BAGIAN KEEMPAT: MENOLONG ORANG LAIN
Riki berjalan keluar istana, lalu bertemu Vannesa di halaman istana.
"Riki, ayo kita bertarung!"
"Be... Apa maksudmu?"
"Kita bertarung!"
"Aku mengerti maksudnya dengan bertarung. Maksudku, kenapa kau tiba-tiba mengajakku bertarung?"
"Jangan banyak bicara!"
Sebuah kepalan tangan kanan meluncur menuju kepala Riki, dihindari dengan jongkok. Sebuah tendangan melayang, Riki loncat ke belakang. Dari samping, sebuah kaki melayang. 'DUKK' Riki terseret. "Ayo bangun!" Riki bangun, lalu disambut oleh kepalan tangan yang mengarah ke perutnya. 'DUKK' berhasil mengenainya. Riki duduk dengan kedua lututnya, dan memegangi perutnya. "Hanya ini saja!?" Riki tidak menjawabnya, dia hanya menundukkan kepalanya. Vannesa berbalik dan pergi. Tapi, tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan dan akan jatuh.
"Ka-Kau tidak apa-apa?" Riki memegang kedua pundak Vannesa, menahannya.
"Ke-Kenapa?"
"Kenapa kamu malah menjawab "kenapa", padahal aku bertanya "kau baik-baik saja?"
"Bukan apa-apa!" Vannesa sedikit mendorong tubuh Riki, supaya tangan Riki lepas dari pundaknya.
"Dia kenapa?"
Keesokan harinya. Di dalam istana, di tempat pencucian peralatan makan. Riki dan Pamelia sedang mencuci peralatan makan yang baru dipakai sarapan tadi. Riki yang mencuci, sedangkan Pamelia yang menyimpan peralatan makan yang sudah dicuci ke tempatnya.
"Riki, ada apa dengan wajahmu?" Pamelia melihat wajah Riki yang sedikit berwarna ungu di bagian pipi.
"I-Ini, aku jatuh saat menuruni tangga di depan pintu istana."
"Begitu, lain kali hati-hati, ya."
Riki hanya menjawab dengan anggukan. Lalu Pamelia membawa tumpukan piring, berjalan menuju rak piring. Di tengah jalan, Pamelia terpeleset ke belakang.
"Kau tidak apa-apa?" Tangan kanannya menahan punggung Pamelia dari samping, dan tangan kiri menahan piring yang akan jatuh.
"I-I-Iya, a-aku tidak apa-apa. Terima kasih." Pamelia berdiri.
"Sebaiknya aku saja yang menyimpan piring-piring ini, dan kamu yang mencuci."
"Ba-Baik."
Di pintu yang terbuka sedikit, Vannesa sedang mengintip kegiatan mereka, tapi sebenarnya dia sedang mengawasi Riki. Bukan hanya di tempat pencucian peralatan makan, Vannesa mengawasi Riki dimanapun dia sedang beraktivitas, kecuali di kamar mandi dan saat ganti baju. Sekarang Riki sedang duduk di kursi, di ruang khusus pelayan di belakang istana.
"Rasanya ada yang sedang mengawasiku sedari tadi."
"Mungkin hanya perasaanmu saja," jawab Pamelia.
"Mungkin. Susi, sekarang kau sudah baikkan?"
"Iya, terima kasih sudah merawatku, Riki, Pamelia. Demamku sekarang sudah sembuh."
"Oh iya, Riki. Nasi gorengmu yang kemarin enak!" puji Pamelia.
"Benarkah?"
"Iya."
"Bubur yang kau buat juga enak sekali," lanjut Susi.
"Hehehe, terima kasih."
Sementara itu, Vannesa terus memperhatikan setiap gerak-gerik Riki di celah pintu. Sebuah sentuhan terasa di pundak Vannesa.
"Vannesa, kau sedang apa?"
"Ahhhhhh! Ashley, aku... aku..."
Pintu terbuka, ternyata itu Riki. "Ashley, ada perlu apa kau kemari?"
"Tidak, sebetulnya aku kebetulan lewat dan melihat Vannesa se..." Vannesa langsung menutup mulut Ashley.
"Bukan apa-apa, Riki! Tadi kami hanya kebetulan lewat saja. Iya, kan, Ashley?" Vannesa mengedipkan sebelah matanya ke arah Ashley. Ashley menjawab dengan anggukan.
"Begitu, kalau kau perlu apa-apa, tinggal bilang."
"I-Iya, aku akan menghubungimu. Se-Sekarang aku harus pergi, aku harus mengantar Ashley ke kamarnya." Mereka berdua pergi.
"Dia kenapa, ya?"
Mereka berdua sekarang sudah ada di kamar Ashley.
"Maafkan aku, Ashley!" Vannesa sujud di depan Ashley.
"Eh? Berdiri Vannesa, tidak apa-apa, kok. Aku mengerti situasinya, sekarang kau berdiri dulu." Dengan wajah bersalah, Vannesa berdiri, dan masih menundukkan kepala. "Sekarang kau jelaskan, apa yang sedang kau lakukan tadi? Jongkok di depan pintu?"
"Tadi... Tadi... Tadi aku sedang mengawasi Riki."
"Kenapa kau mengawasi Riki? Jangan-jangan... Kau sedang menguntitnya, ya?"
"Bukan! Aku tidak menguntitnya!"
"Atau... Jangan-jangan, kau suka kepada Riki, ya?"
"Hah! Kenapa aku harus suka dengan laki-laki itu?!"
"Habisnya, biasanya kau sangat membenci laki-laki. Tapi, kau melihat Riki dengan pandangan lain."
"A-A-Apa maksudmu dengan "pandangan lain"?"
"Kalau bukan karena "itu". Lalu kenapa?"
"Karena... Karena aku ingin melihat dengan mata kepala kusendiri. Aku ingin belajar dari Riki, bagaimana caranya menjadi orang yang bisa membantu orang lain. Maka dari itu... Maka dari itu aku mengikutinya dan melihat apa saja yang dia lakukan!"
"Ternyata kau memang penguntit."
"Bukannnn!"
"Hehehe, maaf. Lagipula, kenapa kau harus mengamati setiap gerak-gerik Riki, kalau ingin menjadi orang yang bisa membantu orang lain?"
"Karena... Yang aku lihat, dia selalu menolong orang lain tanpa disuruh. Maka dari itu, aku akan memperlajari dengan mata kepala sendiri!"
"Vannesa, membantu orang lain itu tidak perlu dengan latihan. Sifat membantu orang lain itu datang dari hati, bukan seperti kau melatih bela diri maka muncul sifat membela yang benar."
"Tapi... Tapi..."
"Kalau kau masih bingung, coba bicara dengan Riki. Tanyakan kenapa dia bisa menjadi orang yang selalu membantu orang lain tanpa disuruh."
"Baik. Terima kasih atas sarannya, Ashley." Dengan kepala menunduk, Vannesa pergi.
"Dasar, Vannesa." Ashley berjalan keluar, menuju beranda kamarnya. Ashley melihat halamannya, ditemani oleh hembusan angin sore. Ashley melihat Riki sedang berdiri di halaman istana. Ashley ingin memanggilnya, tapi niatnya dihentikan karena melihat Vannesa sedang berjalan mendekati Riki.
"Ri...ki."
"Oh, Vannesa. Ada apa?"
"Ma-Ma-Maafkan aku atas kejadian semalam. Maaf!" Dia membungkukkan badan.
"Sudah tidak apa-apa. Aku sudah memaafkanmu, kok."
"Riki, ada yang ingin aku tanyakan."
"Apa?"
"Ke-Kenapa kau selalu membantu orang lain?"
"Memangnya butuh alasan untuk menolong orang lain? Orang lain mungkin punya seribu alasan untuk membunuh, tapi untuk menolong tidak perlu alasan."
"Aneh."
"Apanya yang aneh?"
"Kau berbicara seperti ahli agama."
"Hehehe, aku hanya meniru di film yang aku tonton."
"Riki, ada satu lagi yang ingin aku tanyakan."
"Apa itu, Vannesa?"
"Sebenarnya, kau bisa bela diri, tidak?"
"Bisa."
"Lalu, kenapa kau tidak menggunakannya untuk melindungi dirimu sendiri saat kemarin malam? Kenapa malah menghindar?"
"Hmm... Kenapa, ya? Mungkin karena aku tidak ingin melukai temanku, apapun yang terjadi." Pipi Vannesa langsung memerah. "Tapi, bukan berarti aku meremehkanmu. Aku hanya tidak ingin melukaimu, kok!"
"Aku tahu!" Vannesa membalikan badan. "Kau pria yang baik, Riki."
"Kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak, bukan apa-apa!" Vannesa pun pergi.
"Sepertinya aku mendapatkan saingan," gumam Ashley yang sedari tadi melihat pembicaran mereka.
Di sebuah mall, tempat pembelian bahan makanan. Pamelia dan Riki, sedang melihat-lihat di bagian sayuran.
"Maaf, Riki. Kau jadi menemaniku belanja."
"Tidak apa-apa, lagipula Susi baru sembuh."
"Terima kasih, ya, Riki." Pamelia melanjutkan melihat-lihat sayuran.
Wortel, Buncis, Bayam dan sayuran-sayuran lainnya, dimasukan ke dalam troli yang dipegang oleh Riki. Sekarang mereka pergi ke bagian bumbu masakan. Beberapa bumbu dimasukan, seperti garam, merica, dan lainnya. Setelah itu mereka pergi ke bagian daging.
"Ah, aku lupa. Riki, maaf, bisa bawakan satu lagi troli?"
"Oke." Riki pergi menuju tempat kumpulan troli. Tak lama kemudian Riki kembali dengan troli yang kosong. "Ini."
"Terima kasih." Pamelia yang memegang troli kosong itu.
Beberapa daging yang sudah dibungkus, dimasukan ke dalam troli yang dipegang Riki. Sekarang mereka pergi ke bagian peralatan sehari-hari.
"Ternyata tisu ini sedang diskon," ucap Pamelia. Dia mengambil tisu-tisu itu, dan memasukannya ke troli yang dia pegang.
"Pamelia, bukankah tisu masih banyak?"
"Memang, tapi sayang kalau tidak dibeli."
"Kurasa aku tahu apa maksudmu."
Selesai membeli beberapa kebutuhan sehari-hari, mereka pergi ke tempat kasir untuk membayar. Kantong plastik besar berisi belanjaan mereka, dibawa menggunakan troli. Mereka berjalan keluar. Sekarang mereka sedang berdiri di depan mall.
"Nah, itu dia." Sebuah limosin hitam datang. Lalu mereka memasukan belanjaan ke dalam limosin itu. "Tolong antarkan, ya," ucap Pamelia ke supirnya.
"Baik." Lalu limosin itu pergi.
"Pamelia, kenapa kita tidak masuk ke limosin itu?"
"Itu... Maaf, Riki. Tapi... maukah... maukah kau... menemaniku jalan-jalan?"
"Boleh."
"Benarkah? Horeee!"
"Kenapa kau jadi semangat begitu?"
"Habisnya, biasanya aku dan Susi harus berjalan sambil mengambil belanjaan menuju istana."
"Benarkah? Pasti cukup melelahkan?"
"Iya. Maka dari itu, aku ingin sedikit bersenang-senang. Maaf, Riki. Kau harus mengikuti keegosianku."
"Tidak apa-apa. Aku mengerti perasaanmu. Kalau begitu, kita akan pergi ke mana?"
Mereka sekarang berada di tempat yang banyak mesin-mesin permainan. Mereka berdua sekarang memainkan game yang harus menginjak tanda panah di lantai, sambil berdansa. Selesai itu, Pamelia pergi ke mesin boneka.
"Ahhhh!" Dia menempelkan kedua telapak tangannya di kaca mesin itu. Dia melihat boneka anjing berwarna coklat.
"Kau mau itu?"
"Ah! Tidak, aku hanya melihatnya saja!"
"Baiklah, lihat dan pelajari." Riki memasukan koin ke dalam mesin itu. Sebuah cakar besi digerakan oleh Riki, menuju tempat anjing boneka berwarna coklat. Cakar itu turun dan membuka cengkramannya. Berhasil membawa boneka itu. "Ini." Riki menyerahkan boneka anjing coklat itu.
"A-Apa boleh?" tanya Pamelia malu-malu.
"Tentu saja boleh, aku kan mengambil boneka itu untukmu."
"Te-Te-Terima kasih." Pamelia menerima boneka itu dengan wajah memerah.
"Sama-sama. Sekarang, kita akan ke mana?"
Pamelia tidak menjawab dengan ucapan, tapi dengan berjalan menuju mesin permainan selanjutnya. Mereka sekarang ada di depan mesin photo.
"Anu... Ri-Riki, ma-maukah kau menemaniku untuk ber-berfoto?"
"Boleh. Kalau begitu, ayo!"
Mereka masuk ke dalam mesin itu. 'CRETTT' dua gambar Riki tersenyum, dan Pamelia tersenyum sambil memeluk boneka itu, muncul di mesin. Riki mengambilnya, dan memotongnya menjadi dua. Riki menyerahkan satu photo ke Pamelia.
"Bolehkah aku menyimpannya?" tanya Riki.
"Bo-Bo-Boleh!" Pipi Pamelia memerah.
Setelah itu, mereka pergi ke taman. Pamelia duduk di bangku di depannya ada air mancur dikelilingi taman bunga.
"Ini, eskrim untukmu." Riki menyodorkan sebuah eskrim rasa vanilla.
"Terima kasih." Riki duduk di samping Pamelia.
"Cukup indah juga, ya?"
"Iya." Mereka memandangi taman bunga beserta air mancur itu. "Kau tahu, di sini adalah tempat biasanya aku dan ayahmu duduk."
"Benarkah?"
"Iya. Saat waktu kecil, aku dan ayahmu saat ada waktu segang, datang kemari dan melihat air mancur itu."
"Sejak kecil? Berarti sudah dari kecil kau bekerja menjadi maid?"
"Tidak, saat kecil aku masih ditahap berlatih. Lagipula itu adalah tugas keluargaku yang sudah melayani keluarga Elwa turun menurun."
"Berarti ayah dan ibumu adalah pelayan juga?"
"Iya. Sekarang mereka bekerja di tuan besar."
"Maksudmu ayah Ashley?"
"Iya."
***
"Pamelia, bagaimana eskrimnya?"
"Hm, enak! Aku suka vanilla!"
"Begitu, aku juga suka." Mereka berdua melihat ke arah air mancur.
"Akira, kau sedang makan apa?"
"Oh, aku sedang memakan permen mint."
"Apakah enak? Apakah rasanya seperti permen stroberi?"
"Tidak, rasanya hangat. Mungkin kau tidak akan suka."
"Boleh aku minta?"
"Bo-Boleh." Akira memberikan satu permen mint berwarna biru. Pamelia menerimanya dan langsung memakannya. "Bagaimana rasanya?"
"Pe-Pedas..."
"Hahahah, sudah kubilang, kau tidak akan menyukainya."
"Tidak, aku suka, kok."
"Kalau begitu, mau satu lagi?"
"Tidak, terima kasih. Lagipula aku masih memakan eskrim."
"Hahahah." Akira melihat ke arah air mancur lagi. "Pamelia, mungkin suatu saat nanti aku akan memperkenalkanmu kepada anakku."
"Akira sudah punya anak?"
"Iya, dia dua tahun lebih tua darimu. Tapi, kuharap kalian bisa akrab suatu saat nanti."
"Entahlah..."
"Anakku itu orangnya baik, suka membantu, pokoknya kau nanti akan menyukainya."
"Menyukainya? Itu artinya apa?"
"Saat kau sudah cukup dewasa, kau akan mengerti."
***
"Ternyata aku memang menyukaimu."
"Kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak, aku hanya bilang kalau aku suka dengan pemandangan air mancur dan taman bunga itu!"
"Oh, aku juga suka." Terlihat matahari mulai tenggelam, langit berubah menjadi kuning keemasan. Air mancur masih mengeluarkan pancuran air, dan cipratan airnya mengenai sinar matahari sore, jadi terlihat sebuah pelangi. "Indah sekali."
"I-Iya."
Riki berdiri, merenggangkan tangannya. "Ayo kita pulang."
"Iya. Riki, terima kasih sudah menemaniku ke sini."
"Sudah kubilang, "tidak apa-apa"." Mereka berdua berjalan pulang.
Di sebuah istana yang cukup jauh dari keberadaan Riki. Seorang gadis berbadan ideal, menggunakan gaun kerajaan berwarna biru, rambut berwarna hitam panjang sampai sepundak, mata hitam, dan menggunakan sepatu kaca bening. Dia sedang berdiri di beranda kamar di lantai dua, melihat sebuah bingkai foto kecil yang dia pegang. Foto itu berisi seorang gadis kecil foto bersama dengan seorang pria kecil.
"Mawar, air panas sudah siap," ucap seorang pelayan pria tua, dia berdiri di pintu terbuka.
"Terima kasih, Kamal." Pria bernama Kamal itu pergi. Tuan putri masuk ke dalam, menyimpan bingkai itu di meja kecil di samping ranjang. "Kita pasti akan bertemu lagi, Kiki," gumamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro