Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

empat

4 Pelangi di langit gladiola

“Olaaa, Nenek berak.”

Dia tahu, melarikan diri ke rumah nenek tidak lantas membuat hidupnya yang suram jadi menyenangkan. Sebaliknya, tinggal di rumah nenek 11 12 dengan kehidupan di rumah. Tidak ada beda sama sekali dengan perlakuan para adik papa kepadanya yang merasa amat riang gembira bila dia mampir. Alasannya jelas, sebagian tugas mengurus nenek kemudian pindah ke bahunya.

Dua tahun lalu nenek jatuh di kamar mandi. Tidak bisa melakukan apa pun kecuali tidur. Saking lamanya tidak bergerak, kedua jari tangan nenek melengkung kaku. Dulu, ketika awal-awal jatuh, anak-anaknya memasang bola kasti di tangan nenek sebagai terapi. Tetapi, seiring waktu, mereka mulai sibuk dan lelah mengurus emaknya sendiri. Lagipula, nenek seolah kembali ke masa kanak-kanak, doyan mengoceh dan berteriak sehingga membuat anak-anaknya kesal.

Belum lagi buang air dan pipis sembarangan di atas kasur yang sengaja dipasangi perlak membuat aromanya menyebar ke segala penjuru rumah bila didiamkan. Karena itu, kedatangan Gladiola seperti oase di tengah gurun.anak-anak perempuan nenek bisa melarikan diri dan menikmati hidup. Bila Gladiola protes, maka mereka dengan mudah membalas, “Hei, Kriting. Lo cucu pertama. Dari kecil sudah diasuh sama nenek lo. Balas budi dikit sekarang.”

Balas budi? Bukankah mereka sebenarnya lebih berhak? Gladiola hanya diasuh beberapa bulan saja lantaran saat itu mama dan papa bertengkar. Mama memutuskan untuk minggat dan papa yang masih bekerja terpaksa meninggalkan Gladiola dengan ibunya. 

“Kalian juga sebenarnya lebih wajib.” keluh Gladiola di dalam hati. Dia tidak berani melawan. Toh, tinggal di situ juga dia menumpang.

Ada dua anak perempuan yang terpaksa mengasuh nenek dari sembilan bersaudara. Anak-anaknya yang lain sudah menikah. Lima di antaranya lelaki dan merasa tidak pantas mengerjakan pekerjaan seperti menceboki dan memandikan ibunya, sementara dua anak perempuan lain tidak diizinkan oleh suami mereka. Jadilah, dua anak perempuan yang tersisa hidup seperti sapi perah, harus mengerjakan pekerjaan rumah, mencari uang, plus mengasuh nenek. 

Nenek sendiri hidup dari uang pensiun kakek. Tetapi, jumlahnya amat sedikit. Cuma tujuh ratus ribu. Kakek adalah PNS pesuruh yang dulu gajinya setara dengan golongan satu. Uang pensiun itu, cukup tidak cukup digunakan untuk membiayai kebutuhan nenek berupa susu, popok sekali pakai, sabun mandi, sabun cuci dan juga beras.

Bibi yang pertama bernama Dela, seorang janda ditinggal suaminya minggat entah ke mana atau meninggal. Gladiola juga merasa status pernikahan sang bibi tidak jelas. Mengaku sudah menikah di Pekan Baru, tetapi saat anak laki-lakinya berusia tujuh bulan, dia menelepon papa sambil menangis-nangis dan mengatakan kalau suaminya meninggal dan minta dijemput. Setelah kembali, Bibi Dela yang mulanya banyak harta, perlahan-lahan mulai kehabisan uang. Dengan sisa-sisa uangnya yang terakhir karena turut menghidupi nenek dan kebutuhannya, dia mulai sering marah-marah tidak jelas.

Bibi yang kedua, belum menikah hingga usianya empat puluh lewat, bukan karena dia tidak laku, meski untuk bagian itu Gladiola juga kurang yakin. Bibi Ambar adalah anak perempuan urutan terakhir, terpaksa ditugasi mengurus nenek sehingga hampir seluruh masa remajanya tidak dia nikmati dengan baik. Kadang, Gladiola merasa kasihan kepadanya. Tetapi, gara-gara mulut dan ucapannya yang pedas termasuk selalu merundung Gladiola dengan panggilan Kriting, Pesek, dan sebagainya, dia kemudian menyimpan rasa kasihan itu di dalam hati. Walau mereka sebenarnya senasib, si sulung dan si bungsu yang terpaksa menjalani tugas mengurus rumah tetapi paling sering disebut sebagai beban keluarga juga karena tidak bekerja.

Sebuah panggilan terdengar lagi dan Gladiola segera duduk. Dia berada di dak lantai atas rumah nenek, sedang duduk menggambar dan di sebelahnya sebuah buku matematika terbuka tepat di halaman 78. Dia gagal menjawab soal ulangan kemarin dan setelah pusing mencoret-coret di buku catatan, dia memutuskan untuk menggambar Ko Edward si Tukang Risol yang sebenarnya tidak pernah ada di dunia. 

“Iya. Gue turun.” sahut Gladiola. Dia dan bibinya selalu seperti musuh bebebuyutan dan gara-gara itu juga dia malas beraku-aku kepada Bi Ambar. Meski begitu, sesekali dia bicara sopan kalau mereka juga memperlakukannya dengan baik.

Ketika Gladiola turun, Bi Ambar sedang memasak sayur bening bayam. Aroma masakannya membuat perut Gladiola berbunyi. Tetapi, dia memutuskan untuk cepat-cepat mengurusi nenek terlebih dahulu karena setelahnya, biasanya dia juga harus menyuapi sang nenek makan siang berupa bubur nasi dan lumatan sayur.

“Cepetan. Nanti dia ngoceh lagi perutnya lapar. Lo juga lelet banget.”

Gladiola keluar dari kamar mandi dengan membawa sabun, seember kecil air, dan juga waslap. Dia juga tidak lupa mengambil sebuah kantong kresek untuk menampung kotoran sang nenek.

“Iya, sabar. Tangan gue ada dua.” 

Gladiola memutuskan untuk tidak bicara lagi. Nenek sudah mengerang-ngerang di ruangannya dan mengatakan kalau pantatnya gatal sehingga dia tidak punya pilihan lagi selain mempercepat langkah dan mengatakan di dalam hati dia melakukannya karena dia sayang nenek. Itu saja.

***

Pukul lima sore, Gladiola yang sedang tidur-tidur ayam di atas dak rumah nenek mendadak membuka mata. Suara keributan di bawah mau tidak mau membuat mimpi sekali lewatnya barusan benar-benar buyar. Dia bahkan tidak ingat sedang mimpi apa tadi. Tetapi keriuhan di depan rumah nenek membuatnya memutuskan untuk mengintip dari atas.

Deru suara motor dan ucapan selamat ulang tahun terdengar dan dia tahu siapa dalangnya. Ranti sudah pasti tamu sore itu. Karenanya, Gladiola memutuskan untuk tetap menyembunyikan diri. Di bawah atap ada sebuah celah kecil yang tadi dipakainya sebagai tempat beristirahat. Biasanya tidak ada yang tahu tentang keberadaannya di sana kecual Mang Nur, anak bungsu nenek, si laki-laki harapan yang seperti Bi Ambar,menjelang umur 35 belum juga menikah. Mang Nur sedang bekerja dan kamarnya ada di loteng lantai dua rumah nenek. Gladiola selalu melewati kamar Mang Nur bila dia hendak nongkrong di dak lantai dua.

"Olaaa." 

Sebuah panggilan terdengar dan Gladiola kembali memejamkan mata. Dia malas menyahut karena tahu itu adalah suara Ranti yang memanggil namanya. 

"Mbaak."

Gladiola menghela napas. Sudah jauh-jauh ke rumah nenek, dia masih harus bertemu dengan adiknya. Kenapa nasib begitu suka menertawakannya?

"Apa?" dia membalas. Sengaja menguatkan suara supaya Ranti mendengar. Dia malas turun dan masih memilih berbaring di bawah atap yang hanya berjarak lima puluh sentimeter di atas kepalanya.

"Gue ultah. Mana kado lo?" 

Haus pengakuan, pikir Gladiola. Dia sendiri, tidak ada yang pernah mengingat ulang tahunnya. Padahal setiap ada teman atau saudara yang berulang tahun, dia selalu jadi yang pertama mengucapkan, selalu jadi orang memberi kejutan. Giliran hari jadinya sendiri, sepi. Paling banter hanya Kania yang mengucapkan dan memberi kado. Kania seperti belahan jiwanya yang paling mengerti Gladiola sehingga dia selalu berpikir, satu-satunya cara menjadi saudara Kania adalah dengan cara menjadi istri Hans. Sayangnya Hans tidak berselera sama sekali dengan gadis berambut kriting dan pesek seperti dirinya dan lebih memilih Ranti.

Ranti masih memanggil kakaknya dan Gladiola malas menggubris adiknya. Dia kemudian menyumpal kedua telinganya dengan jari telunjuk dan baru melepaskannya ketika mendengar suara klakson tanpa henti. Hans sinting itu sudah pasti pelakunya. 

"Apaan, sih, berisik banget? Nenek sakit." kepala Gladiola muncul dari balik dak lantai dua. Rambut kriwilnya mekar dan dia merasa ada sarang laba-laba menyangkut di sana. Masa bodohlah. Mau dia cantik atau jelek, Hans tidak bakal peduli kepadanya.

"Kadonya mana?" 

Dari bawah, dengan wajah polos dan cantiknya, Ranti menengadahkan tangan kiri. Di tangan satunya, tampak sebuah boneka beruang besar seukuran bocah tiga tahun yang dia peluk erat.

"Ini dari Hans." pamer Ranti dengan wajah polos. Tetapi, sekali lagi, dia menagih kepada Gladiola.

"Ntar, nunggu gue jual diri. Kalau laku, gue kasih lo kebon." 

"Sinting!" 

Suara balasan Hans membuat Gladiola menjulurkan lidah. Pacar saja dia tidak punya apalagi germo yang mau menjajakan tubuhnya. Sudah jelek, bokek pula. Memangnya dia bisa apa lagi?

"Ngapa lo yang sewot?" Gladiola menjulurkan lidah. Kenapa juga pemuda itu mesti mampir kemari? Padahal Gladiola sudah sengaja tidak menampakkan diri. 

"Cuma cewek gila yang mau jual diri." Hans bicara lagi dari atas motor sementara Ranti sudah menghilang masuk ke rumah nenek. Bujuk Gladiola akan memberinya kebun bila tubuhnya laku saja sudah membuat hati adiknya senang. Entah kenapa malah Hans yang protes mendengar ucapannya barusan. 

"Emang. Lo baru tahu kalau gue gila? Selama ini ke mana aja?" balas Gladiola sambil berkacak pinggang. Dia senang, Hans tidak menjawab dan itu artinya, dia bisa kembali menyembunyikan diri di bawah atap hingga nanti waktu Magrib tiba dan dia harus turun ke lantai bawah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro