26. Diam Itu Tertikam
Ardi bisa menebak, kehebohan di tangga itu pasti menyangkut nasibnya. Quadrangle mereka bakal segera berakhir. Lebih to the point, persaingan sehatnya dengan Rayn sudah mencapai garis final. Tapi ngomong-ngomong, kapan mulainya? Ia masih terbengong-bengong di garis start, tahu-tahu sekarang sudah mau diumumkan pemenangnya? Siapa yang dipilih Megan?
Rayn. Sejak awal sudah jelas. Ia saja yang merasa ada peluang. Mengulur waktu, membohongi diri sendiri, mengabaikan sinyal-sinyal friendzone Megan. Sikapnya membuat Megan rikuh. Rayn pun mundur untuk memberinya kesempatan. Padahal kalau mau, Rayn tinggal bergerak, Megan sudah menunggu dan bakal menyambutnya.
Jadi, tidak salah lagi, ia akan tersisih for sure, for good. Ardi sudah siap.
Menurut artikel yang dibacanya di situs jomblokerendotcom, orang yang ditolak gebetan bakal menjadi tangguh dan dapat kesempatan beramal lebih banyak. Segitu sudah jatuh karena cinta ditolak, ketimpa tangga harus bilang enggak apa-apa sambil senyum, eh masih ketumpahan rasa bersalah pula dari si gebetan. Ujung-ujunganya, si jomblo keren juga yang harus menghibur dan meyakinkan bahwa penolakan itu bukan salahnya, tapi demi kebaikan bersama.
Let's see. Apapakah kisahnya akan mengikuti pola yang sudah umum itu?
Di taman, setelah makan siang terburu-buru tanpa suara, Ardi mengeluarkan dua bungkus tisu. Untuk Megan tentu saja, mengingat muatan emosional dalam ceritanya. Mereka masih punya waktu 45 menit. Entah akan cukup atau tidak kalau disertai drama.
Ardi menyingkirkan kotak bekal. Megan menangkap isyaratnya dan mulai bicara. Hanya perlu 15 menit untuk menceritakan semuanya. Tentang kesalahan yang Megan lakukan terhadap Lucy. Tentang dendam Lucy dan deal-nya dengan Raiden. Tentang Raiden yang sebetulnya baik tapi ingin menjauhkan Rayn darinya. Tentang tugas keempat dan kegalauan Megan melaksanakannya, yang kemudian berakhir kacau di tangga. Tentang perasaan Megan sebenarnya terhadap Rayn. Iya, Megan menyukai Rayn lebih dari yang lain. Dan terakhir, tentang perasaan Megan terhadap Ardi sendiri. Iya, Megan sayang pada Ardi seperti pada Mirza, adiknya. Sedikit meleset, bukan friendzone, tapi sisterzone. Oke.
Sistematis. Rapi. Jujur. Nyaris tanpa emosi. Tanpa drama. Megan sangat perhatian dan berusaha banget meminimalisir dampaknya. Megan memang beda dengan cewek kebanyakan, pikir Ardi kagum.
Kagum membawa gelombang pertama yang menghantam perasaannya. Ardi mengenali rasa kecewa, sedih, dan marah, yang meruak dari dada. Disusul banyak perasaan lain lagi sesudahnya. Tak berdaya. Minder. He's not good enough. Kurang ganteng, kurang tinggi, enggak kaya, enggak pintar. Semua itu meruntuhkan kesiapannya. Ardi sudah menebak, tapi tidak menyangka tebakannya bakal betul.
Dipandangnya Megan sesaat. Ketenangan gadis itu anehnya menular. Ia tahu, enggak mudah buat Megan memilih kata dan berbicara dengan tujuan tidak menyakiti hatinya. Jadi, kendalikan perasaanmu, Ardi. Ini cuma satu fase. Akan lewat segera, apalagi kalau kamu lari kayak dikejar Cimot.
Tiba-tiba saja ia terkekeh, menertawakan diri sendiri.
Megan tercengang. Mungkin mengira ia bisa menerima dengan santai.
"Aku bayangin kamu berlatih bicara dalam pikiranmu selama jam pelajaran tadi," kata Ardi.
Muka Megan langsung bersemu yang buru-buru ia tutupi dengan kedua tangan.
Ardi menjangkau ke seberang meja untuk menyentuh lengan Megan sekilas. "Terima kasih, Meg. Aku tahu kamu khawatir aku kenapa-kenapa. Bohong banget kalau bilang aku baik-baik saja. Tapi perasaanku sekarang enggak relevan. Kesampingkan saja dulu."
Di tahap ini, Ardi mengira Megan akan meminta maaf dan menjelaskan alasannya memilih Rayn. Ardi sudah siap dengan jawaban: "Enggak ada yang perlu dimaafkan, Meg. Perasaan enggak bisa dipaksakan."
Tapi Megan malah mengacungkan jempol. "Memang perlu waktu. Tapi dari awal, aku tahu kamu bukan cowok lemah. Rayn percaya dan ngandalin kamu, itu bukan tanpa alasan. Aku yakin kamu akan baik-baik saja."
Datang dari Megan, pujian itu membawa baper gelombang kedua. Lebih besar. Sudah tahu karakternya, tapi Megan enggak memilihnya. Ardi kehilangan kata-kata.
Untunglah Megan buru-buru menyambung. "Perasaanku juga enggak relevan sekarang, Di. Yang penting adalah keselamatan Rayn. Ada dua orang lagi yang tahu rahasianya. Raiden mungkin enggak bakal ingkar janji. Tapi aku enggak percaya Lucy. Ditambah lagi, Rayn sekarang aktif di OSIS, kalau dia enggak hati-hati ... siapa pun mudah mengamati kelainannya dan mengambil kesimpulan. Gimana cara kita melindungi Rayn?"
Jadi, pembicaraan sudah bergeser pada hal-hal teknis. Dalam kasus Megan, perasaan gadis itu sangat relevan. Karena dari mana kekhawatiran itu berasal kalau bukan dari lubuk hati terdalam, khusus untuk Rayn? Gelombang baper ketiga pun menerjang ganas. Ardi terenyak di bangku. Buru-buru merapal mantera. Ingat saja tugasmu sebagai MP Rayn! Ingat saja tugasmu sebagai MP Rayn! "Iya, Rayn harus diberitahu tentang Lucy yang sudah tahu kelainannya. Kita enggak boleh lengah, tapi harus kasih Rayn jarak dan kepercayaan. Rayn sengaja menyibukkan diri dengan expo. Kayak Jihan waktu baru bisa jalan, Rayn lagi lucu-lucunya, senang menjelajah, pamer kemandirian. Bakal marah kalau kita terlalu ketat menguntitnya ke mana-mana. Tiga minggu ke depan, aku bakal sering di luar sekolah untuk turnamen voli. Mungkin harus gantian awasi dia dari jauh."
Megan mengangguk. "Tapi aku enggak sibuk-sibuk amat. Aku bisa menggambar. Mungkin seksi dekorasi expo masih perlu relawan. Biar ada alasan untuk dekat Rayn."
Untuk mengawasi. Tapi kalaupun itu modus Megan, Ardi merasa enggak layak cemburu. "Lucy sudah kasih tugas keempat yang baru?"
"Ya. Dia enggak mau buang waktu." Megan tertawa getir. "Lucy melarangku ikut kompetisi fashion art kali ini. Tadinya aku mau ngejar ikutan. Deadline kan H-1 sebelum pembukaan expo. Masih cukup waktu. Tapi setelah kupikir-pikir, yang diminta Lucy masuk akal. Aku harus memberinya kesempatan. Aku berharap dia dapat juara satu dan hadiahnya sama dengan tahun lalu."
Ardi mengangguk. "Kamu berkorban. Harusnya Lucy bisa menghargai itu. Semoga jadi jalan untuk damai juga. Tapi kalau dia berulah lagi, kamu bilang aku ya."
"Tentu. Cuma kamu yang bisa aku curhati sekarang," kata Megan serius. "Setidaknya sementara ini. Sampai maluku hilang dan aku berani curhat lagi sama Rayn."
"Hmm ... soal itu ... pembicaraan kita ini, Rayn pasti pengin tahu. Apa yang bisa aku share?"
"Oh, no! No no no no ...." Dan begitu saja ketenangan Megan lenyap. Pipinya memerah seperti kue ku. Diadunya jidat ke meja, sambil mengerang enggak jelas. "Just kill me now, Ardi. Aku enggak bisa ketemu Rayn kalau dia tahu sketsaku. Kata-kata di bawahnya. Doodle nama kami. Syarat Raiden untuk ambil bros pertama. Galaunya aku dapat tugas keempat ...."
Ardi tergelak. "Berarti nyaris enggak ada lagi yang bisa diceritakan dong karena bakal nyangkut ke situ semua?"
Megan mengangkat kepala. Tampangnya kusut dengan rambut acak-acakan. Tapi wajah berlesung pipi itu tetap saja membuat Ardi terkesima. Gelombang baper ke- .... Ah, sudahlah! Di dalam sini sudah luluh lantak enggak berbentuk oleh terjangan sebelumnya.
"Aku malu, Di. Kalau sampai Rayn tahu perasaanku, tapi dia enggak punya perasaan apa-apa. Gimana kalau aku aja yang ge-er?" Dan Megan menjedukkan lagi jidatnya ke meja. "Aku takut. Seperti yang aku bilang ke Lucy dulu, dangkal banget mempertaruhkan persahabatan untuk perasaan sepihak begini."
Betapa inginnya Ardi mengakhiri penderitaan Megan dengan bilang perasaannya berbalas. Rayn menyukainya. Kalau enggak ada yang namanya persaingan sehat di antara mereka, mungkin Rayn sudah deklarasi dari dulu. Tapi ada semacam kode etik tidak tertulis antarcowok, atau setidaknya antara Rayn dan Ardi. Kalau enggak diminta oleh Rayn sendiri, pantang bagi Ardi mewakilinya menyatakan perasaan pada Megan. Rasanya seperti spoiler, merusak kesenangan menyatakan perasaan untuk pertama kalinya.
"Kalau begitu, aku enggak akan bilang apa-apa."
"Bagaimana kalau Rayn tanya?" Megan masih menelungkup. "Abis kejadian di tangga, rasanya enggak mungkin Rayn diam saja."
"Kalau dia tanya, aku akan jawab sebisaku tanpa kasih spoiler. Kalau dia mendesak, dan aku enggak bisa berkilah, apa boleh buat, aku akan jujur kasih tahu. Gitu ya?"
"Terima kasih, Di. Kamu ngertiin aku banget."
Gelombang baper ke- .... Oh, shut up!
Bel masuk juga sudah berbunyi. Ardi dan Megan kembali ke kelas masing-masing. Rayn menyapa Ardi tapi tidak bertanya tentang pembicaraannya dengan Megan. Sampai akhir hari itu. Sampai besoknya. Besoknya lagi. Dan seterusnya. Luar biasa, pikir Ardi. Gimana sahabatnya bisa begitu kuat menahan kepo? Padahal menyangkut cewek yang Rayn suka, menyangkut kejadian yang melibatkannya pula. Rayn bahkan lebih suka mengobrolkan cuaca, bekal makanan, dan kucingnya saat mereka makan bareng di taman di sela kesibukan masing-masing. Soal Lucy yang sudah tahu kelainannya pun ditanggapi tak acuh. Ardi dan Megan mengimbangi sikapnya. Dengan susah payah.
Di lain pihak, Ardi juga senewen karena enggak bisa curhat pada Rayn tentang kekalahannya tanpa bilang Rayn yang menang. Enggak bisa berbagi rasa baper baru yang ia alami. Kalau ada seribu jenis baper di dunia ini, maka bapernya pasti yang keseribu satu. Susah didefinisikan. Bikin ia melakukan hal-hal yang enggak biasa dengan alasan yang tidak ia pahami sendiri. Misalnya, lebih bernafsu nge-smash, tanpa ampun menghancurkan mental lawan sejak awal. Memilih sendirian di rumah ketimbang nginep di tempat Rayn, biarpun enggak berani keluar kamar. Malas menulis Check Point. Mandi malam-malam. Menatap langit-langit. Kepikiran memelihara anjing.
Untunglah enggak lama. Ia kembali menjadi dirinya sendiri di minggu ketiga. Saat Rayn tiba-tiba saja mengetuk jidatnya, "Siapa pun kamu, pergilah dari badan Ardi. Suruh dia balik. I miss him."
Ardi mengalihkan mata dari satu titik di plafon pada Rayn. "Really?"
"Really what?"
"Miss me?"
Rayn meninju lengannya. Tertawa. "Ari anjeun! (Dasar kamu!) Mumpung kamu lagi turun ke bumi, aku mau tanya pendapatmu." Rayn kemudian menceritakan kejadian yang bikin ia bingung tadi sore di booth Fashion&Craft. Menyinggung Megan lagi setelah sekian lama nama itu tidak muncul dalam percakapan mereka berdua. Ditunjukkannya pula SMS dari Megan dengan hape temannya. "Aku sampai di sana, tapi Megan pergi begitu saja. Aku pengin telepon dia. Tapi aku ragu. Mungkin dia marah sama aku?" Kekhawatiran Rayn begitu kentara.
"Marah kenapa?" Ardi terpancing untuk memancing. Salah besar, karena ia jadi menyaksikan pameran perasaan yang membuatnya iri. Rayn tersipu dengan wajah bersemu. Astaga!
"Entahlah. Mungkin karena aku sibuk terus. Kapan ya terakhir aku ketemu Megan?"
"Baru juga dua hari lalu. Kamu punya sepuluh menit sebelum rapat, tapi malah ngoceh soal Hazel kesedak kupu-kupu." Ardi menyemburkan napas. Sebal. Emangnya enak jadi orang ketiga yang diam tertikam di antara pasangan sok cool, sok enggak butuh?
Rayn meringis. "Soalnya aku bingung mau bicara apa. Makanya bela-belain ke aula waktu Megan SMS. Tapi kenapa Megan pergi gitu saja?"
Kening Ardi berkerut. Ya, aneh juga. Bukan Megan banget. Pasti ada alasan lain atau .... "Rayn, telepon Megan sekarang. Tanyakan. Aku curiga cewek itu bukan Megan dan kamu dikerjain. Mungkin di antara panitia expo ada yang mulai mengendus kelainan kamu?"
"Kalaupun ada yang jail, pasti bukan dari divisi acara. Kami sudah cukup dekat," kata Rayn. Lalu menelepon Megan dan menyalakan speakerphone untuk Ardi. Berbicara bertiga.
Tidak, Megan tidak mengirim SMS apa pun pada Rayn. Tapi memang pulang sekolah tadi, gadis itu sempat ke aula. Sayangnya ia terlambat, teman-teman seksi dekorasi sudah pulang. Aula sepi, jadi Megan keluar lagi. Itu sekitar pukul 16.45. Hanya beberapa menit sebelum Rayn tiba di aula.
"Ada apa, Rayn? Kamu bikin aku takut."
"Sepertinya Ardi benar, ada yang ngerjain aku. Jangan khawatir, Meg, enggak bakal terjadi lagi. Aku akan lebih hati-hati."
"Baiklah. Kupikir aku gabung di seksi dekorasi bakal bisa bantuin kamu. Nyatanya divisi acara lebih sering kerja di luar aula. Aku di dalam."
Rayn tertawa. "Terima kasih, Meg. Tapi aku baik-baik saja."
"Oke." Megan terdiam sesaat. "Rayn, boleh aku bicara dengan Ardi sebentar?"
"Tentu." Rayn mematikan speakerphone dan menyerahkan ponselnya pada Ardi. Dengan santai Rayn keluar dari kamar memberi mereka privasi.
Duh, Rayn menganggap kompetisi sehat mereka masih berlangsung, pikir Ardi trenyuh. "Halo Meg?"
"Bee minta jadwal tanding kamu, boleh aku kasih?"
"Tentu. Kasih aja. Tapi buat apa?"
"Buat apa? Aduh, Ardi! Pikir dong."
"Eh, mau nonton gitu? Emang suka voli? Sekarang masuk perempat final, pertandingannya di luar. Semi final baru di Darmawangsa."
"Kalau gitu, pastikan menang biar Bee bisa lihat aksimu di sekolah. Bee tahu kok kamu spiker andalan Darmawangsa. Sepertinya dia berminat masuk ekskul voli nanti."
Ardi angkat bahu. Lalu sadar Megan tidak melihatnya.
"Ingat motto sekolah kita, Di. Open Hearts, Open Minds, Open Doors. Bisa kamu terapkan."
Ardi hanya garuk-garuk kepala. Sampai Megan berpamitan, ia masih tidak tahu harus berpikir apa. Mengerti banget kenapa Megan menyebut-nyebut 3O. Tapi dalam kasusnya, apakah mudah membuka hati pada orang lain? Ardi menggeleng, tidak yakin. Tepatnya, tidak mau mikir sekarang. Ia keluar dari kamar, bergabung dengan Rayn dan Hazelnut main di lantai. Tiba-tiba saja keinginannya memelihara anjing hilang begitu saja. Tanda bapernya mulai pudar?
Semesta selalu punya cara memberi pertanda dan jawaban. Esoknya, saat tim voli selesai berlatih, dan Ardi keluar dari lapangan voli indoor, Bianca muncul di lorong, menyapanya. Katanya, ia perlu ke ruang ekskul teater. Sudah dapat izin untuk pinjam rambut palsu yang dipakai salah satu manekin. "Manekin ketiga dekat panggung, wig hitam panjang."
Karena Bianca tampak ragu, Ardi menawarkan diri untuk mengantarnya.
"Kamu tertarik teater? Kudengar mau pilih voli nanti?"
"Eh ...." Bianca tersipu. Memperlihatkan dekik tunggal di pipi kanan. "Wig itu bukan buatku. Tapi untuk kepentingan pemeriksaan lab. Lucy enggak masuk hari ini, kena alergi parah. Bukan cuma bersin-bersin, kulit kepalanya penuh ruam juga. Terpaksa deh rambutnya dipotong pendek banget. Dicurigai karena pakai wig itu waktu latihan drama kemarin. Dokter pengin memeriksa sumber alerginya."
"Oh. Aku enggak tahu kakakmu di teater. Semoga cepat sembuh," kata Ardi, lalu membukakan pintu ruang ekskul teater untuk Bianca. Di dalam, kegiatan sedang berlangsung. Jadi ia menunggu di luar. Beberapa menit kemudian, Bianca keluar membawa bungkusan plastik. "Sudah? Aku antar kamu ke lobi."
Di tangga, Bianca memecah hening, "Kak Ardi keren banget. Aku enggak nyangka loh Kak Ardi ambil posisi spiker."
"Karena aku enggak tinggi-tinggi amat?" Ardi tertawa. Spiker lawan selalu menjulang dan cenderung meremehkan tinggi badannya yang cuma 169 cm. Mereka lupa, spiker bukan hanya mengandalkan fisik. Kecepatan dan kecerdikan malah lebih utama.
"Bukan. Tapi karena Kak Ardi kan lembut gitu. Kayak pangeran keraton."
Ardi tergelak. "Astaga, ngegombal lagi."
Bianca cekikikan. Mereka kemudian berpisah di lobi. Gadis itu berjalan melewati sekelompok cowok dari SMA lain yang mungkin datang untuk menghadiri pembukaan expo. Mereka duduk-duduk di sepanjang bak tanaman hias. Mengiringi Bianca dengan siulan menggoda dan sorakan nakal. Ardi tidak jadi naik tangga. Ia bergegas menyusul Bianca, menemaninya sampai ke SMP.
Sepanjang minggu itu expo berlangsung. Rayn terserap dalam setiap acaranya. Tampaknya situasi aman dan terkendali. Ardi semakin percaya sahabatnya bisa menjaga diri. Ia pun berfokus pada babak perempat final, bertekad membawa tim voli Darmawangsa ke babak selanjutnya. Energi baper dari Megan sudah pudar. Tapi ia masih bisa melakukan smash kuat tak terduga. Ada yang menunggunya main di kandang sendiri.
Sore itu, Ardi dan timnya pulang membawa kemenangan. Masuk semi final. Sepanjang jalan, bus sekolah dipenuhi sorak sorai dan obrolan seru tentang jalannya pertandingan terakhir. Tiba-tiba terdengar nada dering nyaring ponsel orang lain, Ardi jadi ingat ponselnya sendiri yang disimpan di ransel selama pertandingan. Ternyata banyak misscall dari Rayn dalam dua jam terakhir. Dan satu SMS yang baru saja masuk.
Pesan dari Rayn membuatnya membeku dengan tengkuk meremang.
Segera ke DED. Megan disidang. Kamu sdh aku daftarkan sbg saksi pembela.
Bagaimana surat utang itu sampai ke tangan dewan, padahal Megan mengerjakan semua tugas dari Lucy? Ardi tidak habis pikir. Begitu sampai di sekolah sepuluh menit kemudian, ia langsung berlari ke ruang sidang di lantai satu. Pada pintunya, slot label digeser pada tanda in session. Sidang sudah dimulai. Penjaga pintu menahan anak-anak yang kepo di luar tapi membolehkan Ardi masuk karena datang sebagai saksi. Di dalam, Ardi disuruh menunggu sampai Miss Jansen selesai membuka sidang.
Ardi belum pernah terlibat dalam sidang DED sebagai apa pun. Ia tahu cara kerja dewan etika dari pengenalan sekolah di masa orientasi. Sudah jadi pengetahuan umum, hanya pelanggaran parah yang ditangani DED. Apa yang dilakukan Megan sampai berakhir di sini?
Disapukannya pandangan. Ada tiga guru dan tiga pengurus OSIS di meja DED, yang bertindak sebagai juri. Miss Jansen salah satunya. Merekalah yang akan menentukan salah atau tidaknya siswa yang disidang.
Di samping dewan, ada kursi untuk saksi ahli, yang biasanya bersifat netral. Di sana duduk seorang wanita muda dengan penampilan modis. Mungkin seorang model.
Megan sendiri duduk di sebelah kiri didampingi satu guru dan kursi kosong untuk saksi pembela. Kalau Ardi diminta duduk di sana, di mana Rayn?
Matanya menemukan sahabatnya, duduk di samping Lucy, di sisi kanan ruangan. Ada satu guru pendamping di meja yang sama. Sepertinya Lucy yang memperkarakan Megan. Tapi kenapa Rayn ada di pihaknya? Menjadi saksi yang memberatkan Megan?
Pidato Miss Jansen sampai pada pemaparan kasus. Telinga Ardi tersengat. Sama sekali tidak disebutkan pemakaian uang kas dan surat utang. Megan dituduh melakukan kecurangan, mengirimkan karya jiplakan ke lomba Fashion Art. Mempermalukan sekolah. Kemenangannya harus dibatalkan.
(bersambung)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro