Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

enam

Yang mau baca, santuy aja kali, ga usah heboh nagih-nagih bacak kayak eke ngutang apaan gitu sama kalian. Padahal, pas eke cek profil, follow eke juga kagak. Artinya, elu tu kayak tamu kaga diundang, tau2 minta nasi, ples bawa kulkas eke kabur.

Di sini yang baca mesti sabar. Yang ga sabar silahkan ke aplikasi karyakarsa atau KBM app. Sudah bab 9 dan besok up bab 10.

Dah, jangan rewel lagi. Follow, kek. Ngebacot bae. Sok pula bilang otor paporit. Paporit pret lo. Besok otor sebelah up, lu puji dia pula. Emang gw kaga paham gombalan lu pada?

Baca-baca aja. Ga usah puji. Ga makan pujian.

***

6 Pelangi di langit Gladiola

Gladiola kira, Hans yang naksir Ranti atau ucapan mama tentang celana dalamnya yang jamuran di depan Hans adalah hal paling memalukan di dunia. Tetapi, kenyataannya terjadi di saat hujan turun dengan deras dengan Hans menunggu dia selesai mengisi air isi ulang ke dalam galon. Pakaian Gladiola sudah basah dan Hans menggerutu kalau perempuan muda itu bekerja terlalu lambat sehingga Gladiola kemudian dengan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. 

Malangnya, dia lupa kalau sedang memakai sandal jepit butut dengan tali hampir copot dan baru dua langkah dia menggotong galon menuju Hans yang sudah siap menyambut, Gladiola malah terpeleset dan satu galon berisi 19 liter air menimpa tubuhnya tanpa ragu-ragu. Untung saja kepalanya tidak membentur ujung keramik tangga batu yang sudah gompal. Ada sandal milik papa yang nangkring di sana dan ketika jatuh, Gladiola masih sempat menyelamatkan galon milik Hans. 

"Woi, ngapain lo jatuh-jatuh segala?" Hans melompat dari motor dan membiarkan saja kendaraannya jatuh ke samping sementara Gladiola menatap nyalang ke arah langit basah yang kini seolah menertawakan kebodohannya. 

"Astaga." 

Gladiola memejamkan mata. Kini, suara mama terdengar dari balik pintu warung. Tidak peduli hujan turun makin deras, dia bisa menangkap sang ibu berbicara, "Gue nggak mau tahu. Lo ganti kalau galonnya pecah." 

"Tolongin Mbak, Ma." rengek Gladiola. Dia saja masih terkapar di tanah becek depan warung. Tangannya gemetar menahan galon penuh air yang tadi menghantam dadanya. Gladiola sampai merasa kalau tulang rusuknya remuk, tetapi, ketika dia berusaha untuk bisa bangkit dengan mengharap pertolongan sang ibu, mama bilang dia terlalu manja. 

Bahkan Hans yang mulanya terlihat gentleman, membantu mengambilkan galon berat yang menimpa tubuhnya itu kemudian menertawai rambut ijuk Gladiola yang terkena kotoran ayam peliharaan uwak tetangga.

"Sori. Sori. Gue refleks." Hans cepat-cepat menutup mulut karena dilihatnya Gladiola masih diam. Mama yang mulanya mengomel tidak lagi terdengar suaranya tetapi, anak perempuan tertuanya itu belum juga mengangkat tubuhnya dari tanah. 

Sakit karena jatuh, tidak sebanding rasanya dengan ditertawai oleh orang yang paling dia suka. Tetapi, memang salahnya sendiri memilih Hans yang jelas-jelas sinting dan memang tidak punya perasaan kepadanya. 

"Oi, bangun." 

Kali ini, tangan Hans terulur. Sayangnya, Gladiola terlalu malu dan gengsi untuk menyambut tangan pemuda itu. Lagipula, dia sadar diri. Telapak tangannya tidak sehalus Ranti. Miliknya kapalan karena terlalu banyak mengupas kulit kelapa dengan kapak dan juga mengangkat galon yang jumlahnya sudah tidak terhitung lagi. Gladiola tidak mau menggadaikan kewarasannya hari ini dengan mendengar rundungan lain daru Hans. 

Karena itu, dia kemudian memilih bergerak ke samping dan perlahan mengangkat tubuhnya sendiri. Air hujan telah membuat baju dan rambutnya basah. Untung saja dia memakai kaus berwarna hitam. Jika tidak, Hans tentu bakal melihat tali kutangnya yang talinya putus dan dia ikat supaya tidak lepas. 

Mau bagaimana lagi, kutang dan komik, Gladiola suka memilih yang kedua. Lagipula, orang-orang tidak akan memeriksa kutang atau celana dalamnya yang robek sekalipun. Bi Dela pernah mengatakan, Gladiola seharusnya membeli celana atau BH baru dan bila sekolah atau pergi, dia memakainya. Siapa tahu di jalan ada kecelakaan dan petugas yang memeriksa tubuhnya bakal kaget ketika tahu dia memakai BH dengan tali dibelit-belit atau celana dalam yang robek. 

Amit-amit, Bi. Nyumpahin gua mati, banget, keluh Gladiola ketika dia mendengar ucapan bibinya. Tetapi, kini, ketika berhadapan langsung dengan Hans, dia bersyukur sekali, pemuda itu tidak bisa melihat menembus pakaian dalamnya. 

Di samping itu, dia juga sudah tidak punya tenaga untuk membalas Hans yang kini numpang berteduh di teras rumah, di belakang warung. Entah dia sengaja melakukannya, Gladiola tahu, Ranti sedang berteleponan dengan entah siapa. Mama telah memberinya sebuah ponsel baru sebagai hadiah ulang tahun. Sementara dia sendiri tidak punya HP atau apalah. Kadang, di rumah nenek, Gladiola meminjam ponsel Bi Dela untuk update foto di Facebook dan Instagram. Walau tidak pernah ada yang komen selain dari Kania. 

Ada rasa nyeri yang tidak bisa Gladiola jabarkan begitu dia bangkit. Galon milik Hans diletakkan pemuda itu di depan warung dan Gladiola berjalan terpincang-pincang menuju teras. Dia sudah mengambil handuk yang tersampir di jemuran. Untung saja, ada atap rumah jadi handuknya tidak basah. Meski begitu, dia lebih memilih diam dan melewati saja Hans yang tidak bisa menutup mulut saking terpesonanya kepada Ranti yang masih mengobrol dengan lawan bicaranya di telepon.

***

"Lo digebuk siapa?" 

Suara Kania yang kamarnya kembali disambangi oleh Gladiola hari berikutnya, mampir di telinga sang sahabat. Gladiola sendiri memakai kaus tangan pendek berwarna pink. Warnanya mulai pudar dan di bagian leher sudah memutih. Itu baju bekas pemberian Bi Dela waktu masih jaya. Dia banyak mendapatkan baju dan celana karena tubuh mereka sama. Malah, bra dan celana dalam waktu Bi Dela masih gadis juga disumbangkannya untuk sang keponakan. Gladiola yang ingat kalau dia belum pernah punya pakaian dalam sebagus itu, menerima saja dengan senang hati, "Daripada dibuang." pikirnya. Toh, badan Bi Dela yang semakin montok tidak akan bisa lagi memakai dalaman kekecilan tersebut dan dia yang terlalu sayang dengan uang, merasa tidak malu sama sekali menerima lungsuran pakaian bekas dari bibinya. 

"Jatuh, kemarin." Gladiola membalas. Dia menghempaskan badan di atas karpet bulu lembut dan Kania yang mulanya berada di atas kasur kemudian turun dan mulai memeriksa tubuh sahabatnya. Ada luka di dekat betis, sebesar uang logam lima ratus, masih tampak bengkak dan merah, begitu juga di dekat mata kaki. Ada pecahan genteng yang langsung mengenai kaki Gladiola ketika dia jatuh kemarin. Tetapi, yang paling parah rupanya di bagian dada hingga dekat leher. Ujung galon berat itu menghantam separuh tubuhnya dan ketika Gladiola mengatakan dada kanannya cukup nyeri hingga dia merasa demam semalaman, Kanian merasa amat khawatir. 

"Bagian tutupnya, itu jatuh langsung nusuk susu gue." Gladiola memperagakan adegan dia mendapat celaka sehari lalu. Wajah Kania langsung pias dan dia menyentuh dadanya sendiri. Tetapi, ketika Gladiola mengatakan kalau belakang kepalanya hampir pecah, dia juga menyentuh kepalanya sendiri.

"Lo, sih. Udah tahu hujan malah angkat-angkat galon." Kania memarahi Gladiola. Dia merinding saat Gladiola menunjukkan bekas luka di dadanya. Tetapi, Gladiola menolak menunjukkan bekas benturan tepat di bagian pribadinya. Apalagi, rasanya masih ngilu hingga detik ini.

"Salahin abang lo yang ngasih masalah pas ujan. Kalau dia nggak beli, gue nggak bakal jatuh ketiban galon." bibir Gladiola maju. Entah dia memang marah atau di dalam hati malah senang dengan kehadiran Hans, Kania yakin, judul kisah sahabatnya tidak lebih dramatis dari novel Sengsara Membawa Nikmat. Entah bagian mana nikmatnya, jika kaki, betis, dada, dan kepala hampir jadi korban.

"Itu bahaya, nggak?" Kania bertanya keyika dia menunjuk lebam di dada sahabatnya. Gladiola sendiri cuma mengedikkan bahu, "Nggak tahu. Nggak ngerti. Gue ngertinya sakit sampe nyut-nyut."

"Ke dokter, La." suruh Kania. Gladiola kembali menggeleng dan mengedikkan bahu.

"Manalah gue mampu. Gile, lo, ya. Lagian, gue nggak mau susu gue diobok-obok dokter, buka baju pula. Ih, ngeri. Sudahlah, minum Bodrex aja nanti hilang. Gue numpang tidur dulu, plis. Emak gue nyuruh nganter galon dari pagi. Capek remuk badan gue." 

Tanpa menunggu jawaban, Gladiola langsung memejamkan mata. Sedang, Kania masih berjongkok memandangi sahabatnya yang makin hari makin terlihat memprihatinkan. Luka di kaki Gladiola saja dibiarkan oleh sahabatnya itu. Tidak ada obat merah atau betadine. Jika dia terluka seperti Gladiola, ibunya sudah pasti bakal histeris. 

"Lo makan dulu. Ibu masak banyak di belakang." 

Tidak ada jawaban. Dengkur napas Gladiola mulai teratur dan dia tidur seolah berada di atas ranjang ternyaman di dunia meski posisi tubuhnya meringkuk. Kania sendiri kemudian menghela napas dan memilih untuk keluar. Dia tahu, jika sudah terlelap, sahabatnya itu tidak bakal bangun, kecuali mungkin, bila ada bom mampir ke kamar Kania.

Lima menit kemudian, pintu kamar Kania yang mulanya tertutup mendadak dibuka dan wajah Hans muncul. Dia mengira adiknya di dalam kamar ketika dilihatnya sosok pemilik rambut kriwil, tampak pulas tidur di lantai kamar adiknya.

"Dek, lo lihat kamus gue?" 

Si Kriwil itu sudah pasti bukan Kania dan seperti gayanya, dia selalu menganggap dirinya sendiri pemilik kamar dibanding adik Hans sendiri. Hanya saja, bila begitu, Gladiola bakal tidur dengan bangga di kasur milik Kania. Nyatanya, kini dia tidur seperti anak kucing yang kurang tidur dan tidak makan selama seminggu.

"Dia lagi." Hans menggelengkan kepala. Dia hendak menutup pintu kamar ketika dilihatnya luka-luka di kaki gadis itu. Tidak ada plaster, salep, betadine atau obat yang melindungi lukanya.

"Dasar Oon."

Hans menutup pintu kamar Kania dan meninggalkan Gladiola yang saat itu langsung membuka matanya. Yah, tidak perlu bom, sebenarnya untuk membangunkan dia. Cukup suara Hans saja dan jantungnya bakal berdentam-dentam, persis seperti habis kena marah guru.

"Emang. Gue Oon." Gladiola berusaha tersenyum. 

"Oonnya lagi, gue masih aja naksir lo. Bukankah, gue lagi menertawakan kebodohan gue, Hans?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro