Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Surat Utang

Darmawangsa International High School

Maaf, saldo Anda tidak mencukupi untuk melakukan transaksi ini ....

Pesan di layar ATM itu terus membayang di kacamata silindernya. Meledek. Menekan. Huh, bisanya cuma minta maaf, rutuk Megan dalam hati. Mestinya kartu dibuat cerdas, bisa kasih peringatan saat digunakan untuk membayar. Menyala dan berbunyi sekalian. Warning, warning, saldo tinggal buat SPP, jangan dipakai untuk yang lain.

Tanpa alarm, ia merasa aman-aman saja pakai autodebet untuk belanja buku dan peralatan gambar dua minggu lalu, kemudian lupa. Sekarang, saat ia perlu uang tunai, baru deh dibikin syok. Cuma selembar seratus ribuan yang bisa diambil. Sampai ia harus memeriksa saldo dua kali, siapa tahu mesinnya error.

Megan meninggalkan galeri ATM di basement dengan kepala terasa berputar. Jantungnya pun bekerja terlalu keras sampai kaki dan tangannya lemas. Rasanya enggak sanggup kalau harus naik tangga ke kelasnya. Sekali ini saja deh pakai lift untuk difabel. Ia bersandar di dinding kabin yang membawanya ke lantai dua. Teman-teman pasti masih ngomongin hadiah ultah kejutan buat Miss Mala, wali kelas mereka. Sambil menunggu bendahara kelas mengambil dana kas. Siapa bendahara kelas?

Dirinya. Megan Naja Nitisara. Dipilih secara aklamasi karena ia jago matematika dan enggak punya banyak duit pribadi jadi kecil kemungkinan kecampur. Begitu alasan teman-teman. Konyol.

Mereka enggak tahu, justru karena pemasukan seret, uang kas sudah habis juga ia pinjam untuk membeli buku bulan lalu. Megan berniat menggantinya dengan uang SPP. Dan SPP akan ia bayar dengan uang dari Tante Naura. Tante menjanjikan uang saku ekstra kalau nilai-nilai rapor bayangannya meningkat.

Ternyata nilainya jeblok, mengecewakan. Tidak ada ampun dari Tante, bonus melayang. Sekarang ia berutang pada kas, berutang uang SPP. Buku-buku tidak mungkin dijual lagi. Sebagian merupakan edisi langka dan sebagian lagi bertandatangan penulis khusus untuknya.

Megan mengusap buliran keringat di dahi, menatap bayangannya pada cermin di dinding. Kacamata berbingkai hitam kontras menutup sebagian muka pucatnya. Rambutnya yang panjang bergelombang kusut karena banyak digaruk dalam perang emosi melawan ATM.

Sebentar lagi lift membuka di lantai dua. Mau bilang apa pada teman-teman sekelas?

Sori ya, uang kas habis aku pakai untuk keperluan pribadi. Tolong pinjami dulu. Kalian kan banyak duit!

Megan menggeleng sendiri. Kalau begitu, selamanya ia enggak bakal bisa masuk kelas dengan kepala tegak lagi.

Maaf, ternyata kartu ATM-ku ketinggalan di rumah. Pakai uang  kalian dulu ya?

Bisa dipastikan akan ada usulan mampir ke rumahnya sebelum mereka pergi ke mal beli hadiah. Tidak. Jangan sampai Tante Naura tahu permasalahannya. Percuma juga. Tante enggak bakalan berbaik hati membayarkan utangnya. Pasti malah bilang begini, "Meg, kamu enggak kapok juga? Boros lagi. Enggak perhitungan lagi. Selesaikan masalahmu sendiri. Terserah dengan cara apa. Pokoknya, waktu Tante bikin laporan bulanan ke ayah-bundamu, urusan ini sudah beres. Kasihan mereka, kerja keras di kampung sementara anak sulungnya foya-foya di Bandung."

Sengak! Sejak kapan beli buku termasuk foya-foya? Iya sih, bukan buku pelajaran, sebagian besar malah novel. Tapi tetap saja buku, beli sebanyak apa pun, enggak akan pernah cukup karena judulnya kan lain-lain, dan semuanya perlu, semuanya layak koleksi.

Megan menyemburkan napas. Menyilangkan tangan untuk menggosok-gosok bahu sendiri. Mencoba meredakan kecemasan. Dan kaget saat bel berbunyi, pintu lift membuka. Masih waktu istirahat. Selasar ramai siswa terutama di depan kelasnya, 11 A. Duh, ia belum punya alasan bagus. Megan buru-buru menekan tombol ke lantai tiga. Di atas sepi karena hanya ada aula dan ruang-ruang ekskul yang baru digunakan di luar jam belajar. Ia perlu berpikir tenang mencari solusi.

Di lantai tiga, sebelum lift membuka sempurna, seorang cowok menyeruak masuk. Poninya tergerai menutup mata. Menunduk, tidak menyapanya. Megan pun tidak peduli, lagian tidak kenal. Ia segera melipir keluar, belok ke kiri untuk ke toilet dulu, karena alam tiba-tiba memanggil dan mendesak. Sepertinya kerja keras otak sebanding dengan peningkatan isi kandung kemih. Beser. Megan berlari masuk dan memekik kaget. Ada cowok di dalam rest room perempuan. Bukan sembarang cowok pula. Tapi jenis really really bad news buat seluruh cewek tanpa terkecuali. Wynter Mahardika. Blasteran Indo-British dari kelas 11 B.

Cowok itu tak kalah terkejut. Ngedumel enggak jelas. Tapi kemudian dengan cuek berbalik untuk membuka bilik WC satu demi satu. Melongok ke dalam, mencari-cari. "Shiitake pitak! Toge bengkok! Singa botak! Bikin repot saja!" Wynter mengumpat, entah ditujukan ke siapa.

"Hei, hei! Ini toilet cewek! Kalau mau maki-maki sendiri, di toilet cowok sana!" Megan berkacak pinggang. Berdiri tidak nyaman dengan desakan di bawah perutnya.

Wynter hanya mendengkus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mata biru cowok itu bikin Megan merinding. Waspada, pikirnya, kalau bule gosong ini ada di waktu dan tempat yang salah, pasti berarti masalah. Pernah Wynter terlihat di sekitar ruang keputrian, sepatu Sheila terisi rootbeer. Atau saat cowok itu menyelip di antara para cheerleader di kafetaria, tikus putih tiba-tiba muncul di meja mereka. Oh ya, sosok tinggi langsing dengan rambut pirang butek itu kayak noda di kacamata, terlihat ke mana pun ia menoleh. Tapi Megan anti banget berurusan dengannya. Tidak disangka hari ini bakal ketiban sial. Ah, masa bodolah. Megan sudah kebelet pipis. Ia menghambur ke WC terdekat, tapi Wynter lebih sigap menghadangnya.

"Pakai toilet di lantai bawah saja. Di sini enggak aman."

"Yang enggak aman itu kamu. Habis ngapain coba di sini?" Megan mendelik. "Sudah. Sana minggir, atau aku teriak panggil satpam."

Wynter mendecak. "Dikasih tahu, bandel. Terserahlah."

Megan tidak menunggu sampai cowok itu keluar dari rest room. Ia masuk dan mengunci pintu. Tapi didengarnya Wynter masih bertanya apa dia melihat Raden, anak 11 C, di sekitar sini. "Tadi di lift aku emang ketemu cowok. Enggak tahu Raden atau bukan."

"Raiden. Bukan Raden. Itu jamur apa kuping sih? Masa kamu enggak tahu keponakan pemilik sekolah? Habis hibernasi ya?"

Megan menggeram. Ingin rasanya melabrak cowok itu. Tengil banget. Mau keponakan pemilik sekolah, atau keturunan penunggu sekolah, peduli amat. Tapi terdengar pintu rest room terbanting. Cowok itu keluar akhirnya. Megan mengembuskan napas, dengan lega membebaskan tekanan di kandung kemih.

Saat ia meraih tisu, lima makhluk kecil berwarna cokelat berjatuhan ke lantai. Satu demi satu mengikuti tarikannya .... 

Reaksi terpukau: gimana ceritanya mereka sampai terbelit gulungan tisu? 

Reaksi sadar: eh, masih hidup! Seperti baru pulih dari pingsan, mereka sempoyongan. 

Reaksi gempar: Kecoak!

Megan menjerit, buru-buru membereskan pakaian luar dalam, lalu naik ke dudukan toilet. Menjerit lagi. Bulu kuduknya berdiri tegak. Ia dan kecoak punya kisah lama yang buruk. Megan, pembasmi yang tidak berdaya meski memegang penggebuk kasur. Kecoak, korban yang berjaya, cukup merayap masuk ke dalam mukena yang dipakainya. Megan pun terus bergidik setiap kali ingat.

Wynter ..., desisnya penuh dendam.

Megan merogoh saku jas untuk mengambil ponsel dan memotret para kecoak yang bergentayangan. Bukti untuk melaporkan perbuatan Wynter kepada Miss Jansen, konselor siswa. Ia kemudian membungkuk untuk meraih jet shower  sambil berpegangan pada dinding bilik.

"Pergi! Pergi!" serunya, menyemprotkan air pada para kecoak, membuat mereka berhamburan keluar. Megan tidak peduli toilet yang seharusnya kering jadi banjir. Hati-hati ia turun. Dan matanya menangkap tulisan pada gulungan tisu di dalam kontainer. Ia menarik tisu sedikit untuk memaparkan pesan yang ditulis acak-acakan.

Thanks for saving us, cockroach hero.

W/love.

Enggak lucu, pikir Megan. Meninggalkan jejak kejailan sebegitu jelas bisa berarti dua: pelakunya bodoh atau sombong banget. Apa pun itu, Megan bersumpah, Wynter enggak bakal lolos. Setelah memotret tulisan buruk rupa itu, Megan bergegas keluar dari rest room. Jam istirahat sudah habis. Kembali ke kelas sepertinya cukup aman karena sekarang pelajaran Miss Mala sendiri, teman-teman tidak akan ribut tentang uang kas. Tapi ia sudah harus kabur sebelum pelajaran berakhir.

Megan terlambat 10 menit masuk kelas. Benar dugaannya, teman-teman malah memandangnya ramah. Tidak ada yang curiga ia pergi terlalu lama untuk ke ATM. Megan duduk di bangkunya. Heran melihat amplop merah di atas meja. Untuknya. Tidak ada nama pengirim. Anisha, teman sebangkunya, angkat bahu ketika ia tanya.

Penasaran, Megan mengeluarkan surat itu. Dan darahnya mendadak beku.

M,

Masalah kas sudah beres.  Thanks to me. Temui aku di pesta Jocelyn Xiao malam Minggu ini. Aku beritahu nanti syarat untuk menebus surat utangmu. Kalau enggak datang atau bilang-bilang orang lain, rahasiamu enggak dijamin. Kamu tahu posisimu di sini. Itu pun kalau kamu masih mau punya posisi.

L

Cuma ada satu L di kelasnya. Lucy Winola Ayu Kenward. Blasteran Indo-Aussie itu duduk paling depan, menoleh kepadanya sambil tersenyum sinis. Keracunan apa para blasteran hari ini, kompak membuatnya sial? Eh, dari mana Lucy tahu masalahnya?

Astaga! Megan terenyak. Struk ATM yang dicampakkannya ke keranjang sampah. Gara-gara seratus ribu terakhir, saldonya terpapar. Betapa cerobohnya! Tapi siapa yang menduga Lucy masih mengincarnya setelah perseteruan mereka di kelas 9 dulu? Oh, dan di kelas 10. Aaah, di awal kelas 11 juga. Megan menggigit bibir. Jelaslah, ancaman Lucy enggak main-main. 




(bersambung)

__________________

Halo  sahabat,

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vomment ya. 

Oh ya, siapa yang mau tanggal lahirnya aku pakai buat tanggal lahir Rayn, Megan, dan Ardi? Komen di sini dan sebutkan ultahnya ya. Kalau banyak peminat, mau enggak mau diundi nanti.

Love, love ...

Sampai ketemu Jumat nanti.

Ary

PS.
Wynter Mahardika dicrossover dari Write Me His Story di Wattpad pribadiku ya. Sudah tamat dan masih lengkap, dalam proses diterbitkan. 

Baca di  AryNilandari

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro