Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAGIAN KETIGA: KAKAK DAN ADIK

Pagi hari, setelah kejadian malam di kamar Ashley. Di istana, Riki berjalan menuju kamar mandi yang mirip dengan pemandian umum. Sebelum sampai di sana, dia melihat Riki memasuki tempat untuk wanita.

"Eh? Kenapa dia malah masuk kesana? Apakah dia masih mengantuk, ya? Aku harus mencegahnya." Riki berjalan cepat menuju tirai bertuliskan "wanita". Saat sampai di sana, dia tidak melihat sesosok Rito di manapun, sekarang dia sedang ada di sebuah tempat terdiri loker-loker untuk menyimpan pakaian yang digunakan. "Kemana dia? Apakah dia sudah masuk?" Tanpa pikir panjang, Riki memasuki pemandian. Setelah sampai di sana, pemandangannya ditutupi oleh kabut dari air hangat. Riki melihat ada sesosok orang berdiri di bawah shower. Riki mendekati sesosok itu, dan dia terkejut karena bentuk tubuh sesosok itu. Sesosok itu bertubuh seperti wanita, dengan dada yang cukup besar. Riki tidak bersuara dan berwajah takut ketahuan. Akhirnya dia berjalan mundur dengan perlahan, tapi sungguh sial, kakinya menginjak genangan air dan membuat dia terpeleset.

"Siapa itu?" tanya sesosok itu, suaranya tidak asing bagi Riki.

"Su-Su-Suara ini..." ucap Riki dalam hati.

"Apakah itu kau, Ashley?" Sesosok itu berjalan mendekati Riki, dan Riki berusaha mundur dengan menggeser tubuhnya. "Ashley, apakah kau tadi ja..." Sesosok itu bisa melihat Riki yang dianggap dia Ashley.

"Ka-Ka-Kamu, Rito, kan?" Entah kenapa Riki malah bertanya begitu, di saat dia melihat tubuh wanita telanjang di depannya.

"Ri-Ri-Ri-Ri, KYAAAAA!" Sebuah tendang melayang ke arah wajah Riki. 'DHARR' Riki terhempas dan membentur dinding.

Riki membuka matanya perlahan, dan mendapati dirinya di tempat yang asing baginya.

"A-Aku di mana?" Riki bangun, mengangkat badannya, dan duduk. Riki melihat sekitar, terlihat ada obat-obat tersimpan di lemari kaca, tempatnya bersih putih, dan ada seorang wanita yang tidak asing baginya duduk di samping Riki yaitu Pamelia.

"Kau ada di ruang kesehatan istana."

"Kenapa aku bisa ada di sini?"

"Apakah kau ingat dengan apa yang terjadi sebelum kau pingsan?"

"Aku pingsan, ya?" Riki menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Kalau tidak salah, aku tadi masuk ke tempat mandi wanita, lalu aku melihat... Pamelia, Rito itu laki-laki, kan?" Sekarang wajah Riki berubah menjadi wajah ketakutan.

"Apa yang kau bicarakan, tentu saja dia wanita."

"Heh, wanita?"

"Iya, memangnya kau tidak tahu?"

"Tentu saja aku tidak tahu, maka dari itu aku bertanya."

"Rito itu nama samarannya, nama aslinya Vannesa. Kupikir kau sudah diberitahu oleh Ashley, kalau dia wanita."

"Tidak, aku tidak diberitahu."

"Ngomong-ngomong, kamu tadi bilang "melihat..." Melihat apa?"

"Itu... Bagaimana aku mengatakannya, ya...?" Tiba-tiba suara pintu terbuka terdengar. Suara langkah berat pun terdengar. Ternyata itu adalah Rito atau tepatnya Vannesa dengan pakaian kerjanya, tapi kali ini tidak menggunakan kacamata hitamnya. Matanya berwarna biru.

Dia mencengkram kerah baju Riki, lalu menggoyang Riki dengan keras. "Dasar bejat! Apa yang kau lakukan tadi?! Berani-beraninya masuk ke tempat "wanita"!"

"A-ku-ta-di-li-hat-ka-mu-ma-suk-ke-tem-pat-wa-ni-ta-ja-di-a-ku-ma..."

"DASAR BEJATTTTTT!"

"Bu-kan-be-gi-tu-a-ku-ta-di-nya-me-ngi-ra-ka-mu-ma-sih-me-ngan-tuk-ja-di-a-ku-men-co-ba-men-ce-gah-mu-ma-suk."

Vannesa menghentikan menggoyangkan Riki. "Mencegahku masuk? Memangnya kenapa harus dicegah?"

"Kupikir kamu itu laki-laki, jadi aku mencoba mencegahmu masuk ke tempat wanita supaya tidak terkena masalah."

Vannesa hanya bisa diam dengan wajah sedikit memerah, memikirkan apa yang barusan saja diucap oleh Riki. Dia berpikir Riki rela melakukan itu, padahal Riki sendiri juga bisa dapat masalah. "Baiklah, aku akan memaafkanmu." Vannesa melepaskan cengkramannya, dan Riki jatuh bersandar lagi. Vannesa pun pergi.

"Terima kasih." Setelah itu, Riki kembali pingsan.

Di halaman istana, di bangunan kecil tempat biasa Ashley meminum teh. Riki berdiri di dekat meja, menuangkan air teh ke cangkir putih kecil milik Ashley.

"Maaf, Riki. Aku lupa memberitahumu kalau Rito itu nama aslinya Vannesa, dan dia adalah wanita."

"Tidak apa-apa." Riki selesai menungkan teh itu. Ashley mengambil cangkir itu, dan meminumnya.

"Enak sekali! Tapi, gara-gara aku lupa memberitahumu, kamu kena masalah."

"Sudahlah, tidak baik menyalahkan diri sendiri karena kecerobohan orang lain."

"Oh iya, kenapa kamu berani sekali masuk ke tempat wanita? Padahal kalau memang benar Vannesa itu laki-laki, kalian berdua bisa dapat masalah?"

"Entahlah, aku hanya ingin menolongnya saja."

"Ternyata Riki orangnya baik."

Tanpa mereka sadari, di luar, berdiri Vannesa. Dia bisa mendengar percakapan itu. Dengan wajah memerah, dan menundukkan kepala, Vannesa berbalik dan pergi.

"Riki, sekarang kau sebaiknya mandi dulu. Aku ingin kau menemaniku belanja."

"A-A-Apakah badanku bau?" Riki mencium badannya sendiri, untuk memastikannya.

Ashley tersenyum kecil, lalu menutup hidungnya. "Begitulah."

"Maaf, atas ketidak sopananku." Riki menundukkan badannya, lalu pergi.

Di luar gerbang, di depan limosin hitam. Berdiri Ashley dan Vannesa.

"Dia lama!" geram Vannesa.

"Padahal baru dua menit kita menunggu, tapi disebut lama?" tanya Ashley.

"Habis..."

"Maaf membuat kalian menunggu." Riki berlari dengan pakaian pelayannya.

"Dasar! Bisa enggak kamu cepat sedikit?!"

"Maaf, Vannesa, Ashley."

"Tenang saja, aku tidak marah. Sebetulnya yang dari tadi marah itu adalah Vannesa."

"Tidak, aku tidak marah!"

"Itu kamu marah."

"Kau jangan ikut-ikutan, Riki!"

Sekarang mereka sudah ada di dalam toko baju. Mereka bertiga memilih pakaian untuk Ashley.

"Tuan... Maksudku, Ashley. Bagaimana kalau ini?" Vannesa menunjukkan sebuah baju kemeja hitam dengan bintik-bintik putih.

"Hmm... Bagus, tapi untuk bawahannya, bagusnya apa?"

"Hmm..." Vannesa pergi mencarinya.

"Ashley, bagaimana kalau yang ini?" Riki menunjukkan baju kaos kuning ada gambar bunga.

"Ini mirip dengan baju anak-anak."

"Eh? Ah... Bukan, ini hanya kebetulan ukurannya kecil."

"Riki, memang aku ini bertubuh kecil, tapi aku dua tahun lebih muda darimu. Jadi, sebaiknya kau cari saja baju untukmu!"

"U-U-Untukku?"

"Iya, aku yang membayarnya."

"Ti-Tidak usah, aku bisa bayar sendiri."

"Kau ini pelayanku, harusnya mengikuti perkataan tuannya."

"Baiklah." Riki pun pergi.

"Ashley, mungkin lebih cocok dengan celana pendek dan stocking." Vannesa menunjukkan celana pendek jeans, dan stocking hitam.

"Boleh juga aku akan mencobanya." Ashley pun berjalan menuju tempat ruang ganti.

Riki melihat-lihat pakaian untuk pria. "Sepertinya ini cocok." Riki langsung mengambil baju kemeja abu-abu, dan celana jeans biru tua. Lalu dia berjalan menuju ruang ganti.

Riki selesai menggunakan pakaian yang dia bawa, lalu dia keluar. Saat di luar, dia bertemu dengan Ashley yang sudah berpakaian kemeja hitam dengan totol putih, celana pendek jeans dengan stocking hitam menutup seluruh kakinya.

"A-Ashley."

"Oh, Riki. Bajumu cocok."

"Ah... Iya, ba-baju Ashley juga bagus, sangat cocok untukmu."

"Be-Benarkah?"

"Iya."

"Kalau begitu, ayo kita tunjukkan kepada Vannesa." Ashley menarik lengan Riki menuju Vannesa yang sedang berdiri menunggu mereka. Lalu sampailah mereka di tempat Vannesa. "Vannesa, bagaimana? Kita seperti sepasang kekasih, kan?" Ashley merangkul lengan Riki.

"Eh?!"

"Pa-Pa-Pasangan kekasih...? I-Iya, kalian mirip seperti sepasang kekasih."

"Kalau begitu, aku akan beli yang ini. Bagaimana denganmu, Riki?"

"I-Iya, aku juga akan beli yang ini. Lalu, bagaimana dengan Vannesa?"

"A-Aku? Aku tidak beli baju."

"Kenapa? Ayolah Vannesa, kau juga beli. Enggak enak kalau kita berdua beli tapi kau tidak."

"Baiklah, kalau Ashley maunya seperti itu." Vannesa pun pergi mencari baju untukknya. Tak lama kemudian, Vannesa datang dengan baju jaket kulit hitam, celana jeans hitam, dan kacamata hitam. "Ba-Bagaimana?"

"Kurang bagus," jawab mereka berdua.

"Ke-Kenapa?"

"Harusnya kau memilih baju santai, dan untuk wanita. Biar aku yang memilihkannya." Ashley mendorong punggung Vannesa menuju tempat pakaian wanita.

Tak lama kemudian, dia datang dengan pakaian kuning yang menyatu dengan rok, celana abu-abu panjang, gelang-gelang warna-warni di tangan kanannya, dan jepit rambut berbentuk bintang di kepala. Riki cukup terpukau dengan penampilan Vannesa, buktinya dia menatap Vannesa dengan wajah kemerahan. "Riki, bagaimana menurutmu?" tanya Ashley.

"Ah... I-Iya, bagus."

"Te-Terima kasih." Vannesa menundukkan kepala yang memerah, malu.

"Hmm...!" geram Ashley.

"Ada apa, Ashley?" tanya Riki.

"Bukan apa-apa, dasar tidak peka!" Ashley pergi meninggalkan mereka berdua.

"A-Ashley, kau mau ke mana?!" Vannesa mengejarnya.

"Dia kenapa, ya?"

Selesai mereka membeli pakaian mereka. Mereka pulang dengan limosin. Sampailah mereka di kerajaan.

"Terima kasih sudah menemaniku belanja, Riki."

"Se-Seharusnya aku yang berterima kasih, karena kau sudah mengajakku jalan-jalan. Itu sebuah kehormatan bagiku."

"Sudahlah, jangan terlalu formal. Kalau begitu, sebaiknya kau istirahat, mungkin kau capek?"

"Tidak, itu belum seberapa."

"Kalau begitu, aku ke kamarku dulu."

"Silahkan, Ashley. Kalau perlu apa-apa, panggil saja aku." Riki membungkukkan badan memberi hormat. Ashley dan Vannesa masuk ke dalam istana.

Riki berjalan menuju rumah kayu itu, untuk menyimpan pakaian yang sudah dia beli. Saat sampai di depan pintu, pintu terbuka dengan sendirinya, dan ternyata itu ulah Susi.

"Ah, Riki. Kamu dari mana?" tanyanya.

"A-Aku habis menemani Ashley belanja. Lalu, kau mau ke mana?"

"Aku mau pergi ke dapur, mau menyiapkan makan malam untuk Ashley dan kita."

"Begitu, masak apa?"

"Ra-ha-si-a." Susi pun pergi.

Riki hanya bisa memasang wajah bingung dan pergi menuju kamarnya. Selesai menyimpan belanjaannya, handphonenya berbunyi, sebuah pesan dari Pamelia. Isinya, "Riki, cepat kemari! Ke dapur!". Dengan cepat, Riki berlari menurun tangga menuju istana. Sesampai di dapur, Riki melihat Pamelia dan Susi sedang duduk di kursi. Terlihat kepala Susi berkeringat, pipi sedikit memerah, dan tidak memasang ekpresi.

"Riki, kau bisa memasak?" tanya Pamelia tiba-tiba.

"Bisa. Memangnya kenapa?" Riki masih bingung dengan keadaan di sini.

"Kalau begitu, tolong gantikan Susi..."

"Tidak, Pamelia. Aku masih bisa ma... Uhuk uhuk!"

Riki berjalan mendekati Susi, mengambil dagunya, lalu mendekatkan dahinya ke dahi Susi. "Ternyata kau sedang demam, sebaiknya kau istirahat."

"Ti-Tidak, aku ma... Uhuk uhuk!"

"Kalau kau sekarang bekerja, mungkin besok kau tidak bisa bekerja. Mau pilih yang mana? Sekarang istirahat sampai kau sembuh, atau sekarang bekerja dan besok tidak bisa bekerja karena sakitmu bertambah parah?"

Susi, dengan wajah tanpa ekpresi, hanya bisa menundukkan kepala. "Ba-Baik, aku akan is... Uhuk uhuk. Aku akan istirahat."

"Pamelia, tolong, ya."

"Baik." Pamelia berdiri, berjalan mendekati Susi, lalu membantu Susi untuk berdiri. "Ayo, kita ke ruang kesehatan. Riki, nanti aku akan kembali lagi."

"Tidak perlu, jaga saja Susi. Aku bisa mengatasi ini sendiri, tapi dilihat dari waktunya, sepertinya paling mudah itu adalah nasi goreng."

"Baiklah, tolong ya, Riki." Mereka berdua pergi menuju ruang kesehatan.

Riki menggunakan celemek dan bersiap untuk memasak. Di tempat ruang kesehatan, Susi sedang berbaring ditemani Pamelia yang duduk di sampingnya.

"Sebaiknya kau bantu Riki, Pamelia... Uhuk uhuk!"

"Iya." 'TRING TRING' "Ah, ada pesan." Pamelia membaca isi pesan itu. "Sepertinya Riki harus berusaha sendiri."

"Dipanggil, Ashley, ya? Uhuk uhuk!"

"I-Iya, sebaiknya aku harus segera pergi dan menyelesaikan tugasku." Dengan cepat, Pamelia berjalan cepat keluar menuju kamar Ashley.

Susi kembali bersandar, melihat langit berwarna putih ruangan ini. Susi tidak sengaja mengingat kembali saat Riki menempelkan dahinya. Wajah Susi memerah, lalu menutupi sebagian wajahnya dengan selimut putih. "Dasar, padahal kan bisa menggunakan thermometer. Kenapa harus menggunakan dahi? Dasar, Riki bodoh." Lalu Susi menutupi seluruh wajahnya kemerahannya dengan selimut.

Waktu makan malam sudah tiba, Ashley, Vannesa, dan Pamelia, sudah duduk menunggu hidangan makan malam tiba. Tak lama kemudian, datang Riki dengan roda pedorong berisi makanan. Riki mendorongnya menuju meja makan, membuka penutupnya. Lalu Riki menyimpan hidangan makan malam ke meja.

"Na-Nasi goreng?" heran Ashley.

"Maaf, dilihat dari waktu dan jumlah orang, hanya bisa memasak nasi goreng."

"Jumlah orang? Ngomong-ngomong, di mana Susi?"

"Dia sedang di ruang kesehatan, dia sedang demam," jawab Pamelia.

"Be-Benarkah? Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Vannesa.

"Membaik. Sekarang dia sedang tidur."

"Be-Begitu." Mereka pun makan.

"Ashley, kau kenapa?" tanya Riki. Ashley terlihat murung.

"Aku kepikiran Susi."

"Sudahlah, dia baik-baik saja. Tadi, dia sudah makan bubur. Sebaiknya kau makan, nanti kalau kau sakti, Susi akan khawatir dan sakitnya bertambah parah."

"Be-Benarkah?! Kalau begitu, aku akan makan. Supaya tetap sehat!"

"Jangan buru-buru, nanti kesedak."

Benar saja, Ashley tersedak. "Uhuk uhuk!"

"Ini, minum!" Vannesa memberi segelas air putih. Dibantu oleh Vannesa, Ashley meminum air putih itu.

"Ahhhh... Terima kasih."

"Makanya, jangan buru-buru."

"Habis, aku ingin cepat menghabiskannya, supaya bisa menjenguk Susi."

"Susi enggak bakalan kemana-mana. Lagipula sekarang dia sedang tidur, mungkin besok saja," tawar Riki.

"Baiklah."

Malam hari tiba, suara burung hantu yang bertengker di pohon halaman istana berbunyi. Di ruang kesehatan, Susi masih membuka matanya, melihat ke arah jendela yang tertutup tirai. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka.

"Oh maaf, apakah aku membangunkanmu?" Ternyata itu Riki.

"Tidak, aku memang sudah bangun dari tadi. Ada perlu apa kau kemari?"

"Ini, aku membawakan selimut untukmu." Riki berjalan mendekati dia dan memberikan selimut tebal berbulu.

"Te-Terima kasih."

"Baiklah kalau begitu, aku akan kembali ke belakang."

"Tu-Tunggu..." Secara refleks, tangan Susi memegang lengan Riki. "Ma-Ma-Maukah kau menemaniku sebentar?" Wajah Susi memerah, tapi masih "tanpa ekpresi".

"Ba-Baiklah." Riki menggeserkan kursi yang ada di dekat ranjang.

"Te-Terima kasih untuk buburnya."

"Sama-sama. Bagaimana rasanya?"

"E-Enak."

"Baguslah."

"Oh ya, Riki. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

"Apa?"

"Sebenarnya... Sebenarnya..." Susi menghentikan kalimatnya, dan itu membuat Riki sedikit gugup, ditambah pipi Susi yang sedikit memerah dan matanya berpaling ke arah lain. "Sebenarnya... Vannesa itu adalah kakakku."

"Heh? Kakakmu? Tunggu, kenapa tiba-tiba kau mengatakan itu?"

"Iya. Aku merasa tidak enak kalau tidak memberitahukan kepadamu."

"Begitu, ya. Tak disangka, tapi memang wajah kalian sedikit agak mirip, sih."

"Maaf kalau Kakakku selalu menghajarmu."

"Ti-Tidak apa-apa, lagipula memang itu salahku."

Suasana di ruangan ini berubah yang awalnya sunyi dan dingin. Tapi berkat Riki, Susi merasakan kehangatan. Tanpa disadari, Susi memasang wajah senang dan tidak "tanpa ekpresi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro