meski jarak rumah keduanya cukup jauh. Cahaya dan Hawa masih menjaga silaturahmi lewat chat atau telepon. Saling berkunjung pun masih kerap terjadi, minimal satu tahun sekali saat lebaran idul fitri.
"Ngapain kamu di sini? Mobil kamu mogok?" tanya Cahaya menoleh ke arah mobil hitam di sampingnya yang tampak terbuka di bagian depan. Saat itu pulalah netra Cahaya menangkap sosok laki-laki yang menatap ke arahnya.
Laki-laki itu langsung mengalihkan pandangan saat netra keduanya sesaat saling bertemu. Tampak sedikit salah tingkah.
"Mas Adam," ujar Cahaya menangkupkan tangan di depan dada menyapa laki-laki itu. Adam hanya membalas dengan ukiran senyum dan anggukan kepala. Laki-laki itu pun tampak mengampiri dua gadis itu.
"Tadinya aku sama Kak Adam mau ke rumah kamu, Ay. Tapi malah kami terjebak mogok di sini," jelas Hawa.
"Iya? Kenapa kamu nggak ngabarin aku dulu? Biar aku bisa menyambut kedatangan kalian."
"Tadinya sih mau kasih surprise, Ay. Eh malah kemaleman di sini. Aku sempet hubungin kamu lo tadi, tapi nggak aktif."
"Ah masak, sih?" Cahaya mengecek ponsel di tasnya. "Astaga maaf, Wa. Baterai ponselku habis. Tadi pagi emang nggak sempat ngecharge, sih hehe."
"Ehm." Tiba-tiba terdengar deheman dari laki-laki yang kini telah berdiri di samping Cahaya.
Adam dan Hawa menoleh dengan sedikit mengerutkan kening. "Kenalin ini Bagas. Gas ini Hawa sahabat aku, dan ini Mas Adam kakak kembarannya Hawa," ucap Cahaya langsung memperkenalkan laki-laki di sampingnya seakan tahu arti tatapan Adam dan Hawa.
Ketiganya pun saling berkenalan. Adam dan Hawa menyebutkan nama-nama masing.
"Bagas, calon suaminya Cahaya," ujar Bagas penuh penekanan saat berjabat tangan dengan Adam. Tatapannya tajam ke arah laki-laki itu, karena ia tak suka dengan tatapan Adam saat menatap Cahaya.
Adam dan Hawa tampak terkejut. Hawa langsung menatap Cahaya seakan bertanya apakah yang ucapkan laki-laki itu benar.
Cahaya sempat bingung, tetapi detik kemudian ia merekahkan senyumnya. "Iya, dia calon suamiku."
"Oh iya-iya."
Tatapan Hawa dan Adam kompak sedikit sayu. Aura kebahagiaan yang tadi terpancar sedikit berkurang.
"Ya udah. Hawa dan Mas Adam ikut mobil Bagas ke rumah ya. Gimana? Boleh kan, Gas?"
Jika boleh, Bagas sebenarnya ingin sekali menolak. Namun, ia tak mau Cahaya curiga dengan ketidaksukaan dirinya kepada Adam. Akhirnya, dengan berat hati Bagas pun menganggukkan kepala.
Adam dan Hawa saling berpandangan seakan saling bertanya tentang bagaimana harus menanggapi tawaran Cahaya. Keduanya tampak segan, apalagi tatapan Bagas yang tak bersahabat, membuat Adam dan Hawa segan untuk semobil dengannya.
Adam sebagai kakak Hawa pun akhirnya memutuskan. "Maaf, Cahaya. Sepertinya kami nggak bisa ikut semobil dengan kalian. Biar nanti kami menginap di hotel saja. Besok pagi insyaallah baru akan silaturahim ke rumah kamu."
"Ngapain repot-repot nginep di hotel, sih. Udah pokoknya nggak boleh nolak. Kalian harus nginep di rumah aku ayo. Biasanya juga gitu, kan." Cahaya langsung menggandeng tangan Hawa dan mengajaknya ke mobil Bagas.
Bagas dan Adam hanya menghela napas cukup dalam. Laki-laki hanya bisa mengalah, saat keinginan wanita tak bisa diganggu gugat. Jika tak mengalah, bisa jadi muncul pertengkaran atau keributan.
"Biar mobilnya saya yang urus," ucap Bagas akhirnya.
"Terimakasih," ucap Adam. Tampak laki-laki itu menutup bagian depan mobil. Membuka pintu mobil sebentar, menatap kotak kecil yang terbuka di depan kemudi.
Laki-laki itu menahan nyeri di dalam hati, menghela napas cukup panjang lalu menutup kotak kecil itu. Kemudian meletakkannya ke dalam dashboard mobil.
---***---
Pagi-pagi sekali, Cahaya dan Hawa tampak bergulat di dapur. Seperti biasa, dua sahabat itu saat saling berkunjung akan selalu menginap dan kegiatan masak bersama seperti ini tak pernah ketinggalan.
"Gimana butik kamu, Wa?" tanya Cahaya sembari mengiris bawang putih.
"Butik kita kali, Ay. Alhamdulillah lancar dan makin laris manis lo. Apalagi desain gamis terbaru yang pekan lalu baru kubuat. Sampai kuwalahan penjahitnya melayani permintaan pelanggan kita."
Iya, selain Cahaya punya usaha di kota ini. Diam-diam dia membantu Hawa yang jago ngedesain baju untuk membuka butik. Sebenarnya ia tak pernah menganggap butik itu bagian dari miliknya. Hanya saja, Hawa selalu tak mau menyebut itu butiknya sendiri, karena Cahayalah yang memodali sepenuhnya dari awal ia membuka usaha itu.
"Syukurlah, aku ikutan seneng dengernya."
Hampir satu jam keduanya kompak berkutat dengan berbagai perlengkapan dapur. Kini, tampak beberapa menu makanan tersaji di atas meja.
"Aku panggil Kak Adam dulu ya, Ay." Cahaya pun langsung mengangguk.
Langkah Hawa pun terhenti saat mendapati Adam yang tengah berdiri melamun--menatap jalan depan rumah Cahaya lewat kaca jendela yang sedikit terbuka.
"Kak."
Hening, tak ada sahutan.
Hawa pun menghela napas cukup panjang, ia sangat mengerti keadaan hati sang kakak. Ia pun sebenarnya menelan pil kecewa dan kepiluan itu. Namun, apa yang bisa dikata. Jika Allah menghendaki takdir yang terjadi tak sejalan dengan apa yang diharapkan.
"Kak Adam, sarapan dulu, yuk," ucap Hawa sembari menepuk pelan bahu Adam.
Laki-laki itu sempat terkesiap, tetapi segera mengembuskan napas lega saat mendapati adiknyalah yang menepuk pundaknya.
"Wa, jangan lama-lama ya. Setelah ini kita segera pulang," ucap Adam tampak memohon.
Hawa menatap sang kakak tak kalah sendu. Ia menganggukkan kepala seraya berucap. "Sabar ya, Kak. Ini ujian buat Kakak. Allah pasti menyiapkan jodoh yang terbaik buat Kak Adam."
"Aamiin."
.
.
.
.
Bersambung
18 Syawwal 1442 H
Gimana dg part ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro