BAGIAN PENYELESAIAN: PELAYANKU ADALAH TEMAN MASA KECIL
Mawar sedang menunggu di depan pintu limosinnya, menunggu kedatangan Riki. Tak lama kemudian datang Riki, tapi dia tidak sendiri. Pamelia, Susi, Vannesa, dan Ashley ikut datang.
"Ma-Maaf, Mawar. Mereka ingin ikut."
"Aku ikut bukan karena apa-apa! Sebagai bodyguard kerajaan, aku hanya ingin memastikan kalau Mawar tidak "diapa-apakan" oleh pria hidung belang ini!" tegas Vannesa.
"Ka-Ka-Kalau aku karena tidak ada pekerjaan, semua pekerjaanku dilakukan oleh Ayahku. Karena bosan, aku jadi ikut," jawab Pamelia.
"Aku pun sama seperti Pamelia," jawab Susi.
"Riki adalah pelayan pribadiku, kemana pun dia pergi, aku juga harus ikut pergi," jawab Ashley.
Selama mereka memberikan alasan, pipi mereka memerah dan pandangan mereka tidak tertuju ke arah Riki atau Mawar, melainkan ke langit atau tanah. "Hahhh... Kupikir aku bisa berduaan dengan Kiki."
"Kau mengatakan sesuatu, Mawar?" tanya Riki.
"Bukan apa-apa! Lagipula pasti menyenangkan kalau bisa bermain bersama. Kalau begitu, ayo kita pergi."
Mereka pergi menggunakan limosin. Melewati jalan yang dipinggirnya ada kerumunan orang. Sampailah mereka di taman hiburan.
"Kita akan ke mana dulu?" tanya Mawar.
"Kak, bagaimana kalau kita ke rumah kaca?"
"Bagaimana dengan kalian?" Mereka menjawab dengan anggukan kepala. "Baiklah, ayo!"
Mereka memasuki rumah kaca, banyak sekali cermin-cermin besar. Cermin-cermin itu diletakan di samping dan membentuk sebuah labirin. Mereka berjalan kesana-kemari, mencari jalan keluar. Setiap melewati satu cermin, terlihat pantulan-pantulan yang berbeda, tubuh menjadi kurus, gemuk, kepala membesar, dan lain-lainnya. Mereka sangat menikmati pantulan tubuh aneh mereka dari cermin. Tak lama kemudian, mereka berhasil keluar.
"Hahahaha, tadi... tadi kepala Riki membesar!" ejek Ashley.
"Iya, dan tubuh Pamelia menjadi gemuk," balas Riki.
"Hahhhhh!" Pamelia refleks memeluk perutnya.
"Riki, tidak baik mengatakan "gemuk" kepada wanita."
"Oh, maaf Pamelia."
"Ti-Ti-Tidak apa-apa. Ri...Riki, apakah aku terlihat aneh kalau gemuk?"
"Hmm... Mungkin aneh juga, walau kau gemuk tapi bukan berarti aku tidak menyukaimu." Pipi Pamelia memerah. "Tapi aku lebih suka kamu seperti ini."
"Te-Te-Terima kasih."
"Ehm! Sekarang kita ke mana?" tanya Vannesa.
"Bagaimana menurutmu, Riki?"
"Aku? Hmm... Bagaimana kalau ke rumah hantu?" Tiba-tiba wajah tanpa ekpresi Susi berubah memucat. "Kau tidak apa-apa, Susi?"
"Ti-Tidak apa-apa."
"Susi itu takut dengan hantu," jawab Pamelia.
"Tidak! Aku tidak takut!"
"Sebaiknya jangan memaksa diri, Susi," tawar Vannesa.
"Tidak, aku tidak takut! Ayo kita ke sana!"
Sesampainya di sana, kaki Susi gemetar, tapi ditahan. "Susi, kau yakin tidak apa-apa?" tanya Riki.
"Ti-Tidak a-apa-apa."
"Kalau nanti kau takut, pegang saja tanganku."
"I-Iya, te-terima kasih, Riki." Susi menundukkan kepala karena malu.
Mereka pun masuk. Mereka melangkah dengan hati-hati. Hantu-hantu mulai bermunculan, dan Susi berteriak. Teriakannya lebih keras dibanding yang lain. Semakin sering dia berteriak, semakin keras dia memegang lengan Riki.
"Susi, kita sudah ada di luar." Riki menepuk pelan lengan Susi yang masih menutup mata karena takut.
"Be-Benarkah?" Mata Susi masih menutup.
"Iya." Susi membuka mata perlahan, dan melepaskan lengannya dari lengan Riki.
"Tadi itu sungguh mengejutkan, apalagi hantu yang muncul di langit," ucap Ashley.
"Iya, inginnya sih aku menghajarnya, tapi aku tidak ingin menggantikan kerusakan. Jadi aku nikmati saja," balas Vannesa.
"Semuanya bersenang-senang, bagaimana denganmu, Susi?" tanya Riki.
"Be-Bersenang-senang bagaimana?! Aku dari tadi takut!"
"Hahahah, kamu lucu."
"Silahkan tertawakan aku! Aku memang takut dengna hantu!"
"Tidak apa-apa, semua orang pasti memiliki hal yang ditakuti. Lagipula, sekarang aku senang bisa mengetahui hal yang membuatmu takut, berarti kita sudah saling mengenal." Susi hanya bisa diam menatap Riki dengan hati senang.
"Te-Terima kasih."
"Sekarang giliran Pamelia, kau mau ke mana?" tanya Mawar.
"Bagaimana kalau ke rollercoaster?"
Susi dan Pamelia duduk di belakang, di depan Mawar dan Ashley, dan paling depan Vannesa dan Riki. Kereta rollercoaster mulai bergerak menuju rel menanjak.
"Ri-Ri-Riki, bo-bo-bolehkah aku memegang tanganmu?" tanya Vannesa.
"Boleh, kau takut, ya?"
"I-I-Iya!" Dengan cepat tangan Vannesa memegang tangan Riki.
Kereta rollercoaster turun, teriakan penumpang mulai terdengar. Berbelok, memutar, teriakan semakin keras. Tak lama kemudian, mereka sampai di pemberhentian. Ada pengunjung yang pusing mual, senang, dan ekpresi lainnya. Riki membantu Vannesa keluar, karena dia mabuk.
"Kau baik-baik saja, Vannesa?" tanya Pamelia. Sekarang Vannesa sedang duduk.
"Kak, padahal tadi jangan ikut," ucap Susi.
"Maaf, kalau aku merepotkan kalian." Wajah Vannesa memucat.
"Ti-Tidak apa-apa, aku tahu perasaanmu," jawab Mawar.
"Ini, minumnya." Riki menyodorkan sebotol air.
"Te-Terima kasih."
"Sebaiknya kita istirahat dulu."
Mereka istirahat sambil makan. Vannesa harus menunggu beberapa saat sebelum benar-benar enak untuk makan. Selesai makan, mereka duduk diam.
"Sebaiknya tempat selanjutnya tidak terlalu berbahaya," tawar Riki.
"Iya, apakah Susi ada ide?" tanya Ashley.
"Bagaimana kalau nanti kita pergi ke rumah boneka?"
"Bagus, itu tidak terlalu berbahaya."
Setelah beberapa menit mereka istirahat, dan Vannesa membaik. Mereka pergi ke rumah boneka. Sesampainya di sana, mereka harus mengantri berpasangan. Riki dan Ashley menaiki kereta yang mengapung di atas air terlebih dahulu. Kereta berjalan, tak lama kemudian mereka bisa melihat boneka-boneka lucu bergerak di seberang mereka.
"Ahhh!" Ashley merasa senang.
"Mereka lucu sekali."
"Hm! Mereka terlihat lucu, apalagi boneka kelinci itu. Aku jadi ingin memilikinya!"
"Hahahah. Ashley, kau terlihat lucu."
"A-Apa maksudmu?"
"Aku suka melihat wajahmu yang senang itu." Riki tersenyum.
"Be-Begitu." Ashley menundukkan kepala karena malu.
Tak lama kemudian, mereka sampai di pemberhentian. Mereka menunggu Pamelia dan yang lainnya di luar. Tak lama kemudian, mereka datang.
"Sekarang, kita akan ke mana? Mungkin setelah itu kita akan pulang." Mawar melihat ke arah matahari yang mau tenggelam.
"Bagaimana kalau bianglala?" tawar Vannesa.
"Ide yang bagus, jadi kita bisa melihat matahari terbenam!" ucap Ashley.
"Bi-Bi-Bianglala?!" kaget Mawar.
"Iya, memangnya kenapa, Kak?"
"Bu-Bukan apa-apa."
Mereka sekarang di antrian. Satu tempat hanya bisa memuat empat orang, jadi Ashley, Pamelia, Vannesa, dan Susi, mereka menaikinya duluan. Riki dan Mawar menaiki tempat berikutnya, dan mereka hanya berdua, karena di belakang antrian mereka tidak ada orang yang mereka kenal.
Bianglala mulai berputar. Mawar awalnya duduk di depan Riki, tapi saat bianglala mulai berputar, dia berpindah ke samping Riki.
"A-A-Aku takut dengan ketinggian."
"I-Iya." Mawar menutup mata dan menundukkan kepala. Riki hanya memperhatikan tingkahnya itu. Tapi tiba-tiba Riki teringat dengan sesosok gadis kecil yang ada di mimpinya. "Mai?" Riki mengucapkan itu karena melihat Mawar sangat mirip dengan ekpresi saat gadis kecil di mimpinya ketakutan. Mawar membuka mata dan melihat Riki dengan bingung. "Ma-Maaf, aku pikir kau..." Riki menghentikan kalimatnya karena Mawar secara tiba-tiba meneteskan air mata.
"Kau lama sekali, Kiki."
"Kiki...? Kau... Apakah kau Mai, gadis yang selalu bermain denganku dulu?"
"I-Iya, kenapa kau baru sadar sekarang, hiks!" Mawar mengusap air matanya.
"Ma-Maaf, aku tidak tahu. Seingatku Mai bukan anak raja."
"Memang bukan, aku adalah anak angkat keluarga Elwa." Riki langsung memegang kedua pundak Mawar.
"Kenapa kau tidak mengabariku?!"
"Ma-Maaf, soalnya aku saat itu masih sedih dengan kematian kedua orang tuaku yang mendadak. Aku... Aku... Minta maaf, Kiki!" Kedua matanya mulai meneteskan air mata.
"Sudah tidak apa-apa. Lalu, kenapa kau bisa diangkat oleh keluarga kerajaan Elwa? Apakah mereka kerabatmu?"
"Bukan, mereka hanya keluarga kerajaan yang tidak ada hubungannya dengan keluargaku. Hanya saja, aku kebetulan pernah bertemu dengan Ayah Ashley."
Sebuah dompet tergeletak di jalan, seorang gadis kecil memungutnya. Gadis itu membuka dompet itu dan melihat isinya. Ternyata hanya ada kartu-kartu. Lalu gadis itu mengambil kartu tanda pengenal pemilik dompet. Tertulis pemilik keluarga Elwa, dan di sana pun ada alamatnya. Gadis itu menyimpan dompet itu di saku celananya, berjalan menuju alamat itu. Kebetulan jarak alamat itu dan tempat terjatuhnya dompet itu, cukup dekat. Gadis kecil itu sekarang sudah ada di depan gerbang.
"Nak, kau ada perlu apa kemari?" tegur seorang pria berpakaian satpam.
"Pak, aku hanya ingin mengembalikan dompet ini." Gadis itu menyodorkan dompet yang dia temui.
"I-I-Ini kan milik tuan besar. Terima kasih banyak, Nak."
"Sama-sama." Pria berpakaian satpam itu mengambil dompet itu.
Saat gadis kecil itu hendak pamit, datang sebuah limosin hitam. Lalu keluarlah seorang pria berpakaian jas hitam, dia membuka pintu belakang limosin. Lalu keluar seorang pria berpakaian kemeja merah. Pak satpam dan pria berjas hitam, membungkukan badan, memberi hormat.
"Selamat datang, tuan besar."
"Sudah kubilang beberapa kali, panggil saja aku Jeremy." Lalu pria kemeja merah itu melihat ke arah gadis kecil itu. "Kenapa ada anak kecil di sini?"
"Anu... Tuan... Maksudku, Jeremy. Dia gadis yang menemukan dompet Anda."
"Oh." Lalu Jeremy jongkok. "Namamu siapa?"
"Mawar."
"Nama yang bagus, kau memang cantik seperti bunga mawar."
"Itulah kenapa aku bisa mengenal Ayah Ashley. Semenjak kejadian itu, beliau selalu datang ke rumahku setiap hari minggu. Awalnya kedua orang tuaku merasa tidak enak, tapi lama-kelamaan mulai terbiasa. Kedua orang tuaku sudah menganggap Ayah Ashley sebagai kerabat sendiri. Aku merasa senang karena selalu diajak jalan-jalan, atau bermain dengan Ashley. Tak lama kemudian, saat keesokan kau ingin datang ke rumahku. Ayah dan Ibuku jatuh pingsan, beruntung Ayah Ashley datang. Jadi mereka bisa langsung ke rumah sakit. Tapi, walau sudah ke rumah sakti, mereka tidak tertolong. Mereka terkena serangan jantung. Saat itulah, Ayah Ashley mengangkatku menjadi anaknya, dan kakak Ashley."
"Oh begitu. Maaf kalau aku bertanya hal yang membuatmu mengingat kematian kedua orang tuamu."
"Tidak apa-apa." Mawar tidak meneteskan air matanya. "Aku sekarang merasa senang kalau kau sudah menyadari aku adalah Mai. Dan maaf kalau aku tidak mengabarimu selama ini."
"Sudah tidak apa-apa, aku mengerti kenapa kau tidak mengabariku."
"Oh iya, aku juga ingin berterima kasih, karena kau sudah mengubah Ashley kembali seperti semula."
"Oh itu, kau tidak perlu berterima kasih, itu memang sudah menjadi tugas dari Ayahku."
Lalu mereka menjadi diam. Mereka sekarang ada di puncak.
"Jadi, mulai sekarang apakah aku boleh memanggilmu Kiki?"
"Boleh saja, Mai."
Mereka sekarang ada di limosin, duduk mendengarkan cerita dari Mawar.
"Ja-Jadi, Kakak sudah mengenal Riki sejak kecil?"
"Iya, kami sering bermain bersama."
"Sainganku yang satu ini cukup berat," gumam Pamelia.
"Teman masa kecil, ya? Itu poin yang cukup besar," gumam Susi.
Mereka berbincang cukup panjang, dan tanpa disadari sudah sampai di istana. Ashley dan Mawar sekarang sedang di ruangan keluarga, bersama dengan ayah dan ibu.
"Kalian tadi bersenang-senang?"
"Iya, Ayah. Sangat menyenangkan, rasanya seperti kami saat kecil."
"Iya."
"Begitu. Oh iya, Ashley. Ayah dan Ibu harus pergi ke luar negeri, jadi Mawar akan tinggal di sini untuk sementara waktu."
"Be-Benarkah?" tanya Ashley.
"Iya."
"Asyikk! Kak, sekarang kita bisa pesta piyama lagi!"
"Iya."
"Kalau begitu, tolong panggilkan Riki kemari."
Lalu Ashley mengirim pesan kepada Riki. Tak lama kemudian datang Riki. Tuan besar menjelaskan tentang Mawar akan tinggal sementara.
"Baik, aku akan menjaganya."
"Tolong, ya, Riki." Tuan besar berdiri. "Ibu, ayo!"
"Berangkat sekarang juga?" tanya Mawar.
"Iya, karena urusan ini sangat penting."
Mawar, Ashley, Pamelia, Susi, Vannesa, dan Riki. Mereka mengantar Ayah dan Ibu menuju limosin di depan gerbang, bersama dengna ayah Pamelia dan pelayan lainnya. Mereka pun pergi.
"Nah, ayo kita mulai pesta piyamanya," ucap Ashley.
"Pesta piyama, ya? Sudah lama kita tidak melakukannya," ucap Vannesa.
"Jadi, kalian dulu pernah pesta piyama?" tanya Riki.
"Iya, setiap Kak Mawar kemari."
"Riki, sebaiknya kau istirahat di kamarmu. Biar kita yang menjaga Ashley dan Mawar."
"Baiklah, tapi kalau ada apa-apa, hubungi aku." Riki meninggalkan mereka, berjalan menuju kamarnya.
"Kalau begitu, ayo kita mulai!"
"Iya!" jawab mereka sambil mengangkat tangan ke langit dengan semangat.
Mereka sudah menggunakan baju piyama mereka. Berkumpul di kamar Ashley.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Mawar.
"Hmm... Bagaimana kalau dimulai dengan permainan "jujur"?"
"Oh, baiklah!"
"Jadi, pertanyaannya apa?"
"Sebutkan orang yang disukai?"
"Bo-Boleh, kita jawab bersama-sama. Dalam hitungan ketiga. Satu... Dua..."
"RIKI!" jawab mereka serempak. "Eh?" bingung mereka serempak.
"Ka-Kalian juga suka dengan Riki?" tanya Ashley.
"I-Iya, jadi Pamelia juga?"
"Ti-Tidak disangka, kita semua suka dengan pria yang sama."
"Kalau begitu, pertanyaan berikutnya. Kenapa kalian jatuh cinta dengna Riki? Dimulai dari Ashley."
"Hmm... Sebetulnya aku jatuh cinta saat dia selalu memarahiku saat aku masih tidak bisa menerima dengan kematian Akira. Dia menyadarkanku kalau sikapku itu tidak disukai oleh Akira. Maka dari itu, aku jatuh cinta dengannya. Kalau Pamelia?"
"Aku... Aku... Bisa dibilang aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi, aku semakin jatuh cinta karena dia baik, suka membantu, ramah walau wajahnya sedikit menyeramkan. Kalau Susi?"
"Sebetulnya aku tidak menyukainya, tapi saat dia merawatku dan memperhatikan aku di saat sakit demam. Jatungku selalu berdetak setiap kali bersamanya, dan aku menyadari kalau aku suka dia. Bagaimana denganmu, Kak?"
"Aku sangat membencinya! Aku selalu menghajarnya! Tapi... Tapi... Kebencianku mulai menghilang setelah aku menyadari kebodohannya, dia rela masuk kamar mandi wanita untuk menyelamatkanku, rela dihajara di saat aku sedang kesal. Aku jatuh cinta karena kebodohannya yang baik! Kalau Mawar? Pasti semenjak kecil, ya?"
"Iya, lebih tepatnya sama seperti Pamelia. Cinta pada pandangan pertama. Dan rasa sukaku mulai tumbuh saat selalu bersamanya."
Lalu mereka tertawa kecil. "Aku tidak akan kalah dari kalian!" ucap Ashley semangat.
"Maaf, ya. Walau kau adalah majikanku, aku pun tidak akan mengalah," balas Pamelia.
"Aku pun tidak akan mengalah walau kau temanku, Pamelia," balas Susi.
"Aku pun sama, walau kau adikku," balas Vannesa.
"Aku pun sama," balas Mawar.
Mereka kembali tertawa lagi. "Kalau begitu, pertandingannya dimulai besok!"
"Yaaa!" Mereka mengangkat tangan tanda semangat. Walau mereka bersaing, tapi tidak ada rasa dendam atau marah di antara mereka. Mereka hanya bertanding secara sehat untuk menjadi orang yang disukai oleh Riki.
"Hacihhhh!" Riki mengusap hidungnya, sekarang dia sedang bersandar melihat langit kamar. "Semoga saja bukan flu." Riki menutup matanya, menikmati keheningan di dalam kamarnya. "Ayah, terima kasih. Kalau bukan karena kau menyuruhku bekerja di sini, aku pasti sekarang ada di sampingmu. Banyak sekali hal yang menyenangkan terjadi, maka dari itu aku ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya, Ayah. Sesuai janjiku Ayah, aku akan jaga mereka."
Riki mulai tidur, dan para wanita memulai pesta minum tehnya. Malam itu adalah malam yang menyenangkan bagi para wanita maupun Riki. Kisah romantis Riki pun dimulai.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro