BAGIAN PERTAMA: PELAYAN BARU
Di kota yang makmur, jaraknya cukup jauh dari kota. Berdiri sebuah istana ala barat yang megah. Air mancur besar di tengah halaman istana, di kedua sisinya ada lahan rumput ditumbuhi pohon-pohon hijau. Gerbang hitam besar dengan ada sebuah pos penjaga, yang menjaga istana itu.
Di taman belakang istana, ada seorang pelayan tua dan seorang gadis kecil dengan pakaian bangsawan. Gadis kecil itu sedang bermain kejar kupu-kupu, dan pelayan itu hanya berdiri dengan wajah senyumannya. Gadis itu berlari kesana-kemari, mengejar kupu-kupu itu.
"Ashley, kemarilah," ucap pelayan tua itu.
Gadis kecil, yang bernama Ashley itu mendekati pria tua itu. Pria itu jongkok dan menunjukkan jari telunjuk yang di atasnya berdiri kupu-kupu biru yang cantik.
"Cantik sekali!" kagum gadis kecil itu. Tapi, tak lama kemudian, kupu-kupu itu terbang lagi. "Ahhhh, kenapa malah terbang?"
"Maafkan aku, Ashley."
"Hmm." Gadcis kecil itu menggeleng. "Ini bukan salah Akira, mungkin kupu-kupu itu takut denganku."
"Tidak mungkin, tidak mungkin kupu-kupu itu takut dengan wajah cantik Ashley."
"Hahahah, Akira, kau pria tua yang baik."
"Tua? Jangan panggil aku begitu."
"Memang Akira sudah tua."
Lalu mereka berdua tertawa kecil. Seperti ayah dan anak, mereka sangat gembira. Selalu bersama, saling berbagi rasa gembira, sedih, dan rasa lainnya. Mereka memang seperti layaknya ayah dan anak.
***
Sebuah taksi kuning berhenti di depan gerbang hitam yang cukup besar, dengan tempat pos penjaga di sisi lainnya. Seorang pria berpakaian kaos merah, celana hitam, sepatu putih, jam tangan disimpan di tangan kiri, rambut hitam kecoklatan, berkulit putih kecoklatan, dan luka sayatan kecil di mata kiri. Pria itu membayar taksi, dan taksi itu pergi. Pria itu berjalan menuju kantor pos penjaga.
"Permisi, Pak. Apakah benar ini istana keluarga Elwa?" tanya pria itu.
"Benar, ada perlu apa, ya?"
"Saya ingin bekerja di sini."
"Kami sedang tidak mencari pekerja baru."
"Tapi, menurut surat ini. Aku harus bekerja di sini." Pria itu menyerahkan sepucuk surat ke pria penjaga itu.
Pria penjaga itu membuka surat itu, membaca dengan wajah berawal biasa, tapi setelah lirikan matanya ke bawah, wajahnya berubah menjadi serius. "Maafkan aku, silahkan masuk, Riki David. Tuan putri sudah menunggumu." Pria penjaga itu menyerahkan kembali sepucuk surat itu. Lalu keluar dari tempat posnya, berjalan menuju gerbang itu. Mengambil kunci kartu, dan menggesek ke kotak mesin yang ada di samping pintu di gerbang.
Pria yang bernama Riki David, dia berjalan masuk ke halaman istana yang luas itu. Riki melihat ke sekelilingnya halaman yang luas dan hijau. Riki berhenti di depan air mancur di tengah halaman istana ini. Bukan untuk melihat air mancur itu, melainkan karena ada seorang gadis berpakaian maid, berambut merah muda pendek, mata biru, dan berkulit putih.
"Kamu Riki David, kan?" ucap wanita itu.
"Ah, iya."
"Selamat datang, biar aku antarkan ke kamarmu langsung. Ikut aku." Wanita itu berjalan menuju ke samping istana.
Perjalanan mereka cukup jauh, cukup jauh dari istana. Sampailah mereka di rumah kayu yang cukup besar.
"Anu, maaf kalau mendadak aku bertanya hal ini. Kenapa kita enggak masuk ke istana?"
"Aku kan sudah bilang, kita akan pergi ke kamarmu dulu."
"Kamar? Maksudku tempat aku tidur malam nanti?"
"Iya."
"Kenapa ke sini?"
"Karena ini rumah khusus untuk pelayan tuan putri Elwa."
"Jaraknya cukup jauh juga dengan istana."
"Iya, supaya kami, para pelayan, tidak mengganggu keluarga kerajaan."
"Mengganggu? Mengganggu apa yang kau maksud?"
"Sulit untuk diberitahu sekarang, tapi seiring waktu kau pasti mengerti."
"Baiklah. Oh ya, namamu siapa, ya?"
"Maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Pamelia Kamal, mau panggil Kamal atau Pamelia, itu terserah Anda."
"Kalau begitu, Pamelia. Kau boleh melanjutkan mengantarku ke tempat tujuan, maaf atas pertanyaanku ini."
"Tidak apa-apa, maaf juga kalau aku telat memperkenalkan diri. Mari kita masuk ke dalam."
Mereka memasuki rumah kayu itu. Tempat ini cukup berkelas kalau dianggap rumah khusus pelayan. Ada lukisan-lukisan yang indah terpajang di dinding, sofa yang terlihat mewah, meja kaca yang di dalamnya ada pasir, kursi-kursi yang terlihat mewah, dan berbagai perlatan yang cukup mewah lainnya ada di ruangan ini.
"Apa benar ini rumah khusus pelayan? Rumah pelayan seperti ini, apalagi istananya. Benar-benar keluarga kerajaan yang hebat," gumam Riki. Riki melihat salah satu lukisan di sana.
"Nah, Riki. Perkenalkan, dia Susi Yonata." Seorang wanita berpakaian chef, rambut biru panjang diikat dua, mata biru, dan berpostur kecil.
"Salam kenal, aku chef khusus tuan putri Elwa. Panggil saja Susi."
"Salam kenal."
"Riki, aku baru sadar. Warna kedua matamu beda," heran Pamelia. Warna mata kiri Riki adalah merah cerah, dan mata kanan biru gelap.
"Iya, apakah luka sayatan itu karena kecelakaan?" tanya Susi.
Riki menyentuh mata kirinya. "Ini memang karena kecelakaan. Warna mataku beda karena mata kiriku bukan milikku, melainkan milik ayahku. Dan yang kanan adalah milik ibuku. Dulu aku ini buta setelah kecelakaan."
"Ah, ma-maafkan aku. Aku tidak bermaksud..."
"Sudah tidak apa-apa, cepat atau lambat, kalian pasti mengetahui hal itu. Lalu di mana kamarku?"
"Oh, lewat sini."
Mereka bertiga menaiki tangga yang ada di ujung ruangan, terbuat dari kayu. Mereka berjalan menuju pintu yang ada di ujung. Pintu itu ada di ujung diantara pintu-pintu yang lainnya.
"Ini kamarmu." Pamelia membuka pintu berwarna coklat itu. Ruangan ini tidak terlalu besar dan kecil. Ada ranjang, lemari pakaian, meja belajar dengan kursinya, meja tempat makan di tengah kamar, laptop di atas meja belajar, dan jendela satu yang cukup besar mengarah ke luar.
"Apakah laptop itu akan menjadi milikku?"
"Iya, semua pelayan keluarga Elwa harus memiliki laptop, itu adalah hadiah. Dan satu lagi, kau harus membawa handphone khusus ini." Pamelia menyerahkan sebuah handphone yang kelihatannya mahal.
"Ini, bisa digunakan menggunakan jari, kan?!"
"Benar, dengan kata lain layar sentuh."
"I-I-I-I-Ini sungguh luar biasa!"
"Sebaiknya kau segera ganti pakaianmu dengan pakaian pelayan. Pakaiannya ada di lemari itu. Penjelasan selanjutnya, kita akan bicarakan di bawah sambil makan. Saya permisi." Pamelia menutup pintu dan pergi.
Riki berjalan menuju lemari itu, membukanya. "Wah! Banyak sekali pakaiannya! Sepertinya keluarga Elwa sangatlah kaya."
Suara langkah kaki menuruni tangga terdengar oleh Pamelia yang sedang berdiri menunggu. Riki sekarang sudah di bawah, dengan pakaian pelayan.
"Apa ada yang aneh, Pamelia?"
"Tidak, sangat cocok sekali denganmu. Kalau begitu, ayo kita makan."
Mereka berdua sudah duduk di kursi meja makan, menunggu hidangan makan siang datang.
"Kau bisa tidur di kamar ini hanya dua kali dalam seminggu atau saat tidak ada siapa-siapa di istana, sisanya tidur di belakang istana. Karena kemungkinan nanti malam mereka membutuhkan kita."
"Begitu, ya." Riki mencatat penjelasan Pamelia di buku kecilnya.
"Lalu, kita akan bergantian untuk menjaga malam. Setiap dua jam kita akan bergantian. Apakah ada pertanyaan?"
"Mungkin jauh dari penjelasan tadi. Ngomong-ngomong, pelayan yang lainnya di mana? Sepertinya di sini sepi."
"Karena pelayannya hanya kita bertiga."
"Hah?! Bertiga? Berarti sebelumnya hanya kalian berdua?"
"Iya, karena kami adalah pelayan khusus tuan putri Elwa."
"Hebat, kalian berdua mengurus semua keluarga Elwa selama ini. Sungguh hebat."
"Sebenarnya, kami hanya melayani satu tuan, yaitu putri Elwa. Kalau tuan besar, nyonya besar, mereka ada pelayan pribadi lagi."
"Pe-Pe-Pelayan pribadi? Sebenarnya seberapa kaya keluarga Elwa itu?"
"Sangat kaya, sampai-sampai istana ini hanya dihuni satu orang. Yaitu tuan putri Ashley Elwa."
"Ha-Ha-Hanya satu orang?! Istana yang seluas itu?!"
"Iya."
"Sungguh aneh."
"Baiklah, kita lanjutkan ke penjelasan berikutnya. Sekarang tuan putri Ashley sedang keluar, jadi sekarang kau bisa tidur di sini. Besok kau mulai bekerja."
"Lalu, untuk apa aku menggunakan pakaian ini?"
"Untuk jaga-jaga, apabila tuan putri tiba-tiba sudah pulang."
"Pamelia, kau tidak apa-apa. Daritadi kau seperti murung."
"Tidak, aku tidak apa-apa."
"Nanti kau akan mengetahuinya setelah tuan putri Ashley sudah pulang," ucap Susi. Dia menaruh makanan mereka ke meja makan.
"Apa maksudnya?" tanya Riki.
"Sudah, sebaiknya kita makan."
Selesai makan, suara dering handphone Pamelia berbunyi. Pamelia mengambil handphone itu dari saku pakaiannya.
"Tuan putri sudah pulang. Riki, ayo kita pergi ke depan istana!" Pamelia bergegas berdiri, diikuti dengan Riki. "Maaf Susi, aku merepotkanmu lagi."
"Tidak apa-apa, ini sudah biasa."
"Sudah biasa?" gumam Riki. Lalu mereka berdua pergi keluar.
Mereka berlari menuju istana, tepatnya depan istana untuk menyambut tuan putri Ashley. Sesampainya di sana, tuan putri belum datang. Kesempatan itu digunakan untuk merapihkan diri mereka. Tak lama kemudian, datang dua sosok. Pertama orang berjas hitam dengan celana hitam, kacamata hitam, rambut biru pendek, dan sarung tangan putih menempel di kedua tangannya. Yang kedua, tuan putri dengan gaun putih mewah, rambut kuning panjang diikat dengan pita merah, dan sebuah tas kecil.
"Selamat datang, tuan putri." Pamelia membungkukan badannya, diikuti dengan Riki.
Pamelia mengangkat badannya, 'DUKKK' tas yang dia bawa sudah mendarat di wajah Pamelia. "Simpan kembali tas itu!"
"Ba-Baik, tuan putri." Pamelia memegang tas itu dengan wajah murung, menahan sakit di wajahnya.
"Hei! Tuan putri, kenapa Anda kasar sekali!"
"Hah!? Kau siapa?!"
"Aku Riki David, pelayan baru di sini."
"Pelayan baru! Berani sekali kau membentakku, memangnnya kau siapa?! Baru kerja di sini sudah berani seperti itu!"
"Kau ini..." Riki berjalan mendekatinya. 'DUKKKKK' sebuah kaki mendarat di wajah Riki. Riki tersungkur ke tanah.
"Jangan macam-macam dengan tuan putri," ancam pria berjas itu.
"Baiklah, kali ini aku maafkan kamu. Tapi, kalau berani seperti itu lagi. Aku pecat kamu! Ayo, Rito!"
"Baik, tuan putri." Mereka berdua berjalan memasuki istana itu.
"Kau tidak apa-apa, Riki?"
Riki berdiri sambil mengusap darah yang mengalir di bawah hidungnya. "Tidak apa-apa."
"Seharusnya kau tidak berkata seperti itu."
"Dengan sikapnya yang seperti itu, wajar saja aku marah."
"Aku tahu, tapi tolong tahan amarahmu itu. Aku tidak mau kau terluka."
"Ma-Maafkan aku."
"Tidak apa-apa, yang penting kau mengerti. Kalau begitu, aku masuk dulu. Mau menyimpan tas ini." Pamelia berjalan menuju pintu istana yang besar itu. "Sebaiknya kau obati dulu luka itu, aku punya kota P3K di kamarku. Minta tolong saja ke Susi untuk mengobatimu." Pamelia membuka pintu dan masuk.
Darah di hidung Riki mulai tidak muncul lagi, tapi rasa sakit di hidungnya masih terasa. Riki berjalan menuju rumah kayu itu. Sesampainya di sana, sudah ada Susi di depan pintu, menyambut Riki dengan wajah murung.
"Hah... Sudah kuduga, pasti kau akan terluka." Di tangan Susi, sudah ada kotak P3K. "Ternyata laki-laki itu memang nekad."
"Aku anggap ini sebagai salam dari sambutan tuan putri."
"Baiklah, biar aku yang obati lukamu."
Susi membersihkan bekas darah yang ada di bawah hidung dan badan hidung, lalu menempelkan kapas ke kedua lubang hidung. Beberapa menit kemudian, kapas itu dilepas. Berikutnya menempelkan hansaplas ke badan hidung yang sedikit berdarah.
"Terima kasih, Susi. Sebaiknya aku pergi ke istana. Mungkin Pamelia sedang kesulitan."
"Tolong, ya, Riki."
Riki berlari kecil menuju istana. Setelah masuk, Riki melihat ada tangga yang setelah naik terbagi dua ke samping. 'TRANGGG TRANGG CHASSS' suara itu berasal dari pintu samping. Riki berlari ke arah pintu itu. Terlihat ruangan ini adalah ruangan makan, dengan meja yang panjang dengan kursi-kursi yang berjajar.
"Ini tidak enak! Gara-gara makanan yang tidak enak ini! Aku jadi tambah lapar! Aku mau makan di luar saja!" teriak tuan putri. Sudah ada piring-piring yang pecah, dan makanan berserakan di lantai.
"Tuan putri, hati-hati." Rito menuntun tuan putri untuk berjalan menjauhi pecahan piring-piring itu.
Mereka berdua berjalan menuju pintu yang sudah Riki buka lebar. Riki hanya berdiri dengan wajah murung. Tuan putri melewati Riki dengan wajah marah, sedangkan Rito melewati Riki dengan wajah bersiaga untuk menyerang. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu depan tertutup.
"Pamelia!" Riki berlari dengan hati-hati, menuju Pamelia. "Kamu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa." Pamelia sekarang sedang memungut pecahan-pecahan piring-piring itu.
Riki jongkok, bukan membantu memungut pecahan-pecahan itu. Melainkan memegang lengan kanan Pamelia. Spontan, Pamelia memasang wajah kesakitan. "Ternyata benar, kamu terluka."
"Tidak, aku hanya kaget." Lalu Riki menggulung lengan pakaian Pamelia. Terlihat ada memar berwaran hitam keunguan.
"Hah... Jangan paksakan diri, Pamelia. Biar aku saja yang membersihkan ini. Kau obati dulu lukamu itu. Sebelum mereka datang ke sini."
"Baik, maaf, Riki."
"Tidak perlu minta maaf, cepat kau obati dulu lukamu itu." Pamelia berdiri dan berlari kecil menuju pintu depan.
"Ternyata beda dengan yang diceritakan ayahku," gumam Riki sambil memungut pecahan-pecahan itu.
Selesai sudah Riki membersihkan pecahan-pecahan dan makanan yang berserakan itu. Riki berjalan keluar dari ruangan makan itu. Kebetulan, datang dua sosok yang membuat kesal Riki dari tadi.
"Hei pelayan baru! Bersihkan kakiku yang terkena lumpur ini!"
"Baik." Riki berjalan menuju tuan putri itu, jongkok, memasukan tangan kanannya ke dalam jasnya, mengeluarkan sapu tangan, lalu membersihkan lumpur kecil yang menempel di kakinya.
"Selanjutnya, siapkan aku air hangat untuk mandi! Cepat!"
"Baik." Riki berdiri, berbalik, lalu jalan. "Memang beda," gumamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro