Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Calm Before the Storm

Sebelum ini, Megan enggak pernah pusing dengan aksesoris rambut. Saat cuaca sejuk, rambut ia gerai begitu saja. Kalau gerah, baru ia gelung pakai konde seadanya. Megan enggak berjodoh dengan ikat rambut. Sering lolos dan hilang tanpa ia sadari.

Rayn mengubah segalanya. Untuk pertama kalinya, Megan pusing di toko aksesoris rambut. Terlalu banyak jenis, model, dan warna, sementara ia perlu satu saja yang memenuhi semua kriteria. Awet, cantik, enggak pasaran, pas ukurannya, mudah terlihat Rayn dari depan maupun belakang, dan yang terpenting, terjangkau kantongnya.

Ia harus berhemat di segala bidang agar bisa melunasi SPP bulan ini. Uang kiriman Ayah sudah ia gunakan untuk membayar SPP bulan lalu tanpa seizin Tante Naura. Tabungan dari kerja paruh waktu di Perpusda masih jauh dari cukup. Untungnya, ia bisa mengurangi pengeluaran uang saku, dengan bawa bekal dari rumah untuk dimakan bareng Rayn dan Ardi di taman. Hemat, sehat, dekat, dan lekat, sungguh rehat yang menjerat. Aaaah, Megan tersenyum-senyum sendiri.

Setelah satu jam lebih mencoba-coba, akhirnya ia memilih bando besar berpita sederhana dengan desain dan warna unik, yang pas di kepalanya. Saking uniknya, cuma ada satu di toko itu.

Megan menggunakan bando itu di "hari pertama" berkenalan dengan Rayn secara resmi. Dan di hari-hari selanjutnya, setelah Rayn berterus terang "lagi" tentang prosopagnosianya.

"Megan, kamu jadi imut." Ardi memuji bandonya. "Cocok deh kalau SMP lagi."

Megan meleletkan lidah. Memalu kepala Ardi dengan kepalan tangan seperti yang biasa ia lakukan pada adik-adiknya kalau gemas. Di belakang kepalanya, peringatan dini menyala. Sikap dan tatapan Ardi kepadanya, sekarang ditambah Ardi berharap ia lebih muda, apa artinya? Dihubungkan dengan sikap Rayn yang hati-hati banget di depan Ardi, bahkan merahasiakan soal ketemuan mereka di pesta Jocelyn, Megan jadi menduga-duga. Ada apa dengan pertemuan mereka itu sehingga harus dirahasiakan? Rasanya mereka cuma ngobrol singkat bahkan enggak sempat tanya nama. Jangan-jangan .... Rayn menganggap itu pertemuan istimewa dan menceritakannya pada Ardi. Menyebutnya Mitsuha. Dengan segala ciri aneh seperti sumpit, kacamata bolong dan bedak bayi.

Ya, mengingat prosopagnosianya, itu masuk akal. Menjelaskan sikap Rayn saat akhirnya mereka ketemu lagi di tangga sekolah. Lalu Rayn bilang, kasihan Ardi. Kenapa?

Hmm ... mungkin benar Ardi punya feeling ke dia, dan Rayn tahu. Jadi demi Ardi, Rayn bersikap biasa padanya dan minta ia juga begitu. Ardi sahabatku. Kamu sahabatku.

Loh, kalau memang Rayn biasa saja ke dia, enggak perlu berpura-pura, kan? Bersikap seolah enggak ada apa-apa, berarti ada apa-apanya.

Oh my God! Memikirkannya saja sudah bikin Megan panas dingin. Rayn mengalah untuk Ardi? Mengorbankan perasaannya sendiri?

Jadi, Rayn sebetulnya .... Oh My God. Megan perlu duduk dan mengatur napas. Jangan geer dulu. Ingat-ingat sikap Rayn, cari clue dan bukti.

Soal bandonya, Rayn sendiri enggak berkomentar khusus. Tapi benda itu memudahkan ia dikenali. Rayn bisa menyapanya duluan. Kalau di film animasi, jantung Megan bakal melompat-lompat liar kayak mau keluar dari dada. Sama seperti waktu di ruang ekskul musik. Kalau enggak malu, Megan bakal ngaku ia nangis karena bahagiaaaaaaaaa banget. Sama sekali bukan karena buku atau film A Monster Calls.

Bayangkan, Rayn bernyanyi khusus buatnya, dengan suara yang begitu lembut ... merasuk hingga lapis terbawah perasaannya. Megan menjaga momen itu mati-matian agar enggak pudar dari ingatan. Kata-kata Rayn, kamu sahabatku, pun terabaikan. Pikirnya, itu cuma tahapan, kan? Cuma kesopanan di pertemuan pertama. Masih bisa berkembang. Iya, kan?

Sekarang, sepertinya sudah jelas. Rayn sangat peduli pada Ardi, melebihi apa pun. Megan tidak punya pilihan kecuali mengikutinya. Enggak usah macam-macam dulu, atau ia akan kehilangan mereka berdua.

Megan pun berfokus mengamankan posisinya di tengah-tengah Raynardi. Menjaga sikap dengan cermat terhadap Ardi yang ceria menularkan tawa dan Rayn yang tenang menghanyutkan. Duo menjadi trio. Setara ke kanan ke kiri, dan sebagai balasannya, ia diistimewakan oleh Rayn dan Ardi.

Jadi, waktu Lucy dengan sinis mengomentari bandonya kayak aksesoris anak TK, enggak berkelas, murahan, Megan sama sekali tidak terganggu. Ia bisa menggoda Lucy dengan langkah dibuat-buat seolah berada di atas catwalk.

Sialnya, lenggak-lenggoknya mengundang siulan nakal Raiden. Cowok itu bersandar persis pada loker Megan. Menghalangi.

"Minggir. Aku mau masukin buku-buku!"

"Penampilan baru dengan bando kiyut." Raiden tertawa. Bergeming meski Megan menggebuk lengannya dengan buku teks Fisika yang super tebal. "Hei, aku mau minggir asal kamu jawab dulu, kenapa enggak pernah balas pesanku, enggak pernah angkat teleponku?"

"Memangnya kapan kamu kontak aku?" Megan bertanya balik. Mengancam lagi dengan bukunya.

Raiden menyibak poninya ke belakang. Mata sipitnya memandang curiga. Ia lalu menyebutkan nomor ponsel dengan lancar. "Itu nomormu, kan?"

Megan terbelalak. Lalu tawanya tersembur. "Astaga! Kamu dapat dari mana? Ya ampun, pantas aku enggak pernah tahu."

Kulit muka Raiden yang pucat mendadak memerah. Jelas sekali ia menahan marah. Matanya mencari-cari ke balik jendela kaca kelas 11A. Megan pun mengikuti pandangannya dan mendapati Lucy yang muncul di pintu. Gadis itu melengos cepat. Tapi Megan sempat menangkap seringainya. Juga bahasa tubuh yang menunjukkan kepuasan saat si pirang-abu itu berjalan menjauh dengan kepala terangkat. Seketika ia mengerti, Lucy yang memberi Raiden nomor Tante Naura. Pembalasan setimpal untuk pylox di rambutnya.

Antara geli dan kasihan pada Raiden, Megan berusaha menahan tawa.

"Nomor hape siapa yang dia kasih ke aku?" suara Raiden begitu dingin sampai cengiran Megan langsung membeku. "Siapa, Meg?"

"Tanteku," sahut Megan, menelan ludah. "Tante enggak suka kalau ada cowok gangguin aku, jadi sudah pasti enggak bakal disampaikan--"

BRAK!! Raiden meninju pintu loker, membuat Megan nyaris terlompat kaget. "Lihat saja nanti, Meg, aku akan dapetin enggak cuma nomor hape dan alamatmu, tapi juga hati kamu." Lalu cowok itu pergi mengejar Lucy.

Megan sesaat melongo, lalu mengembuskan napas lega. Sepertinya TU Darmawangsa berpegang teguh menjaga kerahasiaan data siswa dari orang yang tidak berkepentingan, keponakan pemilik sekolah sekalipun.

Beberapa hari kemudian, Megan melihat cowok itu berbicara dengan Lucy. Jelas bukan percakapan antarsahabat. Malah Raiden melepas jasnya dan mengebutkannya di depan muka Lucy. Tidak kena, tapi efeknya dramatis, Lucy bersin-bersin, terbawa sampai masuk kelas, hidungnya merah, matanya berair. Alerginya kumat, pikir Megan, mungkin cowok itu memelihara hewan berbulu halus. Luar biasa cara dua anak itu saling balas dendam. Gara-gara dia? Mungkin. Tapi Megan menolak merasa terlibat. Ia enggak pernah minta bantuan Raiden menghadapi Lucy. Ia juga enggak pernah minta Lucy ngerjain Raiden.

Hanya sebagai mantan sahabat, ia tahu banget tersiksanya Lucy kalau alergi kumat. "Kamu bawa obat antialergi?"

Lucy menggeleng. Bersin lagi. Onomatopoeia dalam bahasa Indonesia, hacciihh, sepertinya enggak cocok mewakili bunyi bersin Lucy. Kedengarannya lebih dekat ke hatsíng atau bahíng. Dulu Megan pernah mengomentari, bersin Lucy pakai bahasa Tagalog.

Dan Lucy seperti membaca pikirannya, melotot marah di antara bersinnya. Megan menggeleng-geleng. "Kamu ke klinik saja. Mau kuantar?"

Lucy tidak mampu menjawab. Menekan muka dengan handuk kecil. Sekarang bersinnya kedengaran seperti bahasa Hindi, achhee.

"Aku mintakan obat saja pada suster deh. Tunggu sebentar."

Itu terakhir ia berurusan langsung dengan Lucy. Setelah itu, selama dua minggu ini, Lucy dan Raiden tidak mengusiknya. Megan bisa memusatkan perhatian pada Rayn dan Ardi. Sebagai sahabat untuk keduanya. Walau sambil mati-matian menjaga perasaannya terhadap Rayn agar tidak terdeteksi.

Susahnya minta ampun. Bagaimana ia bisa pasang muka lempeng kalau setiap kali memandangnya, mata Rayn berbinar-binar seakan baru menemukan sesuatu yang berharga? Lagi dan lagi. Singkat saja. Tapi sanggup membuat detak jantung Megan selip.

Lalu Ardi mendongak, Rayn pun menunduk. Sampai Megan tidak yakin lagi apa yang tadi dilihatnya. Jangan-jangan ia berhalusinasi sendiri. 

Tapi, sahabat enggak memandang kayak gitu, Rayn, protes Megan dalam hati.

"Ada apa?" Ardi yang duduk di depannya mengangkat muka. Anak itu peka banget dengan perubahan gerak-gerik dan ekspresinya. Dan Ardi enggak pernah bilang, kamu sahabatku, jadi sah-sah saja kalau cowok itu menatapnya lekat.

Dengan halus, Megan menghindari pandangan Ardi. Mengetuk-ngetuk bolpen ke meja.

"Ada yang susah?" Rayn bertanya tanpa mengalihkan mata dari novel yang dibacanya.

Megan cemberut. Mendadak kesal pada Rayn. Bagaimana enggak? Kelas 10, mantan homeschooling, lebih banyak baca novel, kok bisa mengerjakan soal-soal Fisika kelas 11 dengan mudah? Duluan lahir setengah tahun bukan alasan, kan? Iya, untuk alasan yang sudah jelas, Megan senang ternyata Rayn lebih tua darinya, tapi soal penguasaan pelajaran, masa ia kalah juga?

"Enggak. Aku cuma bosan." Megan menutup buku dan membereskan alat tulis. Hari Jumat, sekolah bubar pukul 11. Sesudah Jumatan, ada jeda waktu lagi sampai kegiatan ekskul masing-masing dimulai pukul 15.30. Megan menggambar. Rayn musik. Ardi olahraga voli. Mereka bertiga duduk-duduk di taman menunggu waktu.

Megan memutuskan untuk belajar, tapi otak dan perasaannya enggak mendukung. Penyebabnya ya makhluk di sampingnya ini, yang asyik dengan novel baru. Judul dan penulisnya tidak ia kenal, itu saja sudah bikin bete.

"Mau main petak umpet? Atau kejar-kejaran?" Ardi menggodanya. Dari tadi anak itu sibuk menulis buku harian. Sekarang, buku tebal itu ia masukkan ke dalam tas. "Kamu bete karena enggak ada kejadian seru. Kayak cerita datar tanpa konflik. Apa kabar Raiden dan Lucy?"

Megan tertawa. "Raiden bosan atau kapok gangguin aku. Lucy belum kasih tugas ketiga, masih mikir kali. Moga selamanya gitu."

Ardi mencubiti dagu, keningnya berkerut. "Jangan lengah."

Megan angkat bahu. Ia sudah pernah menceritakan kejadian terakhir dengan dua makhluk gaje itu pada Rayn dan Ardi. Waktu itu mereka tertawa-tawa membayangkan kepala Tante Naura berasap akibat gangguan pesan dan panggilan Raiden.

Sekarang, tidak ada cerita baru tentang mereka, tapi Ardi malah tampak khawatir. "Sebelum badai, konon ada momen tenang. Angin berhenti. Burung dan serangga terdiam. Lalu tiba-tiba –" Ardi menggebrak meja. Mengagetkan Megan dan Rayn.

"Enggak usah drama gitu, Di," tegur Rayn. "Kamu bikin Megan takut."

Megan menggeleng. Ardi benar. Lucy dan Raiden tidak mungkin melepaskannya begitu saja. Lebih mungkin mereka sedang mempersiapkan sesuatu.

"Enggak ada salahnya tetap waspada," kata Ardi. "Aku baca di aturan sekolah, murid baru dikasih waktu adaptasi maksimal tiga bulan. Raiden itu pindah ke sini sejak Agustus? Ya, Megan, aku bisa jadi detektif kalau perlu. Sekarang sudah Desember, rambut Raiden masih gondrong. Mungkin karena dia keponakan Pak Darmawangsa. Tapi menurutku, lebih karena anak itu nekat dan enggak takut apa pun."

Megan mengangguk. Masuk akal. Dan mendadak ia merinding. Ingat kata-kata dari buku klasik yang pernah dibacanya. Hafal di luar kepala, ia mengutip, "Ketenangan sebelum badai barangkali lebih mengerikan dari badai itu sendiri; kayak kotak yang membungkus petaka di dalamnya, tampak tidak berbahaya, seaman senapan yang diam sebelum meletuskan peluru mematikan."

Rayn menoleh, memandangnya agak lama. Binar itu lagi. "Moby Dick. Herman Melville."

Megan tersenyum. "Sudah kuduga kamu baca juga. Tapi enggak nyangka kamu ingat kutipan itu."

"Aku baca versi yang sudah diringkas, tapi ya, masih ada kutipan itu." Rayn meringis.

"Aku juga. Pernah lihat versi aslinya di Perpusda. Mana tahan bahasanya ...." Tawa Megan pun berderai. Lalu sadar dengan tatapan dua cowok di depannya. Ia berdeham, menunduk, dengan muka panas.

"Aku baca versi komiknya, aku ingat gambarnya, dan aku enggak suka mereka memburu dan membunuh paus sperma," kata Ardi, setengah merajuk.

Megan tidak tahan, tawanya meledak lagi. Kali ini tangannya menjangkau ke depan untuk menepuk-nepuk kepala Ardi. Spontan saja. Anak itu bikin ia gemas.  Tapi mata Ardi membulat. Menggoyangkan kepala untuk menyingkirkan tangannya. Megan sadar dan membuat catatan di benaknya. Jangan lakukan lagi. It hurt his pride. Untuk menetralkan situasi, ia segera berkata, "Ya, bagian itu aku juga enggak suka. Syukur endingnya Moby Dick menghancurkan kapal dan menenggelamkan semuanya."

"Kecuali Ismail, si narator." Rayn menyambung.

Tiba-tiba ponsel Ardi berbunyi. Sesaat kemudian ponsel Rayn juga. Megan tercengang, segitu soulmate-nya sampai menerima panggilan pun bersamaan? Dari siapa? Lalu dua-duanya mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Apa yang terjadi? Ada yang meninggal? Megan memerhatikan ekspresi mereka berganti-ganti. Serius. Tidak banyak bicara, hanya mendengarkan dan menjawab seperlunya.

"Iya, Bu. Ardi mau minta izin pulang sekarang." Ardi memutuskan hubungan. Wajahnya tegang.

"Oke, Mi. Rayn tunggu. Ardi bisa bareng kita." Rayn pun menurunkan ponselnya.

"Ada apa?" Megan tidak sabar.

"Ibu minta aku pulang sekarang. Kami mau ke Cianjur. Ninin, nenekku, baru saja meninggal dunia." Ardi yang menjawab. "Minggu lalu baru keluar dari rumah sakit, dianggap sudah sehat. Belum sempat kutengok, rencananya liburan semester ini. Ah ...."

Rayn merangkul Ardi. "Mami sebentar lagi jemput kita, Di. Kita ke lobi saja, sambil minta izin." Rayn kemudian beralih pada Megan. "Maaf, kami tinggal dulu."

"Oh ...." Sesaat Megan bingung apa yang harus dilakukannya. Jelas sekali duo itu begitu solid, trio itu hanya ilusinya. Ia belum sepenuhnya jadi bagian dari mereka. Berpikir cepat, Megan, jangan menyerah begitu saja. "Rayn, kamu bakal ikut ke Cianjur juga?"

"Enggak. Tapi aku dan Mami perlu ketemu Bu Salwa, mungkin ada yang bisa kami bantu."

"Oh. Boleh aku ikut? Mungkin aku bisa bantu-bantu juga." Megan buru-buru berdiri. Menyandang ranselnya.

"Absen ekskul?" Ardi memandangnya. Ada harap dan kekaguman.

"Kenapa enggak?" Megan menepuk bahu Ardi. Inilah saat yang tepat. "Aku juga sahabat kamu."

Maafkan aku, Ardi. Tapi aku enggak mau PHP-in kamu. Megan yakin ini yang terbaik, tapi tetap saja ia merasa bersalah karena telah mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ardi sedang berduka dan ia menambah bebannya. Itu sebabnya Megan memilih berjalan di belakang Rayn dan Ardi. Saat ini, ia merasa tidak layak ada di tengah mereka. Terlalu memikirkan diri sendiri.

"Kamu egois!"

Kata-kata Lucy di akhir persahabatan mereka tiba-tiba bergaung lagi. Megan sadar, perlu dua pihak untuk menjalin persahabatan, dan perlu dua pihak pula untuk memutuskannya. Ia berperan besar dalam kasusnya dengan Lucy. Badai itu tidak datang sendiri, ia ikut memanggilnya.



(bersambung)

----------------------------------------------------------------

Dear pembaca setia,

Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini dan vomment.

Semoga kamu dan sahabatmu tetap awet ya. 

Yang pernah mengalami putus persahabatan, semoga enggak terulang lagi dan enggak kapok cari sahabat baru. Memulai proses dari awal. 

Salam sayang

Ary

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro