Part 03 - Bunga Cinta
💞💞💞
Cinta yang hanya dengan sebab fisik atau harta itu berarti melambangkan ketidak setiaan. Karena keindahan fisik dan banyaknya harta hanyalah bersifat sementara.
💌💌💌
Deru mobil terdengar memasuki pagar yang terbuka saat satpam penjaga rumah membukakannya. Tak seperti pekerja pada umumnya yang sudah pasti ke peraduannya sebelum langit berubah gelap. Sosok Cahaya yang memang pekerja keras itu baru sampai rumah hampir setiap harinya di saat telah larut malam.
Di rumah berlantai dua dengan konsep modern dan ukuran minimalis inilah ia tinggal. Langit gelap berhiaskan sinar dewi malam yang tampak bulat sempurna, hanya cahaya lihat sebentar saat turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah. Seakan tak berminat menyapa lebih lama cahaya rembulan yang menyambut malamnya.
Setibanya di kamar, ia langsung meletakkan tas kerjanya di meja. Kemudian menghempaskan tubuhnya sendiri di atas Spring Bed Airland berukuran king size yang memang akan tetap empuk, meski sekeras apa pun tubuh menghantamnya. Helaan napas cukup panjang dari mulutnya terdengar, kedua tangannya terangkat lurus dan mengencangkan otot-ototnya. "Ya ampun ... capek banget hari ini," keluh Cahaya.
"Tapi malam ini indah banget, sih. Goodnight, the man of my dreams," gumam Cahaya yang kini hatinya dipenuhi bunga-bunga cinta dan bibirnya tak lelah mengukir senyum. Namun, tak sampai satu menit memejamkan mata, ia langsung terlelap tanpa bisa dicegah.
Padahal, biasanya ia selalu mandi air hangat saat tiba di rumah. Namun tidak untuk malam ini, mungkin efek terlalu capek setelah kerja ia langsung jalan bersama Bagas sampai selarut ini. Akhirnya tak pedulikan gerah tubuhnya.
Untung saja ia sempat berganti pakaian tadi di kantor sebelum bertemu Bagas. Jadi kegerahan yang melanda tak membuatnya terganggu dan gatal-gatal.
Ya, sore tadi Bagas menelepon Cahaya dan mengajaknya jalan berdua untuk makan malam. Cahaya yang seharusnya lembur tak mampu menolak, karena dalam lubuk hatinya juga ingin segera bertemu dengan laki-laki itu. Padahal belum 24 jam keduanya bertemu, tetapi hatinya telah merindu dan segera ingin kembali bertemu.
---***---
Bunyi dering ponsel begitu keras terdengar. Membuat Cahaya mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan. Namun, detik kemudian matanya sontak dengan cepat terbuka, saat merasakan silaunya mentari telah merasuki ruang kamarnya.
"Astaga jam berapa ini?" ujar Cahaya langsung bangkit. Netranya langsung memicing ke arah jam yang bertengger di dinding.
"Ya ampun! sudah jam tujuh," pekiknya lalu bergegas berdiri dan langsung masuk kamar mandi.
Tak pedulikan ponselnya yang kembali berdering. Karena ia sudah hafal pasti Melly yang menghubunginya karena belum absen salat Subuh. Ya, sahabat baiknya itu saking pedulinya. Urusan salat pun ia siap menjadi alarm untuk sang sahabat, karena Cahaya sering mengeluh kesiangan salat Subuh.
Hanya sepuluh menit berlalu, gadis itu tampak segar dengan balutan handuk juga bertengger di kepala. Buru-buru ia ke lemari mengambil mukena lalu menggelar sajadah. "Ampuni hamba ya, Allah ... telat subuh lagi," gumamnya mendongak ke atas sebelum mulai melafalkan niat dan bertakbiratul ihram.
---***---
"Gimana Bu Cahaya? Sudah ada perubahan jawaban atas penawaran saya?" tanya Pak Feri saat acara meeting baru saja berakhir. Cahaya sudah bersiap akan beranjak, tetapi urung saat mendengar pertanyaan itu. Keningnya sontak berkerut, berusaha memahami pertanyaan dari Pak Feri yang merupakan salah satu klien-nya
"Maaf penawaran apa ya, Pak?" tanya Cahaya akhirnya saat dirinya tak kunjung memahami pertanyaan itu.
Pak Feri tampak terkekeh. Namun, seketika raut wajahnya serius menatap Cahaya.
"Perlu Bu Cahaya tahu, jika saya ini sangat serius dengan perasaan saya. Dan saya pun sudah bertekad, jika Bu Cahaya mau menikah dengan saya, maka saya akan langsung menceraikan istri saya sekarang juga."
Cahaya langsung melongo dan otomatis mulutnya terbuka. "Haaa? Bapak serius?" tanya Cahaya lagi tetap tak percaya.
"Sangat, Bu. Saya sangat serius, saya benar-benar jatuh hati pada kecantikan anda."
Cahaya langsung terbahak, tetapi hanya sebentar. Tatapan serius Pak Feri membuat Cahaya segan untuk meneruskan tawanya. Ia merasa lucu saja, laki-laki yang sudah beristri dan mempunyai empat anak itu ternyata bisa hanya tertarik kepada wanita lain hanya sebab kecantikan.
Padahal Cahaya sangat mengenal istri Feri yang tak kalah cantik dengan dirinya. Hanya saja, mungkin beliau tak sempat memoles wajahnya agar lebih cantik karena sibuk mengurus anak-anaknya. Pemikiran yang sangat dangkal bukan? Meninggalkan istri yang setia hanya karena hal sepele yang bisa ia dapatkan juga dari istrinya sendiri. Sudah ada yang halal malah memilih yang haram.
"Ehm, maaf ya, Pak Feri yang terhormat. Maaf, nih, Pak. Saya tak bermaksud menggurui atau apa. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kecantikan manusia ini hanyalah sementara dan bisa jadi hanyalah polesan make up. Jadi ... maaf sekali, Pak. Saya dengan tegas menolak permintaan Bapak. Karena sebab cinta yang Bapak lontarkan itu tak melambangkan kesetiaan. Maaf, saya permisi," tanpa menunggu Feri melontar kata lagi, Cahaya langsung bangkit dan meninggalkan laki-laki yang kini terpaku.
Cinta yang hanya sebab perihal fisik atau harta itu berarti melambangkan ketidak setiaan. Karena keindahan fisik dan banyaknya harta hanyalah bersifat sementara. Cahaya memang memiliki kesempurnaan itu kali ini. Namun Cahaya sadar, dirinya tak dapat menjamin jika apa pun yang ia miliki akan bertahan sampai kapan. Karena ia yakin, jika hakikat isi dunia ini hanyalah sementara.
---***---
"Mau pulang, Ay? Tumben," tanya Melly yang baru saja memasuki ruangan dan mendapati Cahaya sedang membereskan berkas-berkas di atas meja.
"Refreshing dulu, Mel. Suntuk kerja terus," ujar Cahaya tersenyum lalu bangkit.
"Haaa! telingaku masih normal kan, ya? Enggak salah denger, nih?" ucap Melly dengan menggaruk telinganya dari balik hijab. Pasalnya baru kali ini ia mendengar kata suntuk kerja dari lisan Cahaya. Selama ini hanya dia yang ngedumel dan protes melontar tanya 'tak suntuk' ke sahabatnya itu karena sangat sering lembur, lebih lama menghabiskan waktunya di ruang kerja jika tak ada meeting di luar.
"Hadeh, capek, deh. Kayaknya apa pun yang aku lakuin kamu protesin terus. Lembur protes. Sekarang pulang cepet protes juga," keluh Cahaya menghampiri sang sahabat dengan menjinjing tas di tangannya.
"Ya elah ... bukannya protes, sih. Ay. Aku heran aja sama kamu. Eitttsss, tunggu bentar, deh." Melly langsung menghentikan langkah dan memegang lengan Cahaya agar ikut terhenti, saat mengingat sesuatu ditengah penuturannya sendiri.
"Atau jangan-jangan kamu mau jalan sama Bagas?" tebak Melly yang langsung tepat sasaran. Bibir Cahaya berkedut, menahan senyum tak berani menatap Melly dan memilih bungkam.
"Astaga ... nih anak bener-bener, ya. Udah beneran pe-de-ka-te, nih?" tanya Melly memastikan dan sedikit memaksa agar Cahaya mau mengakuinya. "Jawab, dong, Ay. Jangan malah senyum-senyum enggak jelas gini. Pikiran gue makin liar, nih. Atau malah kalian udah jadian?"
"Aish ... nggak secepat itu juga kali, Mel. Tapi aku aminin, sih. Hehe."
"Huh dasar. Sejak kapan kamu mau pacaran? Biasanya nolak mulu kalau dideketin cowok dan nyelidikin mulu kalau ada yang melamar. Lah ini?" cecar Melly dengan heran dan setengah protes.
"Udah, ah. Aku nggak bisa bahas ini semua sekarang. Bagas udah nungguin, nih dari tadi. Bye Melly, duluan ya."
Melly pun tak bisa lagi mencegah langkah Cahaya yang gegas melesat dari hadapannya. Ia hanya bisa menghela napas, tak habis pikir jika sahabatnya itu akhirnya jatuh cinta dan mampu merubahnya tentang banyak hal.
Semoga Bagas adalah laki-laki yang baik dan tepat buat kamu, Ay, batin Melly penuh harap sebelum kakinya mengayun langkah. Sosok sahabat yang baik, pasti akan selalu berharap kebaikan untuk sahabatnya.
.
.
.
.
.
Bersambung
Gimana dengan Part ini?
Yuk komenin 😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro