part 13.
Gabriel berjongkok di depan meja belajar, mengobrak-abrik isi lacinya mencari kamera kecil yang pernah dia punya. Seingatnya, beberapa bulan lalu, atau mungkin dulu, dia pernah membawanya saat menginap di sini, rumah sang mami—berada di kawasan Jakarta pusat, setengah jam jarak tempuh dari tempat tinggal utama yang pernah keluarga lengkapnya tinggali. Yah, mami memilih pindah tepat setelah keputusan pisah disahkan, tak memberi waktu pada Gabriel untuk setidaknya bertanya beberapa hal. Lalu kesibukan wanita berdarah Amerika itu membuat keduanya jarang bertemu.
"Mana, si?" Monolog Gabriel sambil mengusak rambut bagian belakang. Dia bangkit, berkacak pinggang pun mengedarkan pandang ke penjuru ruangan 6 × 7 meter bercat abu-abu pucat ini. Tak ada banyak barang, hanya dipan besar di sisi kanan—menempel pada tembok, lemari baju di pojok, satu sofa malas menghadap jendela balkon dan meja belajar. Lantainya yang lengang kerap kali Gabriel gunakan untuk melakukan olah raga ringan.
Lantas cowok itu bergerak, bayangannya terpantul di kaca lemari sebelum dibuka. Beberapa lembar baju berwarna monokrom dicantelkan rapi, dua pasang sepatu sport berjengger kusam di bagian rak paling bawah. Gabriel mulai membuka dua laci yang ada, mendesah kesal karena tak kunjung menemukan. Tiba-tiba sebuah ingatan terpintas. Buru-buru dia berlalu keluar, menuruni anak tangga dengan pembatas besi keemasan menuju gudang di bagian paling belakang. Pintu kayunya tak dikunci, prabot yang tak lagi berfungsi diletakan di sini. Keadaan ruang sedikit gelap sebab semua gorden menjuntai rapat, lantai di pijakan pun terasa lebih lembab. Mungkin jarang dimasuki selain untuk dibersihkan oleh pekerja panggilan.
Gabriel menarik kain putih penutup nakas secara kasar, debu tipis di permukaannya langsung saja berhamburan mengganggu penciuman.
Terbatuk kecil, cowok jangkung itu mengibaskan tangan. Membuka laci paling atas lalu bersorak girang saat benda kecil itu tergeletak manis di dalam.
"Huh! Untung masih ada," ucapnya, menghela napas lega. Sudut bibir Gabriel tertarik tinggi, meraih kamera mini tersebut lalu dibersihkan menggunakan ujung kaos merah gelap yang dikenakan.
"Gab," panggil seorang wanita dari ambang pintu. Perawakan tinggi semampai, pun rambut cepak berwarna pirang nampak semakin memercantik kulit putihnya yang bersih. Kerut halus di ujung manik coklat terangnya menadakan usia yang tak lagi muda. "What are you doing?" tanyanya.
Sang empunya nama berbalik badan, menyimpan kamera ke saku celana jeans lalu berderap menghampiri sang mami sambil tersenyum simpul. "Bukan apa-apa."
Mengangguk kecil, maminya menurunkan tangan yang sejak tadi dilipat di bawah dada. Menelisik penampilan putra satu-satunya lalu menghela napas. Gabriel lebih kurus dari terakhir kali dia lihat. Entah makanan seperti apa yang mantan suaminya hidangkan ke meja.
"Mami sedih melihatmu seperti ini, Gab," gumamnya.
"W-why?"
Mami tak menjawab, memilih berlalu lebih dulu ke meja makan. Di sana sudah tersaji beberapa macam masakan yang dipesan dari restoran kenamaan. Seperti, beef steak, Phak Cam Kee, tuna sandwich, dan buah-buahan lokal di dalam keranjang anyaman daun pandan. Wanita itu menarik kursi untuk Gabriel duduki lalu menempatkan diri di seberang. Jari lentiknya cekatan menyiapkan piring sang putra kesayangan.
"Eh, cukup," kata Gabriel, mengangkat satu tangan sambil menggeleng pelan. "Banyak amat, ya ampun. Aku nggak serakus itu kali, Mi."
Mengedikan bahu, mami mulai mengambil piring bagiannya sendiri. Beef steak, menu kesukaannya.
"Kamu mau kuliah di mana, Gabriel?" Satu potongan kecil daging sapi empuk itu disuapkan, dikunyah pelan sampai tak menimbulkan bunyi. "Sudah ada pilihan?" lanjutnya.
"Belum. Masih milih-milih."
Dentingan sendok dan garpuh di meja makan itu mengisi lengang, desau angin dari luar terdengar, hawa tanah kering dari taman gersang belakang tergiring masuk lewat lubang ventilasi jendela lebar di samping kanan.
"Mami ingin kamu kuliah di Amerika, Gab. Supaya kita sering ketemu."
Sontak Gabriel menurunkan sendok dari depan bibir, menatap sang mami yang besikap seoalah-olah tak terjadi apa-apa. Padahal Gabriel tahu jika wanita paruh baya itu paham keinginannya untuk kembali memiliki keluarga utuh. Pergi ke sana sama saja menegaskan tentang perpisahan itu sendiri. Namun tak lama lagi semuanya pasti baik-baik saja, kan? Dia sedang berusaha, dan malam ini adalah langkah awal. Kamera serta peralatan pendukung sudah siap, hanya tinggal bagaimana Hana mengesekusinya.
Lalu seperti mendapat bisikan gaib, tiba-tiba cewek itu mengirim pesan, mengatakan jika sudah menunggu di belokan gang. Buru-buru Gabriel menenggak minuman, bangkit dan menghampiri dulu sang mami untuk sekadar memberi ciuman singkat di pipi.
"Aku pergi dulu," kata Gabriel sebelum berlari kecil. Berteriak, "See you and I love you!"
***
Berbekal kamera mini yang terjepit diatara kancing kemeja hitamnya, Hana masuk ke hotel mewah itu. Suasana terang penuh lampu kontras dengan gelap langit di luar, marmer putih dipijakan pun berkilauan, seolah memintanya untuk segera berkaca jika sepatu kets miliknya tak bisa dibandingkan dengan pentovel dan ketukan selop berhak yang sili berganti menapaki.
Hana menarik napas gusar. Kata Gabriel tadi, dia hanya perlu mengikuti arahan lewat Handsfree yang tersambung ke laptopnya. Benda kecil itu dipasang di telinga kiri, tertutup rambut sebahu Hana yang tergerai bebas.
"Ini gue harus apa?" bisik Hana, penuh penekanan. Dirinya bingung bukan main berada di tempat seperti ini. Belum lagi tatapan beberapa orang di cafe tempatnya duduk terasa mengintimidasi. Yah, dari empat meja yang diisi, Hana lah satu-satunya remaja. Mereka rata-rata seusia bapak dan ibu. Rita dan kawan-kawannya belum datang. "Gue takut ketahuan, Gabriel. Lo tahu kan, peraturannya tuh dilarang merekam tanpa ijin?"
"Ck, kalo itu kejadian, bilang aja buat konten youTube. Simple. Nggak usah dibikin pusing."
"Tap ..."
"Udah," sela Gabriel. Suara kemrusuk menjeda ucapan selanjutnya. "Lo tinggal nurut aja omongan gue."
Hana menghela napas, tak ada gunanya mendebat lagi. Jadi yang bisa dia lakukan hanya mengaduk kopi yang disajikan pramusaji berseragam hitam beberapa menit lalu. Jujur saja Hana tak nyaman. Detak jantungnya selip tiap kali ada orang yang lewat di depan mejanya. Andai ibu mau sedikit saja mendengarkan keinginannya, mungkin ini semua tak perlu dia lakukan. Padahal Hana tak pernah muluk-muluk, cukuplah sang ibu mendukung rencana kuliahnya. Masalah biaya bisa dipikirkan bersama. Tanpa sadar Hana melamun agak lama, mengabaikan panggilan Gabriel di seberang sana.
"Hana!" Kali ini cowok itu berteriak, membuat telinga Hana berdenging seketika. "Lo lagi apa, si?" sambungnya.
Hana mendengkus, mengusap telinga. "Apaan si, Gab."
"Fokus makanya. Noh, Rita tadi udah masuk. Ubah posisi duduk lo biar keliatan."
"Oh?" Hana menyapu sekeliling. Benar, tiga wanita incarannya ada di seberang. "Sorry. Gini gimana?" lanjut Hana, menggeser kursi.
"Ah, stop di situ. Bagus. Suaranya kedengeran."
Begitu saja keduanya saling diam. Gabriel mungkin sedang menyimak obrolan mereka yang sama sekali tak menarik. Hana kadang bingung sendiri tentang apa yang Gabriel coba korek dari Rita. Lalu tak lama seorang pramusaji datang bersama tiga botol minuman dan gelas mini. Diletakan di meja Rita yang langsung saja diserbu rakus, seolah akan mati detik itu juga jika tak menenggaknya. Gelak tawa terdengar keras setelahnya, membuat Gabriel ikut bersorak girang.
"Bagus. Habisin sampe teler," ucapnya.
"Berarti cukup nih?"
"Yap. Lo bisa keluar sekarang."
Menarik napas lega, Hana segera beranjak sambil mengambil tas putih kecil di atas meja. Sambungan dari seberang sudah diputuskan.
Dia melangkah ringan, berpapasan dengan housekeeping sebelum masuk ke lift turun ke lantai satu. Hana melepaskan Handsfree begitu sampai ke parkiran, dimasukan ke saku celana jeans longgar warna pudar. Namun tak terduga tangannya ditarik dari belakang. Hana hampir menjerit jika saja Gabriel tak segera menginterupsi.
"Eh, kenapa kita lari?" tanya Hana, terseret.
"Ck, ngikut aja." Gabriel menoleh ke belakang pun berdecak kecil. Barulah saat sudah lumayan jauh dia menghentikan kaki di sisi lain hotel. Rerumputan pendek yang tumbuh di sini nampak terawat, tiang lampu di setiap pojok berjajar menerangi keseluruhan. Cowok itu duduk menekuk satu kaki, kedua tangan menyangga tubuh ke belakang.
"Ada apa, si?" tanya Hana.
Menggeleng sambil mengatur napas, Gabriel menjawab, "Nggak ada apa-apa."
Hana berdecak kesal, masih berdiri menatap Gabriel. "Kalo lo terus-terusan nyembunyiin sesuatu kaya gini, gue mending mundur."
"Lho." Seketika Gabriel melompat bangkit. "Nggak bisa gitu, dong. Lo udah tanda tangani perjanjian."
"Perjanjian bakal hangus kalo ternyata gue emang dimanfaatin buat hal nggak bener!"
Menarik pojok bibir, Gabriel bersedekap. "Gue tau lo nggak punya pilihan."
"Maksud lo?"
"Beasiswa lo udah dicabut, dan sekarang lo lagi butuh uang buat bantu lunasin hutang. Ya 'kan?"
Tbc ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro