Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Fair Barter


Jaket tim voli dengan nama Lazuardi di punggung tampak mencolok saat pemakainya bergerak mendekati Megan. Rayn sangat lega, Ardi akhirnya muncul. Ia mencoba menelepon Ardi sejak kericuhan terjadi di penutupan expo dua jam lalu.

Karya fashion art Megan dinyatakan sebagai pemenang pertama. Setelah MC mengumumkan Lucy sebagai pemenang kedua. Megan yang duduk di sampingnya menjerit kaget. "Tapi aku enggak ikutan. Kok bisa? Karya yang mana?"

Jawabannya muncul pada layar lebar di samping panggung. Ilustrasi cat air seorang remaja putri memakai overcoat merah dengan bunga-bunga di bahu dan lengan. Megan lagi-lagi terpekik dan buru-buru menutup mulutnya. "Rayn, itu tugas ketigaku untuk Lucy. Keperluan pribadi. Kenapa disubmit ke lomba?"

Rayn menggeleng bingung.

"Ini pasti jadi masalah," kata Megan. "Lucy juara dua, kalah lagi dari aku. Enggak dapat hadiah yang diidamkannya."

MC memanggil empat orang pemenang untuk naik ke panggung dan menerima penghargaan. Tiga orang sudah maju. Salah satunya seorang gadis berambut pirang abu sangat pendek. Itu Lucy, kata Megan. Rayn baru melihat Lucy dengan penampilan barunya.

Megan belum mau beranjak. Malah mencengkeram lengan Rayn dengan gugup. "Aku enggak mungkin menang dengan karya itu. Enggak boleh, itu bukan desain orisinal. Ya ampun, kenapa bisa begini?"

Terdengar MC memanggil lagi nama Megan.

Rayn mengambil tangan Megan. Menyalurkan dukungan. "Maju saja dulu. Nanti kita tanya Lucy selesai acara."

Tidak perlu menunggu lama, tidak perlu ditanya, begitu turun panggung, Lucy memprotes penyelanggara lomba. Katanya, karya Megan tidak layak dimenangkan karena merupakan jiplakan dari rancangan brand terkenal. Lucy bisa membuktikannya. Penyelenggara lomba yang diwakili oleh Miss Deana, seorang model muda, tampak gugup. Keputusan juri seharusnya tidak boleh diganggu gugat, katanya, tapi karena ini berkaitan dengan tuduhan plagiasi, ia bersedia mempertimbangkan bukti-bukti dari Lucy.

Megan sempat membela diri bahwa ia tidak submit karya. Tapi fakta berbicara lain. Karyanya ada di dalam daftar, diterima penyelenggara lomba pada H-1 sore. Miss Deana yakin soal waktunya, karena ia sendiri yang mengambil amplop Megan. Hari itu, ia mampir ke aula dua kali dalam selang satu jam dan memeriksa kotak penampungan.

Di tengah perdebatan, Rayn berdiri saja di samping Megan. Sibuk berpikir. H-1 sore, Rayn ingat pada cewek dengan konde sumpit di booth Fashion&Craft. Ia menyaksikan cewek itu memasukkan amplop ke dalam kotak lomba. Ia sempat memanggilnya dengan nama Megan dan gadis itu merespons dengan lambaian. Lalu pergi. Berdasarkan pengakuan Megan, cewek itu bukan dirinya. Lalu siapa? Lucy kah, mengingat ilustrasi overcoat itu ada padanya? Kenapa karya Megan itu diam-diam disertakannya ke lomba?

Miss Jansen menghentikan kericuhan dengan menggiring semua pihak yang terlibat ke ruang panitia di belakang panggung. Di mana ada pelanggaran etika serius, apalagi yang merusak nama baik sekolah, di situ DED bertindak. Cepat dan efisien.

Rayn pun segera terjaring sebagai saksi karena Lucy tiba-tiba berkata, "H-1 sore, aku bertemu Rayn di pintu aula. Dia mencari Megan. Tanya saja sama dia, mungkin tahu apa yang terjadi."

Sadarlah Rayn, ia telah dijebak. Dipanggil ke aula dengan SMS tipuan. Untuk menyaksikan cewek yang akan dikiranya Megan, memasukkan amplop ke kotak. Siapa pun yang merencanakan ini sudah tahu kelainannya. Lucy tahu. Tapi Rayn tidak punya bukti untuk mendukung asumsinya. Ia juga tidak bisa menolak panggilan dari DED.

Dan di sinilah mereka semua. Di ruangan yang lebih kecil dari ruangan kelas, ditata menyerupai ruang sidang pengadilan. Kali ini merupakan sidang tertutup jadi bangku-bangku audiens kosong. Sidang sudah dibuka oleh Miss Jansen, dilanjutkan dengan hearing dari semua pihak.

Miss Deana:

Kriteria lomba memang mencakup orisinalitas. Dewan juri yang ia pimpin menganggap orisinalitas berarti keaslian karya seni. Jadi, karya Megan layak menang, karena gambar/ilustrasinya bukan jiplakan dan memang bagus sekali, terbaik dari 130 peserta. Tapi setelah dikonsultasikan dengan pimpinannya, ternyata orisinalitas harus mencakup keaslian desain busana juga. Dengan sangat menyesal, karya Megan tidak memenuhi kriteria, dan akan digugurkan sebagai pemenang. Pemenang kedua, dalam hal ini, Lucy, akan menggantikannya. Miss Deana, atas nama rumah modenya, meminta maaf pada semua pihak yang telah dirugikan dengan insiden ini, termasuk Megan. Ia berpesan khususnya pada Megan, agar jangan berkecil hati, terus berkarya dengan lebih baik lagi.

Rayn menggertakkan gigi. Kalau dari awal Miss Deana dan timnya paham benar tentang kriteria lomba, Megan tentu terhindar dari kejadian memalukan ini. Seisi aula telah menyaksikan Megan dinobatkan jadi pemenang di atas panggung, lalu tiba-tiba kemenangannya digugurkan dengan alasan plagiasi. Semua orang akan ingat dan mencemoohnya. Kesalahan juri tidak bakal disebut-sebut. Apalagi pernyataan Megan terdengar tidak masuk akal.

Lucy:

Lucy mengakui Megan bilang padanya, tidak akan ikutan lomba fashion art. Tapi nyatanya Magan ikutan dan menyerahkan karya jiplakan. Lucy yakin pernah melihat desain seperti itu di Internet. (Miss Deana membantu mencarikan fotonya di Internet, dan hasilnya dipajang di layar) Lihat saja, overcoat yang digambar Megan bentuk dasarnya mirip banget dengan desain Burberry dan hiasan bunga-bunga di bahu hingga lengan meniru desain Zara. Enggak ada keraguan ini plagiasi. Juri sudah kecolongan memilih karyanya sebagai pemenang. Megan sudah mempermalukan Darmawangsa.

Rayn memperhatikan layar yang menunjukkan karya Megan dan dua foto busana brand populer. Didampingkan begitu, tampak jelas kemiripannya. Terdengar seruan tertahan dari semua yang hadir. Memang lebih banyak guru dalam sidang ini, dan hanya ada dua pengurus OSIS yang tentu sudah disumpah untuk tidak membocorkan informasi. Tapi Rayn ragu dengan Lucy. Dan anak-anak yang kepo di luar sana bisa mengorek-ngorek informasi dengan berbagai cara.

Megan:

Megan membenarkan ilustrasi overcoat itu adalah karyanya. Ada tanda tangannya di sudut bawah. Tapi ia tidak membuat artwork itu untuk tujuan lomba. Lucy yang memintanya untuk keperluan pribadi. Sayangnya, Megan tidak punya bukti pembicaraan dengan Lucy, karena dilakukan lewat telepon, tidak ada saksi. Hanya ada foto dua desain baju brand populer yang dikirimkan Lucy lewat LINE (Sayangnya tidak bisa dijadikan bukti permintaan Lucy). Megan tidak tahu bagaimana karyanya bisa disertakan ke dalam lomba. Ia tahu benar risiko plagiasi, jadi tidak mungkin menyerahkan karya yang sengaja meniru-niru desain orang lain, apalagi yang populer. Soal formulir pendaftaran lomba, Megan tidak merasa mengisi dan menandatanganinya. Formulir itu diketik. Tandatangannya mudah ditiru. Siapa pun bisa melakukannya. Ia tidak ingin menuduh Lucy, tapi ilustrasi overcoat itu diserahkan kepada Lucy, entah digunakan untuk apa.

Di sini Lucy menginterupsi. Menyatakan Megan mengada-ada. Buat apa juga meminta artwork dari Megan dan memasukkannya ke lomba? Karena ia berharap menang dan Megan adalah saingan terberatnya.

Dewan Juri menghentikan Lucy.

"Aku enggak menuduh kamu," kata Megan langsung pada Lucy. "Why do you hate me so much?"

Hati Rayn teriris mendengar suara Megan. Ada tangis yang ditahan-tahan. Kalau terbukti bersalah, Megan tidak bisa lagi menerima beasiswa. Bagaimana ia bisa membantu gadis itu keluar dari masalah ini?

Untuk keperluan expo, sekolah sudah memasang CCTV di beberapa sudut strategis di luar dan di dalam aula, tapi kamera-kamera itu baru diaktifkan mulai hari H. Tidak ada bukti nyata siapa saja yang telah keluar masuk aula sebelum itu. Megan kini bergantung pada tali tipis kesaksian pembelanya, Ardi.

Ardi menjelaskan bahwa Megan tidak mengikuti lomba karena ingin memberi kesempatan pada Lucy untuk menang. Ardi percaya kata-kata Megan. Selama bersahabat dengannya Megan tidak pernah berbohong.

Dewan juri memutuskan, kesaksian Ardi tidak membantu. Hanya kata-kata Megan kepada Ardi tanpa bukti konkret.

Tentu saja, pikir Rayn, Ardi tidak mungkin menyebutkan keempat tugas yang harus dikerjakan Megan untuk Lucy karena itu sama saja dengan membuka kasus tentang penyalahgunaan uang kas.

Rayn menghela napas berat. Berbisik pada Lucy, "Why are you doing this?"

"Doing what?" Lucy mendelik.

"Megan pengin kamu menang, dia nurut enggak ikutan lomba. Kamu yang masukin, kan? Yang aku lihat di aula itu kamu."

"Bilang saja ke dewan," tantang Lucy pedas, tanpa menoleh lagi.

Rayn terenyak. Tapi hanya bisa mengepalkan tinju di bawah meja. Jelas Lucy tidak mungkin dibujuk untuk menarik tuduhannya. Hanya ada satu solusi, pikir Rayn. Melemahkan Lucy dengan kesaksian yang tidak mendukung. Ia akan mencoba. Jadi ketika namanya disebut, Rayn berdiri dan berbicara.

"Pada H-1 sekitar pukul 17.00, saya menerima SMS dari nomor tak dikenal, yang mengaku sebagai Megan, minta saya ke booth Fashion&Craft. Saya datang ke sana dan melihat seorang siswi memasukkan amplop ke dalam kotak lomba. Saya memanggilnya Megan, karena saya kira dia Megan. Tapi saya tidak yakin. Saya tidak bisa memastikan karena gadis itu pergi sebelum saya mendekat."

"Rayn," tegur Miss Jansen. "Kamu yakin melihat seorang siswi memasukkan amplop ke kotak lomba?"

"Ya, Miss Jansen."

"Tapi kamu tidak yakin siapa dia?"

"Ya, Miss Jansen. Saya tidak bisa memastikan wajahnya."

"Apakah dia pakai topi atau penutup muka?" Juri lain bertanya.

"Tidak."

"Kamu cuma ingin membela Megan, ya? Kalian berteman dekat, bukan?" Salah satu pengurus OSIS baru membuka mulut. Rayn tidak mengenalnya. "Bagaimana mungkin kamu bisa lihat dia memasukkan amplop tapi enggak bisa lihat mukanya? Sejauh apa tangan dan muka?"

Terdengar tawa kecil Lucy di sampingnya.

Rayn menoleh sebal.

"Rayn, sebaiknya beri keterangan dengan lugas, jangan berbelit begitu," kata guru pendamping.

"Iya. Sebaiknya kamu jujur saja. Lihat Megan kan?" sambung Lucy.

"Rayn!" Panggil Miss Jansen lagi. "Berapa jarak kamu dengan siswi itu? Karena sejauh-jauhnya di dalam aula, kita masih bisa mengenali muka orang, kecuali mata kamu minus besar dan melepas kacamata. Atau aula dalam keadaan gelap. Apakah ada dua kondisi itu?"

Rayn menghela napas. Jelas, kalau keterangannya tidak mudah diterima. Ia membulatkan tekad sekarang. "Tidak. Mata saya tidak minus. Lampu menyala semua. Tapi saya memang tidak bisa mengenali karena ...."

Mata Rayn menangkap kehebohan di seberang ruangan. Megan menggeleng-geleng. Memberi isyarat panik. Memohon. Mendorong Ardi untuk bertindak. Ardi pun menggoyang-goyangkan tangan. Mereka tahu apa yang akan dikatakannya. Dan memprotes.

"Karena saya ...." Rayn menelan ludah.

"Rayn! Stop!" Megan sudah berdiri. Lalu buru-buru berbicara pada Dewan Juri. "Dewan juri yang terhormat, saya mengaku salah. Saya memasukkan karya saya ke dalam kotak dan Rayn benar melihat saya. Rayn hanya ingin membela saya makanya bilang tidak jelas melihat."

"Tidak. Itu tidak benar," sahut Rayn, lebih keras. "Saya prosopagnostik. Saya buta wajah. Saya tidak bisa mengenali apakah gadis itu Megan atau bukan. Saya mengenali ciri khasnya saja yaitu rambut panjang hitam dan dikonde dengan sumpit. Tapi siapa pun bisa menata rambut seperti itu. Jadi, saya mohon Dewan Juri mempertimbangkan."

Beberapa saat setelah Rayn berbicara, ruangan masih sunyi. Semua orang mencerna kata-katanya. Rayn memandang Ardi dan Megan, tersenyum meyakinkan. It's okay.

"Rayn ...." Megan tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terduduk dan menangis. Ardi merengkuh bahunya.

"Dewan Juri yang terhormat, sekali lagi saya tegaskan, saya prosopagnostik. Bapak kepala sekolah akan mengkonfirmasi kalau Anda bertanya padanya."

Dewan Juri berdiskusi sebentar. Miss Jansen kemudian menelepon seseorang. Mungkin kepala sekolah. Karena setelah itu, mereka memutuskan, "Rayn tidak bisa dipastikan melihat Megan di aula, berarti kesaksiannya tidak bisa digunakan."

Rayn pun duduk lagi dengan senyum lebar.

Lucy menatapnya marah. "Kamu mau lakukan itu untuknya? Kamu pikir rahasia kamu aman habis ini?"

"Kalau benar begitu, berarti kamu yang menyebarkan. Karena aku percaya pada semua yang hadir di sini kecuali kamu. Tapi masa bodolah. Do what you wanna do. Aku enggak peduli. Yang penting Megan sudah lepas. Tinggal kata-katanya lawan kata-kata kamu. Sama-sama enggak ada bukti pendukung."

Benar. Itu pula yang disimpulkan oleh Dewan Juri. Karya Megan digugurkan sebagai pemenang tetapi tidak ada sanksi dari DED karena tidak terbukti Megan sendiri yang mengirimkan karya. Karyanya tidak bisa disebut plagiasi karena dimaksudkan untuk pemakaian pribadi. Lucy dinobatkan jadi pemenang pertama. Siapa pun yang memasukkan karya Megan ke dalam kotak lomba masih menjadi misteri, kata Miss Jansen. Ia berharap pelakunya akan datang kepadanya secara pribadi dan mengakui perbuatan itu, sebelum orang lain menemukan kebenarannya dan melaporkannya kepada DED. Jika demikian, DED akan bertindak tegas pada pelaku yang telah memberikan keterangan palsu, berbohong, dan mencemarkan nama baik orang lain. Miss Jansen hendak mengetukkan palu untuk membubarkan sidang DED ketika tiba-tiba Ardi berdiri dan meminta perhatian.

"DED yang terhormat, saya minta waktu tiga menit saja. Mohon dengarkan saya. Karena saya melihat ketidakadilan di sini."

Miss Jansen memandang guru-guru lain.

Sudah menjelang Magrib, pikir Rayn. Palu sudah diketok. Megan sudah bebas. Ada apa lagi Ardi? Tapi Miss Jansen mengizinkan.

"Megan memang sudah bebas. Tapi bebannya masih ada. Selama masih ada keraguan siapa yang memasukkan karyanya ke lomba, cap plagiasi enggak bakal lepas begitu saja di luar sana. Saya tidak rela Megan jadi bahan gosip terus-menerus."

Ardi menarik napas sebentar. Mengunci pandangan pada Lucy.

"Menurut saya, Biar adil, DED harus menyelidiki peran Lucy dalam kasus ini."

Lucy langsung bangkit dengan sikap mengancam tapi ditahan oleh guru pendampingnya.

"Megan membuatkan fashion art untuk Lucy. Karya itu disubmit ke lomba oleh si X. Tujuannya merusak nama baik Megan. Saya duga, si X yakin juri tidak akan memenangkannya karena jelas rancangan busananya jiplakan. Malah ada kemungkinan besar juri lomba akan mengirimkan surat teguran ke sekolah. Tak disangka, juri malah memenangkan Megan. Lucy tidak terima, dan mengajukan saksi yang mendukungnya, yang pasti bakal bilang melihat Megan di booth. Rayn. Enggak disangka pula, Rayn memilih buka rahasia kelainannya ketimbang menjatuhkan Megan. Nah, misterinya, siapa si X yang memasukkan karya Megan ke dalam kotak. Kita harus tanya, di mana Lucy sore itu pada H-1?"

Semua memandang Lucy, yang membelalak pada Ardi. "Aku gladi resik drama. Banyak saksi. Sampai wig sialan itu bikin aku alergi. Lalu di pintu aula aku bertemu Rayn yang mencari Megan."

Ardi mengacungkan ponselnya. "Saya baru dapat jawaban dari Maghda, ketua ekskul drama. H-1 Lucy datang terlambat. Lucy mengembalikan rambut palsu yang dia pinjam sebelumnya. Baru kemudian berlatih drama. Tapi ada fakta yang menarik. Di setiap pentas, Lucy hanya memakai rambut palsu yang hitam lurus. Rambut yang sudah terbukti aman di kulitnya. Mungkin DED bisa bertanya, kenapa Lucy potong rambut pendek-pendek minggu lalu. Apakah terserang alergi karena pakai wig panjang bergelombang yang menyerupai rambut Megan?"

Lucy berteriak. "Jangan sembarangan!"

"Lazuardi, tuduhan kamu serius. Ada bukti dan saksi?" Miss Jansen menukas.

"Maghda bersedia dipanggil, Miss. Saya tidak tahu apakah kesaksiannya bisa digunakan. Tetapi setidaknya, kita keluar dari sini dengan keraguan juga tentang peran Lucy. Saya kira itu adil."

Semua orang berbicara memberikan tanggapan. Miss Jansen terpaksa mengetuk palu berkali-kali. Ia mengambil keputusan, Maghda akan dipanggil dan sidang dilanjutkan besok karena sekarang sudah terlalu sore.

Orang-orang bergerak ke pintu. Rayn mengajak Ardi dan Megan ke musala untuk salat Magrib. Keheningan menggelayut berat di antara mereka. Baru setelah kembali ke lobi, masing-masing berusaha mencairkan suasana, tapi yang terjadi malah tubrukan bicara.

"Kita antar Megan pulang, Di."

"Rayn, yang kamu lakukan itu .... Risikonya besar. Setelah mati-matian jaga rahasia, gimana mungkin kamu buka begitu saja untuk aku? Apa kata Mami Kiara nanti?"

Rayn menggeleng. "Mami bakal mendukung keputusanku, jangan khawatir. Aku enggak bisa biarkan kamu mengakui perbuatan yang enggak kamu lakukan. Lagian, sejak kapan aku ada di pihak Lucy?"

Megan memandangnya hangat sebelum beralih pada Ardi. "Ardi, terima kasih sudah membelaku. Tapi gimana sampai terpikir ke sana?"

"Oh, di hari pembukaan expo, aku mengantarkan Bianca meminjam wig ke ekskul drama. Katanya untuk pemeriksaan lab karena Lucy alergi. Waktu itu enggak kepikir. Tapi tadi di sidang, aku heran, kalau Lucy ekskul drama, kenapa baru alergi sekarang-sekarang ini? Bisa jadi Lucy baru kali ini pakai wig. Jadi aku pastikan dulu dengan Maghda. Menurut Maghda, Lucy biasa memakai wig hitam panjang lurus yang terbukti aman untuk kulit kepalanya. Jadi tinggal dipastikan, wig yang dibawa Bianca itu yang mana. Bianca bilang wig panjang saja, dan aku enggak lihat sendiri."

Rayn merangkul Ardi. "Kamu cerdas, Di."

Ardi menyikutnya. "Baru tahu?"

Megan memandang keduanya ragu. "Tapi aku enggak yakin Bianca mau bersaksi memberatkan kakaknya. Rasanya enggak tega juga minta, menempatkan dia pada posisi sulit."

"Enggak perlu melibatkan Bee. Maghda bisa menjawab wig mana yang dipinjam Bee."

Megan tampak tidak yakin. "Bisakah dihentikan saja kasus ini? Aku enggak perlu menuntut balik Lucy. Cukuplah ada keraguan orang tentang perannya. Biarkan juga dia menikmati hadiah yang diidamkannya."

Rayn berpandangan dengan Ardi. Mengangguk. "Ya, kukira dia sudah dapat hukuman setimpal. Kehilangan rambut kebanggaannya."

"Rayn!" tiba-tiba seseorang memanggilnya dari bayang-bayang pilar.

Rayn menoleh, memicingkan mata. "Jangan sebutkan siapa dia," bisiknya pada Megan dan Ardi. Lalu maju selangkah ke arah orang itu. Suaranya. Cara memanggilnya. "Hai, Rai. Ada apa?"

Raiden keluar dari bayang-bayang. Tertawa. Rayn lega tebakannya betul. "Bisa bicara sebentar berdua?"

Rayn mengangguk. Meninggalkan Megan dan Ardi yang mau menunggunya saja untuk pulang sama-sama. Ia mengikuti Raiden ke luar dari lobi. Angin malam berembus. Rayn mengancingkan jasnya rapat-rapat.

"Aku menyaksikan jalannya sidang dari monitor di kantor Om Sam," kata Raiden. "Jangan tanya dengan atau tanpa permisi. DED enggak mengizinkan aku masuk soalnya. Aku salut kamu melindungi Megan sampai buka rahasia. Enggak terduga. Terus terang, kalau aku ada di posisimu, belum tentu aku bakal melakukannya."

"Apa itu berarti kamu sadar perasaanmu sama Megan enggak seperti yang kamu kira?"

Raiden tertawa. "Bukan, jangan senang dulu. Perasaanku masih sama. Maksudku, kalau aku dibolehkan membela Megan, aku bakal pakai cara lain. Enggak nekat kayak kamu. But you earn my respect." Lalu Raiden mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. "Ini bros kedua yang jadi segel perjanjian Megan dan Lucy untuk menjauhi kamu. Sebetulnya sudah enggak berlaku juga karena Megan mengerjakan tugas keempat yang lain. Tapi siapa tahu Lucy masih macam-macam. Nih, aku kembalikan ke kamu. Megan bebas. Kita bersaing fair sekarang."

Rayn menerima bros mawar indigo itu dengan takjub. Tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. "Bagaimana dengan bros pertama? Apa syaratnya untuk bisa kuminta lagi?"

Raiden tergelak. "Ya ampun. Belum tahu juga? Aku akan kasih tahu dengan satu syarat."

"Untuk mengetahui satu syarat harus pakai syarat lain? Astaga!" Rayn geleng-geleng. "Baiklah. Aku merasa Megan enggak bakal jawab juga kalau aku tanya."

"Tentu saja." Raiden tiba-tiba merangkulnya, mengajaknya jalan kembali ke Megan dan Ardi. "Berikan Hazelnut padaku."

"Hazel? No way." Rayn membelalak. Kucing putih itu sudah sangat dekat dengannya.

"Ya sudah. Tuh, Megan sudah lihat ke sini. Cepat putuskan atau dia akan dengar barter kita."

"Kenapa enggak cari kucing lain?"

Raiden menggeleng. "Hubungan dengan kucing itu spesial. Aku percaya, bukan kita yang memilih kucing, kucing yang memilih kita. Dan aku merasa Hazel memilihku. Kebetulan saja kamu ada di tengah-tengah. Persis seperti kamu ada di antara aku dan Megan sekarang."

Rayn menyodok rusuk Raiden main-main. Melepaskan rangkulan. Tapi ia mempertimbangkannya. Mami sudah sering ngomel soal pipis Hazel. Kegiatan Rayn di sekolah juga semakin intens. Hazel perlu teman. Ada Na dan Ta bersama Raiden. Hazel akan lebih bahagia. "Baiklah. Aku berikan Hazel sama kamu. Katakan apa syarat untuk bros itu?"

Raiden berhenti melangkah. Megan dan Ardi hanya berjarak semeteran dengan mereka. "Megan boleh ambil lagi bros ini kalau kamu sudah nembak dia."

"Oh ...." Rayn menyahut.

"Apa? Cuma oh?"

Rayn tertawa. Berkata dengan suara pelan juga. "Aku tahu, dengan begitu kamu bisa dapat update hubungan kami? Jangan harap, Rai. Ini urusan pribadiku dengan Megan. Aku enggak mau didikte sama kamu. Bros itu boleh kamu pegang selamanya. Anggap saja kenang-kenangan." Rayn meninggalkannya untuk bergabung dengan Megan dan Ardi. "Hazel akan kuantarkan ke rumahmu akhir pekan nanti."

Raiden mengangkat tangan, berpamitan.

"Aku ke toilet dulu," kata Ardi tiba-tiba, dan berlari ke ujung selasar.

Tinggal Rayn dan Megan. Berdiri berdampingan.

Bunyi lift berhenti di lobi mengejutkan mereka. Lucy keluar dengan ekspresi kaget dan kesal. Tapi tidak bisa menghindar saat Megan lari untuk mencegatnya. Rayn memperhatikan dua gadis itu. Megan mengambil tangan Lucy tapi dikibaskan dengan kasar. Megan tidak menyerah. Berusaha mengajaknya berbicara. Tampak Lucy mengusap mata dan pipinya. Megan menyentuh bahunya. Lucy lari ke arah mobil yang sudah menunggu di luar.

"Sepertinya uluran perdamaian kamu ditolak?" kata Rayn saat Megan kembali.

Mata Megan tergenang. "Terlalu banyak luka dipendam Lucy sendirian. Aku menyesal sekali selama ini enggak peduli. Perlu waktu untuk melunakkan hati yang telanjur keras. Tapi akan aku coba terus."

"Aku yakin kamu akan berhasil," kata Rayn lembut.

Seunting rambut Megan luruh ke depan saat gadis itu menunduk.

Tangan Rayn bergerak spontan, menyingkapkannya ke belakang telinga. Megan menengadah. Wajahnya memerah. Rayn tersenyum. Tidak ingin berkedip. Tapi kalaupun berkedip, tidak masalah. Wajah di depannya akan seperti baru ia lihat untuk pertama kali, dan ia akan jatuh cinta lagi dan lagi. Karena hatinya bisa melihat Megan di sana. Dan perasaannya untuk gadis itu selalu sama.

Rayn mengeluarkan bros mawar indigo dari saku. "Aku ambil dari Raiden, enggak masalah ini bros yang pertama atau kedua," katanya sambil menyematkan bros di kerah jas Megan. "Tapi aku sudah tahu syaratnya. Jadi, Megan Naja Nitisara, I confess –"

"Hei, what did I miss?" Ardi memukul punggungnya keras.

Rayn berbalik cepat dan merengkuh leher Ardi. Ia jitaki kepala anak itu sampai mengaduh-aduh minta ampun. Megan terkikik geli.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro