part 16.
Suara lantang penuh penekanan membuyarkan lamunan Hana seketika. Cewek itu mengerjap saat sadar ada sebuah tangan besar yang bertumpu di meja. Perlahan matanya bergerak ke atas, menelan ludah setelahnya karena tatapan tajam dari wanita gemuk berkacamata itu.
"Ngelamunin apa, Hana?" tanyanya, melipat tangan di bawah dada. "Pacar? Gebetan? Apa mantan?"
Hana menundukkan wajah lalu menjawab pelan, "Bukan, Bu. Maaf, saya jomblo."
Sontak seisi kelas menertawakannya.
"Bisa aja kamu." Sang guru menggeleng kecil. "Keluar sekarang."
Hana tak bisa membantah. Resiko terus memikirkan komentar jahat yang ditujukan untuk Rita karena ulahnya berimbas sampai hari ini. Sungguh, Hana merasa bersalah pada Rita. Dirinya dan perempuan cantik itu tak saling kenal, tetapi gara-gara masalah uang Hana jadi terpaksa mengusik hidupnya. Semoga saja akibat yang ditimbulkan tak terlalu fatal.
"Kamu lari keliling lapangan tiga putaran, Hana," lanjut bu Emi.
Menghela napas, Hana mengangguk. Berjalan lesu keluar kelas. Selasar sangat kosong, tetapi gaduh suara dari kelas lain tak bisa dihindarkan. Cewek itu menuruni anak tangga dengan sedikit berlari, membuat ujung rambunya terayun ke sana ke mari. Lalu saat sampai di lokasi menjalankan hukuman, Hana mengeluarkan debas panjang. Dilepasnya jas navi yang melekat, diletakan di bangku semen selasar sebelum menyingsingkan lengan baju sampai siku.
Hana melompat kecil, memutar tangan ke belakang dan leher untuk pemanasan. "Oke. Mari kita lakukan, Hana," katanya, mulai bergerak.
Lapangan, atau mungkin halaman ini hanya digunakan untuk upacara, juga berkumpul jika ada pengumuman dari ruang TU yang letaknya tepat di depan tiang bendera. Bermatial paving berwarna merah kusam, dikelilingi pot semen berisi bunga yang berjajar rapi. Ukurannya pun sangat luas, membuat Hana hanya mengambil sepertiganya saja untuk dijamahi kaki. Akan sangat melelahkan jika harus full dari ujung ke ujung sebanyak tiga kali, belum lagi cuaca terik hari ini ikut mengantarkan udara panas bak berada di tengah pasar.
Setelah satu terselesaikan, Hana berhenti sejenak guna mengatur napasnya yang tersengal. Keringat mulai merembas di dahi dan hidungnya. Diusap cepat menggunakan punggung tangan. Lalu dari kejauhan, dia melihat segerombolan ibu-ibu menuruni tangga gedung kelas 12 IPS. Berjumlah tak lebih dari sepuluh orang yang semuanya bergaya sosialita. Tas brandit berharga jutaan di tenteng bangga, sesuatu yang berkilat melingkar di leher dan pergelangan tangan mereka. Satu di antaranya berlalu lebih dulu seolah enggan membaur. Kemeja putih semi formal denga tali hitam di leher nampak cocok dipadukan celana kain hitam longgar yang licin. Hana terpesona melihat postur tinggi, wajah dan gaya berjalan maminya Gabriel yang anggun tetapi berwibawa. Padahal usia wanita itu tak lebih muda dari ibu.
Ibu tuh orang capek, wajar kalo keliatan lebih tua.
Hana mengeluarkan debas. Entah kenapa dia selalu iri saat melihat kehidupan sempurna orang lain. Rasanya takdir yang Tuhan berikan pada keluarganya terlalu terjal dan menyedihkan. Bahkan bapak sampai meminta maaf padanya karena keadaan ini.
Ceritanya, waktu itu beliau menjemput Hana ke warung, memintanya duduk sejenak di pos satpam komplek sambil menyesap wedang ronde bersama bapak-bapak yang sedang bertugas ronda. Suasana cukup bising ditemani radio tua yang sedang memutar lagu lawas. Awalnya bapak hanya mengikuti arus pembicara, tetapi kemudian pria berjenggot tipis itu mengusap pelan paha Hana.
Berkata, "Kamu pasti capek ya, harus kerja kaya gini." Sambil menengadahkan pandang, menerawang jauh menembus kabel-kabel dari tiang listrik, juga gumpalan awan di antara bulan di langit malam. "Maafin bapak ya, Hana, karena nggak bisa ngasih apa yang kamu pengen."
"Ih." Hana jelas langsung menatap tak suka. "Bapak ini ngomong apa, sih."
Sementara bapak justru terkekeh kecil, mengeluarkan debas setelahnya yang entah kenapa terdengar menyakitkan bagi Hana. Hana pun lantas mengalihkan pandang, jauh dari jangkauan bapak dan orang-orang. Pelan-pelan menyeka cairan di mata yang tiba-tiba saja berjatuhan.
"Kamu tahu, Hana. Kalau boleh dan bisa, bapak nggak pengen lihat kamu kerja. Rasanya tuh kaya terenyuh pas liat anak-anak lain main, tapi anak bapak lagi nyari uang."
Khawatir ketahuan sedang menangis, Hana memilih bungkam sambil mengeratkan pegangan pada gelas hangat di tangan. Bibir bawahnya digigit kuat, menahan isak yang akan lolos dari sana.
Bapak merengkuh pundak Hana, mengusapkan tangan penuh sayang di lengan atas. "Setiap malam bapak berdoa, meminta sama Tuhan agar putri bapak ini bisa hidup lebih baik di kemudian hari."
***
Gabriel bersandar di tembok selasar, menunggu Hana di ujung tangga gedung kelas 12 IPA. Bel padahal sudah berbunyi lima menit lalu, tetapi para penghuni kelas itu belum juga keluar. Mungkin ada jam tambahan atau semacamnya. Gabriel berniat tetap di sini, tak peduli seberapa lama itu. Ada hal yang harus dia sampaikan pada Hana perihal tugas kemaren.
Lalu tepat saat Gabriel menegakan punggung hendak duduk ke bangku semen, suara riuh menginterupsi. Tapak kaki mereka terasa bergetar di langit-langit, atau lantai atas itu. Kemudian tak lama tangga yang semula lengang menjadi sesak. Garbiel sedikit menyingkir, tak ingin menghalangi jalur.
Hana yang sengaja berjalan paling belakang mengernyit heran, menghampiri Gabriel sambil memegang kedua tali tas. "Ngapain lo di sini?" tanyanya.
Mengedikkan kedua bahu, Gabriel tersenyum lebar. Mensejajarkan kaki saat cewek itu mulai melangkah menyusuri lapangan. Kedua remaja itu tak saling bicara sampai ke parkiran. Lahan luas itu masih penuh dengan kendaraan yang berbondong-bondong keluar gerbang. Terpaksa Gabriel dan Hana menyisip ke celah, kembali beriringan ketika di trotoar. Silih berganti kesibukan jalan mengisi bungkam. Gabriel yang tak tahan pun akhirnya berdeham.
"Ngomong-ngomong, thank's, ya. Agak kaget juga si gue, lo mau ngelakuin itu."
Hana mengeluarkan debas. Menundukkan wajah, menendang kerikil. "Sama-sama," jawabnya tak bersemangat.
"Gimana kalo gue traktir lo hari ini. Bebas deh, mau pesen apa."
"Nggak usah. Makasih."
"Lho, kenapa?"
"Ibu gue lagi nggak di rumah." Mengangkat wajah, Hana menyipitkan mata. Pantulan dari kaca spion sebuah mobil yang berhenti di pinggir jalan mengarah ke wajahnya. "Adek-adek gue sendirian."
Menggangguk kecil, Gabriel memikirkan ide lain. Dia benar-benar ingin berterima kasih pada Hana. Lalu tiba-tiba keinginan untuk ikut serta pulang ke rumah cewek itu mencuat begitu saja. Lagi pula Gabriel bosan di rumah sendirian, jadi tak ada salahnya, 'kan?
"Gue ikut," katanya.
Hana kontan menoleh, mengangkat kedua alis tak percaya. "Hah ikut? Nggak salah?"
"Kenapa?"
"Ya ... Aneh."
"Aneh gimana? Perasaan biasa aja."
Hana tak langsung menjawab. Lalu menggeleng. Ide buruk mengajak cowok itu mampir. "Nggak. Lo nggak boleh ikut."
Memegang erat tali tas, Hana mengalihkan pandang ke jalan raya. Membuat Gabriel mendengkus kecil. Cowok itu membandel, tetap mengikutinya bahkan sampai ke belokan gang perumahan. Hana yang rasanya sudah terlalu lelah akhirnya memilih abai. Terserah saja jika memang ingin ikut bersama. Namun jangan harap dirinya akan memberikan suguhan layaknya tuan rumah menyambut tamu.
"Yang mana rumah lo?" tanya Gabriel, mengapu ke sekitar. Pemukiman padat penduduk yang hampir tak ada sekat antar rumah ini lumayan kotor. Selokan berair hijau butek di sampingnya menyebarkan bau busuk hampir sepanjang jalan. Semakin mencemari udara ibu kota yang selalu pekat akan asap kendaraan.
Tanpa mau repot menjawab, Hana langsung membuka gerbang rumah. Masuk begitu saja meninggalkan Gabriel di belakang. Lalu tak lama seruan Gabriel terdengar, menyusul ke dalam meski tak dipersilakan.
Hana melepaskan tas, meletakan di sofa depan TV sebelum memanggil adik-adiknya. Sarah menyagut dari kamar, meminta Hana diam karena dia sedang belajar pun Gio yang tertidur di kamar. Barulah setelahnya Hana mengacuhkan Gabriel yang masih berdiri di tengah ruang.
"Duduk dulu, gue ambilin minum," katanya sambil melipir ke arah dapur.
Gabriel mengangguk samar, duduk menopangkan satu tangan di bantalan sofa. Manik coklat terangnya bergulir memerhatikan ruangan sempit ini. Meski sedikit sesak dan pengap, tetapi foto yang terpampang penuh di tembok belakang TV begitu membuat iri. Keluarga Hana nampak harmonis, sangat berbeda dengan keluarganya yang bahkan entah bagaimana. Lalu tak lama Hana kembali, meletakan air putih di meja kayu samping sofa.
"Cuma ada itu. Kalo mau makan, beli sendiri."
"Gampang." Gabriel bangkit dari duduk, bergumam kecil sebelum terkekeh hambar. "Nggak heran si lo nganggep gue drama. Keluarga lo emang idaman."
Menarik sebelah sudut bibir, Hana berdecap lidah. "Idaman apaan kalo saben hari kekurangan uang?"
"Heh, uang nggak bisa digunain buat beli keluarga. Banyak orang di luar sana, termasuk orangtua gue yang gagal mempertahankan keutuhan keluarga meski banyak uang."
"Tapi uang bisa bikin perut kenyang dan tidur nyaman. Berangkat sekolah nggak ke panasan, mau apa pun nggak perlu kebingungan."
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro