Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Yang Dibela Yang Ditekan


"Ardiiiii!"

Panggilan itu menghentikan langkah Rayn dan Ardi. Baru separuh jalan dari gerbang menuju gedung SMA. Bersamaan mereka berbalik. Seorang gadis berlari-lari kecil menyusul mereka. Rambutnya yang diikat di belakang leher bergoyang-goyang.

"Itu Megan," kata Ardi. Suaranya mengalahkan semangat matahari yang baru mengintip di Timur. Sementara tangannya heboh membalas lambaian.

Rayn menyikut sahabatnya sambil tertawa menggoda. "Oke deh. Aku duluan kalau gitu." Ia berbalik lagi.

"Tapi Megan sudah lihat kamu, pasti bakal nanya."

"Bilang aja ada yang harus aku kerjakan sebelum bel masuk." Dan Rayn bergegas meninggalkan Ardi. Mungkin sepuluh langkah lagi saja cewek itu sudah sampai di depannya. Ia memperlebar jarak dengan berlari-lari kecil memintas areal parkir alih-alih menyusuri trotoar mengitari taman.

Mencoba mandiri. Memberi Ardi kesempatan. Dua-duanya bisa dilakukan bareng. Aku bisa, pikir Rayn, memasuki lobi. Be cool. Be kind. Senyumi saja, kalau ada yang memandang ke arahmu. Balas sapaan dengan wajar, tanpa menyebut nama. Jangan terlalu jujur menunjukkan ekspresi enggak ngenali muka orang.

Kata-kata Ardi bergema di telinganya. Rayn menutupi kegugupan dengan bersiul pelan. Banyak siswa, beberapa guru, ada yang menyapa, banyak yang tidak. Sejauh ini oke. Ia berjalan ke arah tangga di sayap kiri, otomatis melalui jalan yang kurang diminati orang. 

Untuk melemaskan otot-otot kaki, Rayn naik dengan melompati anak tangga dua-dua sekaligus. Di bordes menuju lantai dua, ia berhenti. Hidungnya mengendus bau tajam cat semprot. Apa sedang ada tukang-tukang melakukan pemeliharaan? Aneh. Biasanya ada peringatan agar siswa tidak melalui bagian yang sedang dibenahi.

Tawa kecil terdengar di atasnya. Cowok. Lalu bunyi semprotan. Ah, ini bukan pemeliharaan, tapi siswa yang tengah main-main dengan pylox. Rayn lanjut naik tanpa memikirkan akibatnya. Tahu-tahu saja ia berhadapan dengan cowok berambut gondrong dengan kucir asalan. Di tangannya ada kaleng pylox terbuka. Bau di sekitar situ begitu tajam, Rayn sampai menyangka seisi kaleng telah disemprotkan semua. Tapi tidak ada bekas-bekas coretan di dinding, lantai, atau daun pintu darurat. Cat transparan, pikir Rayn cepat. Untuk apa?

"Apa?! Kamu lagi!" Cowok itu berkacak pinggang.

Mungkin mereka pernah bertemu sebelumnya. Mungkin juga tidak. Rayn tidak peduli, juga tidak takut. Tapi buat apa juga berurusan dengan siswa kurang kerjaan sebelum masuk sekolah. Jadi ia hanya mengangguk dan melewati cowok itu untuk keluar ke koridor.

"Kamu bisu ya?"

Tahu-tahu cowok itu menarik bahunya. Refleknya bekerja tanpa mengecewakan. Rayn menangkap tangan itu sambil berbalik waspada. Langsung berhadapan dengan mata si gondrong yang melotot marah. Ia melepaskannya lagi. "Kerjain saja urusan masing-masing," katanya santai. "Aku mau ke kelas."

"Sombong 'kali!" bentak cowok itu dengan logat yang tidak Rayn kenali asalnya. "Hei! Kamu kelas 10! Berhenti dulu kalau kakak kelasmu ngomong! Jangan kurang ajar!"

Rayn berhenti, berbalik. Bertanya dengan nada ironis. "Ada yang perlu Kakak bicarakan dengan aku?"

Cowok itu mendekat pelan-pelan, dengan gerakan mengancam. Rayn bergeming. Ia tahu itu ciri-ciri gertakan belaka dari pelatih martial art-nya. Benar saja, ketika jarak mereka kurang dari selangkah, cowok itu tidak maju lagi, malah mundur sedikit. Secara naluriah mencari posisi aman. Tapi lagaknya masih tengil. Ia mendorong dada Rayn dengan tangan kiri yang tidak memegang cat semprot. Tidak keras, tujuannya memang untuk memancing kemarahan saja.

"Kamu ngincar Megan, hah? Aku lihat dari cara kamu ngomong sama Megan. Sama kayak temanmu itu, si Ardi? Sekalian saja aku ingatkan, Megan is taken by Raiden. Ngerti?"

Dari postur tubuh, mereka berimbang. Namun yang membuat Rayn bertahan di situ adalah kata-kata kakak kelasnya. Raiden, namanya. Sering dengar. Ah ya, keponakan pemilik sekolah. Cowok aneh. Kapan sih ia bicara dengan Megan sampai disimpulkan demikian? Kalau Ardi dan Megan mungkin saja. Walau itu justru menyalakan alarm peringatan. Ardi punya pesaing segila ini. Apa dia tahu?

"Kenapa? Mau ngeyel?!" Raiden mengangkat tangan lagi. Mengerahkan energi lebih besar.

Rayn memiringkan dada sedikit saja sebelum dorongan itu tiba. Dan Raiden terbawa tenaganya sendiri, tersuruk maju beberapa langkah nyaris kehilangan kendali. Dengan marah ia berbalik, benar-benar hendak menubruk Rayn. Nekat dan bisa fatal karena posisi mereka di bordes. Kalau sampai terguling turun tangga, bisa memar-memar. Tapi ia tetap tenang di tempatnya. Menunggu waktu yang tepat untuk bergerak dan secara tidak terduga.

Raiden membanting kaleng cat hingga berkelontangan dan dua tangannya bebas hendak menangkap Rayn. Saat itulah, Rayn gesit mundur dua langkah, meninggalkan ruang kosong buat Raiden. Ruang kosong yang sialnya tepat di tepi anak tangga. Raiden memekik kaget, nyaris terjungkal ke bawah kalau Rayn tidak segera menangkap jasnya.

Napas Raiden memburu. Setelah posisinya aman, ia mengentakkan jasnya dari tangan Rayn dengan kasar. Saat itu, perhatian Rayn teralihkan pada pintu darurat ke rooftop lantai dua. Pintu itu berat. Membuka ke dalam. Dan seseorang berusaha masuk dari luar, memegang handel kuat-kuat, dan dengan bahu mendorong panel baja.

Rayn ingin membantu tapi Raiden menghalanginya. Akhirnya, orang itu berhasil masuk. Seorang siswi berambut panjang pirang-abu. Adegan selanjutnya berlangsung cepat mengejutkan sampai Rayn hanya bisa terlongo. Pertama, cewek itu menyadari tangan dan jas bagian bahunya lengket. Matanya bertemu Raiden dan kaleng pylox di lantai. Ah, kejailan yang sengaja ditujukan buat si cewek.

Tawa Raiden meledak. Sesaat lupa pada Rayn. "Halo, Lucy! Sudah selesai menikmati pemandangan pagi dari atas? Sudah menemukan Megan dengan teropongmu? Nah, apa pun yang ada di benakmu sekarang, lupakan saja. Anggap saja itu peringatan dariku kalau kamu macam-macam sama Megan lagi."

Mata cewek bernama Lucy itu berkilat. Tangannya terangkat untuk menampar Raiden. Dengan mudah Raiden menangkap pergelangannya. "Ish! Jangan galak-galak. Aku enggak tahu masalah kalian berdua apa. Tapi jelas banget sejak di pesta Jocelyn, kamu nyuruh Megan ngerjain Wynter. Dan Megan enggak bisa nolak. Gini aja. Lain kali, suruh orang lain. Cowok ini aja nih! Pasti mau gantiin Megan dengan sukarela. Sepertinya dia naksir Megan. Iya kan?" Raiden melirik Rayn. "Biar seimbang sama Wynter."

Lucy berkutat mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan Raiden.

"Kamu!" Akhirnya Lucy berbicara pada Rayn. "Ini bukan urusanmu. Pergilah."

"Tapi ...." Perasaan Rayn terpecah. Dari apa yang didengarnya: Raiden membela Megan; Lucy menekan Megan. Tapi saat ini Raiden berlaku kasar pada cewek. Rayn tidak bisa membiarkan itu. "Lepaskan dia!"

"Tentu, kalau dia janji melepaskan Megan."

Lucy melotot. Bibirnya terkatup rapat. Tangannya yang bebas memukul-mukul, kakinya menendang-nendang, tapi Raiden dengan mudah menangkis dan mengelak. Sambil tertawa-tawa.

"Kalian anak sekolah, bisakah semua masalah diselesaikan secara beradab?" Rayn berseru. "Jangan barbar gitu. Pake hukum rimba. Enggak bakal bisa beres."

Tidak disangka, kata-katanya malah membuat dua orang yang berseteru itu kompak menertawakan Rayn, menyebutnya bayi baru lahir. Sampai muka Rayn terasa panas karena kesal. Tapi ia jadi yakin Raiden tidak akan berbuat kelewat batas, dan Lucy bisa menjaga diri sendiri. Akhirnya, ia berbalik pergi. "Terserahlah."

Baru beberapa langkah, bel masuk sudah berbunyi. Rayn buru-buru masuk ke kelas. Ardi menyambutnya dengan berondongan pertanyaan. Untungnya pelajaran pertama olahraga, bermain voli, banyak kesempatan saat menunggu giliran untuk bisik-bisik. Rayn menumpahkan semua informasi yang didengarnya dari Raiden dan Lucy.

Raiden, tinggi sama dengannya. Rambut gondrong, dikucir, suara berat. Lucy, kurus, tinggi sebahunya, rambut panjang lurus warna pirang keabuan, suara cenderung memekik.

"Ya, aku tahu Raiden." Tampang Ardi sudah kayak mau perang. "Dan si pirang-abu. Jadi namanya Lucy. Dan ternyata berperan. Hm ... pantas selalu kelihatan sebelum dan sesudah insiden."

Rayn ingin bilang, apa enggak sebaiknya Ardi menghindari Megan saja, karena sepertinya cewek itu terlalu banyak masalah. Tapi akal sehatnya langsung mengoreksi. Sahabatnya bukan cowok penakut (kalau anjing galak dan home alone diabaikan). Lagian, kalau Mitsuha ada di posisi Megan, Rayn pun enggak bakal ninggalin begitu saja.

"Sekarang kamu mau gimana?" tanyanya.

Ardi garuk-garuk. "Aku enggak bisa bantu Megan kalau dia enggak minta bantuan dan enggak bilang masalahnya. Paling waspadai dua orang itu, jagain Megan diam-diam."

Rayn meninjunya. "Maksudmu, waspadai Lucy? Raiden aktif jagain Megan, Di."

Ardi manyun. Rayn tertawa. Coach Redza memanggil mereka untuk turun ke lapangan. Dan cemburu memang bahan bakar ampuh. Ardi mendadak kelebihan energi, mengejar dan menyelamatkan bola, berkali-kali melakukan smash. Disoraki cewek-cewek. Semakin bersemangat. Membuat skor lagi dan lagi. Lalu terkapar di tepi lapangan saat pergantian pemain. Rayn memberinya botol air mineral. Ia duduk.

"Rayn, aku ada akal." Ardi meneguk minumnya. "Kalau aku ceritakan kejadian yang kamu alami tadi ke Megan apa adanya ...."

" .... Dia enggak ada pilihan selain cerita sama kamu yang sebenarnya?"

"Ya!" Ardi berjingkrak.

Rayn mengangkat telunjuk. Tunggu dulu. "Ada kemungkinan lain. Dia jadi malu dan menjauhi kamu. Forever."

Ardi mengerang.

"Pikirkan saja dulu. Lihat perkembangannya. Kamu bakal tahu kapan harus ngomong. Kamu itu natural."

Ardi tergelak. "Baik, Konselor. Mau gabung makan siang nanti?"

"Cieeee. Yang sudah janjian makan siang bareng." Rayn tertawa. "Enggak. Aku enggak mau jadi botol saus. Enak saja. Paket kita bubar sampai di sini."

Tentu saja Rayn cuma bercanda. Tapi ia memanfaatkan kesempatan itu untuk berlatih lepas dari Ardi. Jadi ketika Ardi dijemput Megan, sepertinya Megan, karena sekarang rambutnya digeraikan, beda dengan tadi pagi, Rayn hanya mengangkat muka sedikit dari buku yang dibacanya. Pura-pura sibuk membaca. Setelah mereka pergi, ia menunggu. Siapa pun yang pertama mengajaknya ke kafe, bukan kafetaria, akan ia ikuti. Kalau tidak ada, ia bisa makan kue bekal dari Mami di taman, sambil lanjut membaca.

Sendiri atau berkelompok teman-teman sekelasnya keluar. Tidak ada yang mengajaknya. Perut Rayn mulai mulas. Haruskah ia yang berinisiatif minta izin bergabung? Gimana ngomongnya? Ke siapa? Aduh .... Ardi enggak sempat ngasih tips tadi.

Rayn menutup buku, menyimpannya di laci. Baiklah, ke taman saja sendirian. Siapa tahu ketemu Mitsuha di sana. Semangatnya bangkit lagi. Baru keluar dari kelas, ia disapa seorang gadis berbaju olahraga, seluruh rambut dimasukkan ke dalam topi pet. Menyulitkan Rayn mengenalinya.

"Jadi, kamu 10 A. Siapa namamu?" Suaranya direndahkan.

Oh, ternyata baru mau kenalan. "Rayn. R—A—Y—N."

"Oke, Rayn. Jangan sok jadi pahlawan! Ngerti?!"

Rayn mengerutkan dahi. Siapa cewek ini, tahu-tahu bilang gitu? Untungnya cewek itu tidak menunggu jawabannya. Sambil geleng-geleng, Rayn berjalan ke tangga sayap kanan, lebih ramai. Kapok lewat kiri, selalu ketemu yang aneh-aneh. Ketika ia menoleh, cewek tadi berhenti di tempat mengawasinya.



(bersambung)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro