69
Yang menunggu PO, sabar ya. Sekarang proses edit. 911 halaman. Mau dipress biar agak tipis dikit.
***
Perwakilan kantor pengganti Bapak Edi kemudian menelepon tepat setelah Gladiola dan Hans kembali ke mobil sekitar tiga puluh menit kemudian. Perut kenyang ternyata cukup berpengaruh pada Gladiola dan Hans merasa, wanita di sebelahnya itu jadi sedikit lebih lembut dibandingkan sebelumnya.
Hans juga sengaja belum menjalankan mobil demi memberi kesempatan Gladiola untuk bicara. Jika pihak kantor masih menyuruh mereka berlama-lama di jalan sebelum kembali ke hotel, sudah pasti dia akan senang sekali. Namun, kenyataannya, Gladiola sudah disiapkan sebuah kamar serta permintaan maaf karena tidak bisa menjemput tepat waktu yang kemudian dibalas dengan jawaban basa-basi kalau dia tidak mempermasalahkan hal tersebut dan setelah bicara selama beberapa menit, pada akhirnya Gladiola menyebutkan nama salah satu hotel di pusat bisnis dan Hans tanpa ragu menjalankan mobilnya menuju ke tempat tersebut.
Gladiola bertemu dengan Lulik, asisten manager cabang Pekanbaru yang merasa tidak enak hati atas insiden di bandara tadi sehingga Gladiola mesti dijemput oleh saudaranya. Hans yang tadinya merasa hal tersebut pastilah disampaikan oleh Pak Edi, mesti menahan diri untuk tidak mengoceh entah kepada siapa gara-gara pernyataan yang salah tersebut, apalagi, Gladiola juga sepertinya tidak memiliki keinginan untuk protes dan melanjutkan pembicaraan mereka di lobi hotel sehingga Hans kemudian memilih untuk duduk di salah satu sofa yang tersedia dan memperhatikan raut gebetannya itu dengan seksama hingga dia menyadari, apakah kedua orang tuanya tahu kalau saat ini Gladiola adalah salah satu orang yang cukup disegani bahkan oleh manager cabang sekalipun?
Bahkan, Hans hampir tidak mempercayai bahwa dia sedang memperhatikan wanita yang sama dengan gadis berambut kriwil bertahun-tahun lalu yang sering mengajaknya bertikai, gadis yang sama yang menghabiskan waktu menjaga warung sang ibu, gadis kuat yang mampu mengangkat bergalon-galon air isi ulang dan mengantarnya ke seluruh rumah pelanggan tanpa ragu demi mendapatkan komisi lima ratus rupiah.
Gladiola masih wanita yang sama. Bedanya adalah saat ini dia berdiri sebagai junior manager kantor pusat yang disegani dan menjadi salah satu trainer andalan sehingga dia sering melakukan perjalanan dinas, sebuah hal yang disyukuri oleh Hans karena dia bisa mendapatkan kesempatan bertemu dengan Gladiola di luar Jakarta.
Orang-orang bakal bilang kalau Gladiola adalah Upik Abu yang berubah menjadi Putri atau itik buruk rupa yang menjadi angsa. Namun, Hans tahu betul perjuangan Gladiola meski dia hanya mampu memandang dari kejauhan. Wanita itu tidak pernah mengizinkannya mendekat meski Hans sendiri memilih untuk keras hati dan menulikan telinga supaya bisa sekadar mendapat kesempatan untuk berbalas kata dengannya.
Lulik berdiri dan mengangsurkan sebuah kantong kertas kecil dengan logo perusahaan mereka kepada Gladiola dan langsung diterima olehnya. Hans juga sempat mendengar Lulik menyebut nomor kamar dan tangan kanan Gladiola kemudian merogoh ke dalam kantong untuk mengambil kartu yang merangkap sebagai kunci kamar.
“Mbak Ola mau makan dulu di restoran atau saya pesankan makanan supaya dibawa ke kamar?”
Gladiola yang saat itu sedang memeriksa kunci kamar mengangkat kepala dan menyunggingkan sebaris senyum, “Nggak usah, Mbak Lulik. Udah makan tadi.”
Gladiola menunjuk ke arah Hans dan Lulik mengikuti arah tangan Gladiola. Dia lalu paham, namun tetap merasa tidak enak karena telah lalai memberi servis terbaik kepada orang pusat yang membuat Gladiola menggeleng pelan melihat kelakuannya.
“Nggak apa-apa. Biasa aja, kok.” Gladiola menenangkan. Kadang, dia bingung hendak bersikap seperti apa bila menghadapi tim yang merasa tidak enakan seperti ini. Toh, di kantornya di Jakarta, dia malah lebih suka nongkrong di food court daripada restoran. Terbiasa hidup prihatin sejak kecil membuatnya selalu menghargai makanan.
Sayangnya, prinsip itu tidak berlaku buat Hans. Dia mesti susah payah menyuruh Gladiola makan seolah tidak sudi menyentuh pemberian abang sahabatnya tersebut.
Setelah basa-basi sekian menit, Gladiola memilih untuk ke kamar saja dan mempersilakan Lulik untuk pulang. Besok adalah hari Senin dan Gladiola yakin, di belahan mana saja, hari Minggu adalah hari untuk beristirahat mempersiapkan hari kerja esok harinya.
Saat itu, Gladiola yang ingat kalau Hans masih menunggu, memutuskan untuk mendekat ke arahnya lalu bicara, “Gue sudah di hotel, sebentar lagi mau ke kamar. Lo mau pulang?”
Meski saat itu suara Gladiola sudah terdengar lebih pelan dan lebih ramah dari sebelumnya, namun, Hans merasakan sebuah kekecewaan karena jika benar Gladiola memintanya pulang, hal tersebut berarti merupakan akhir kebersamaan mereka sore itu.
“Kalau lo masih kangen, gue belum niat pulang.”
Hans tahu betul kalau saat itu Gladiola mendengus. Tapi, secepat mungkin dia menutupinya dengan pura-pura memperbaiki anak rambut yang jatuh di pipi kanan. Hans juga merasa kalau dia tidak sepenuhnya bersalah dengan mengatakan itu. Toh, sejak keluar dari bandara tadi, mereka kebanyakan bertengkar. Apalagi, setelah Hans lancang mencuri ciuman di bibir Gladiola. Sikap wanita muda itu makin apatis kepada Hans.
“Gue nggak kangen, sih. Gue malah mau tidur.”
Hans tahu, jika dia menunjukkan wajah sebal dan kecewa, Gladiola bakal merasa amat puas. Karena itu dia kemudian memutuskan untuk menarik koper menuju lift sehingga membuat Gladiola kebingungan selama beberapa saat.
“Lho! Hans mau ke mana?” Gladiola buru-buru menyusul karena satu detik kemudian pintu lift terbuka dan Hans segera masuk. Walau tidak mengkhawatirkan Hans melainkan kopernya, dia tidak mau ketinggalan lift. Padahal, kenyataannya ketika berada di dalam kotak pengangkut itu, lift tidak bergerak karena Gladiola belum menempelkan kartu di sensor lift. Gladiola baru sadar ketika keluar dari lift dan mendapati Hans berjalan di belakangnya hingga ke depan pintu kamar.
"Lo harusnya nggak ikut naik, Hans." Gladiola menggerutu. Dia berusaha mengambil alih koper, tetapi, Hans menunjuk pintu, meminta Gladiola membukanya.
"Lo bilang tadi kita saudara, jadi boleh-boleh aja gue ikut sampai ke kamar."
Gladiola memandangi Hans dengan tatapan seolah dia ingin menusuk kepalanya dengan sumpit. Siapa tadi yang marah-marah tidak mau disebut saudara?
“Tumben.” Gladiola menyindir. Hanya ada mereka berdua yang terlihat di koridor kamar lantai tersebut dan respon Hans adalah sebuah senyum tipis menyebalkan.
“Kadang yang begitu bisa jadi berguna banget pas kita kepepet kayak gini.”
“Hah!” dengus Gladiola. Ingatkan dia untuk mengungkit-ungkit perihal saudara ini di lain waktu.
“Jadi, supaya nggak digrebek satpol PP lo ngaku kita saudara? Gitu?”
“Gue nggak ngaku kita saudara.” Hans mengingatkan, lalu dia melanjutkan, “lo yang bilang sama Pak Edi dan Pak Edi sendiri bilang tentang itu ke anak buahnya. Kalau gue sendiri, tetap pada prinsip, gak mau ngangkat-ngangkat lo jadi saudara.”
Gladiola jelas sekali merasa jengkel sewaktu mendengar Hans bicara dengan nada amat jemawa seperti yang saat ini dia lihat. Tapi, anehnya dia sama sekali tidak sadar telah membiarkan pria itu ikut masuk ke kamar tempatnya menginap saat Gladiola membuka pintu kamar.
“Plin-plan.” Gladiola melempar senyum sinis. Masa bodoh jika Hans melihatnya sedang melotot saat ini. Tapi, Hans yang baru selesai meletakkan koper ke lemari yang letaknya berada di samping tempat tidur mendengar gerutuan tersebut lalu tertawa lebar.
“Lah, siapa yang plin-plan? Rezeki gue aja kali.” balas Hans dengan rasa bangga yang tidak ditutup-tutupi. Gladiola sendiri memilih untuk berjalan ke arah jendela yang berseberangan dengan lemari dan menyingkap gorden. Suasana kamar kemudian menjadi terang sehingga dia memutuskan untuk mematikan lampu yang otomatis menyala sewaktu memasukkan kartu ke power control kamar yang berada di dekat pintu masuk.
“Ya, suka-suka lo aja.” Gladiola menyerah. Sudah bertahun-tahun dia mengenal Hans dan hapal sekali dengan kelakuannya. Semakin dilarang, Hans semakin menantang. Menyerah adalah jalan keluar yang paling baik dan sering berhasil. Hal tersebut lantas membuatnya teringat, dia juga pernah menyerah menyukai Hans dan belajar menerima Ridho.
Hans lalu memilih duduk di ujung tempat tidur. Pihak kantor telah memilih kamar dengan satu tempat tidur berukuran besar untuk Gladiola. Tapi, sebetulnya, mendapat kamar dengan dua tempat tidur juga tidak masalah. Gladiola telah terbiasa tidur dalam kondisi apa pun. Sejak kecil, ketika menumpang di rumah nenek atau saat menginap di rumah keluarga Adam, dia bisa tidur hanya beralaskan karpet dan hal tersebut tidak pernah jadi masalah buatnya.
"Habis ini lo mau ke luar atau langsung kerja?" Hans bertanya. Sebenarnya dia sendiri sudah tahu jawabannya, cuma, untuk memperpanjang kebersamaan mereka, dia akan bertanya apa saja asal Gladiola tidak mengusirnya pergi.
Gladiola sendiri, setelah selesai mematikan lampu kamar, masih berdiri di dekat kamar mandi yang menghubungkan bagian depan dengan tempat tidur. Dia tahu, raut wajah Hans sudah berubah dari tadi yang terlihat semangat, menjadi agak lesu terutama karena dia tahu, hampir tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Gladiola sudah berada di dalam kamarnya yang nyaman dan tugasnya sebagai penjemput telah usai.
"Gue mau mandi terus tidur." balas Gladiola. Tadi dia sudah mengatakannya kepada pria itu saat di bawah. Tentu dia tidak akan melakukannya sekarang, melainkan jika Hans sudah pulang.
Hening selama beberapa saat. Gladiola merasa bingung hendak bicara apa lagi. Kadang dia tidak mengerti jalan pikirannya sendiri saat bersama Hans. Mereka amat sering bertengkar, memperdebatkan masalah kecil dan amat jarang bicara seperti kebanyakan teman akrab. Meski begitu, akan ada suatu masa, Gladiola seperti kucing jinak dan merespon Hans dengan baik. Mereka biasanya akrab ketika berteleponan. Gladiola menjadi jauh lebih ramah dibandingkan biasanya.
Hari ini sebenarnya mood Gladiola sedang baik. Hanya saja, pertengkaran kecil di bandara tadi serta perbuatan kurang ajar yang dilakukan Hans membuatnya kesal. Meski begitu, Gladiola tahu Hans mencoba memperbaiki keadaan tersebut dengan mengajaknya bercanda.
Kini, setelah dia telah berada di dalam kamar hotel, Gladiola kehilangan kata-kata yang tadi amat lancar keluar dari bibirnya saat berdebat dengan Hans dan dia juga tahu kalau Hans merasakan hal yang sama.
"Terus, makan malamnya gimana kalau lo sendirian?" Hans bertanya lagi. Dari raut wajahnya dia terlihat khawatir.
Saat itulah, Gladiola tertawa sebelum membalas pertanyaannya.
'Mudahlah kalau soal makan. Gue bisa ke restoran hotel atau cari tukang bakso, kek, di depan. Kok, tumben lo yang bingung?"
"Oh, iya. Gue lupa." Hans mencoba tersenyum. Dia kemudian mengusap-usap rambut lalu setelah menghela napas, Hans akhirnya berdiri. Saat itulah, Gladiola bicara lagi, "Lo besok masih harus kerja, kan? Mess lo jauh dari sini. Kalau sekarang berangkatnya, paling cepat Magrib nanti lo sampai."
Gladiola tahu, tempat kerja Hans bukanlah di ibu kota melainkan beberapa jam dari pusat kota. Tapi, karena tahu kalau dia bakal datang hari ini, sejak pagi Hans sudah berangkat. Karena itulah, dia beberapa kali menyuruh Hans untuk pulang. Namun, rupanya, perpisahan malah membuat lawan bicaranya seperti malam kehilangan cahaya listrik.
"Iya." Hans mengangguk pelan. Dia tersenyum, namun, Gladiola bisa melihat perubahan di wajahnya. Hans jahil yang tadi amat senang menggodanya, sudah pergi entah ke mana.
"Kerja yang rajin." Gladiola menebar senyum saat Hans mendekat ke arahnya. Rasanya, hampir tidak pernah dia melihat Hans seperti itu. Hans sendiri hanya membalas lewat anggukan kecil yang tidak ketara, seolah dia enggan meninggalkan kamar itu.
"Ntar kita ketemu lagi di Jakarta." Gladiola menepuk bahu kanan Hans, seolah memberi semangat. Tapi, gara-gara itu juga, Hans lantas menempelkan kepalanya di bahu kanan Gladiola, begitu cepat sampai wanita muda itu terkejut.
"Gue nggak suka perpisahan kayak gini. Dulu, gue memilih kerja yang jauh supaya nggak bisa lihat lo sama Ridho mesra-mesraan. Sekarang, lo udah jomlo, gue tetep mesti pergi ninggalin lo."
"Ish, ngapain lo nemplok-nemplok di bahu gue? Kayak burung kakak tua, tau." Gladiola mencoba melepaskan diri. Sayangnya, penolakan itu kemudian membuat Hans malah memeluk pinggangnya dan dia mengangkat kepala demi memandangi Gladiola yang kini hampir tidak berjarak sama sekali dengannya.
"Lo belum balas perasaan gue, La. Belum kasih jawaban. Hubungan kita masih gantung."
Hans menatap manik mata Gladiola dalam-dalam sehingga lawan bicaranya berusaha keras untuk bisa meneguk air ludah. Usahanya untuk melepaskan diri dari pelukan Hans juga gagal total. Pria itu membelitnya bagai lem meski sekilas, Hans terlihat santai ketika mereka saling tatap seperti ini.
"Ola." Hans memanggil nama Gladiola dan wanita itu mengerjap beberapa kali sebagai respon kalau dia mendengar. Tapi, bibir Gladiola belum terbuka untuk menjawab pertanyaan Hans tadi.
"Lo masih benci gue karena masa lalu kita?" Hans memberanikan diri untuk membelai anak rambut yang keluar di sisi kiri pelipis Gladiola. Dia hampir tidak pernah menyentuh rambutnya dan untuk melakukannya, Hans berusaha untuk tidak kelepasan. Amat susah bertahan bila di hadapannya kini, berdiri Gladiola yang memandanginya dengan wajah bingung.
Hans jujur, ingin sekali mengulangi perbuatannya tadi, jika Gladiola mengizinkan.
"Nggak." Gladiola akhirnya membalas. Dia menggunakan tangan kirinya untuk menahan tangan kanan Hans yang bermain di pipinya. Bukan apa-apa, rasanya amat aneh hingga Gladiola merasa rambut-rambut halus di sekitar tangannya berdiri.
"Tangan lo, Hans." Gladiola memperingatkan. Kedua alis matanya sudah naik dan wajahnya nampak mengancam.
"Diterima atau ditolak?"
"Tadi bukannya mau jadi saudara?" Gladiola membalas. Dia berusaha tidak tertawa walau di hadapannya saat ini Hans seperti kena palu.
"Jantung gue mau copot sekarang dan lo ngajak bercanda." Hans bicara lagi. Wajahnya tampak serius dan merana, "Bentar lagi gue pulang dan harus menahan rasa penasaran karena perasaan gue digantung sama wanita yang kayaknya punya hobi balas dendam."
"Itu cuma perasaan lo aja kali," Gladiola mencoba tertawa supaya ketegangan di antara mereka mencair. Bukan hanya Hans yang berdebar-debar. Dia juga.
"Kalau jadian sama gue, lo nggak bakal repot kalau mau ketemu sama Nia. Apalagi kalau kita nikah, tinggal ke … " Hans berhenti bicara karena Gladiola memencet cuping hidungnya walau untuk itu dia harus mendongak.
"Tadi lo bilang sendiri, gue belum jawab perasaan lo. Sekarang malah mengkhayal kawin. Dasar sinting." Gladiola mengoceh sementara Hans meringis menahan ngilu padahal jelas sekali kalau Gladiola tidak terlalu keras menekan hidungnya.
"Gue lagi usaha," Hans membalas dengan suara sengau dan saat Gladiola melepaskan tangannya, dia menghela napas lega.
"Usaha apa? Gue kasih tahu sama lo, Hans, lebih baik lo berpikir rasional. Gue nggak sebaik yang lo kira. Sepanjang hidup, kita hampir selalu sama-sama walau lebih banyak nggak akurnya. Lo tahu dengan jelas latar belakang gue, keluarga gue, bahkan gue sendiri."
"Itulah kelebihannya." Hans manggut-manggut dan merasa bangga atas pencapaian itu.
"Gue nggak sempurna. Masa remaja gue ancur. Keluarga gue nggak selevel sama keluarga kalian. Lo pantas dapat yang lebih baik."
Sampai di situ, Hans yang tadinya senang karena mendapatkan banyak kecocokan atas dia mengenal Gladiola mendadak diam. Dari cara bicaranya, wanita yang sedang mengajaknya bicara tersebut, terlihat tidak memiliki indikasi untuk menerima pengakuan perasaan Hans.
"Rencananya gue kawinnya sama lo, La. Bukan sama yang lain." Hans membalas, "Jangan bahas level atau duit. Gue bukan bocah kemarin sore yang bisa lo tolak dengan bilang, kamu terlalu baik buat aku."
Gladiola mendengus. Kapan dia mengatakan kalimat itu kepada Hans?
"Gue udah kenal papa dan mama lo. Sudah paham juga gimana watak mereka. Lo nggak bakal minder lagi kalau gue jadi mantu orang tua lo."
"Lo PD banget sudah bahas kawin kawin dari tadi. Gue aja sebenernya masih marah gara-gara lo lancang di bandara." Gladiola memotong. Tangannya kini sudah berani menunjuk-nunjuk dada Hans yang tepat berada di depan dagunya.
"Kan, gue sudah minta maaf."
Wajah Hans terlihat amat menyesal sedang Gladiola sebaliknya. Meski begitu, Hans senang dia tidak lagi berontak seperti tadi.
"Dari dulu aja, kerjaan lo minta maaf. Padahal yang ngerasain efeknya gue dan membekas sampai sekarang. Lo nggak tahu kalau bertahun-tahun gue berusaha lepas dari cowok paling jahat yang pernah gue kenal."
Gladiola bicara meluapkan isi hati dan menghindari tatapan menyebalkan dari Hans yang seolah tidak berkedip memandanginya. Sesekali dia merasa Hans mengeratkan pelukan dan baginya, hal tersebut seperti sebuah alarm agar dia melepaskan diri.
"Gue semakin nggak mau lepasin kalau lo berniat kayak gitu." Hans mencoba tersenyum. Dengan telunjuk kanan, dia menyentuh ujung hidung Gladiola. Kulit pipinya halus dan lembut. Tidak ada jerawat sama sekali dan Hans baru sadar kalau Gladiola memakai perona pipi amat tipis.
"Terserah lo. Tapi, jangan lupa, kepala gue keras dan kalo gue nyundul kepala lo sekarang, gue pastiin lo pingsan."
Wajah Gladiola tampak datar ketika mengucapkan hal tersebut, namun, jelas di dalam kata-katanya terdapat ancaman yang nyata.
"Nggak apa-apa kalau pingsan di pelukan lo." Hans tertawa lebar. Kalau sudah begini, dia makin enggan meninggalkan Gladiola sendirian.
"Gue nggak percaya orang kayak lo bisa jomlo. Banyak banget cewek cantik yang pintar masak dan jago ngurus rumah."
Penolakan lagi. Pikir Hans. Gladiola beberapa kali menghindari tatapan matanya. Tapi, dia sudah kepalang berjuang. Menyerah adalah hal terakhir yang bakal dia lakukan. Itu juga kalau Gladiola sah menjadi istri orang. Sekarang, nona manis di depannya ini masih single dan buat Hans, hal tersebut harus dia perjuangkan dengan keras.
"Ola. Kita nggak perlu berputar-putar di masalah dan hal yang sama. Gue nggak akan ngulang dua kali. Lo dengar baik-baik, Hans Bastian Adam cuma mau menikah sama lo, Pelangi Langit Gladiola. Hari ini lo tolak, ntar malem gue nembak lagi. Lo tolak lagi, besok gue bakal datangi lo dan melakukan hal yang sama. Nggak bakal gue nyerah apa lagi mencari yang lain. Jadi, kalau lo punya pikiran aneh-aneh tentang gue yang bakal kabur kayak mantan lo, lo salah besar."
Ketika nama Ridho disebutkan, tanpa sadar Gladiola mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali. Dia berusaha memalingkan wajah, tapi, Hans menahan.
"Gue mungkin orang yang paling nyebelin yang pernah lo temui, tapi, alah, gue nggak bisa ngomong lagi." Hans memaki dirinya. Dia memilih untuk menarik tubuh Gladiola makin dekat ke tubuhnya sendiri lalu memeluknya amat erat seolah tidak mau dipisahkan sama sekali.
"Kalau gue nyakitin lo lagi, lo boleh tinggalin gue, La. Tapi, buat sekarang, izinin gue ambil langkah besar ini, buat jadiin lo teman hidup gue, ya?"
Gladiola merasa, dia tidak bisa bernapas akibat pelukan Hans. Satu-satunya cara adalah memukul dada pria itu hingga akhirnya Hans melepaskan dekapannya.
"Teman hidup apanya? Belum-belum gue udah lo bekep sampe nggak bisa napas." Gladiola mengoceh. Sayangnya, Hans tidak membiarkan dia menjauh.
"Maaf. Gue bodoh, sih. Nggak bisa mikir apa-apa lagi. Sori, La. Maafin gue."
Hans terlihat amat menyesal. Dia memeriksa lengan dan wajah Gladiola karena takut sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Meski begitu, Gladiola sendiri memilih mundur dari Hans dan kembali mengomel ketika pria itu menggeleng.
"Kurang-kurangin kebiasaan grepe-grepe kayak gini, ya. Lo bukan bocah lagi, yang kalau nggak diturutin maunya, malah gelantungan di badan emaknya."
Kata-kata itu kemudian berhasil membuat Hans langsung melepas tautan tangan mereka dan buat Gladiola, hal itu cukup melegakan. Dia memutuskan berjalan menuju lemari untuk mengambil ponsel sambil terus mengomel, "Kalau Nia tahu kita punya hubungan, dia pasti … "
Tidak ada kata iya di dalam kalimat itu. Gladiola juga tidak menyebutkan kalau dia mau menjadi kekasih Hans. Namun, pria paling bodoh di dunia saja tahu makna dari kata-kata yang keluar dari sahabat adiknya tersebut.
Kalau Nia tahu kita punya hubungan …
Jawaban mana lagi yang lebih indah dari kata-kata itu? Hans tidak bisa lagi membendung kebahagiaannya usai mendengar Gladiola bicara, bahkan dia belum sempat menyelesaikan kalimatnya sama sekali. Hans keburu menyambar tubuh Gladiola lalu membawanya ke pelukan.
"Nia bakal senang banget. Apalagi Mama."
Gladiola hendak membalas kalau dia masih harus mempertimbangkan perasaan Ranti, perasaan kedua orang tuanya, tapi kalimat-kalimat itu batal keluar dari bibirnya. Lebih tepatnya, dia yakin, bibirnya saat ini tidak bisa digunakan sama sekali karena lagi-lagi, tanpa izinnya, Hans menggunakan kesempatan itu untuk mengklaim wanitanya, wanita yang pernah dia sia-siakan selama bertahun-tahun.
"Ja … ngan … gigit … bibir gu…eh…"
Keluhan Gladiola tidak mendapat respon sama sekali. Hans sudah terhanyut dalam perasaan bahagia dan protes wanita itu dianggap sebagai angin lalu olehnya.
Balas dendam. Tentu saja dia sedang melakukannya saat ini. Gladiola harus bertanggung jawab untuk lima tahun yang terlewati sia-sia karena penolakannya dan juga sikap sok gengsinya yang membuat Hans pening hampir seharian ini.
"Menyerah, Ola. Menyerah aja. Mulai detik ini sampai selamanya, lo milik gue."
Bagaimana bisa dia menolak? Hans terlalu sinting untuk menyadari kalau dia tidak memberi ruang sama sekali buat Gladiola melarikan diri. Dia terjebak di dalam pelukan pria itu dan yang bisa dia lakukan saat ini adalah memejamkan mata dan membiarkan si gila itu melampiaskan semua perasaan rindunya selama ini. Gladiola tidak akan melawan.
Tapi, bila Hans berbuat lebih dari ini, ingatkan dia untuk memukul kepala Hans dengan gagang telepon sampai pingsan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro