9. Dicari: Sahabat
Megan melemparkan ransel ke kasur. Melepaskan kaus kaki dan jas tergesa-gesa. Kemudian terjun bebas ke bantal. Senin yang aneh. Senin yang menyiksa. Enggak disangkanya bakal sepelik ini.
Tugas pertama sukses ia jalankan dengan kerja sama cantik Wynter-Hya. Lucy puas. Megan juga tidak peduli dengan anggapan orang-orang di kafetaria tentang dirinya. Paling jadi trending topic satu minggu, kemudian padam sendiri saat mereka bosan atau ada kejadian baru yang lebih hot untuk dibicarakan. Seharusnya beres kan?
Tidak. Di luar dugaan, Ardi ada di sana jadi saksi mata. Perasaan Megan mulai terganggu. Entah kenapa. Kok jadi pikiran kalau cowok kelas 10 itu punya prasangka macam-macam tentangnya? Biarkan saja. Teman atau sahabat pun bukan, gebetan juga bukan. Ardi lebih muda darinya. Ya ampun, memang kenapa dengan lebih muda? Karena cowok di taman bonsai itu ternyata sekelas dengan Ardi! Ia lihat sendiri dari kejauhan, keduanya masuk ke kelas 10 A, digiring Miss Kiely.
Megan membentur-benturkan jidatnya ke bantal. Pikirannya kayak bola liar, memantul ke sana kemari. Apa sih inti masalahnya? Megan buru-buru duduk, mengatur napas. Tarik, embuskan. Tarik, embuskan. Sepuluh kali. Oke .... Tapi kenapa matanya sekarang panas lagi? Apa yang ia tangisi? Apa enggak cukup nangis di tangga itu?
Enggak puas. Belum tuntas, sudah keburu diganggu Raiden. Heran, kenapa cowok yang ia hindari justru kayak ada di mana-mana, kayak pamflet calon anggota DPR saja. Untunglah Raiden tidak ke kafetaria saat istirahat. Bisa lebih runyam. Tapi sebagai gantinya, cowok itu tahu-tahu muncul tepat di saat Megan lagi down hingga ke dasar.
Apa yang membuatnya begitu nelangsa? Bukan Ardi. Tapi teman sekelasnya. Cowok itu .... Yang pergi begitu saja dari kafetaria seakan enggak kenal. Tampang cueknya ... ya, Tuhan, mengguncang kepercayaan dirinya. Meruntuhkan pertahanannya. Lebay? Kenapa ia se-baper ini untuk orang yang baru dilihatnya sekali, dua kali, eh tiga kali?
Megan menjerit dalam bekapan bantal. Sungguh tidak adil. Kenapa cowok itu sesekolah dengannya? Kenapa kelas 10? Kenapa cuek? Apa yang ada di benaknya saat menyaksikan kejadian di kafetaria? Kenapa reaksinya begitu penting, sampai bikin ia menangis?
Lalu ... seperti malaikat yang sengaja diutus untuk menegurnya, cowok itu muncul. Turun tangga dengan anggun, berhenti di depannya. Menatapnya lekat dengan mata sewarna madu. Dan suaranya yang merdu mengutip dari Runako buku kesatu.
"Apa pun masalahmu sekarang, enggak seberat kalau kamu hidup di kepala orang lain."
Megan merasa seperti dijitak sekaligus dikuatkan. Runako punya masalah yang jauh lebih pelik, hidup di kepala orang lain, berbagi pikiran dan emosi dengan orang lain. Susah lepas. Sementara ia masih memiliki kepala sendiri, utuh. Otak yang harus ia pakai untuk menyelesaikan masalah. Cowok itu benar. Dengan terbata-bata, Megan hanya bisa mengucapkan terima kasih telah diingatkan. Walau belakangan ia menyesal. Seharusnya ia balas dengan kutipan dari Runako buku ketiga.
"Andai bisa pindah, aku ingin tinggal di kepalamu saja ...."
Aaaaah! Tidak, tidak! Terlalu personal. Terlepas dari sikapnya di kafetaria, cowok itu kelihatannya peduli, tahu ia sedang bermasalah. Tapi enggak perlu dibalas segitunya juga, kali. Lagian dia kelas 10. Astaga!
Megan memukuli jidatnya lagi. Mukanya terasa panas. Memang kenapa kalau kelas 10? Banyak kok teman ceweknya yang jadian dengan adik kelas? Contohnya ... eh, siapa ya? Ah, pokoknya ada! Aduh! Kenapa pula ia berpikir sejauh ini? Geer banget sih.
Fokus, Megan! Fokus!
Tugas kedua sudah di tangan. Lucy memberikan instruksi sepulang sekolah tadi. Megan sudah khawatir, ia akan disuruh macam-macam yang merugikan orang lain lagi. Tapi ternyata ia hanya diminta memata-matai Bianca, adik kandung Lucy di kelas 9 SMP Darmawangsa. Megan kenal baik anak itu sejak bersahabat dengan Lucy. Bianca lebih supel dan banyak teman ketimbang kakaknya. Tipe cewek yang pulang sekolah enggak pernah tepat waktu karena ada kegiatan ini itu.
"Tapi akhir-akhir ini Bee suka pulang malam," kata Lucy tadi. "Aku curiga ia menemui seseorang di luar sekolah. Kalau ditanya ke mana dan dengan siapa, bukannya jawab, Bee malah marah dan kami jadi bertengkar."
Pembawaan Lucy memang dari sananya suka bikin marah dan memancing pertengkaran, pikir Megan. Tapi ia menahan diri untuk tidak berkomentar. Ia sendiri punya tiga adik di kampung, kalau salah satunya sering telat pulang, pasti khawatir juga. "Orangtuamu masih sering bolak-balik ke Aussie?" tanya Megan, akhirnya, berusaha mengerti. Mungkin karena itu Lucy merasa lebih bertanggung jawab mengawasi adiknya.
"Bukan urusanmu." Lucy cemberut. "Cari tahu ke mana dan dengan siapa Bee pergi sepulang sekolah. Mungkin kamu malah bisa deketin dia. Your enemy's enemy is your friend."
Nada getir Lucy membuat Megan mendelik. Jelas, Lucy menganggapnya musuh. Dan Bianca yang masih bersikap baik kepadanya mungkin dianggap memihak. Kepala cantik kok isinya prasangka melulu. Pantas saja sejak unfriend dengannya, Lucy belum punya sahabat lagi. Lebih suka sendiri. Tapi terserahlah. Yang penting tugas kali ini sepertinya jauh lebih mudah. Mulai besok akan ia laksanakan, meski berarti harus mengorbankan waktu istirahat dan pulang sekolah untuk pergi ke gedung SMP, tepat di seberang SMA, dibatasi taman dan areal parkir. Alasan menyeberang bisa dicari nanti.
"Me--gaaaan! Yuhuuu, Megaaaan! Rumahmu yang mana?" Seseorang berteriak-teriak di luar.
Megan melompat turun dari kasur, menelengkan kepala. Ia tidak mengharapkan tamu. Mungkin salah dengar. Tapi panggilan itu berulang. Lebih keras. Kalau ia memelihara anjing, pasti telinganya sudah berdiri tegak. Benar saja, seruan itu sudah dijawab gonggongan anjing tetangga.
"Permisi! Kamu kenal Megan? Rumahnya yang mana? Yang itu? Cat toska? Yay! Akhirnya ketemu! Eh, terima kasih. Nice dog, by the way! Untung diikat dalam pagar. Ssssh! Jangan marah, doggy. Aku orang baik kok, cuma cari rumah teman."
Suara cowok di sela salak anjing. Riang tanpa beban.
Megan membuka jendela dan melongok ke luar. Di depan pagar tetangga, tampak cowok dengan seragam Darmawangsa. Tak salah lagi. Kemeja abu-abu muda dan vest marun. Jas abu-abu tua diikatkan ke pinggang. Siapa dia?
Dan cowok itu berbalik, menuju rumahnya. Ardi.
Megan tercengang. Waktu pulang bareng dari rumah Jocelyn, ia turun dari taksi di ujung jalan sana. Berapa banyak orang yang sudah ditanyai anak itu sampai ketemu rumah yang benar? Lagian, mau apa Ardi mencarinya?
Megan buru-buru menyisir rambut, membiarkannya tergerai. Menatap wajahnya di cermin. Pucat. Lensa kontak sudah ia lepaskan sejak di sekolah karena banyak menangis. Tapi memakai kacamata bolong sekarang justru akan menarik perhatian Ardi pada matanya yang agak sembap. Biarlah. Toh ia masih bisa melihat cukup jelas.
Bel rumah berbunyi. Megan bersyukur Tante Naura belum pulang, mungkin sekalian belanja, yang berarti bisa selepas Isya baru sampai rumah. Tapi untuk menghormati aturan yang dibuat Tante Naura, Megan akan menerima Ardi di teras saja. Ia membuka pintu, mendapati cengiran lebar dari telinga ke telinga.
Begitu saja Megan tertawa lepas. Ardi jenis cowok yang senyumnya mengundang tawa. Apalagi tawanya, mungkin malah bisa mengusir segala kesuraman. Keriangannya menular tanpa anak itu berusaha menghibur. "Gila kamu, Ar! Kalau Pak RT dengar teriakanmu tadi .... Beliau dua rumah saja dari sini."
Ardi garuk-garuk kepala. "Aku terpaksa ke sini. Kamu keburu pulang waktu aku cari di sekolah. Eh, tantemu ada?"
Megan menggeleng. Mempersilakan Ardi duduk. Lalu mengambil tempat di seberang meja. "Kalau ada, dia akan ikut menemui kamu, dan bakal banyak nanya. Enggak ada teman cowok yang tahan ngobrol sama Tante." Dan Megan membelalak. Sadar telah membeberkan kebiasaan Tante Naura yang tidak ia sukai. Baru kali ini ia begitu terbuka pada orang yang baru dikenalnya. Padahal pada pertemuan pertama dengan Ardi, ia bisa menahan diri. Semua pertanyaan yang terlalu pribadi, ia jawab dengan senyum. Entah kenapa, kali ini, kehadiran Ardi saja sudah bikin luluh. Mungkin karena setelah kejadian di kafetaria, Ardi masih bela-belain datang ke rumah. Masih menganggapnya teman pula ....
Oh, my God! Akhirnya ia punya teman lagi. Dan bisa jadi bakal menjurus ke persahabatan yang dirindukannya. Putus persahabatan dengan Lucy bukan cuma memengaruhi Lucy. Megan juga jadi trauma, lebih berhati-hati. Tapi Ardi begitu saja membuatnya santai dan nyaman.
"Hei, tenang, aku enggak akan bilang siapa-siapa soal tantemu!" Ardi melambaikan tangan di depan mukanya. "Mungkin kapan-kapan aku bakal ke sini pas tantemu ada."
Tawa Megan berderai. "Risiko ditanggung sendiri ya. Aku enggak akan bantu kamu lepas dari interogasinya."
Ardi malah ganti pembicaraan. "Ketawamu unik banget sih. Enak didengerin. Sudah ada yang bilang gitu?"
"Gombal kamu, Ar!" Megan cekikikan. Masih bertanya-tanya apa maksud Ardi ke rumahnya. Mungkin Ardi pengin tahu apa sebetulnya yang terjadi di kafetaria. Apa yang harus dikatakannya kalau benar begitu? Menjawab jujur atau cari-cari alasan sebagai pembelaan diri?
Tapi obrolan berikutnya mengalir saja dari satu topik ke topik lain. Enggak pernah sekalipun cowok itu menyinggung insiden di kafetaria. Megan merasa lega. Ini penting baginya, karena berarti, Ardi mengabaikan kejadian itu.
Alih-alih, cara masuk ke Darmawangsa jadi pembicaraan seru. Menjadi titik pangkal kesamaan mereka. Beasiswa, walau dari sumber berbeda. Ardi pun berasal dari keluarga biasa-biasa saja, malah sejak kelas 6 sudah ditinggal ayah karena kecelakaan. Terlalu mendadak. Tapi tidak berlama-lama di topik menyedihkan, Ardi membuatnya tertawa lagi dengan lelucon seputar pelajaran dan guru-guru.
"Aku betah dengar kamu ketawa." Ardi memandangnya.
"Kamu kesulitan di Matematika? Aku bisa bantu." Megan mengalihkan pembicaraan sekaligus memberinya tawaran tulus.
"Sungguh?"
Bahkan tanpa kacamata atau lensa kontak, Megan bisa melihat kerlip bahagia di mata cowok itu. Rasanya pengin tepuk-tepuk kepala Ardi. Jatuh sayang dengan mudah itu wajar enggak sih?
"Eh, tapi aku sudah punya tutor hebat. Sahabatku. Sekelas." Ardi mencubiti dagunya, berpikir keras.
"Sama-sama kelas 10? Aku lebih berpengalaman dari dia. Aku kelas 11, ingat?" Megan sengaja menegaskan itu. Timing-nya pas. Tidak akan melukai hati Ardi kalau cowok itu punya niatan lain terhadapnya. Bagaimanapun naluri ceweknya mulai bekerja. Tapi kalaupun Ardi hanya ingin berteman, ia tidak bakal dianggap geer. Yang jelas ia harus hati-hati bersikap. Teman dan sahabat yang berhati murni sangat langka dewasa ini. Dan ia tidak ingin kehilangan kesempatan mendapatkan satu.
Ardi bertepuk tangan, santai. "Kalian berdua bisa jadi tutorku. Enggak perlu bersaing. Aku bakal adil kok."
Dan mereka tergelak bersama.
Ardi menengok arlojinya. "Eh, sudah sore. Aku pamit ya. Lega deh, kamu baik-baik saja."
Megan menelan ludah, terharu. Ardi cuma ingin memastikan keadaannya. Kehilangan kata-kata, ia berdiri untuk mengantar Ardi ke pintu pagar. Banyak tertawa membuatnya gerah. Sambil berjalan, ia memetik ranting kering bunga azalea untuk dijadikan konde rambut yang ia sanggul di puncak kepala. Lehernya disapa angin senja.
Ardi berbalik, tertegun sesaat, ekspresinya tidak bisa dipahami. Kemudian menggeleng sendiri. "See you at school, Meg."
"Sure, terima kasih sudah bela-belain mampir. It means a lot. Kenalin aku sama tutormu yang hebat itu besok ya."
"Tentu. You're gonna love him. He's the best friend ever." Ardi berkata dengan bangga. Lalu melambaikan tangan sebelum benar-benar berlalu.
He? Cowok .... Megan berpikir sambil berjalan ke pintu. Sekali rengkuh ia dapat dua calon sahabat cowok? Konon, sahabat cowok lebih fair dan easy going. Semoga.
"Meg!" Tiba-tiba Ardi memanggilnya lagi. "Jangan bilang kamu suka baca Runako!"
"Wah! Kamu juga?" Megan lebih bersemangat.
Ardi tidak menjawab. Malah memberinya pertanyaan baru. "Kamu pakai kacamata?"
"Eh ya, tapi lensanya lepas satu. Jadi –"
"Sudah, jangan bilang apa-apa lagi." Ardi mengibaskan tangan dan berlari pergi.
Megan menggeleng-geleng. Cowok yang aneh dan lucu. Enggak sabar ketemu lagi dengannya besok.
(bersambung)
------------------
Dear pembaca,
Sambil nunggu BWM2 pada update, silakan mampir ke AryNilandari
Bakal ada yang baru mulai 25 November. Untuk kalian pencinta romance. Kisah IgGy dan novel karyanya, Trilogi Runako.
Oh ya, ada salam dari Rayn nih. Begitu bukunya diambil, langsung deh posenya jadi kikuk gitu. Hehe.
Kalau masih sempat, hari Jumat belum berganti aku akan update satu part lagi.
Salam takzim
Ary
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro