70
Gaes, kalau mau unlock di Kk atau KBM, cek dulu babnya, eke selalu tulis sebelum bab mulai di bagian setelah author note. Jangan nanti, udah kebuka di KK minta refund. Kalian kalau worknya ga kebuka di sana, tunggu beberapa saat, keluar dari aplikasi, refresh sebentar baru masuk lagi. Kalau sudah bolak-balik nggak bisa, silahkan kontak admin KK di IG. Mereka fast respon. Bukan ke eke karena semua uang yang kalian bayar itu masuknya ke rekening KK, bukan eriskahelmi. Kalau memang susah, nanti rikues aja, bisa dibuatkan di akun Nihbuatjajan. Di sana nggak seribet KK dan KBM dan ga perlu login.
Kenapa babnya loncat-loncat, Mak?
Karena banyak ngalor ngidul dan komen makin ga ada. Kemaren aja 3 bab, komennya tirus. Wes, eke lompatin aja. Yang penasaran silahkan ke sebelah.
Tapi ditamatin kan mak?
Iya, tamat. Tapi, ga semua bab di-up. Kasian yang sudah bayar di sebelah kalau di sini semua gratis, mana yang komen yang itu2 aja lagi.
Ntar yang rajin komen, siapin aja mental, siapa tahu dikasih gratisan ama eke. Yang males? Ga usah dipikirin.
Kapan open PO? Masih lama kalo si Ola ama Hans. Halamannya banyak dan ga tahu, apakah mau ditambah lagi babnya. Nunggu komen pembaca setia dulu.
Ini bab 91. Jangan lagi ada yg komen, 'Nasib gratisan'
Ckckxk ini 2024, jauhila mental2 kek gitu. Malu sama umur.
***
91 Pelangi di Langit Gladiola
Gladiola yang mulanya merasa kalau sang mama bakal tidak setuju ketika dia tahu-tahu mampir ke rumah keluarganya bersama Hans, nyatanya tidak menemukan hal itu sama sekali. Bahkan, ketika mobil milik Hans berhenti tepat di depan pagar rumah, mama dan papanya ternyata sudah menunggu. Walau tanpa kehadiran Ranti, nyatanya hal tersebut saja sudah membuat Gladiola agak sedikit takjub.
“Lama nggak mampir, makin ganteng aja.” semringah suara mama saat menerima uluran tangan dari Hans, sedangkan Gladiola berjalan lebih dulu masuk rumah untuk meletakkan bawaan yang sengaja dibeli oleh Hans sore itu.
“Beli apaan, sih? Kaga usah repot-repot.”
Gladiola yang sudah setengah perjalanan menuju dapur menoleh ke arah kedua orang tuanya yang kini mengajak Hans masuk. Respon mereka berdua di luar ekspektasi Gladiola. Sungguh jauh berbeda bila dibandingkan saat Ridho mampir atau bahkan saat keluarga mantan kekasihnya tersebut bertandang.
Apakah karena kedua orang tuanya sudah mengenal Hans? Gladiola tidak tahu. Tapi, setidaknya sebuah awal yang bagus sebelum nanti pembicaraan serius dimulai.
“Mama Papa sudah makan? Tadi dibeliin soto sama Hans.” Gladiola menyingkap gorden dapur yang tembus ke ruang tengah. Entah karena sudah akrab, Hans tidak lagi memilih duduk di ruang tamu, melainkan langsung lesehan di atas karpet Malaysia pemberian Gladiola supaya sang papa tidak perlu lagi bergulingan langsung di lantai.
"Sudah makan." jawab mama Gladiola. Hari itu, sang ibu memakai gamis pemberian putri sulungnya. Itu saja sudah membuat Gladiola terharu, “Buat malam aja.”
Gladiola cuma membalas dengan anggukan sebelum dia akhirnya kembali ke dapur. Ada beberapa potong kue yang juga sempat dibeli dalam perjalanan ke rumah orang tuanya. Selain itu, dia juga memasak air untuk membuat kopi serta teh.
Terdengar suara Hans dan kedua orang tuanya mengobrol. Hal itu lantas membuat Gladiola memejamkan mata. Hal yang sama pernah terjadi berbulan-bulan lalu sehingga membuat perasaannya campur aduk. Meski begitu, dia sangsi mama bakal menolak Hans.
Tapi, tidak ada yang bisa menebak suasana hati mama.
“Mbak.”
Gladiola terperanjat. Papa memanggilnya.
“I … Iya, Pa.”
Gladiola cepat-cepat mematikan kompor karena tidak tahu berapa lama mereka akan berbicara. Tetapi, dia menyempatkan diri untuk membawa kue-kue di dalam nampan ke ruang tengah.
Saat tiba di sana, Hans dan kedua orang tuanya sedang duduk melingkar di atas karpet. Gladiola mesti menahan rasa gugup di dalam dadanya saat ini saking dia takut hal yang sama bakal terulang lagi.
Bismillah, Gladiola merapal doa. Dia tahu dirinya tidak alim-alim amat, tetapi tetap saja Gladiola berharap niatan baik yang diupayakan oleh Hans hari ini berjalan lancar. Dia lelah menangis lagi bila mama tidak setuju. Kalau papa, Gladiola yakin sebenarnya sang ayah tetap mendukung putrinya.
Gladiola memilih duduk di sebelah sang mama yang posisinya tepat berseberangan dengan Hans. Dia memandangi wajah Hans selama beberapa saat sebelum akhirnya memilih untuk menunduk lagi. Perasaannya cukup kacau balau sore ini bila tahu kalau Hans sedang bersiap melamarnya.
Untung saja Ranti tidak di rumah. Dia tidak tahu bakal seperti apa respon sang adik. Meski begitu, dia berharap Ranti tidak lagi memandang Hans sebagai bekas kekasihnya. Dulu, salah satu penyebab perang dingin di antara mereka adalah pria tersebut. Tapi, sekarang Ranti sudah memilih jalan hidupnya sendiri dan berkali-kali juga dia menegaskan, pria idamannya bukanlah seperti Hans.
Gladiola sendiri juga tidak keberatan menerima Hans. Sudah banyak hal mereka lalui bersama sejak masih belia dan kenangan buruk di masa lalu sudah dia buang jauh-jauh. Mereka berdua pernah belum terlalu bijak menyikapi hidup dan seperti kata Kania, Hans adalah salah satu manusia yang makan omongannya sendiri di masa lalu. Bibirnya bilang benci dan jijik, nyatanya, kini dia sedang duduk bersama kedua orang tuanya hendak memulai pembicaraan serius. Saking seriusnya, mama sengaja menutup warung sore ini supaya tidak ada pembeli yang mengganggu pembicaraan mereka.
"Hans ngomong hari ini, bukan mau mendahului papa dan mama kami yang sedang menunggu di rumah tetapi juga sebagai bentuk keseriusan Hans. Selain itu, karena Hans menghormati mama dan papa Ola."
Kalimat pertama Hans hampir membuat Gladiola puyeng. Pria itu memanggil orang tuanya dengan papa-mama dan orang tua Gladiola sendiri dengan panggilan yang sama.
"Iya, iya." timpal papa Gladiola. Pria berusia lima puluh tahun itu mengangguk-angguk sambil menggaruk bagian samping kanan telapak kakinya. Pada hari itu, papa Gladiola memakai celana bahan warna cokelat tua dan batik berlengan pendek. Gladiola tidak merasa membelinya, mungkin pemberian Ranti.
"Nggak apa-apa." lanjut papa Gladiola lagi dan kemudian ia diam. Hal tersebut seperti memberi kesempatan kepada Hans untuk kembali bicara. Namun, sebelum mulai, dia memandangi wajah Gladiola selama beberapa detik.
"Seperti yang Papa Mama tahu, Hans sama Ola udah saling kenal sejak kecil, sekarang pun, kami sudah sama-sama. Tapi, Hans sadar, usia kami sudah dewasa. Kalau dari segi umur juga sudah cukup. Kami juga sudah kerja."
Sampai di situ, Gladiola merasa tenggorokannya tiba-tiba kering. Amat tidak nyaman membicarakan tentang uang, terutama kalau memikirkan keadaan keluarganya. Memang, perekonomian mama dan papa mulai membaik. Tapi, selain Gladiola, dia yakin, Ranti juga punya andil. Dia tahu, kondisi fisik ibu dan ayahnya juga sudah lebih terawat dibandingkan dulu. Hanya saja, dia belum bisa membayangkan, akan seperti apa respon mama bila Gladiola memutuskan untuk menikah.
Memang Hans tidak memintanya untuk berhenti bekerja seperti yang dilakukan keluarga Ridho dulu, meski begitu, perasaannya saat ini cukup ketar-ketir.
"Hans minta izin Papa dan Mama buat meminang Ola jadi istri."
Gladiola memejamkan mata dan menghembuskan napas. Rasanya seperti sedang mengejan dan kotoran paling besar telah berhasil dikeluarkan. Perumpamaan yang menjijikkan memang, tapi, itulah suasana hatinya saat ini.
Gladiola lantas membuka mata dan dia melihat Hans tersenyum tipis kepadanya. Dia mengangguk pelan, lalu mengalihkan perhatian kepada kedua orang tuanya yang kini saling pandang. Momen ini yang seharusnya lebih mendebarkan dibandingkan permintaan Hans tadi.
Papa Gladiola berdeham dan dia kemudian membuka suara setelah beberapa detik berpikir. Ketika melihat sang ayah sedikit tersenyum, Gladiola berpikir kalau dia sebenarnya tidak perlu khawatir.
"Waktu tahu kalau Hans kasih tahu mamamu ini," papa Gladiola memulai, "Ya, perasaan kami senang."
Ketika mendengar kata-kata papa, Gladiola teringat kalau sebenarnya, tidak lama setelah berpacaran, Hans sudah memberi tahu kedua orang tua Gladiola tentang hubungan mereka. Dia sempat menentang niat Hans tersebut. Alasannya? Jelas sekali karena dia tidak ingin jadi bulan-bulanan mama dan Ranti.
Kenyataannya, mama tidak banyak protes atau menceramahinya seperti saat bersama Ridho kemarin. Tapi, reaksi Ranti yang seolah merendahkan dan menganggap Hans itu adalah sampah bekas buangannya membuat Gladiola agak sedikit jengkel dengan kelakuan adiknya. Karena itu juga, ketika papa kemudian melanjutkan ucapannya, Gladiola tidak percaya bahwa orang tuanya menerima Hans begitu mudah bila dibandingkan dengan Ridho.
"Kalian kenal dari kecil. Jadi, kamu tahu sendiri Ola kayak gimana. Mungkin, dia bakal ngerepotin."
Gladiola sempat tidak setuju ketika sang papa bicara begitu. Kenapa juga dia harus merepotkan Hans? Walau dia pada akhirnya membuat pria itu repot, bukankah sudah sewajarnya. Menikah, kan, mengurusi semuanya bersama-sama, bukan soal urusan bawah perut saja. Apalagi soal anak. Bukankah membuatnya juga bersama-sama? Kenapa kesannya seperti hal tersebut menjadi kewajiban wanita saja?
"Ah, nggak, Pa. Ola nggak gitu. Malah, kalau dia bikin repot, Hans yang senang."
Gladiola mengangkat kepala dan memandangi Hans yang seolah barusan menembus pikiran di dalam kepalanya. Kenapa pria itu mesti bicara demikian di saat seperti ini?
Dalam waktu amat cepat dan hampir tidak disadari oleh orang tuanya, Gladiola hampir tidak bisa bernapas sewaktu Hans berkedip jahil kepadanya.
"Kalau Papa dan Mama kasih restu, nanti orang tua Hans akan datang ke sini. Sekalian silahturahmi." Hans dengan cepat mengalihkan perhatiannya kepada papa dan mama Gladiola sehingga wanita muda itu terkejut akan perubahan sikap Hans yang mudah sekali merubah ekspresinya tanpa kesulitan. Gara-gara itu juga, Gladiola melongo saking dia tidak percaya.
"Papa sama Mama nyerahin ke kalian semua mana yang baik."
Hah? Semudah itu? Tidak ada perkara membahas duit seperti pada kasus Ridho walau memang waktu itu, pembicaraan mereka sudah menjurus ke sana. Tapi, melihat respon orang tuanya yang terlihat santai dan lebih banyak mengajak Hans mengobrol membuat Gladiola tidak habis pikir.
Sewaktu mama kemudian masuk ke dapur ketika Gladiola memandangi teko air yang mulai mendidih di atas kompor, dia langsung bertanya tanpa ragu-ragu, "Mama nggak marah Mbak sama Hans?"
"Ngapain juga marah? Orang anaknya udah ngebet mau jadiin lo bininya." balas sang mama sambil membuka pintu lemari piring yang terbuat dari alumunium. Di sana, ia mengambil beberapa buah cangkir beling untuk menyajikan teh.
"Tapi, dulu dia sama Ranti … " takut-takut, Gladiola bertanya sambil memastikan perubahan di raut wajah ibunya. Dia tahu, bagaimana pun juga, sang mama selalu lebih berat ke Ranti, putri kesayangannya.
"Nggak dapat Ranti, kan dapat lo. Sama aja."
Bukan jawaban yang dia sukai. Tapi, menurutnya, jawaban tersebut berarti siapa saja, asal anaknya yang jadi dengan putra keluarga Adam bukanlah menjadi masalah buat sang ibu. Karena itu juga, Gladiola yang sempat menelan air ludah, memilih untuk kembali memandangi kompor walau dia tahu, percuma saja dia melakukannya.
"Lo kirim, nih, gulai ayam buat calon mertua lo."
Bahkan mama sempat memasak gulai ayam untuk mama Hans. Entah kenapa, perlakuan itu membuatnya kembali teringat bagaimana sikap mama kepada keluarga Ridho.
Dia bukan tidak move on dari mantan kekasihnya tersebut. Tetapi, hal sederhana yang barusan terjadi saja sudah membuatnya sadar, sejak awal, mama tidak pernah menganggap Ridho pantas untuk anak sulungnya itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro