Part-05 Kehilangan
💗💗💗💗💗
Terkadang, kita baru menyadari betapa sesuatu itu sangat berharga, betapa sesuatu itu kita sayangi, betapa sesuatu itu kita butuhkan kala sesuatu itu menjauh, menghilang atau pergi meninggalkan kita.
💌💌💌💌
Cuaca begitu terik hari ini, sang bagaskara memancarkan sinarnya tanpa terhalang mendung sedikit pun. Para penghuni bumi akhirnya tak bisa terhindar dari kerinduan agar segera menemukan kesegaran untuk menyirami dahaganya.
Tak luput pula Cahaya dan Melly yang biasanya memesan minuman hangat, kini beralih menu. Keduanya sama-sama memesan es lemon, bahkan tak tanggung-tanggung, di meja keduanya kini tampak empat gelas lemon berjajar rapi masing-masing dua gelas di depan mereka.
"Jadi gimana, Ay. Udah yakin sama Bagas?" tanya Melly membuka percakapan. Karena sejak keduanya di kafe, Cahaya tampak sibuk dengan ponselnya, seakan keberadaan Melly di hadapannya tak dianggap.
Cahaya tampak menghela napas sejenak lalu menjawab, "Insya Allah aku sudah yakin, Mel. Kemarin aku diajak bertemu Mama dan Papanya Bagas. Alhamdulillah aku disambut baik dan ramah. Itu berarti Bagas serius, kan sama aku?"
"Syukurlah kalau gitu, Ay. Semoga Bagas memang jodoh yang terbaik buat kamu," ucap Melly tersenyum. Lega hatinya, setelah beberapa kali menolak lamaran laki-laki, akhirnya sang sahabat kini menemukan tambatan hati.
"Ternyata Bagas itu lebih kaya raya lo dari aku, Mel. Jadi aku nggak ragu lagi dengan cinta Bagas yang tak mungkin hanya karena hartaku. Jadi PAKET KOMPLIT tak aku temuin dari dia," ungkap Cahaya penuh keyakinan. Meski sudah jadian dan menjadi pacar Bagas, tak lantas Cahaya berhenti menyelidiki laki-laki itu.
"Mudah-mudahan ya, Ay," ucap Melly seraya tersenyum, karena dirinya hanya bisa berharap. Namun, tak bisa juga menjamin dengan pasti bahwa asumsi Cahaya ini benar dan akan menjadi nyata.
"Oh iya, Ay. Sebenarnya aku mau kasih kabar sesuatu buat kamu," imbuh Melly setelah menenggak minuman segar di hadapannya.
"Ada apa?"
"Em, Aku, aku mau resign dalam waktu dekat, Ay." Melly sebenarnya berat untuk mengatakan hal ini. Karena ia tak tega dan tak mau jauh-jauh dari sahabatnya. Namun, apalah daya, keadaan mengharuskan dirinya untuk mengambil keputusan ini.
Cahaya yang sedang menyesap teh langsung tersedak karena terkejut.
"Uhuk, Uhuk! Kamu bercanda, kan?" tanya Cahaya tak percaya dan sedikit melotot menatap Melly.
Melly tampak menggelengkan kepala.
"Kenapa, Mel? Apa gegara kemarin-kemarin aku sering minta gantiin kamu buat meeting? Atau kamu mau gaji lebih besar dan pindah ke perusahaan lain? Atau kamu nggak marah sama aku? Aku ada salah Mel sama kamu?" Melly kembali menggelengkan kepala santai mendapat cercaan pertanyaan bertubi-tubi dari Cahaya.
"Lantas kenapa?" desak Cahaya tak sabar ingin mengetahui sebab apa yang menjadikan Melly tiba-tiba mengundurkan diri.
"Aku akan nikah minggu depan, Ay. Setelahnya, aku akan pindah ke luar kota ikut tinggal bersama suami aku, Ay."
Mulut Cahaya sontak menganga saking terkejutnya. Pasalnya, dirinya tak pernah mendengar Melly membahas laki-laki atau perihal cinta pribadinya selama ini.
"Kamu kapan dilamar? Kok udah main nikah aja?" tanya Cahaya akhirnya karena sangat penasaran.
"Bulan lalu, Ay."
"Haaa! Bulan lalu? Dan kamu sama sekali nggak cerita sama aku?" tanya Cahaya tampak kecewa karena merasa tak dianggap keberadaannya.
Bukankah seorang sahabat itu akan selalu tahu apa yang dialami sahabatnya sendiri? Apalagi persoalan penting dalam dunia perjomloan kayak gini. Dilamar laki-laki, itu sangatlah menjadi kabar bahagia dan dinanti-nanti.
Mendengar pertanyaan terakhir Cahaya, membuat Melly tersenyum dan sedikit mendecih. "Semenjak kamu dekat dengan Bagas, bukankah kamu tak pernah ada waktu buat aku, Ay? Setiap aku mau curhat, kamu selalu sibuk. Makan siang bareng kayak gini udah jarang banget, kan, dua bulan ini?"
Nada pertanyaan itu seakan lebih mirip pernyataan yang keluar dari lisan Melly. Pernyataan yang seakan menjadi hunusan pedang, menggores perih di hati. Bukan menyebabkan sakit hati, melainkan rasa bersalahlah yang seakan melukai hati Cahaya sendiri.
"Ya ampun, Mel. Maafin aku, ya." Kalimat inilah yang akhirnya keluar dari lisan Cahaya, wajahnya terlihat sendu akibat rasa bersalah yang merongrong hatinya.
Melly menghela napas cukup panjang. "Iya enggak apa-apa, Ay. Toh aku bahagia kok, aku merasa beruntung dengan kehadiran dia dalam hidupku. Yang penting kamu bahagia dengan Bagas, aku pun pasti ikut berbahagia."
"Hem, kamu memang sahabat terbaikku, Mel. Tapi aku bukan sahabat yang baik buat kamu. Aku egois, aku sibuk dengan kebahagiaanku sendiri dan melupakan kamu."
Bibir Melly mengukir senyum, tangannya mulai menepuk-nepuk tangan Cahaya dengan lembut. "Setiap manusia pasti punya kekurangan dan kesalahan. Begitupun juga diriku. Selama ini bukankah kamu yang selalu membantu aku, sehingga sukses dalam karirku? Aku juga pernah ketemu dia berkat gantiin kamu meeting kok. Jadi, secara tak langsung kamu pun membantu pengantar jodohku, Ay. Hehehe."
"Ya ampun, Mel. Aku benar-benar terharu. Jadi beneran kamu akan menikah secepat ini?"
Melly mengangguk mantap. "Kamu harus segera nyusul ya, Ay. Kan udah ada calon, jangan menumpuk dosa dengan pacaran lama-lama."
"Sebenarnya, aku pun tak mau berpacaran, Mel. Tapi mau gimana lagi. Aku udah terlanjur cinta sama dia. Aku udah tegasin dia hanya pacaran satu bulan. Tapi tetap saja dia selalu punya alasan kuat untuk mengundur keputusannya mau lamar aku," ucap Cahaya sendu. Melly tak tahu harus berkata apa lagi, ia hanya bisa mengelus tangan Cahaya agar bersabar.
"Emang harus, ya? Setelah menikah kamu pindah rumah. Kenapa nggak diatur sekiranya bisa tetep di sini, sih, Mel. Biar kita bisa sama-sama terus," pinta Cahaya mencoba merayu sang sahabat. Karena ia tak mau jauh-jauh dari Melly dan tidak harus pusing cari pengganti Melly di kantor. Mencari sekretaris yang bisa dipercaya dan baik seperti Melly bukanlah perkara yang gampang bagi Cahaya.
"Sorry, Ay. Aku pun sebenarnya juga telah berusaha untuk bisa tetap di sini. Tapi situasinya benar-benar nggak bisa, Ay. Lagian, aku juga ingin jadi ibu rumah tangga biasa setelah nikah, Ay. Capek kerja terus. Hehehe. Biar bisa mengabdi pada suami untuk meraih rida ilahi."
"Ya ampun, so sweet. Aamiin. Aku bisa nggak ya, Mel, kayak kamu nanti setelah nikah?"
"Yang penting kamu ada kemauan yang kuat insya Allah bisa, Ay. Kita orang islam, kan, punya senjata untuk hal kayak gini," jawab Melly sembari sesekali menyelesaikan kunyahan kentang goreng yang ia pesan.
Kening Cahaya tampak berkerut-tak paham perkataan Melly tentang senjata. "Senjata? Apaan, tuh?"
"Addu'au shilahul mu'min, Doa adalah senjatanya orang beriman. Jadi kalau kita punya keinginan jangan lupa untuk beroda, meminta kepada Allah yang Mahakuasa agar diperkenankan impian kita bisa terwujud."
Melly memang gadis yang dulu sebelum kuliah menempuh pendidikan formal dan agamanya di pesantren. Jadi tak heran, jika dirinya hafal beberapa hadis dan tak pernah bosan mengingatkan Cahaya agar tak melanggar syariat. Namun, Melly sadar, disetiap nasihat yang diutarakan kepada Cahaya, ia tak pernah menuntut dan memaksa sahabatnya itu patuh dan menurutinya. Karena Melly tahu, ia hanya berkewajiban amar ma'ruf nahi munkar, untuk urusan orang lain menurutinya atau tidak, ia tak pernah ambil pusing karena itu hak mereka.
"Ya ampun, Mell. Aku bakalan kehilangan banget sahabat baik kayak kamu. Aku, kan, orangnya teledor banget. Siapa dong yang bakal ingetin aku? Terutama soal salat Subuh. Siapa yang akan nasihatin kalau aku di jalan yang salah?" Mata Cahaya tampak berkaca-kaca, sangat sedih harus berjauhan dengan Melly. Sosok sahabat yang menjadi penasihatnya setelah ayah dan bundanya meninggal. Sosok Melly yang cerewet senantiasa megingatkan Cahaya untuk tak gila kerja agar bisa ibadah tepat waktu.
"Tenang saja, Ay. Komunikasi antara kita akan tetap bisa terjalin, kok. Aku hanya akan pindah rumah ke kota sebelah, nggak sampai ke planet lain, kok. Jadi sinyal masih aman."
"Hahaha kamu ini bisa aja bikin aku ketawa," ujar Cahaya sembari mengusap air mata yang sempat menetes.
"Lagian, kan. Sekarang udah ada Bagas, dia bakal jadi imam kamu, kan? Jadi nggak usah khawatir lagi, ya."
"Aamiin. Semoga Bagas bisa menuntun aku jadi wanita muslimah yang lebih baik ya, Mell."
"Aamiin."
"Oh iya, Ay. Aku ada temen yang butuh kerjaan. OB di tempat kita ada yang kosong kan? Rencananya aku mau masukin dia kemari. Sekalian, dia bisa jadi imam salat Zuhur dan Asar di musala. Dia alumni pesantren, hafal Al Quran pula. Gimana?"
"Gimana baiknya kamu aja, Mel," jawab Cahaya yang setengah hati mendengar omongan Melly. Pasalnya, barusan ia menerima pesan dari sang kekasih.
"Sekalian juga aku ada ide agar dia kasih kultum lepas salat asar. Biar karyawan dan karyawati di sini dapat siraman rohani meski tujuh menit. Gimana?"
"Emm boleh juga tuh. Good idea. Tapi, aku sedih banget kamu mau pergi ninggalin aku, Mel." Cahaya menggenggam tangan Melly seraya menatapnya sendu.
Melly pun menghela napas cukup panjang. Sebab, ia pun sebenarnya sedih dengan situasi yang ada. Namun, ia pandai menyembunyikan kesedihan hatinya dengan menarik bibirnya membentuk lekungan senyum. "Hanya jarak yang memisahkan raga kita, Ay. Kita kan masih bisa bertukar kabar setiap hari kapan pun kita mau."
Terkadang, kita baru menyadari betapa sesuatu itu sangat berharga, betapa sesuatu itu kita sayangi, betapa sesuatu itu kita butuhkan kala sesuatu itu menjauh, menghilang atau pergi meninggalkan kita.
Begitulah yang dirasakan Cahaya saat ini, ia baru merasakan sangat membutuhkan Melly untuk selalu di dekatnya, ketika Melly pamit untuk resain dari kerjanya. Kehadiran Melly dalam hidupnya sangatlah berharga. Pasalnya, kehadiran sang sahabat selama ini membawa pengaruh positif untuk hidupnya.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Gimana dg part ini?
Komenin yuk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro