22. Action Speaks Louder
Rayn duduk memakai sabuk keselamatan, dua tangan diletakkan di paha, pandangan lurus ke depan. Untuk beberapa menit, Raiden melajukan sedan hitamnya tanpa bicara. Rayn pun diam, hanya menduga-duga tujuannya. Sepertinya ke arah Lembang, daerah pegunungan di Bandung Barat yang memiliki banyak tujuan wisata. Tapi beberapa lokasi populer dilewati begitu saja. Ah, apa yang diharapkannya? Ia dibawa Raiden bukan untuk bersenang-senang menikmati pemandangan alam.
"Bisa nyetir?" tanya Raiden tiba-tiba. "Biar kutebak. Bisa. Mungkin sudah punya kendaraan sendiri hadiah ultah dari orangtua. Nongkrong saja di garasi, karena kamu belum punya SIM. Pastinya bukan mobil bekas kayak punyaku ini. Mungkin sport dua-pintu yang harganya di atas 1M?"
Rayn menggeleng. Faktanya, Mami tidak mengizinkan ia mengemudi sebelum usianya genap 18 tahun. Papi juga enggan membelikannya kendaraan bermotor roda dua atau empat karena belum ada perlunya. Rayn sendiri enggak suka keluyuran. Klop. "Tebakanmu salah semua."
"Really?" Nada tidak percaya Raiden begitu kental.
"Kamu enggak tahu apa-apa tentang aku." Rayn memandang sisi wajah Raiden. Cowok itu fokus pada kemudi. Sedekat ini, Rayn baru melihat bekas luka di bawah telinga kirinya. Tidak tampak saat rambut Raiden masih gondrong. Parut sekitar tiga senti itu terpapar sekarang, jadi tanda pengenal untuk Rayn selain kalung kristalnya. Raiden tiba-tiba memutar leher, mereka bertatapan sebentar sebelum Rayn meluruskan pandangan.
"Hmm. Tapi benar kan, kamu punya masalah ingatan? Entah apa namanya, tapi jelas suatu kelainan, dan sangat dirahasiakan. Aku yakin setelah lihat kamu dan ibumu mendatangi ruang kepsek tadi. Setelah kalian pergi, aku dipanggil. Tapi Om Sam menyembunyikan fakta. Hanya bilang begini ...." Raiden tiba-tiba berdeham dan menirukan suara kepala sekolah, lengkap dengan gaya khas serta serak-seraknya. "Raiden, di sekolah ini, kita menghargai perbedaan, menerima keberagaman. Tidak ada toleransi untuk segala bentuk perundungan. Kamu tahu konsekuensinya. Sebagai kepala sekolah, aku harus melaksanakan aturan tanpa kecuali. Sebagai pamanmu, aku ingin kamu menjaga nama baik keluarga Darmawangsa."
Dalam situasi lain, Rayn bisa terpingkal-pingkal mendengarnya. Tapi ini Raiden, yang bersikap dingin padanya, yang berbicara dengan tampang bete, tanpa niat melawak pastinya. Maka ia hanya berkata datar. "Aku enggak harus menjelaskan apa pun sama kamu."
"Ya, aku juga enggak peduli. Kurang kerjaan banget ngurusin kelainan orang. Cuma kamu tuh ada di antara aku dan Megan, kayak batu ngalangin jalan. Mau enggak mau aku lihat kamu. Mau enggak mau aku harus pelajari di mana titik lemah kamu biar bisa aku ungkit minggir. Masuk akal?"
Sangat masuk akal. Rayn terpaksa mengakui itu. Raiden sudah menemukan kelemahannya. Belum sepenuhnya tahu, tapi Rayn yakin, dengan riset Internet sedikit, Raiden bakal menemukan istilah buta wajah, face blindness, prosopagnosia, lalu menghubungkan semuanya. Ia harus meyakinkan Raiden untuk menyingkirkannya dengan cara lain. Tapi Raiden bukan Ardi yang bisa diajaknya bersaing sehat. Apalagi setelah kematian Re ....
"Aku minta maaf tentang Re. Kalau ada yang bisa kulakukan, mungkin carikan kamu kucing baru—"
Kalimat Rayn terputus oleh bunyi beruntun klakson yang tiba-tiba dipukul Raiden. Padahal situasi jalan raya tidak perlu peringatannya. Cowok itu menoleh dengan pandangan tajam. "Kucing baru? Kamu pikir Re hewan peliharaan biasa? Kamu enggak tahu rasanya kehilangan dia!"
"Maaf .... Aku cuma mencoba menyelesaikan masalah kita," kata Rayn segera.
Raiden sudah kembali memandang jalan. Tertawa kasar. "Masalah kita? Masalah kamu kali. Kamu takut rahasia kelainanmu tersebar. Kamu juga merasa bersalah dengan kematian Re. Jelas, semua itu masalah kamu. Tapi kamu butuh aku untuk menyelesaikannya, untuk enggak buka rahasia, juga memafkan kamu soal Re."
Rayn tergugu. Kata-katanya menusuk, tapi sekali lagi Raiden benar. Rayn menarik napas dalam-dalam. Memutuskan untuk diam daripada salah bicara lagi.
Beberapa saat sepi sampai Raiden menyalakan musik. Instrumentalia piano lembut. Rayn menoleh terkejut. Ia pikir bakal mendengar ingar bingar rock yang bikin telinga berdenging.
"Lagu ini kesukaan Re," kata Raiden pelan. "Bikin dia tenang. Dia enggak suka dikandangin, lebih enggak suka lagi berada di dalam mobil. Kupikir, Re mengidap klaustrofobia. Aku belum menemukan cara mengatasinya, keburu .... "
"Maafkan aku." Rayn menunduk. Belum pernah ia merasa bersalah seberat ini, seakan ia sendiri yang melindas Re. Fakta ia belum bisa menyetir tidak mengurangi bebannya.
"Bukan aku yang bisa memaafkan kamu, karena kesalahanku sama besarnya. Tanganku sendiri yang bikin Re kabur. Kamu harus minta maaf pada yang bersangkutan."
Rayn tercengang. Raiden bicara apa? Semakin ia tidak mengerti saat mobil memasuki jalan kecil di antara pepohonan, terus ke dalam hingga sampai di depan pemakaman umum. Raiden mematikan mesin dan menyuruhnya keluar. Tanpa banyak bicara, cowok itu memimpinnya melalui jalan setapak yang mendaki. Rayn mengikutinya, sambil mengamati sekeliling.
Sepi, hanya ada satu rumah kecil di ujung lain pemakaman. Berangin, rumpun-rumpun bambu berkeriyut dan bergemerisik. Awan mendung menggelayut, sewaktu-waktu bakal turun hujan.
Entah kenapa yang melintas di benak Rayn kemudian adalah fakta bahwa ia tidak membawa apa pun kecuali dompet di saku celana. Ada kartu pelajar dan uang. Ia percaya Raiden tidak akan berbuat macam-macam, tapi ia harus siap dengan segala kemungkinan.
Mereka berjalan terus, menyusuri pemakaman yang padat. Rayn mendengar aliran deras dan gerojok air. Sepertinya ada sungai kecil di sisi kanan bawah, tidak terlihat dari jalan setapak. Tapi kemudian, jalan setapak semakin mepet ke tepian, dan Rayn tahu sebabnya. Tampak bekas-bekas longsor. Beberapa makam di sepanjang patahan itu rusak. Kayaknya belum lama terjadi kalau melihat akar-akaran semak yang mencuat dari tanah basah.
"Setiap hujan deras, sungai meluap mengikis pemakaman. Puncaknya minggu lalu. Terjadi longsor sampai merusak makam terluar," kata Raiden saat menyadari Rayn berhenti untuk mengamati keadaan. "Ayo jalan, keburu hujan nanti."
Rayn menyusul Raiden ke bagian tengah pekuburan. Ada sepetak tanah persegi yang dipagari tanaman setinggi lutut. Luasnya mungkin cukup untuk menampung seratus makam. Tapi baru seperempatnya terisi. Kontras dengan kepadatan di luar, makam-makam di sini berjajar dengan jarak rapi. Bukan itu saja, bentuk batu nisannya pun seragam. Rayn baru menyadari ini petak khusus milik keluarga Darmawangsa saat membaca nama-nama pada nisan yang mereka lewati.
"Ada keluarga yang baru meninggal?" Rayn akhirnya bersuara, menunjuk beberapa gundukan baru di ujung petak. Hatinya terenyuh. Terlalu banyak kematian dalam waktu berdekatan atau bahkan bersamaan ....
"Bukan keluarga. Itu makam-makam pindahan dari yang terkena longsor. Om Darma menyumbangkan sebagian tempat karena, kamu lihat sendiri, sudah sangat sesak kecuali di sini."
Rayn mengangguk. Banyak orang membicarakan kebaikan Pak Darmawangsa, pemilik sekolah. Sekali saja ia melihat beliau waktu penyambutan siswa baru. Kalaupun ketemu lagi di luar itu, Rayn tidak pernah tahu. Belum lama ini Pak Darmawangsa kehilangan putra bungsunya, meninggal dunia direnggut kanker otak. Berarti dimakamkan di sini. Matanya menyapu nisan-nisan yang dilewati.
Abdullah Ali Darmawangsa Sr. Rayn hafal nama itu sebagai bapak pendiri sekolah karena tercantum pada prasasti di lobi SMA. Freya Maulida Darmawangsa. Rayn melewatinya saja. Wynn Maharesi Darmawangsa. Lahir 29 Desember 2001. Wafat 11 November 2016. Ini dia putra bungsu Pak Darmawangsa. Rayn tidak sempat mengenalnya. Tapi sering mendengar kebaikannya disebut-sebut orang. Entah apa yang mendorong Rayn, mendadak ia diam sejenak untuk berdoa bagi arwahnya.
Kemudian Rayn berjalan lagi. Nisan berikutnya. Renata Aindrea Darmawangsa. Ia tertegun. Nama yang familier. Dan baru disadarinya, Raiden sudah berhenti di situ. Berjongkok mencabuti rerumputan liar di sekitar makam. Rayn menelan ludah membaca tahun wafatnya. Enam tahun lalu, berarti waktu Raiden kelas 5 SD.
"Bunda, aku datang lagi, kali ini bawa Rayn yang aku ceritakan kemarin. Dia mau minta maaf." Raiden berbicara tanpa ragu, suaranya lembut tapi jelas. Lalu memberi isyarat pada Rayn.
Rayn terkesima. Bukan heran karena Raiden berbicara dengan mendiang bundanya. Kalau itu sih, ia maklum. Ardi juga suka menulis surat untuk mendiang ayahnya. Tapi Raiden menyuruhnya berbicara, itu yang membuat lidah Rayn kelu. Tidak biasa.
Baru setelah Raiden mendorong bahunya, Rayn berdeham. Tergagap. "Bu, a-aku minta m-maaf sudah menyebabkan Re tewas." Ternyata setelah kalimat pertama terlepas, selanjutnya lebih mudah. "Semoga Ibu tenang di sisi-Nya. Percayalah, Raiden sudah menjaga Re, Na, dan Ta dengan baik. Kecelakan itu bukan salah Raiden. Sekali lagi aku minta maaf."
Raiden mengangguk puas. Mengajaknya ke satu makam kecil di pinggiran petak. Re dikuburkan di sini. Dan Rayn mengulang permintaan maafnya. Kalau ada orang lain yang mendengarnya saat ini, mungkin akan menertawakan. Tapi Rayn bersungguh-sungguh. Mungkin awalnya ia melakukan ini untuk mengambil hati Raiden, agar tidak menyebarkan rahasianya. Tapi terbukti Raiden tidak mudah ditaklukkan. Jadi, Rayn berfokus pada perasaannya sendiri.
Kematian adalah takdir Tuhan, ia paham itu. Tapi terlibat dalam peristiwa yang mengorbankan jiwa makhluk lain adalah pilihan. Ia telah keliru memilih. Tindakannya juga menyebabkan orang lain kehilangan sesuatu yang dicintai. Bukan hal yang bakal ia lupakan dengan gampang. Penyesalan pun membuat matanya perih. Ia mengerjap dan sadar Raiden sedang menatapnya.
Rayn buru-buru melengos. Berbalik ke arah pintu pagar. Sudah selesai di sini. Hujan juga mulai turun. Tapi Raiden menahan bahunya.
"Sssh. Jangan bergerak mengejutkan. Dia datang."
Pelan-pelan Rayn memutar badan. Melihat ke arah yang ditunjuk Raiden. Seekor kucing kurus mendekati salah satu makam pindahan. Bulunya putih kusam, botak di beberapa tempat akibat luka. Makhluk itu mendesis curiga, menatap mereka. Mata kanannya tertutup kerak.
"Biasanya kucing itu tiduran di atas makam di pinggir sungai. Waktu mereka memindahkan makam ke sini, dia hanya memerhatikan dari jauh. Ada yang bilang, itu kuburan tuannya. Harusnya aku letakkan makanan di makam sebelum dia datang tadi. Semoga kali ini mau kudekati." Raiden mengeluarkan plastik berisi butiran merah dari sakunya. Menuangkannya di telapak tangan, lalu ia maju hati-hati. Berhenti tiap kali si kucing seperti mau lari. "Pus, Pus .... Sini, jangan takut. Ck ck ck .... Sini, Pus."
Rayn berdiri, tidak berani bergerak. Berharap kucing itu mendekat, minimal diam di tempat. Jarak Raiden dengannya tinggal semeter. Tapi hujan tumpah dengan butiran besar-besar. Geledek pun menggelegar. Kucing itu terlonjak kaget sambil memekik. Raiden melompat untuk menangkapnya. Kena, tapi kucing itu memberontak sambil mencakar-cakar. Raiden menjerit, pada saat bersamaan kucing itu kabur ke arah Rayn.
"Rayn, tangkap dia! Matanya luka parah, harus diobati."
Di tengah kalimat Raiden pun, Rayn sudah bergerak. Tapi kucing itu gesit menghindarinya lalu naik ke atas pohon kamboja. Mendekam di ujung cabang, tidak bisa ke mana-mana. Ketakutan. Rayn menyusul naik, duduk mengangkang di cabang yang sama. Pelan-pelan Rayn beringsut maju. Sambil meniru kata-kata Raiden untuk membujuk, ia mengulurkan tangan, dan disambut ayunan ganas cakar si kucing. Kuku makhluk itu malah menancap di telapak tangannya, tapi itu kesempatan buat Rayn. Menahan sakit, ia memegang si kucing. Erat. Tak bisa lepas lagi.
Raiden menunggu di bawah. Sudah basah kuyup. Ia mengulurkan tangan ke atas untuk menerima kucing dari Rayn. Tapi jaraknya masih terlalu jauh. Rayn tak mungkin menjatuhkan makhluk yang gemetaran ini ke tangan Raiden. Pasti akan lari lagi kalau luput dari tangkapan Raiden.
"Aku enggak bisa turun sambil memegangi dia begini," seru Rayn. Air deras menetes-netes dari rambut ke muka, mengaburkan pandangan. "Kecuali kalau lompat."
"Jangan. Terlalu tinggi. Kakimu bisa terkilir." Raiden memandang sekelilingnya, seperti mencari-cari akal.
"Kamu naik saja ke sini. Lepaskan vest-mu. Berdua, kita bisa bedong dia biar enggak bergerak."
Raiden mengusap mukanya. Tampak frustrasi. "Aku enggak bisa naik pohon."
"Apa?" Rayn hanya ingin memastikan pendengarannya masih berfungsi baik di antara deru hujan.
Tapi Raiden salah paham. Mencak-mencak. "Enggak Wynter, enggak kamu. Bangga banget deh bisa naik pohon! Lalu merasa berhak merendahkan aku. Asal kamu tahu saja, aku tumbuh besar di apartemen 59 lantai tepat di pusat kota Kuala Lumpur, enggak ada pohon, kecuali di taman kota dan enggak boleh dipanjat."
Rayn bengong. "Siapa yang merendahkan kamu? Kupikir, naik pohon semudah naik tangga, dan semua orang pasti bisa." Tapi saat itu juga Rayn sadar, ia terampil memanjat berkat dorongan dan kegigihan Ardi mengajarinya sejak masuk SD.
"Awas kalau kamu bilang-bilang orang lain!" Raiden mengepalkan tinjunya.
Rayn tergelak. "Jadi skor satu-satu sekarang? Masing-masing pegang rahasia, huh?"
"Dan jangan sok baik kayak Wynter. Mau ngajari aku segala."
"Rai, kamu curigaan banget sih. Siapa tahu Wynter tulus. Aku juga diajari manjat sama Ardi."
Raiden mondar-mandir gelisah. "Apa yang harus kulakukan? Dia sudah tenang sekarang?"
"Ya. Tapi masih waspada dan bakal lari begitu ada kesempatan. Cari sesuatu di mobilmu. Jaket, keranjang sampah. Apa saja yang bisa kamu pakai! Cepat. Dia mulai memberontak lagi."
Raiden pun berbalik, lari menembus hujan, terpeleset-peleset.
Sementara Rayn mencoba menenangkan makhluk dalam genggamannya dengan ucapan-ucapan lembut. Basah kuyup, kucing ini ternyata tidak terlalu besar. Sepertinya hanya sedikit lebih tua dari Re. "Bagaimana kamu sampai luka-luka begini? Rebutan makanan di tempat sampah dengan gerombolan kucing garong? Hmm ... apa genggamanku menyakiti? Berjanjilah enggak lari kalau aku longgarkan. Easy ... easy ... Nah, begitu."
Rayn mendekapnya ke dada, pelan-pelan melepaskan satu tangan untuk membelai kepalanya. Napas kucing itu mulai teratur. Matanya yang sehat terpejam. "Kamu pasti kangen tuanmu ya? Tapi tuanmu sudah enggak ada. Kamu ikut aku saja. Eh, kamu cewek apa cowok? Oke, oke, aku enggak perlu lihat sekarang."
Terdengar eongan lembut. Rayn tersenyum gembira. Satu tangannya benar-benar bisa bebas. "Aku akan masukkan kamu ke dalam vest ya. Biar aku bisa turun. Lama-lama kan dingin juga kehujanan begini. Sebentar .... Nah, in you go!" Rayn merasakan kucing itu bergerak di balik vest-nya tapi tidak memberontak. Kini ia bisa menyelipkan bagian bawah vest ke pinggang celana untuk mengamankan. Si kucing tersekap di dalam bajunya. Rayn pun turun dari pohon dengan hati-hati. Batangnya licin, apalagi ia memakai sepatu.
"Mana dia? Lepas lagi?" Raiden sudah kembali.
Rayn menunjuk gumpalan di perutnya.
"Wow. Kamu berhasil menjinakkannya," kata Raiden lega, sambil mengusap muka. "Kita bawa dia ke rumahku. Bersih-bersih dulu terus ke dokter hewan."
Rayn mengikuti Raiden kembali ke mobil. Dari belakang ia bisa melihat Raiden bukan cuma basah kuyup tapi berlepotan lumpur juga dari ujung kepala sampai sepatu. Ajaibnya hujan mulai berkurang, tidak mampu membasuh bersih badannya. "Kamu jatuh guling-guling?"
"Terpeleset. No big deal." Raiden mengibaskan tangan. "Are you okay?"
"Yup." Rayn merasakan gumpalan hangat di perutnya. Kehangatan yang merayap naik ke hingga ke hati. Seperti cokelat hazelnut hangat di kafe Alika's yang diminum bareng Megan sambil mengobrolkan buku. Aaaah ... kenapa tiba-tiba ke sana pikirannya?
Masalahnya dengan Raiden belum beres, bukan? Dan ia masih harus bersaing dengan Ardi, juga dengan cowok yang berjalan di depannya. Ardi punya banyak kelebihan. Raiden pun enggak buruk-buruk amat. Cuma pengakuan Megan di kafe yang membuatnya sedikit optimis.
"Masuk!" Raiden sudah membukakan pintu untuk penumpang. "Kenapa cengar-cengir begitu?"
Rayn tergeragap. "Namanya Hazelnut. Kucing ini."
"Enggak bisa, aku sudah punya nama buat dia sejak pertama kali lihat ---" Raiden menjalankan mobilnya pelan-pelan menembus hujan melalui jalanan becek licin. "Namanya Win, menang."
"Kamu sengaja mau bikin kesel Wynter?" Rayn tertawa. "Enggak boleh. Aku yang berhasil menaklukkannya. Namanya Hazelnut, panggilan Hazel."
"Win!"
"Hazel. Aku heran, bukannya Wynter sahabat kamu?"
"Win. Ya. Tapi aku enggak suka Wynter selalu banding-bandingin aku dengan mendiang Wynn Maharesi. Biarpun semua orang bilang dia seperti malaikat waktu masih hidup. Aku enggak terlalu kenal Wynn. Kami ketemu sekali saja waktu masih kecil. Dia berkunjung ke Palembang, Bunda masih ada. Kamu tahu, sakit mereka sama. Astrositoma. Kanker otak."
"Oh." Rayn memandang Raiden, mempertimbangkannya sejenak. Lalu menggeleng. "Kamu beli saja kucing yang bagus dan beri nama Win. Anggaplah untuk mengenang sepupu kamu, seperti kamu mengenang bundamu dengan Re, Na, dan Ta. Mungkin dengan begitu Wynter bisa sadar."
Raiden terdiam.
"Oh ya, Rai, maaf, bekas luka di bawah telinga kamu itu ... apa karena jatuh dari pohon?"
Raiden menoleh, tampak kaget. Tidak menjawab. Hanya menggeser duduk dengan gelisah.
"Hazelnut, it is." Rayn tersenyum menang.
(bersambung)
Hallo pembaca,
Bab ini khusus didedikasikan untuk fans Raiden. Angkat tangan .... Absen dulu.
Tapi untuk fans Rayn dan Ardi, jangan berkecil hati, more baper coming up with them.
Juga untuk kalian yang beraspirasi sebagai Megan, you are so cool, jangan khawatir.
Bagaimana BiaWaK dan LuWaK?
Tunggu tanggal tayangnya.
Terus dukung PELIK yang sudah mulai terurai ya. Tujuh part lagi tamat loh. Anything can happen.
Salam sayang
Ary
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro