part 37
Ibu pulang menggunakan kereta. Sampai ke rumah pukul 08.00 malam sambil membawa beberapa tas berisi bahan pangan hasil pemberian saudara. Bahan yang kemudian dimasak pada pagi harinya, disajikan di meja untuk disantap bersama.
Seperti biasa, Gio memisahkan diri di depan TV. Sarah yang duduk di seberang Hana nampak menikmati isi piringnya. Diam-diam Hana mencuri pandang ke arah ibu di samping Sarah. Meski sudah satu minggu berlalu, sikap ibu masih membisu. Dan Hana hanya bisa menghela napas karena tak berani menegur terlebih dahulu. Bagaimanapun Hana sadar jika kesalahannya sangat fatal---membuat ibu bersimpuh meminta maaf pada Rita, dan akhirnya tetap dikeluarkan akibat meledaknya berita.
Gio datang membawa piring kosong ke atas meja, melipir mengambil sepatu di rak dekat kamar Sarah. Tak lama Sarah ikut bangkit juga, menumpuk piring kotornya dengan milik Gio sebelum dibawa ke dapur. Keduanya sibuk bersiap ke sekolah. Lima menit kemudian sudah berpamitan dan keluar gerbang reot rumah. Membiarkan keheningan benar-benar melingkupi ibu juga Hana.
Tak mau terjebak lebih lama, Hana putuskan beranjak dari tempatnya. Namun baru saja mengangkat badan, ibu sudah mengintrupsi. Meminta Hana kembali ke kursi. Lalu ibu mengeluarkan lima lembar uang ratusan ribu dari bawah taplak meja. Diangsurkan ke arah Hana. "Ibu baru ada segitu, Han. Sisanya bakal ibu cicil."
"Ini uang apa, Bu?" tanya Hana, menatap wajah ibunya.
"Uang tabungan kamu yang udah ibu pake."
"Bu ..."
"Nggak Hana, kamu jangan bilang nggak usah." Potong ibu, cepat. "Ibu tahu kamu butuh uang itu. Simpen baik-baik buat kebutuhan kamu sendiri. Maaf, ya, sudah maksa kamu ikut nanggung masalah ekonomi. Ibu nggak marah sama kamu, Hana. Justru, ibu ngerasa bersalah pas denger kamu dikeluarin. Dan ini ..." Lagi, Ibu mengeluarkan dua lembar uang serupa dari tempat yang sama. Ditumpuk di antara uang lainnya. "Beli makanan yang pengen kamu beli. Tonton film yang pengen kamu lihat. Atau beli baju baru seperti teman-temanmu."
Mata Hana memanas. Hidungnya bergeleyer seiring cairan yang menggenang di pelupuk. Ibu tersenyum menatap Hana. Kemudian terkekeh getir. "Kamu nggak pernah nangis saat harus ngambil rapor sendiri, Hana. Nggak pernah nangis pas diejek temen-temen karena sol sepatumu jebol. Jadi, jangan buang air matamu untuk uang. Itu bikin ibu semakin ngerasa payah jadi orangtua."
"Bukan uangnya. Tapi ibu," lirih Hana, mengusap pipi.
Ibu menarik badan dari kursi, menghampiri Hana, menepuk pundak kanannya. Mengangguk begitu Hana mendongakkan kepala. "Kamu harus kuliah, Hana. Jangan jadi seperti Ibu. Kamu harus bisa jadi orang. Kamu harus bisa jadi contoh adik-adikmu kelak."
"Ibu."
"Ck, udah dibilangin jangan nangis juga. Udah ah, ibu mau nyuci dulu. Habisin sarapannya. Ingat, kamu nggak bisa ngandelin siapa pun selain diri kamu sendiri."
Setelahnya ibu berlalu ke dapur. Denting piring terdengar di sela kucuran air kran. Hana menunduk dalam, mengepalkan tangan di pangkuan sambil tersenyum penuh kelegaan. Mungkin bukan sesuatu yang besar. Mungkin hal tersebut bukanlah ending dari sebuah perjuangan. Melainkan awal untuk memulai ulang. Namun meski demikian, Hana tak keberatan. Setidaknya sekarang dia memiliki pegangan, bukan? Tak lagi memikul impiannya sendirian. Lantas dia mengambil uang di meja, berdiri, meraih tas di bawah kaki sebelum pamit pergi.
"Aku berangkat kerja, Bu."
•••
"Jadi, lo udah fix mau ambil jurusan Kesos ya, Gab?" tanya Hana, disela mencatat. Anak rambutnya jatuh ke samping wajah sebab menunduk menekuri buku di atas meja. Sesekali diselipkan ke belakang telinga menggunakan tangan satunya.
"Iya." Gabriel mengangguk, masih menyangga pipi memerhatikan tangan Hana. Keadaan teras mini market om Sutra lumayan lengang. Derum kendaraan dari jalan tak pernah putus mengisi pendengaran. Pekak. Menemani cuaca sore yang terang benerang di kawasan ibu kota. "Lo sendiri udah punya tujuan?"
Hana meletakan pulpen. Menutup buku dan menganggukkan kepala. Semua rambut di lempar ke punggung. Sia-sia saat angin kembali menerbangkannya. Dirapikan sebisa mungkin, lalu berbicara, "gue pengen masuk universitas pakai jalur SBMPTN. Kalo bisa tembus UI. Terus ngambil management bisnis."
"Waw." Gabriel menegakkan punggung. Wajahnya semringah bukan main. Karena seingatnya, beberapa bulan lalu, jangankan memilih jurusan, masuk ke univ mana pun Hana tak tahu. Namun sekarang cewek itu nampak penuh keyakinan saat berkata. Tak membatasi diri untuk bermimpi.
"Ih, biasa aja kali muka lo." Hana tersenyum malu-malu, melipat tangan di bawah dada. Berdeham setelahnya. "Ngomong-ngomong, Celine sibuk banget ya, emangnya? Maksudnya, ini ..." Dagu Hana mengedik ke arah buku cetak di atas meja. "Kenapa dititipin ke elo? Padahal kalo dia WA gue buat ambil sendiri gue mau."
Karena itu buku gue, Han. Gabriel ikut berdeham. Tak mungkin dia bilang apa yang hatinya jeritkan. Bisa dipastikan Hana tak akan mau meminjamnya. Tidak dengan alasan Gabriel sengaja membeli itu. Menggunakan uang saku. Diserahkan pada Hana secara suka rela. Gabriel harus mencari alasan lain. Jangan sampai buku itu tergeletak sia-sia di kamar nantinya. Bukan. Bukan tentang harga yang lumayan, tetapi usaha Gabriel yang akan menguap hilang. Dan, ada baiknya dia jujur bahwa Celine tak berperan. Jujur bahwa Gabriel bahkan tak memberitahu rencana Hana yang ingin mem-fotocopy. Sebagai ganti, Gabriel harus sajikan kebohongan lain yang lebih masuk akal. Tentu dengan potensi 100% diterima Hana.
"Sebenarnya itu bukan punya Celine."
"Lho, terus punya siapa?" Menautkan alis, Hana mulai memasang raut curiga.
"Punya gue. Gue ada dua, dan nggak mungkin juga dipake semua."
Tak ada perubahan dari ekspresi Hana. Masih menunggu Gabriel menjabarkan cerita. Baiklah. Hana bukan cewek yang suka diberi. Dia ... Mandiri. Kelewat mandiri malah, sampai-sampai Gabriel kadang malu sendiri.
"Jadi, udah sebulanan lebih bokap beliin gue buku-buku persiapan masuk Universitas." Lagi, Gabriel berdeham. Berbohong membuat suaranya seolah tertahan di tenggorokan. "Baru beberapa hari belakangan gue ngecek rak, dan nemuin setumpukan buku baru. Sementara gue udah beli mandiri di koperasi. So, nimbang berjamur, gue kasih pinjem ke elo."
"Lo nggak berbakat ngarang cerita, Gabriel," lirih Hana.
"Bukan gitu, Han. Gue ..."
"But, thanks." Potong Hana, tersenyum. "Gue janji bakal jaga bukunya baik-baik."
Gabriel mengembuskan napas lega. Ikut tersenyum juga. Hampir saja dirinya kelimpungan karena ucapan Hana yang pertama.
"Ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba pengen bisnis? Lo berarti harus lijur, dong? Dari IPA ke IPS?" tanya Gabriel, mengalihkan topik.
"Iya, lijur. Tapi enggak apa-apa. Kalo lo sendiri kenapa kesos? Kayaknya itu jurusan masih jarang diminati, deh."
"Nggak jarang si, sebenarnya. Cuma emang kalah pamor dari jurusan lain aja. Dan kenapa gue milih kesos, karena ... Menurut gue, ada hal yang lebih penting dari sekadar bekerja dan mendapat gaji."
Hana manggut-manggut. "Kurang lebih gue juga sama. Gue punya keinginan buat nyiptain lowongan kerja sebanyak-banyaknya. Nerima pegawai tanpa minimal ijazah, tanpa mandang statusnya. Mau anak sekolahan yang cuma mau magang, oke. Ibu rumah tangga yang repot ngurus anak juga oke. Mau tua atau muda. Siapa pun itu, asalkan niat kerja. Gue nggak pengen denger anak putus sekolah karena orangtuanya nggak punya penghasilan buat biaya. Gue nggak pengen nemuin orang yang kerja serabutan tapi gajinya nggak sepadan hanya karena bukan lulusan sarjana. Gue nggak mau lihat anak-anak usia dini yang dipaksa menikah demi membantu ekonomi keluarga. Dan, rasa-rasanya gue muak sama fenomena dunia kerja sekarang. Kebanyakan atasan suka memperbudak pegawainya, terus seenak dengkul main pecat tanpa mau mikirin gimana nasib keluarga mereka."
Di akhir kata, Hana tersenyum sedih. Sedikit menunduk. Mungkin teringat ayahnya di perantauan yang terkena PHK. Adik-adiknya yang pernah terancam putus sekolah. Juga, sang ibu yang tak memiliki penghasilan hingga terjerat hutang. Namun tak lama, cewek itu kembali cerah. Entah hanya pura-pura, atau memang begitulah Hanaya.
"Gue balik sekarang, ya," katanya, bangkit dari kursi. Menyandang tas dan mendekap buku di dada. Diikuti Gabriel yang kontan saja merasa kecewa. "Sekali lagi thanks buat bukunya, Gabriel."
"Gue anter, ya?"
"Nggak usah. Gue bisa sendiri. Bye."
Segera, Hana bergerak pergi. Pemandangan ibu kota ramai pada seperti biasa. Hiruk pikuk kendaran, juga kesibukan bahu jalan oleh kegiatan jual-beli jajanan di sepanjang trotoar menjadi latar di mana Hana melangkah ringan sambil mengembuskan napas dalam.
Sama seperti kupu-kupu, gue juga pengen terbang dan hinggap di bunga-bunga bermadu, bukan menapaki kerasnya batu. Tapi Tuhan nyiptain gue dengan pundak yang kuat, bukan sayap cantik yang bisa dikepak.
Jadi, Hanaya, mari kita bekerja keras. Lakukan yang terbaik, dan jangan pernah ngandelin siapa pun. Oke?
Selesai.
Muehehe ... Akhirnya bisa bumbuhi kata selesai. Ini naskah udah satu tahun yang lalu, dan aku putuskan untuk merubah ending karena waktu itu emang maksa banget. Wkwkwk. Dan, ya, ini lah ujungnya. Semua hal yang ingin aku sampaikan sudah tuntas.
Terima kasih yang sudah baca sampai sini. Maaf kalau nggak sesuai ekspektasi. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro