Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part1

"Gue yougurt low fat."

"Snak kentang kaya biasa."

"Permen karet rasa rasberry."

"Kopi less sugar buat gue."

"Gue tisu."

"Es crem coklat."

"Minuman soda empat kaleng, Han. GPL."

Hana bangkit dari kursi sambil mengeratkan ikat tali di rambut pendeknya yang dikuncir kuda. Dia mengutipi uang di atas meja, menghitung jumlahnya lalu mengangguk paham pada beberapa anak yang mengerumini bangkunya.

"Berarti udah nih, nggak ada tambahan lagi?!" tanya Hana sedikit berteriak, menyapu pandang ke seluruh kelas guna memastikan tidak ada titipan susulan. Para cowok ada di bagian belakang, asyik bermain game di gawai dengan heboh. Sementara cewek-ceweknya sedang sibuk memoleskan bedak dan lipstik di bangkunya masing-masing.

Tak mendapat balasan, Hana menghela napas. Satu cowok di dekatnya menepuk pundak Hana, memberi kode dengan mengelus leher agar dia lekas bergegas. Hana mengangguk kecil, melepas jas navy almamater kemudian disampirkan ke sandaran kursi sebelum keluar. Dia memilin lengan kemeja putihnya sampai batas siku sambil berjalan, lalu saat akan menuruni tangga, tiba-tiba namanya dipanggil dari belakang. Suaranya kecil melengking, intonasi manja, juga ketukan sepatu berhak yang menjadi ciri khas Celine--salah satu pelanggan tetapnya--terdengar rusuh. Mau tak mau Hana menoleh, menyambut cewek tinggi langsing berambut merah bata itu dengan tatapan malas.

"Mau nitip apa?" tanya Hana.

Celine mengentikan kaki, cengengesan. Sadar jika orang di depannya sebal sebab tadi tak diacuhkan. Dia mengeluarkan uang lima puluh ribu dari saku rok navy di atas dengkul, diserahkan pada Hana lalu berbisik, "Pembalut tanpa sayap."

"Bukannya bulan ini udah, ya?"

"Makanya!" Menghentakan kaki, Celine cemberut. "Gue juga kesel banget. Sama, lo tahu Han, BB gue nambah. Astaga!"

Hana menghela napas. Memutar bola mata. Menerima uluran Celine dan lekas berbalik menuruni tangga. Menyebalkan sekali saat mendengar masalah dari teman-temannya yang hanya sebatas berat badan naik, jerawatan, putus cinta, followers turun, kehabisan barang brandit atau soal make up. Sedangkan dirinya harus pontang-panting bekerja untuk bisa sekolah dan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Terdampar di sekolah elit sekelas SMA Nusa karena beasiswa tidak bisa menjamin masa depan Hana akan gemilang. Setidaknya setelah nilainya mendadak jeblok hingga beasiswa pun dicabut semester lalu. Jadi, satu-satunya harapan Hana untuk bertahan sampai lulus hanyalah uang tabungan sejak SMP dari hasil keringatnya bekerja paruh waktu di warung soto, dan menjadi pesuruh anak-anak bernasib mujur itu akhir-akhir ini. Yah, tidak ada pilihan di hidup Hana. Lahir di keluarga pas-pasan membuatnya terbiasa dengan drama uang saku yang kurang. Menjadi anak pertama dengan dua adik sering kali dijadikan sang ibu untuk memaksa dia menghalah dan mandiri agar bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Termasuk biaya sekolah, tentu saja.

"Terima kasih, Hana. I love you!" seru Celine, melongok dari pagar teralis. "Kaya biasa ya, taruh langsung di tas!"

Hana mengacungkan jempol tanpa berbalik badan, melangkah lebar di tengah halaman luas bermatrial paving yang perlahan ramai sebelum keluar gerbang besi bercat putih setinggi tiga meter itu.

Dia menengok kanan-kiri, merentangkan satu tangan lalu mulai menyebrang di zebra cros saat jalan agak lengang. Suasana minimarket sedang ramai, kursi dan meja yang disediakan di terasnya penuh diisi para mahasiswa yang sepertinya sedang mengerjakan tugas. Ketikan keybord laptop, suara notifikasi pun lembar buku yang dibuka terdengar pelan diantara obrolan mereka. Hanaya mendorong pintu kaca itu, hawa dingin AC langsung menyambut tengkuknya yang terekspos sempurna. Dia mengambil keranjang di dekat meja kasir, melipir ke bagian makanan ringan dan minuman dingin. Hana mengambil semua yang dipesan hingga penuh mengisi keranjang. Tiba-tiba gawai di saku rok navi yang dikenakan bergetar. Hana merogohnya dengan satu tangan. Panggilan dari Celine.

"Hal ...."

"Pak Brot nyariin!" sela Celine sedikit berteriak. Kegaduhan di kelas terdengar sangat jelas. "Buruan balik!"

"Eh?" Hana mengerutkan dahi, beringsut ke arah kasir. "Ada apa emangnya?"

"Meneketehe, Hana. Gue kan bukan cenayang. Udah ah, bye. Btw, pembalut gue jangan lupa!"

Panggilan diputuskan sepihak. Hana berdecak pelan, menyerahkan barang belajaan untuk dihitung. Entah hal apa lagi yang menunggunya kali ini. Terakhir pak Broto memanggilnya dua bulan silam saat masalah pencabutan beasiswa. Lalu srkarang, seingat Hana, dia tak melakukan pelanggaran apa pun. Uang SPP sudah lunas dibayar meski harus dicicil beberapa kali.

***

Pak Broto menanggalkan kaca matanya. Beliau menyandarkan punggung sambil mengembuskan napas. Ditatapnya Hana di kursi seberang.

"Paham, Hanaya Salsabila?" tanya Pak Broto. "Memberi catatan di saat ulangan atau tugas itu pelanggaran. Apa lagi ini sudah kelas tiga, teman-temanmu tidak akan berkembang jika terus mengandalkan kamu."

"Tapi kali ini saya nggak ngasih contekan, Pak." Hana kukuh dengan pendiriannya. Lagi pula memang benar jika hasil ulangan Celine dan kawan-kawannya bukan dari dirinya. Perkara jawaban mereka yang tumben banyak benarnya, mungkin memang karena belajar atau ilham. Pak Broto harusnya bangga karena ada peningkatan kwalitas siswa, bukan malah mempertanyakan seperti ini.

"Kali ini? Artinya kabar kamu menjual contekan itu benar?"

Sesaat Hana terperenyak. Kemudian melipat bibir. Tak berani menjawab. Pak Broto melanjutkan setelah menarik napas. "Jadi, kamu memberi contekan?"

Hana menggeleng. "Nggak, Pak."

"Yakin bukan kamu?"

"Demi Tuhan."

Lalu Pak Broto mengansurkan buku catatan Hana, dibandingkan bersama empat buku lain yang dibuka berjajaran memenuhi meja jati itu. Hana menyipitkan mata, membaca sekilas dan menggeleng kecil karena tak paham maksud sang guru. Dia kembali menegakan punggung, menatap Pak Btoro penuh tanya.

"Coba lihat isian Celine," perintahnya. "Terus lihat punya kamu sendiri."

Menurut, Hana melakukannya. Membulatkan mata seketika saat sadar jika catatan kecil yang sengaja dia tulis untuk menandai tingkat kesulitan soal juga ada di buku Celine. Cewek itu mencontek tanpa ijin, dan parahnya, disalin tanpa dipikir lalu disebarkan ke geng-nya. Ya ampun! Padahal Hana sudah tegas menolak waktu itu, tidak lagi mau menjual jawaban tugas. Namun mengatakan jika ini bukan salahnya hanya akan memperpanjang urusan, Hana tak punya banyak waktu sekarang. Biarkan masalah Celine dia selesaikan sendiri besok.

"Bagaimana, benar bukan?" kata Pak Broto.

"Maaf, Pak," ucap Hana terpaksa.

"Hanaya." Pria botak itu mengeluarkan debas, menatap prihatin. "Saya tidak tahu hal apa yang membuatmu seperti ini. Dan jujur, saya benar-benar menyayangkan sikap kamu."

"Maaf, Pak."

"Bukan. Bukan begitu maksud bapak. Hanya saja, Bapak menaruh curiga jika kamu sedang mendapat perundungan."

"Maksud Bapak?" Hana menukikan alis.

"Saya sering lihat kamu bawa banyak makanan ke kelas, dan ini." Pak Broto menepuk buku. "Kamu yang secara sadar memberikan jawaban? Bukan dipaksa?"

"Nggak, Pak," jawabnya cepat sambil menggeleng. "Tadi saya lupa pernah ngasih contekan, nggak ada perundungan sama sekali."

"Beneran? Tidak apa-apa, kamu boleh jujur, Hana."

"Suer." Hana mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah di samping wajah. Pice. Bisa gawat jika pria berkumis setengah itu tahu apa yang dirinya lakukan semata-mata hanya karena upah. "Bapak jangan khawatir. Semua aman terkendali, kok."

"Baiklah." Pak Broto mengangguk, menyandarkan punggung pun melipat tangan. "Sesuai aturan, kamu harus Bapak hukum. Sapu halaman depan, bereskan pot-pot bunga di taman."

"Yah, Pak. Kok ...."

"Tidak ada tawar menawar," sela Pak Btoro. "Silakan lakukan tugas dengan baik."

Hana mengembuskan napas, mengangguk lesu lalu bangkit. Berjalan menyeret kaki keluar ruang guru, menyusuri selasar yang sudah sepi karena bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu. Dia berbelok ke arah gudang di paling ujung bagian belakang. Suasa di dalamnya remang, lembab dan pengap karena banyaknya perabot rusak yang tergeletak. Hana menyingkirkan ember yang menghalangi jalan menggunakan kaki, mengambil sapu lidi dicantelan paku dengan kasar sambil berdecak kesal.

Tbc...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: