Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. You're DED, Meg!

Seusai ujian hari terakhir. Di kelas yang sudah kosong.

Megan masih di bangkunya. Ia sudah mengirim pesan pada Rayn dan Ardi agar pulang duluan saja. Tidak usah menunggunya karena ada yang harus ia benahi di kelas sebelum libur. Megan melirik meja sebelah, yang hendak dibenahinya duduk di sana. Lucy hanya diam bersedekap.

Rasanya seperti meluncur di jalur cepat tanpa rem sejak Lucy memegang surat utangnya. Tiga bulan terakhir ini jauh lebih pelik ketimbang empat tahun lebih ia di Darmawangsa. Dulu semua serba sederhana. Belajar, ujian, meraih prestasi dan beasiswa. Berteman dengan semua siswa, berhubungan baik dengan semua guru. Happy.

Kesamaan hobi dan passion tiba-tiba saja mendekatkan ia dengan Lucy. Mereka saling berbagi cerita dan rahasia. Untuk beberapa lama, sekolah menjadi lebih asyik karena itu. Megan tidak menyangka, pertemanan yang mendadak intens itu ada risikonya.

Seperti rumah tanpa pondasi, begitu saja persahabatan mereka ambruk. Kesamaan hobi dan passion, ironisnya, menjadi penyebab. Masalah cowok topping-nya. Pasca break up, Megan kembali ke rutininas sederhananya. Belajar, ujian, meraih prestasi dan beasiswa. Berteman dengan semua siswa, berhubungan baik dengan semua guru. Happy. Tidak. Tidak semudah itu. Ada harga yang harus dibayar. Prestasi turun. Beasiswa lenyap. Konsekuensi mengadang. Puncaknya, surat utang di tangan Lucy.

Surat utang, alih-alih undangan, yang membawanya ke pesta Jocelyn, karena sebagai sahabat Lucy sekalipun, Megan tidak pernah masuk daftar VIP layak undang. Dan di sana, ia bertemu Rayn. Peristiwa yang tidak mau ia tukar dengan apa pun. Kepelikan dengan Lucy mendadak menjadi sesuatu yang layak dijalani.

"Oke. Mereka sudah pulang, enggak akan menyusul ke sini," kata Megan, setelah mendapat jawaban singkat dari Raynardi. Lucy masih bergeming. Membuat Megan tidak nyaman. Maka ia melanjutkan dengan obrolan santai. "Overcoat modifikasi Burberry-Zara sudah jadi? Bagus enggak? Pengin lihat ilustrasiku jadi kenyataan."

Lucy pun bergerak, mengibaskan rambutnya ke belakang. "Hmm ... kamu ingat untuk pakai istilah ilustrasi, bukan rancangan."

"Tentu saja, Luce. Itu rancangan Burrberry dan Zara. Kamu modif. Dan aku cuma mewujudkannya dalam bentuk gambar."

"Kamu enggak bilang begitu waktu menang kompetisi tahun lalu. Aku yang merancang busana dan kamu mengilustrasikannya. Kamu ikutkan dalam lomba atas nama kamu sendiri dan menang. Kamu akui itu sebagai prestasimu dan kamu ambil hadiahnya. Oh tidak, Megan tidak butuh magang sama desainer profesional dan jalan-jalan ke Singapura untuk menonton fashion show. Kamu lebih butuh duit dan minta hadiah itu ditukar uang saja. Kamu enggak peduli ...."

"Hei, tunggu dulu! Jangan sembarang menuduh!" Megan menyela dengan menepuk-nepuk meja sampai Lucy berhenti bicara. "Aku merancang busana itu dari imajinasi, murni kreasiku sendiri. Kenapa tiba-tiba kamu ngaku-ngaku? Biasanya juga kamu memodifikasi desain brand populer."

Lucy mengentakkan kaki. "Kamu lupa, Meg. Jauh sebelum kompetisi, kita tiduran di beranda belakang rumahku. Bunga kolecer lagi lebat-lebatnya. Terus aku bangun dan ngumpulin bunga yang berguguran. Warna pink dan bentuk kelopaknya bagus. Aku susun di lantai jadi gambar gaun pesta ...."

Megan masih mendengarkan dengan kening berkerut. Ia ingat momen itu. Terbaik yang pernah mereka lewatkan bersama. "Maksudmu, fashion art yang kuikutkan dalam lomba sama dengan desain kamu? Luce, aku malah enggak bikin gaun pesta."

"Kamu bikin rok kasual remaja. Aku tahu. Tapi corak dan warnanya pakai bunga kolecer. Kamu menyusun kelopaknya mirip dengan rancanganku." Suara Lucy meninggi. "Kamu menang kompetisi. Padahal kamu plagiasi ideku. Sayangnya aku enggak potret rancanganku untuk bukti ke dewan juri. Kita memang sudah enggak sahabatan, tapi aku enggak menyangka kamu lakukan itu."

Megan terbelalak. "Kalaupun kamu potret rancangan gaun kelopak kolecermu, aku yakin juri bisa lihat bedanya dengan karyaku. Kolecer itu kekayaan alam yang bisa menginspirasi siapa saja. Kamu enggak bisa ngeklaim ide itu milik kamu. Cek saja di Internet, banyak seniman fashion pakai bunga-bungaan yang sama. Lagian yang dinilai juri bukan cuma desain baju dan corak bunganya, tapi komposisi seninya."

Kata-katanya mungkin mengena. Lucy terdiam, hanya menatapnya marah.

"Ya ampun, Luce. Kamu menyimpan uneg-uneg enggak jelas selama ini?" Megan mengerang pelan.

Lucy memandangnya dengan dagu terangkat. "Aku mengidamkan hadiah utama. Belajar langsung dari perancang busana terkenal selama dua minggu, dan diajak menyaksikan fashion show di Singapura. Kesempatan yang langka, dan kamu yang dapat. Aku di tempat kedua cuma dapat hadiah uang. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu menukarnya dengan uang tunai. Kamu gila, Meg! Bikin aku senewen juga. Kalau memang tujuanmu cuma duit, dari awal bilang saja ke juri untuk tukeran dengan aku. Tapi enggak, kamu enggak peduli ...."

Megan tidak bisa berkata-kata. Apa yang diucapkan Lucy benar. Dalam kegirangannya memenangi lomba, ia tidak peduli dengan perasaan Lucy. Bagaimana ia peduli kalau mereka tidak pernah bicara lagi sejak lulus SMP? Bagaimana mungkin ia tahu apa yang diidamkan Lucy? Anak itu ikut lomba saja sudah mengejutkannya. Bagaimana ia bisa mengajaknya tukar hadiah? Dengan bilang bahwa ia lebih membutuhkan uang tunai untuk membantu Mirza masuk SMP? Bepergian dua minggu ke Jakarta dan Singapura pasti perlu dana yang tidak ditanggung panitia. Dari mana juga uangnya?

Ah. Megan mengerti sekarang dendam kesumat Lucy. Tapi ia merasa tidak perlu menjelaskan keputusannya. Belum tentu Lucy mengerti. "Aku enggak bisa mengubah yang sudah lewat. Maaf soal hadiah itu. Bagaimana kalau sekarang kamu kasih aku tugas keempat? Kamu menahanku di sini untuk itu, kan?"

Lucy mengangguk. Tapi tidak segera berbicara.

Sengaja bikin tegang, pikir Megan. Tugas terakhir. Setelah menyiram Wynter, Megan sebetulnya mengantisipasi tugas yang sama berat atau lebih lagi. Nyatanya, tugas kedua dan ketiga sangat ringan. Menyelidiki Bianca dan membuatkan fashion art, itu terlalu ringan. Megan jadi kepikiran, rasanya tidak mungkin antiklimaks. Lucy menyimpan sesuatu. Ia punya feeling, sekarang saatnya.

"Jauhi Rayn. Kalau dia ngajak jadian, tolak." Lucy akhirnya bersuara.

Megan menoleh, memandang wajah berbalut rambut pirang abu itu sesaat. She's joking, right? Lalu ia tercengang. Lucy serius. Bagaimana Lucy tahu tentang Rayn dan perasaannya? Megan tidak pernah mengumbarnya di sekolah.

"Semua orang yang bermata bisa lihat kedekatan kalian. Ada dua cowok memang." Lucy mencebik, bisa menebak keheranannya. "Tinggal dipastikan yang mana. Sketsa Rayn itu—"

"Kamu mengoprek lokerku!" Megan sampai berdiri. Mukanya panas. Perasaannya terpapar sempurna oleh satu bait lagu Just Walking in the Rain yang dipelesetkan jadi Rayn di bawah sketsa Rayn. Bukan itu saja, ia juga banyak menulis MegRayn dan inisial MR di buku catatan. Hanya dengan begitu, ia bisa bertahan melalui jam-jam pelajaran yang membosankan sampai tiba waktunya bertemu Rayn lagi di taman.

"Kebiasaan lama, Meg. Lokermu lokerku. Kamu juga masih pakai gabungan tanggal lahir kita sebagai kunci kombinasi. Tandanya kamu masih kasih aku akses." Lucy menyeringai.

Megan menggeram. Mengempaskan diri kembali di kursi. Bagaimana ia bisa begitu bodoh dan ceroboh? "Aku enggak mau terima tugas itu. Terserah, kalau kamu mau pamerkan surat utang itu di kelas, di lapangan, atau kirim ke surat kabar, aku enggak peduli. Jangan campuri urusanku dengan Rayn."

Di luar dugaan, Lucy hanya menanggapi dingin. "Oh ya, kalau kamu menolak memang ada konsekuensinya. Tapi jalur nonformal begitu efeknya sebentar. Ada yang lebih berasa buat kamu. Kalau surat utang itu sampai ke tangan Dewan Etika Darmawangsa, you're DED, Meg. Enggak akan ada beasiswa selamanya buat mereka yang punya catatan buruk di sana. Ya ya ya, kamu boleh bilang enggak peduli juga. Bagaimana kalau aku kasih tambahan konsekuensi? Rayn itu cowok populer. Kamu tahu, kan? Banyak cewek bakal siap nerkam kamu begitu dengar kalian jadian. Tapi bayangkan apa efeknya kalau mereka juga dengar rahasia Rayn?"

Darah seakan meninggalkan kepala Megan, berkumpul di jantung yang menguatkan debaran sampai terasa sakit. Ia lebih mencemaskan Rayn ketimbang DED. Sementara tampang tengil Raiden melintas di benak, berikut pesannya di LINE:


---- Hai, Megan, sudah kubilang kan, aku pasti bisa dapetin kontak kamu? Lucy itu menyebalkan dan keras kepala, tapi sekalinya dia punya tujuan, dia lakukan apa saja, termasuk bikin deal denganku. Nah, aku dapat id LINE kamu, dia dapat ... eh, rahasia. Ini bagian dari perjanjian. Sorry, aku enggak bisa bilang.


"Rahasia apa? Kamu sekarang jadi tukang sebar hoax, Luce?" Megan mencoba melawan dengan tawa meremehkan.

"Kamu merendahkan aku." Lucy geleng-geleng. "Aku enggak perlu bikin hoax. Suruh saja semua cewek yang naksir Rayn bikin percobaan. Muncul di depan Rayn dengan penampilan beda-beda. Buktikan sendiri betapa anehnya cowok itu. Aku sendiri sudah beberapa kali enggak dikenali Rayn kalau rambutku tertutup. Aha! Kamu tahu juga. Ekspresi kamu enggak bisa bohong. Kupikir, itu sebabnya kamu sering pakai konde sumpit asalan dan mau tampil ala anak TK begitu. Dengan bando itu-itu saja. Demi dikenali Rayn tersayang?"

"Leave him alone!" Megan mengepalkan dua tangannya di atas meja. "Urusan kamu sama aku. Jangan ganggu Rayn!"

Lucy tertawa. Suaranya bergema di kelas yang kosong. "Nah, makanya aku kasih kamu tugas keempat. Jauhi Rayn. Tolak dia kalau nembak kamu. Dugaanku sih, di awal semester baru dia bakal confess. Liburan panjang selalu bikin cowok mellow. Lindungi Rayn-mu dengan kerjain tugas terakhir."

"Aku enggak nyangka kamu sejahat itu, Luce!" Megan menatap cewek di depannya dengan mata panas. "Apa untungnya buat kamu, selain kepuasan bisa membalas dendam sama aku?"

"Oh, banyak. Aku harus pastikan kamu enggak jadian dengan Rayn. Itu janjiku sama seseorang."

"Raiden! Aku tahu. Tunggu saja, aku mau bicara sama dia!"

"Wow! Kamu pikir gampang? Enggak usah marah-marah sama Rai. Harusnya kamu malah berterima kasih. Dia suka kamu, dia belain kamu. Bagian dari deal itu, Raiden minta aku ringankan tugas kedua dan ketiga buatmu. Kalau enggak, kamu pasti sudah kusuruh menghadapi Lila dan gengnya yang sering kurang ajar menghina Bee. Mengatainya anak hasil selingkuhan karena beda denganku."

Megan memandang Lucy tak percaya.

"Jangan lihatin aku kayak gitu. Perjanjian kami masuk akal. Raiden lebih canggih membungkam Lila dan kawan-kawannya. Masalah itu sudah beres. Jadi, aku harus penuhi janjiku pada Rai. Kamu kerjakan saja tugas keempat. Biar cepat selesai dan kita bisa sama-sama move on!"

Megan menutup muka dengan kedua tangan. Mendadak otaknya seperti kolam lumpur kental, pemikiran apa pun susah lewat. Jauhi dan tolak Rayn? Menjauh mungkin mudah dengan seribu alasan tanpa menyakiti. Menolak? Memangnya benar Rayn mau confess? Bros mawar indigo yang pertama masih di tangan Raiden. Rayn sempat menanyakan syarat mengambilnya lagi. Tentu saja Megan malu menjawabnya. Ia berharap Rayn mencari tahu sendiri dari Raiden. Tapi tampaknya Rayn tidak mau repot-repot, lebih mudah memberinya bros kedua.

Di satu sisi, Megan kecewa dan jadi baper mengingatnya. Tapi di sisi lain, ia berharap dugaan Lucy keliru. Rayn hanya menganggapnya sahabat. Bukan salahnya kalau enggak ada pengakuan. Ia tidak perlu menolak dan menyakiti hati Rayn.

Tapi bagaimana kalau benar Rayn ngajak jadian seperti yang ia harapkan? Mungkinkah ia bisa menolak dan membohongi Rayn? Aah, nanti saja ia pikirkan itu. Yang penting sekarang adalah menyumpal mulut Lucy, mengamankan rahasia Rayn. Sungguh mengerikan kalau sampai bocor. Meski ada aturan dan hukum ketat untuk perundungan, itu kan untuk yang ketahuan. Banyak cowok-cewek sadis yang bisa bergerak di bawah radar. Ardi sekalipun enggak mungkin bisa standby setiap detiknya melindungi Rayn.

"Baik, aku terima tugas keempat." Megan berkata dengan suara mengambang.

Lucy sedang menatapnya ketika Megan menurunkan tangan. Dikibaskannya rambut pirang abunya dengan gaya mendadak sok bijak. "Aku tahu perasaanmu. Pernah dua kali mengalaminya. Wynter dan Keenan, kalau kamu ingat. Tapi waktu itu, sahabatku sendiri meremehkan perasaanku. Rasanya lebih sakit ketimbang ditolak dua cowok itu, kamu tahu?"

Megan tercengang. Apa lagi yang telah dilakukannya sehingga melukai hati Lucy?

"Kamu bilang begini: 'Luce, yang penting itu belajar, kejar prestasi, cowok belakangan. Kamu pikir, yang kamu rasain sekarang itu cinta? Bukan. Itu cuma gejolak hormon. Lupakan saja.' Ingat sekarang? Atau yang ini: 'Luce, perasaan kamu ke Wynter itu enggak bakal bertahan lama. Kamu cuma terpesona sama cuek dan jailnya, kan?' Atau begini: Luce, Keenan maunya sahabatan, kenapa mau kamu rusak dengan confess segala? Jangan dangkal gitu deh. Kamu bakal menyesal nanti'."

Astaga. Megan tertegun. Ia seperti mendengar ceramah Tante Naura. Dulu ia menirukan kata-kata Tante begitu saja tanpa memikirkan perasaan Lucy. Sekarang, ia mengerti betapa bete-nya Lucy waktu itu.

Tempat yang paling asyik buat fangirlingan dan curhat tentang cowok pastilah sahabat perempuan. Kalau ada, kakak atau adik perempuan mungkin bisa membantu. Tapi waktu itu, Bee masih SD, belum mengerti. Orangtua Lucy sendiri selain sibuk, juga punya sikap yang sama dengan Tante Naura. Jadi harusnya Megan-lah tempat satu-satunya.

Sayangnya, Megan pun keliru bersikap. Baru menyadari sekarang setelah mengenal Rayn. Kalaupun nasihatnya benar dari sudut pandang orang dewasa, sebagai sahabat, Megan harusnya berempati dulu. Rasa suka itu nyata, soal jadian atau pacaran beda cerita. "Aku bukan sahabat yang baik." Megan mengakui penuh sesal. Tidak punya tempat untuk curhat tentang cowok itu sama sekali enggak enak.

Lucy tersenyum sinis. "Kamu pikir dengan menyesal dan minta maaf bisa membatalkan tugas keempat?"

Megan menggeleng. "I'll do it. Asal kamu janji enggak ganggu Rayn dengan cara apa pun!"

"Ya. Mulai sekarang jauhi saja dia. Sini, berikan bandomu." Lucy mengulurkan tangan. "Kamu harus membaur dengan cewek-cewek lain yang enggak dikenali Rayn."

Dengan berat hati, Megan melepas bando mawar indigo dan menyerahkannya pada Lucy. Ia tahu Lucy pasti mengerti, banyak tanda pengenal lain yang bisa ia pakai kalau mau. Serah terima bando itu jadi semacam segel perjanjian saja. Lucy kemudian meninggalkannya sendiri.

Ingin rasanya Megan lari mengejar Rayn dan Ardi. Menumpahkan segala kesesakan. Hati kecilnya menyarankan kejujuran. Tapi akalnya memprotes. Bagaimana ia bisa menceritakan semua itu tanpa memaparkan perasaannya sendiri? Ia tidak sanggup menghadapi reaksi Rayn dan Ardi, apa pun itu.

Kalau mau meluruskan tali kusut, ia harus menemukan ujungnya. Setelah menimbang-nimbang sejenak, Megan pun menghubungi Raiden. Cowok itu menerima teleponnya dengan riang. Tapi saat Megan bilang ingin ketemu, Raiden menolak. Nanti saja katanya, karena ayahnya dari Palembang datang berkunjung. Tinggalkan saja alamat, Raiden berjanji datang. Megan tidak ingin memberikan alamat Tante Naura. Besok ia pulang kampung, jadi alamat di Manglayang itu yang diberikannya. Tidak terlalu yakin Raiden akan bela-belain mendaki lereng gunung.

Nyatanya tiga hari kemudian, cowok itu datang bersama Wynter. Lengkap dengan persiapan dan perlengkapan hiking. Megan mencarikan pemandu untuk mereka. Dari sekian banyak akomodasi di kaki gunung, Raiden memilih penginapan terdekat dari rumahnya.

Pada kesempatan pertama, Megan mengajak Raiden berbicara berdua, sementara Wynter ditemani adik-adiknya.

"Kamu sudah tahu tentang Rayn?" Megan memulai dengan hati-hati. Berusaha mengendalikan emosi. Entah kenapa bawaannya pengin dorong Raiden. Kalaupun bukan ke jurang di depan mereka, cukuplah dari balai-balai tempat mereka duduk.

"Prosopagnosia? Ya. Aku sudah googling." Raiden tampak prihatin.

Megan tidak mau tertipu tampang polos di depannya. "Kamu kasih tahu Lucy!"

"Enggak. Sama sekali. Suer!" Raiden menatapnya lekat. "Aku memang bikin deal sama Lucy. Aku minta kontak kamu, keringanan tugas buat kamu, dan bantuan Lucy untuk menjauhkan kamu dari Rayn. Sebagai gantinya, aku mengurus Lila dan gengnya. Enggak usah tanya aku apain mereka. Lucy juga minta aku melindungi Bee. Paranoid. Bee baik-baik saja kok."

"Kamu tahu surat utangku."

"Sudah kubilang, Meg, aku bakal tahu banyak tentang kamu. Semua informasi yang bisa kuakses tentunya. Kamu tuh sudah bikin aku penasaran sejak pertama kita ketemu tiga tahun lalu. Terus terang, gara-gara kamu juga, aku mau pindah ke Bandung dan sekolah di Darmawangsa."

"Heh? Tiga tahun lalu? Kamu kan baru pindah kelas 11."

Raiden menyeringai. "Memang. Tapi aku pernah berkunjung sendiri ke SMP Darmawangsa waktu kelas 8. Ketemu kamu di gardu satpam SMP. Kamu lupa? Sudah kuduga. Bagaimana dengan anak yang minggat dari Kuala Lumpur ke Bandung untuk lihat makam bundanya?"

Megan membelalak. Buru-buru menutup mulutnya yang ternganga. "Ya Tuhan. Itu kamu?" Tentu saja Megan ingat, hanya tidak menyangka itu Raiden. "Kamu aneh banget sih. Pakai baju lusuh, nanya-nanya ke anak yang bubaran sekolah apa alasan mereka sekolah di DWHIS. Mana ada yang mau jawab. Yang ada curiga kali."

"Tapi kamu berhenti dan menjawab pertanyaanku dengan ramah." Raiden memandangnya hangat.

Megan melengos. "Kupikir, kalau kamu berniat buruk, satpam pasti sudah mengusir kamu."

Terbukti, kepala SMP sendiri yang turun untuk menjemput anak itu. Megan tidak tahu namanya, tapi anak itu bilang, baru datang dari Kuala Lumpur untuk melihat makam bundanya. Meninggal di Palembang dua tahun sebelumnya. Anak itu merasa bersalah. Sudahlah tidak hadir di rumah sakit di hari terakhir, lalu tidak ikut pula ke Bandung untuk pemakaman karena ia sendiri jatuh sakit. Setelah itu harus pindah ke Malaysia pula.

"Aku ingat betul kata-katamu, Meg." Raiden tersenyum saat Megan mengangkat muka. "Kamu memanggilku kakak waktu itu. 'Jangan sedih, Kak. Di makamnya nanti, ceritakan saja alasan Kakak. Pasti beliau mengerti.' Kamu benar, rasanya lega bisa bicara dengan Bunda lagi. Aku catat namamu dan aku jadikan alasan untuk pindah ke sini. Tapi situasi baru memungkinkan di kelas 11. So here I am."

Untuk pertama kalinya, Megan melihat sisi lain Raiden. Mata sipit yang basah itu, entah kenapa meluruhkan semua kecurigaan Megan. "Kenapa kamu baru bilang sekarang? Ya ampun, Rai!"

Bibir Raiden maju. Dengan sebal ia mengomel. "Gimana aku mau cerita kalau kamu lari terus waktu aku dekati? Kecoak itu awal yang buruk, tapi aku enggak sengaja jailin kamu."

Megan geleng-geleng. "Maafkan aku, kalau begitu."

Raiden tertawa. "It's okay. Ada lagi yang mau kamu bicarakan?"

Megan mengangguk, menceritakan percakapannya dengan Lucy. Tugas keempatnya. Kekhawatirannya kalau rahasia Rayn sampai tersebar.

Raiden tiba-tiba menepuk-nepuk kepalanya. "Jangan khawatir. Rahasia Rayn aku jamin aman. Berhenti di Lucy. Biar kamu tenang, aku akan ambil bros mawar itu dari Lucy. Tapi enggak bisa kamu minta sampai tugas keempat selesai."

Megan menyingkirkan tangan Raiden dengan kesal. "Kupikir, kamu bisa batalkan tugas keempat."

Raiden cemberut. "Enak saja. Itu kan buat kepentinganku. Rayn harus usaha sendiri dong. Lagian kamu masih harus bereskan tugasmu untuk Lucy. Aku enggak bisa bantu di situ. Asal kamu tahu saja, aku belum menyerah soal kamu. Perasaan bisa berubah. Sekarang kamu condong ke Rayn, tapi besok, lusa, tahun depan, atau sepuluh tahun lagi, siapa tahu."

Megan mendecak. Tapi perasaannya menjadi lebih  ringan. Rayn aman, itu yang penting.

Semakin mendekati hari pertama masuk sekolah lagi, semakin nelangsa hati Megan. Degdegan heboh kalau ingat kemungkinan Rayn nembak dia. Menangis sendiri kalau ingat apa yang harus dilakukannya. Berdoa banyak-banyak agar mereka semua bisa mengurai kepelikan ini.

Faktanya, kepercayaan dirinya menguap seketika melihat Rayn seusai assembly. Cowok itu sendirian, bahkan tidak mengenalinya saat ia lewat tanpa tanda identitas apa pun. Megan membaur dengan teman-teman, lari dari masalah. Lucy menepuk bahunya sebagai isyarat sebelum keluar dari aula. Dan enggak lama kemudian Raiden memanggil-manggilnya dari samping Rayn.

Megan membuat catatan di benak untuk mendorong Raiden kapan-kapan. Tidak sekarang, karena kehadirannya justru membantu Megan melaksanakan tugas keempat. Tahap pertama, jauhi Rayn. Berhasil. Berakrab-akrab saja dengan Raiden. Rayn pun menjauh. Meninggalkan nyeri di dada Megan.

Tahap kedua, gagal total. Awalnya sandiwara spontannya seperti berhasil. Rayn cepat tanggap. Lucy hampir percaya. Tapi hati Megan tersayat melihat reaksi Ardi saat memandang Rayn. Ardi ... cowok berhati malaikat, yang kemungkinan besar akan terluka. Sekarang, duduk di depannya, siap mendengarkan ceritanya. Semua hal yang tidak mungkin ia sampaikan pada Rayn secara langsung.


(bersambung)



-----------------------


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro