18. Badai Raiden (b)
Hari minggu pagi, syukurlah kekhawatirannya enggak terjadi. Dengan pakaian dan aksesoris identitas, ia mudah ditemukan Rayn di Alika's Café and Used Books. Mereka kemudian mengobrol akrab dengan Tante Alika. Megan langsung diterima karena pengalamannya di perpusda. Honornya sedikit lebih besar ketimbang dari perpusda, dengan pekerjaan relatif lebih ringan. Hanya melayani pengunjung, beres-beres buku, dan mencatat hasil penjualan. Megan diminta langsung bekerja karena Tante Alika harus pergi dan baru akan kembali sore nanti. Ia pun memakai apron biru berlogo Alika's, kontras dengan tiga staf kafe yang memakai apron merah. Rayn mengacungkan jempol.
Sepeninggal wanita itu, Megan mulai mengakrabkan diri dengan area toko buku, yang terpisahkan dari kafe oleh rak-rak buku tinggi dan kukuh. Rayn menemaninya. Dikelilingi buku dan didampingi cowok yang kamu suka, apa yang lebih sempurna dari itu? Obrolan memang hanya seputar buku yang sudah mereka baca, tapi itu berarti neverending topic. Dan keluar dari mulut Rayn, kata-kata dari buku yang awalnya enggak terlalu bermakna baginya, mendadak jadi kutipan keren.
Tahu-tahu saja, mereka sudah perang kutipan. Megan senang sekali kalau bisa mengingat dari buku mana dan siapa penulisnya. Tapi enggak perlu waktu lama, skor Rayn melejit. Bacaannya jauh lebih banyak dan beragam. Megan sama sekali tidak berkeberatan kalah. Mungkin karena ia sudah cukup bahagia melihat Rayn begitu santai, tidak menahan-nahan diri. Wajahnya semringah. Banyak bicara.
"Kamu sudah baca ini, The Map of Time, Felix J. Palma?" Rayn melompat turun dari tangga aluminium, rambutnya berantakan, hidungnya cemong oleh debu.
Megan melongo. Matanya hanya sekilas memandang novel berlapis debu tipis di tangan Rayn, lalu kembali pada wajah cowok itu.
"Buku kedua dan ketiganya, The Map of the Sky dan The Map of Chaos, tadi kulihat di rak belakang. Trilogi ini campuran sci-fi, misteri, dan fantasi." Rayn mengusap keringat. Cemongnya tambah cap tiga jari di dahi sekarang.
Ya, ampun. Megan buru-buru mengambil selembar tisu basah dari meja kasir. Sambil cekikikan geli, ia kembali ke depan Rayn dan mengulurkan tangannya. Tidak memedulikan Rayn yang membeku dan terbelalak, Megan membersihkan hidung, dahi, dan rambut Rayn. Lalu menunjukkan tisu bekasnya. Hitam.
"Wow, enggak nyadar sekotor itu," kata Rayn agak serak. Disusul dehamnya. "Sepertinya bakal banyak kerjaan buatmu. Mengembalikan buku-buku yang tersesat plus membersihkan debunya."
"Hanya di rak-rak atas. Kalau yang di bawah tampak bersih dan rapi."
"Aku bantu deh. Habis makan siang, ya?"
"Jangan. Ini kerjaanku. Kamu harus melamar kerja sendiri sama Tante Alika. Coba saja, masih ada lowongan apa enggak?" Megan tertawa. Lalu mendorong Rayn ke lorong di belakang konter. "Bersihkan dulu tanganmu. Habis itu kita makan siang, aku yang traktir. Eh, jangan protes dulu, anggap saja persenan buat guide."
Rayn tersenyum dan beranjak menuju restroom. Megan duduk di belakang konter, menunggu sambil membersihan novel yang diambil Rayn. Semoga bukan ini yang direkomendasikan Rayn untuk ia baca. Karena belum apa-apa, ketebalannya sudah bikin Megan baper. Tapi ia buka-buka juga isinya.
"Selamat siang." Seseorang menyapa.
Pelanggan pertama, pikir Megan, mendongak. Dan terkejut.
Raiden berdiri di depannya. Hampir saja ia tidak mengenali karena rambut cowok itu dipangkas pendek, rapi. Mata sipitnya berbinar riang. "Kamu kerja di sini sekarang?"
"Ya. Kamu patuh aturan sekolah sekarang?"
Raiden tertawa. "Bukan karena aturan sekolah. Tapi perlu dilakukan untuk misi penyelidikan. Ssst, aku sedang menyamar. Jangan panggil aku Raiden kalau temanmu keluar nanti."
Dahi Megan berkerut. Perasaannya jadi tidak enak. Ternyata Raiden tidak berhenti dengan pesan-pesan di LINE. Agak menyesal ia tidak berkonsultasi dengan Ardi. Tapi bagaimana mungkin ia mengganggu Ardi di rumah duka. Tidak, Ardi percaya padanya. Megan pun waspada.
Tapi Raiden sudah beralih topik. "Bisa bantu aku? Aku sedang cari buku referensi tentang short term memory loss, amnesia, dementia, brain fog, atau apa saja yang berhubungan dengan kepikunan dini?" Raiden berbicara dengan santai tapi tiap katanya membuat Megan berdebar khawatir. Cowok itu menunjuk komputer di konter. "Coba cek di data base. Siapa tahu ada. Aku benar-benar ingin tahu kenapa sampai ada yang enggak ngenali aku padahal sering dan baru saja ketemu."
Megan memandang cowok itu sebal. "Mungkin karena kamu enggak berkesan buat orang itu."
"Aw, Teteh cantik, jadi pramuniaga jangan jutek gitu. Aku kan tanya baik-baik. Atau kita enggak usah bermain peran. Kamu Megan. Aku Raiden. Dan kamu tahu siapa yang kumaksud? Apa masalahnya dirahasiakan di sekolah? Bagaimana kalau ketahuan?"
Rayn enggak perlu berurusan sama makhluk satu ini. Semoga dia lama di restroom. Jangan keluar dulu sebelum Raiden pergi. Megan berdoa. Lalu menarik napas dalam-dalam agar dapat berbicara dengan tenang. Cuma anak manja yang mengira bisa mendapatkan apa pun yang dimaui dengan ancaman. "Aku enggak tahu apa yang kamu omongin."
"Rayn. Yang punya masalah aneh, enggak ngenali orang kalau penampilannya berubah."
Megan tertawa. "Apanya yang aneh? Semua orang punya masalah gitu. Aku aja pangling lihat kamu. Kapan kamu potong rambut? Pasti kamu bikin gempar di sekolah besok."
Raiden mencebik. "Rayn bukan pangling. Tapi enggak ngenali secara ekstrem. Aku yakin dia bermasalah."
"Kamu apanya Rayn, kok peduli banget sih?"
Raiden menggeleng. "Aku peduli karena dia sainganku. Dari tadi aku perhatikan kalian dari pojok kafe itu. Saking asyiknya kalian berdua sampai enggak sadar. Kamu jadian ya sama dia?"
Megan hanya menatapnya marah. "Kamu keterlaluan! Ngapain stalking dan ngorek-ngorek urusan orang? Kalau enggak serius beli buku, tolong pergilah. Aku sedang bekerja."
"Meg, jangan salah paham. Aku akan pergi dan enggak ganggu kamu lagi kalau sudah jelas aku kalah bersaing. Jadi, beri aku kejelasan."
"Kejelasan apa?"
"Kamu tahu masalahnya. Tapi tetap jadian sama dia."
"Bukan urusanmu." Megan mendesis. Menoleh ke arah kafe. Stafnya sibuk melayani pengunjung. Rayn belum muncul. Bagus.
"Tentu saja jadi urusanku, Megan. Karena aku suka kamu. Nah, aku sudah ngakui blak-blakan. Enggak masalah kamu tolak asal alasanmu jelas."
"Kalau aku jawab, kamu enggak akan gangguin kami lagi?"
"Ya. Aku enggak pernah ingkar janji. Tanya Wynter. Tapi kamu harus jujur."
Megan mendesah. Tidak ada waktu untuk mempertimbangkannya lama-lama. Rayn akan segera muncul. "Baiklah. Ya, aku suka Rayn. Aku pengin kami jadian. Tapi masih dalam proses. Puas?"
"Kamu tahu dia bermasalah?"
"Semua orang, termasuk kamu, punya masalah. Nobody's perfect. Ya, aku terima dia apa adanya."
Raiden garuk-garuk kepala. "Lucky guy. Tapi bagaimana kalau dia menolakmu?"
"Itu risiko. Kamu enggak usah ikut pusing."
"Berarti aku masih punya peluang kalau Rayn menolak kamu."
"Raiden, please, pergilah. Kamu sudah janji."
"Oke. Oke. Aku mau jemput kucingku juga. Aku punya tiga ekor, namanya Re, Na, dan Ta. Aku bawa mereka gantian ke salon langganan di ujung sana. Berturut-turut, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Jadi kita masih bisa ketemu rutin. Tenang, jangan marah dulu. Aku enggak akan ganggu kalian, sampai jelas keputusan Rayn tentang kamu. Sebaiknya dia hati-hati juga, enggak akan kumaafkan kalau sampai nyakitin hati kamu. Bye, Megan."
Megan berdiri tanpa bisa berkata-kata. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat. Tapi ia tahu betapa gemetar jemarinya.
Raiden berbalik untuk meninggalkan toko buku, dan Megan hampir mengembuskan napas lega. Mendadak cowok itu kembali lagi ke depannya sambil tangannya bergerak cepat. Tahu-tahu saja bros mawar indigo dan bandonya sudah terlepas, kini dipegang cowok itu. "Maaf. Aku pinjam ini ya. Anggap saja segel perjanjian kita. Kamu boleh minta lagi kalau sudah resmi jadian sama Rayn."
Beberapa saat setelah Raiden keluar dan tidak kembali lagi, Megan masih mematung. Jantungnya bekerja terlalu keras sampai dadanya sakit. Air matanya menggenang. Brosnya ... identitas dari Mami Kiara .... Bilang apa kalau Rayn menanyakan?
Dan terdengar siulan Rayn di belakangnya, melodi riang. Megan cepat-cepat menghapus air mata. Tidak ada cewek lain di toko buku, Rayn tidak akan bermasalah mengenalinya dari baju yang dipakai biarpun tanpa bros. Ia berbalik, berusaha tersenyum.
Rayn mendekat sambil membereskan lipatan lengan baju. Kancingnya sekarang terbuka semua, memaparkan kaus biru yang serasi dengan kemeja kotak-kotak indigonya. "Megan, maaf aku lama, barusan bicara sama Mami di telepon. Aku perlu ke butik dulu. Makan siang ditunda satu jam, enggak apa-apa?" Rayn berfokus pada wajahnya.
Megan langsung merasa tenang. Mungkin karena Rayn tersenyum, mungkin juga karena cowok itu enggak menyadari brosnya lenyap. Megan enggak harus menjelaskan apa pun.
"Ya, belum waktunya istirahat juga. Pergilah."
"I'll be right back." Rayn pun keluar.
Tepat saat itu, telepon di konter berdering. Megan mengangkatnya. Tante Alika sudah menjelaskan tadi, beberapa pelanggan biasa menelepon dulu untuk memesan buku. Megan harus cek stok dan menelepon balik pemesan. Begitu saja ia disibukkan dengan tugasnya. Apalagi saat pengunjung mulai berdatangan, minta dicarikan buku atau sekadar melihat-lihat. Megan melayani mereka dengan ramah.
Pekerjaan yang lebih mengasyikkan ketimbang di perpusda, pikirnya.
Sekonyong-konyong, telinganya mendengar decitan ban mobil dan teriakan orang. Dari pintu dan jendela kaca ia melihat orang-orang berlarian ke satu arah. Sepasang staf kafe keluar mengikuti arus. Megan hanya melongok sampai pintu, tapi tidak bisa melihat apa yang terjadi.
Tak lama kemudian, staf kafe yang perempuan berlari kembali dan masuk dengan tampang ngeri. "Mbak Megan! Temanmu. Mas Rayn!" Logat Jawanya berlomba dengan sengal napas.
Megan tidak perlu diteriaki dua kali. Kakinya dipicu kecemasan, melesat keluar, menuju kerumunan di tempat parkir. Ia menyeruak. Tepat saat Raiden lolos dari pegangan beberapa orang dan melayangkan tinjunya ke rahang Rayn.
"Rayn!" Megan menghambur ke arah pemuda itu yang jatuh terduduk. Ia pasang punggung, memeluk dan melindungi Rayn dari serangan Raiden berikutnya.
Tapi pukulan tidak datang-datang juga. Alih-alih terdengar Raiden berteriak-teriak marah. Megan menoleh. Dari balik air matanya, ia melihat cowok itu kembali ditahan beberapa laki-laki, kali ini sia-sia saja memberontak. "Lepaskan! Lepaskan! Re mati gara-gara dia! Awas kamu, Rayn!"
Megan memutar leher, kembali memandang wajah dalam rangkulannya. Rayn menunduk, menghindari tatapan. Rahang kanan memar. Bibir berdarah. Megan terisak. Ardi, aku gagal menjaganya. "Rayn ...."
Rayn menoleh ke kanan, dan Megan mengikuti arah pandangannya ... pada mobil yang mesinnya masih menyala, pada seekor kucing yang terlindas di bawahnya.
(bersambung)
----------------------------------
Sampai ketemu Jumat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro