Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Sumpit Stainless


Megan merapatkan bibir. Berjalan di samping Ardi, menuju kafetaria. Ia mendengarkan celotehnya sambil lalu, karena pikirannya masih tertuju pada cowok taman bonsai itu. Keterlaluan enggak sih? Tadi pagi, ia turun dari mobil tergesa-gesa, sampai lupa salaman dengan Tante Naura, demi mengejar Ardi dan cowok itu. Dari jauh, ia melihat keduanya turun dari mobil yang sama, mencium tangan wanita yang sama. Kesimpulan: cowok taman bonsai itulah yang dimaksud Ardi sang tutor sekaligus sahabat terbaiknya. Ini bukan kebetulan. Mereka dipertemukan lagi oleh The Greatest Power. Kesempatan untuk kenalan pagi-pagi, ia pun mengejar. Tapi apa yang dilihatnya?

Si cowok kabur. Ardi bilang, mau ngerjain sesuatu sebelum bel masuk. Megan kurang percaya. Entah kenapa, ia yakin cowok itu rapi dan mengerjakan semuanya tepat waktu. Enggak mungkin ketinggalan PR apalagi ngerjain dadakan. Dan terbukti, mereka malah sampai duluan di lantai dua. Dan si cowok ... oke, namanya Rayn. Ardi mengajarinya melafalkan. Kayak bilang rain, hujan. Dan Rayn baru muncul hanya sesaat menjelang bel. Lewat di depan kelasnya, tanpa menyapa, padahal ada dia di pintu, pamer senyum.

Keterlaluan, kan? Sudah ketemu atau lihat empat kali. Bertukar kata paling enggak dua kali. Kenapa sih? Apa masalahnya?

Tapi Megan dengan senang hati memberinya kesempatan lagi. Mengajak mereka makan siang bareng. Eh, keterlaluan lagi, Rayn menolak. Kali ini tanpa alasan. Cowok itu cuma mengintip dikit dari buku yang dibacanya waktu Megan berdiri di pintu kelas mereka. Pura-pura enggak kenal pula. Aaaaaargh!

Megan sudah meremas lengan Ardi, dan cowok itu memekik.

"Aduh, maaf maaf, aku gemes banget." Ia memandang Ardi khawatir. Apa anak ini bisa menebak pikirannya? "Ardi, kamu duluan ke kafetaria deh, cariin tempat, belikan aku apa pun yang kamu beli. Aku harus balik ke kelas. Ada yang ketinggalan."

Ardi terkekeh. Menggosok-gosok lengannya. "Megan, kalau dompet enggak apa-apa, dari aku aja."

Megan geleng-geleng. Dompetnya ada di saku. Bukan itu, tapi ia membiarkan Ardi dengan persepsinya. "Bentar saja kok." Ia menepuk bahu Ardi dan melesat turun tangga. Biar tambah lapar, pikirnya. Biar lebih ganas marahnya. Hhhh, awas kamu Rayn! Emangnya siapa kamu berani-beraninya bikin baper hanya dengan lagak so cool ... eh, sok cool!

Terengah-engah, ia sampai di koridor lantai dua. Leher dan kulit kepalanya lembap oleh keringat. Ia mengipas-ngipas sejenak ke belakang geraian rambut sambil mengatur napas. Karet pengikatnya hilang. Selalu begitu, lolos tanpa ia sadari. Dan ia tidak membawa pensil atau bolpen untuk konde. Megan melangkah ke dekat void mencari angin ....

Eh .... Itu Lucy! Ngapain di depan Rayn?

Megan merunduk di balik birai. Mengintip lagi ke seberang. Lucy berganti baju olahraga tadi pagi meski hari ini tidak ada olahraga. Jas dan bajunya kena pylox bening. Sebagian ujung rambutnya juga kena sampai bergumpal. Lucy memotongnya dengan murka, tentu saja. Rambut kebanggaannya. Se-SMA, cuma ada dua cewek dan satu cowok yang punya rambut pirang abu seperti itu. Bisa dibilang emas keperakan atau perak keemasan. Dan cuma rambut Lucy yang panjang. Hari ini cewek itu berduka dengan memakai topi pet. Siapa pun yang menjailinya dengan pylox bakal dibalas dengan sadis, pikir Megan. Tapi Lucy tidak menjawab pertanyaan siapa pun tentang si jail. Tipikal Lucy. Hadapi sendiri semuanya.

Megan mengumpulkan rambutnya ke depan. Hitam, panjang, bergelombang. Biasa saja. Barangkali separuh cewek SMA punya rambut begini. Tapi banyak yang lebih modis dengan menata ujung-ujungnya jadi keriwil cantik atau terpilin kayak tabung.

Lalu dilihatnya Lucy meninggalkan Rayn. Atau tepatnya Rayn yang pergi meninggalkan Lucy, menuju ke arahnya, pasti ke tangga. Secepat kilat, Megan lari, turun beberapa anak tangga. Menunggu di bordes. Feeling saja. Rayn sudah menolak gabung makan siang berarti tidak akan naik ke lantai empat. Kemungkinan besar ke kafe di lantai satu atau keluar ke taman.

Benar saja. Tak lama kemudian, Rayn melangkah santai. Menyandang tas bekal makanan dan buku di tangannya. Mereka bertatapan sesaat. Rayn mengangguk sopan, dan melanjutkan turun.

Apa? Megan terbelalak. Sesaat bingung. Cowok itu seperti menyapa orang asing. "Rayn! Tunggu!" Akhirnya ia mengejar. "Mau ke mana?"

"Oh, hai! Ke taman. Kamu ke sana juga? Mau bareng?"

Megan berdiri di depan Rayn, nyaris menghalangi. Saat ini, ia yakin ekspresinya seperti fangirl yang disapa idola. Tahu itu sapaan kosong, non-personal, tapi senangnya bukan kepalang. Dan itu membuat ia tertawa berderai, geli sendiri.

Di luar dugaan, Rayn terbelalak. Memandang kayak baru sadar siapa yang ada di depannya. Bibirnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian wajahnya memerah. Dan cowok itu buru-buru berpegangan pada railing seperti takut jatuh.

"Kamu kenapa?" Megan memegang lengan Rayn. Khawatir.

"Tawamu! K-kamu M-Mitsuha! Taman bonsai pesta Jocelyn!"

"Ya, kita ketemu pertama kali di sana. Tapi namaku bukan Mitsuha. Aku Megan."

"Megan siapa? Jangan bilang Megan Naja Nitisara." Rayn begitu cemas sampai Megan ragu untuk mengiakan. Ada apa dengan namanya? "Ya Tuhan, kamu benar Meja." Dan Rayn terduduk begitu saja di anak tangga.

Megan garuk-garuk kepala. Mitsuha? Meja? Apaan sih? Ia duduk di samping Rayn. Lalu cowok itu tiba-tiba mengamati wajahnya lekat-lekat sampai Megan buru-buru menutup muka dengan kedua tangan. Jantungnya menggila. Belum pernah ada cowok seberani itu, mengamati tanpa tedeng aling-aling. Kalau orang lain sudah ia tampar karena ia anggap kurang ajar. Tapi tampang Rayn begitu polos, seperti anak kecil berusaha mengenali seseorang untuk pertama kalinya.

"Kalau kamu Megan Naja Nitisara, bukannya sekarang harusnya makan bareng Ardi?"

Ardi? Siapa Ardi? "Oh ya, ada yang ketinggalan. Ardi menungguku di atas."

"Kalau begitu, cepat ke Ardi lagi. Dan jangan bilang-bilang ketemu aku." Rayn berdiri. "Tolong. Jangan tanya-tanya dulu. Aku senang kita ketemu. Tapi anggap ini rahasia kita berdua. Sampai aku tahu apa yang harus aku lakukan tentang Ardi. Kasihan anak itu."

Nadanya mendesak dan memohon. Megan tertegun. Kasihan Ardi, kenapa? Jangan bilang-bilang, kenapa? Tapi oke, jangan tanya-tanya dulu. Megan merasa apa pun yang dikatakan Rayn saat itu masuk akal. Kalau kamu pernah terhipnotis, barangkali begitulah rasanya. Ia mengangguk-angguk.

"Good girl." Rayn sudah dua langkah turun tapi kemudian berbalik lagi. Membongkar tas bekalnya dan mengeluarkan semacam tempat pensil kecil tetapi isinya ternyata peralatan makan stainless. Ia mengambil dua bilah batang yang disambungnya dengan mekanisme ulir, menjadi sumpit ala Korea. "Aku penasaran. Kamu pasti enggak pernah mengonde rambutmu di sekolah. Coba deh."

Megan menerima sumpit stainless itu dan berterima kasih. Kegairahan berbicara dengan Rayn saja sudah membuatnya banjir keringat. Dengan mudah ia menusuk gumpalan rambutnya di puncak kepala.

Dan Rayn bertepuk senang. "Benar itu kamu! Ya Tuhan, terima kasih. Akhirnya aku temukan Mit—M—Megan."

"Aku enggak ke mana-mana kok." Kesadaran Megan berangsur pulih. Rayn semakin aneh. "Kita beberapa kali ketemu, saling lihat."

"Maaf," kata Rayn. "Kacamatamu yang bolong, sudah diberesin?"

Megan menggeleng. "Belum. Sementara aku pakai kontak sekarang."

Rayn menjentikkan jari. Seolah itu fakta paling hebat yang didengarnya. "Kamu pakai bedak bayi apa waktu ke pesta Jocelyn?"

Oow, kenapa semakin personal begini pertanyaannya? Tapi Megan menjawab juga. Dan Rayn mengangguk-angguk. "Pantas habis. Tapi enggak ragu lagi. Semua cocok. Oh satu lagi, kamu punya seri Runako, kan? Kok sempat pinjam ke perpus?"

"Oh dulu belum. Waktu aku pinjam, tersisa yang buku ketiga aja. Terus aku kembalikan sebelum kubaca karena enggak enak memulai dengan buku ketiga. Aku lebih suka beli sendiri." Megan lalu berdiri, sudah terlalu lama meninggalkan Ardi, dan wawancara dengan Rayn membuatnya semakin heran. "Aku pengin tanya-tanya juga sama kamu, tapi sekarang enggak sempat. Kalau Ardi enggak boleh tahu dulu, gimana kita bisa ketemu lagi? Kamu enggak bakal lari lagi kan?"

"Besok, di perpustakaan, istiraharat pertama. Pakai konde sumpit itu. Lebih bagus lagi dengan kacamata. Jangan berubah." Dan Rayn sudah berlari turun, menghilang di bawah. Langkahnya saja yang terdengar ringan bergema.

Megan kembali ke kafetaria, melepaskan sumpit Rayn. Diselipkannya benda itu di saku jas, dikancing rapat-rapat. Takut hilang. Bukti ia tidak bermimpi. Cowok taman bonsai itu, Rayn, ternyata lebih misterius lagi setelah "ditemukan". Kejengkelannya dengan sikap Rayn menguap begitu saja. Tidak sabar menunggu besok. Pengin ngobrol lagi. Mendengarnya bicara. Suaranya ....

"Megan," panggil Ardi. Mendorong piring gado-gado di depannya. "Nanti keburu enggak enak."

Ia sudah minta maaf tadi, dan sekarang minta maaf lagi. Ardi menerimanya dengan santai. Dan keduanya mulai makan. Megan bertekad menyingkirkan bayangan Rayn untuk sementara. Ia tidak boleh bilang-bilang Ardi dulu sampai ... sampai apa? Memang kenapa? Oh ya ampun! Kok malah mikirin kata-kata Rayn lagi. Sumpit, kacamata, Runako, bedak, semakin tidak masuk akal. Dan cowok itu sekarang ada di taman menikmati bekalnya sendirian. Megan memandang keluar jendela. Dari sisi sini tampak taman dan gedung SMP. Kalaupun Rayn di bawah sana, tidak terlihat sama sekali.

"Kamu sepertinya lagi ada masalah." Ardi berkata pelan, ragu. Memandangnya dengan perhatian yang bisa bikin melting hati cewek-cewek, Megan yakin, kecuali hati yang sudah kejaring pesona Rayn. Oh ya ampun. Megan menggeleng-geleng keras. Menepuk-nepuk jidatnya dengan kesal.

"Hei, hei! Awas gegar otak nanti!" Ardi tertawa. "Kamu mau habisin gado-gadonya?"

Megan menggeleng. Baru beberapa suap dan kehilangan selera. Mestinya bawa bekal dan makan di taman. Oh shut up, Meg! Ia mendorong piring ke tengah. Tidak berniat memberikannya pada Ardi, tapi cowok itu menyambarnya dengan suka cita. Masih lapar katanya. Megan tersenyum saja. Menyedot minumannya. Rayn bawa minum enggak ya? Tas bekalnya kecil, jangan-jangan lupa .... Dan Megan menjatuhkan muka ke meja. Duk. "Just kill me now, Ardi!"

Ardi tertawa. "Jangan sekarang. Nanti saja kalau kamu sudah ngalahin Lucy."

Apa?! Megan langsung tegak lagi. Menatap cowok di depannya dengan waspada. "Kamu tahu dari mana? Apa yang kamu tahu?"

Ardi mendesah. "Aku tadinya enggak pengin bilang apa-apa, nunggu kamu bercerita sendiri. Tapi dalam setengah jam ini, kamu ajaib banget."

Ucapan Ardi terpotong kedatangan sekelompok anak yang memilih duduk di dekat mereka. Heboh, geser-geser meja untuk disatukan. Megan berdiri, mengajak Ardi pergi. Masih ada 20 menit lagi sebelum masuk. Cukup waktu untuk salat dan ia bisa meminta Ardi bicara sesudahnya.

Di musala mereka berpisah. Megan meminjam mukena pada teteh penjaga dan sedang mencoba bagian atasnya ketika sosok jangkung itu terlihat olehnya. Rayn keluar dari ruang salat putra. Cowok itu juga melihatnya, tapi enggak ada bedanya dengan melihat tembok. Rayn melakukannya lagi! Kok bisa sih lempeng begitu? Akting sempurna pura-pura enggak kenal. Apa karena sudah bertemu Ardi di dalam? Ada apa di antara dua sahabat itu? Best friend ever, kata Ardi. Kenapa ia tiba-tiba merasa ada di tengah-tengah mereka?

Diam-diam Megan meraba saku jasnya. Sumpit stainless itu masih ada.

Baik. Tunggu besok. Megan menggertakkan gigi. Siap-siap saja .... I strip you to the truth, kukupas sampai tinggal kebenaran saja yang tersisa. 




(bersambung)


---------------------------------------------------------

Dear pembaca,

semoga kalian sehat dan tetap semangat ya.

Untuk akhir pekan ini, aku update satu part saja dulu. Lagi kena migrain soalnya. Sampai ketemu Selasa depan dalam situasi kepala lebih baik.

Hehe, tapi yang jelas, hati tetap utuh buat Rayn -- Megan -- Ardi.

Kasih semangat dengan vomment-mu ya. Siapa tahu bisa ngusir migrain juga. 

Salam sayang

Ary

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro