63
Abis komen banyak di bab 61, melempem di bab 62. Ini sama kayak di work Hana-Hakim, ya. Kalian keji.
Eke loncat2 aja babnya. Biar kalian kesel.
Ga usah dikomen lagi. Ntar sekalian, kalo ga bisa buka work eke, tandanya kalian diblokir.
Jadiin aja kayak di KK atau KBM, berbayar gitu.
Kasianilah kami, Maaak.
Preet.
***
66 Pelangi di Langit Gladiola
Hans memaksa untuk mengantar Gladiola pulang setelah tahu kalau Kania tidak akan mampir ke tempat mereka makan malam itu. Akan tetapi, Gladiola berkata kalau dia bisa pulang sendiri.
"Saldo gopay gue banyak." Gladiola bersikeras.
"Ya ampun, La. Lo kayak takut apaan setiap gue nganter ke rumah lo. Selama ini memangnya gue ada niatan cekik leher lo apa gitu?" Hans nampak terluka ketika untuk ke sekian kali dia mendengar penolakan dari bibir Gladiola. Dia sadar diri Gladiola sepertinya amat anti berduaan saja dengan dirinya. Namun, Hans sudah berusaha mengubah sifatnya. Tidak jarang, dia menjadikan Ridho panutan dan apa yang dilakukan pria itu kepada Gladiola dia juga melakukan hal yang sama.
Tapi, setelah hubungan Gladiola dan Ridho putus, Hans merasa dia seperti jadi bulan-bulanan Gladiola. Entah wanita itu memang benci kepadanya sejak dulu atau hanya perasaannya saja. Memikirkan penolakan-penolakan yang terus dia dapat membuat dirinya amat kesal.
"Gue nggak mau dilihat orang." Gladiola menggumam. Suaranya dapat didengar oleh Hans meskipun pelan. Mereka masih berada di dalam mal. Hans sudah selesai membayar makanan mereka tadi dan keduanya sedang menuruni eskalator menuju lantai bawah.
"Lihat juga nggak masalah. Orang-orang punya mata." Hans mendengus. Lagipula, Gladiola sudah putus dengan Ridho, pikir Hans. Dia mau malu dengan siapa lagi kalau begitu? Bahkan, jika Hans saat ini melamarnya, itu juga bukan masalah. Dia lajang dan Gladiola juga sudah tidak punya pasangan.
"Lo tuh, ya." Gladiola sampai berdecak usai mendengar kalimat Hans barusan. Meski begitu, dia tidak banyak bicara sewaktu Hans memintanya agar hati-hati melangkah ke eskalator. Gladiola sedang memakai sepatu berhak tujuh inci yang ujungnya runcing sehingga bila tidak waspada, dia bakal mudah sekali terjepit di sela gerigi eskalator.
"Gue yang jemput lo tadi di kantor, wajar kalau gue yang antar balik. Gue juga tahu saldo lo banyak, mungkin tabungan lo juga, tapi harga diri laki-laki, biar dia kere juga, bakal tanggung jawab mengembalikan seorang perempuan ke rumahnya."
Meski memakai sepatu berhak cukup tinggi, perbedaan ukuran tubuhnya dan Hans cukup signifikan. Gladiola hanya 158 cm sementara Hans 183 cm. Untuk itu, Gladiola harus mendongak demi bisa melihat lawan bicaranya yang saat ini pastilah merasa kata-katanya barusan cukup keren dan bakal membuat perempuan gemetar.
"Lo nggak salah ngomong? Dulu aja sering ngatain gue."
"Dulu nggak nyangka bisa mentok sama yang ini." Hans menggumam dan di saat yang sama, Gladiola menaikkan alis, "Apa lo bilang?"
Hans cepat-cepat menggeleng lalu dia menutup mulutnya dengan tangan kiri, pura-pura batuk.
"Sebelum balik, temenin gue beli hadiah buat Nia, ya. Reward buat dia yang berhasil dapat kerjaan hari ini." Hans kemudian menunjuk ke sebuah toko pernak pernik dari negara Korea. Kelakuannya tersebut membuat Gladiola memandanginya lagi.
"Tumben."
"Nggaklah. Gue memang sudah niat dari pas dia bilang mau ngelamar kerja." kata Hans dengan sorot mata teduh sewaktu mereka berjalan menuju gerai tersebut. Warna kuning khas mencolok langsung menyerbu indra penglihatan Gladiola dan dia melihat beberapa pembeli membawa kantong kertas berwarna kuning terang ketika mereka keluar dari toko.
Dia belum pernah ke tempat itu. Belum sempat. Beberapa waktu lalu, dirinya dan Ridho pernah berencana untuk ke sana. Sayang, rencana tinggal rencana dan kini malah dia berdua dengan Hans saja yang memasuki tempat perbelanjaan yang konon seingatnya terkenal dengan koleksi mi instan yang amat banyak.
Tapi, begitu kakinya melangkah lebih dalam, bukan hanya mi instan yang diperjualbelikan di tempat itu. Ada banyak pernak-pernik, peralatan dapur, bahkan untuk segala hobi dan aksesoris yang tidak pernah dibayangkan oleh Gladiola sebelumnya.
Kalau Mas Ridho tahu, dia pasti bakal beliin gue boneka dan ikat rambut.
Gladiola menggigit bibir, berusaha untuk tidak teringat mantan kekasihnya lagi, walau kenyataannya amat berat. Beberapa sudut aksesoris mengingatkan kebiasaan mereka untuk mampir ke sebuah retail dari Jepang. Selalu ada saja hal yang Ridho beli untuk Gladiola bahkan walau cuma ikat rambut sekali pun.
"Cewek masih senang boneka, kan?"
Suara Hans menyadarkan Gladiola dan tahu-tahu saja mereka berdua sudah berada di barisan rak boneka. Entah bagaimana bisa kakinya melangkah saat pikirannya melanglang buana kepada Ridho, Gladiola tidak mengerti. Tapi, yang dia lihat kini, Hans, dengan seragam kerjanya dan celana jin berwarna khaki yang sudah beberapa kali dia lihat akhir-akhir ini sedang menimang-nimang dua boneka seakan-akan dia bingung hendak memilih yang mana.
Boneka seperti angsa berukuran besar berada di tangan kanannya serta sebuah boneka kodok aneh berbaju kaus di tangan kirinya. Hans kemudian memandang ke arah Gladiola seolah-olah hendak meminta pendapatnya.
"Dua ini enak buat dia peluk-peluk. Tapi, Nia bakal senang setengah mati kalau gue beliin semuanya."
Gladiola menggeleng dan menyuruh Hans mengembalikan benda tersebut ke rak lalu berkata, "Nia udah punya banyak boneka. Kadang, kalau bosan, dia suruh gue bawa ke rumah. Lo kalau ngasih anak perempuan kreatif dikit, kek." Gladiola melirik beberapa boneka tetapi tidak ada yang menarik minatnya.
"Dari dulu ngasihnya boneka. Iya kali semua perempuan itu sama. Ranti dapat boneka, Nia juga."
Hans memperhatikan Gladiola yang sore itu tampil formal dengan rok selutut dan rambut tergelung. Sungguh, membayangkan anak gadis berusia enam belas tahun yang amat suka memanjat pohon jambu, tidur di bawah atap rumah neneknya, dia benar-benar tidak menyangka, si tomboy telah berubah begitu banyak.
"Ya, udah. Lo mau, kan, bantu gue? Kayaknya, daripada gue yang jelas-jelas abangnya, lo lebih kenal dia."
Hans merentangkan kedua tangan, mempersilakan Gladiola untuk mengelilingi beberapa bagian toko tersebut dan mencari hal yang menurutnya paling disukai oleh Kania.
"Minyak wangi, lipstik, bedak." Gladiola menjawab santai. Matanya menemukan bagian perawatan wajah dan juga kosmetik. Mudah sekali baginya menebak kesukaan Kania karena dia juga pada akhirnya menyukai hal yang sama dan malah, mengabdikan dirinya untuk menjadi pegawai yang bergerak di bidang perawatan dan tata rias wajah.
"Dia udah punya banyak." Hans mencoba mengingatkan sewaktu Gladiola dengan mata berbinar menemukan deretan pewarna bibir yang di mata Hans, sama dan tidak ada beda sama sekali walau berasal dari berbagai merk.
"Ingat, Hans. Buat kosmetik, nggak pernah ada kata cukup." Gladiola menjawab dengan kedua alis naik.
"O, oke." Hans mencoba tersenyum. Dia yang saat ini sudah memegang keranjang kuning langsung memperhatikan Gladiola yang memindahkan beberapa biji lipstik, perona wajah, dan parfum ke sana. Tidak lupa juga dia menambahkan dua botol body lotion berukuran 500 ml yang membuat Hans mempertanyakan kapan benda tersebut habis.
"Lo nggak bakal tahu." Gladiola tersenyum. Setelah beberapa jam menyaksikan wanita berambut ikal tersebut menangis meratapi mantan kekasihnya, Hans merasa amat senang bisa menemukan kembali Gladiola yang biasa dia lihat. Meski begitu, bukan Ola-nya Kania bila tidak judes dan nyinyir setiap dia membalas kata-kata Hans dan wanita itu baru diam setelah lima belas menit mereka berkeliling Hans mengangsurkan sebuah tumbler minum lucu dengan motif bunga kucing berwarna pink metalik dengan hiasan konfeti di bagian tengah tumbler yang sengaja dibuat dua lapis agar pembeli bisa mendapatkan pengalaman menyenangkan sambil minum minuman kesukaan mereka.
"Ini gue beliin buat lo. Entah sejak kapan, gue perhatiin minum lo sedikit. Padahal, lo banyak nangis, kan? Nanti kalau kerja, lo bisa pakai. Eh, gue beliin dua. Satu lagi lo pakai di rumah."
Hans tidak menunggu jawaban dari Gladiola. Dia dengan santai memasukkan dua buah tumbler dengan motif yang berbeda. Yang pertama motif kucing tadi dan yang satu lagi bermotif awan. Keduanya dihiasi dengan konfeti dan masing-masing memiliki tutup dan sedotan sehingga ketika melihatnya membuat Gladiola teringat dengan minuman frappe dari gerai kopi yang sangat terkenal.
"Nggak usah, Hans. Gue nggak mau dibeliin sama lo. Duit gue ada, nih. Gue bayar."
Gladiola merasa gengsi dengan pemberian Hans tersebut sehingga dia mengeluarkan dompet demi membayar dua buah wadah air minum tersebut yang hanya mendapatkan sebuah kerlingan dari abang sahabatnya itu.
"Udah, ah. Malu-maluin. Dilihat orang, tahu." Hans memperingatkan. Tentu saja tidak ada orang yang memperhatikan mereka dan Gladiola yang terlalu panik kemudian menghentikan langkah demi menoleh ke arah sekeliling sementara Hans sudah berjalan meninggalkannya menuju bagian minuman yang jumlahnya beraneka ragam.
"Ambil minum, La. Lo haus, kan?" Hans menunjuk ke arah deretan minuman ringan yang berasal dari beberapa negara. Gladiola mengenali susu pisang kesukaan Kania dan ketika Hans memintanya untuk mengambilkan beberapa buah, Gladiola melakukannya tanpa protes.
"Punya lo?" Hans bertanya saat menyadari Gladiola hanya mengambil untuk Kania dan wanita itu membalas santai, "Ntar gue beli di Maret-Maret."
Hans menghela napas. Gladiola kemudian mengoceh kalau saat itu dia belum haus, namun, seperti kata-katanya tadi waktu mereka berada di bagian botol air minum, dia tahu kalau di restoran tadi Gladiola tidak banyak minum.
"Lo berisik amat, Hans. Kalau gue beser gimana? Gue lupa bawa softex ganti, tahu." Gladiola cemberut. Ingin rasanya dia memukul bahu gempal dan kekar milik abang sahabatnya itu saking kesalnya, akan tetapi, Hans kemudian malah menarik tangannya kembali ke bagian kebutuhan perempuan lalu menunjuk ke arah pembalut yang berjejer.
"Ambil aja. Jangan sampai lo kena kanker gara-gara nahan pipis sama nggak ganti pembalut." ujarnya santai, tanpa ada rasa jijik sama sekali, sementara Gladiola yang tahu betul seperti apa sifat Hans di masa lalu hanya bisa menaikkan alis dan memandanginya tidak percaya.
"Lah? Kenapa lo bingung? Gue punya adik dan hampir seumur hidup dia selalu nyuruh gue beli softex ke warung."
Gladiola menggeleng. Dia hanya bisa bergegas mengambil satu pak pembalut yang biasa dia pakai lalu bergegas menuju kasir.
"Sudah. Nggak usah sok jual mahal. Biar gue bayarin softex lo."
"Sinting!" balas Gladiola. Wajahnya merah padam dan Hans bodoh itu malah dengan santai mengekorinya dari belakang.
"Gue serius." ucap Hans. Tangannya dengan cepat mengambil pembalut dari tangan Gladiola dan dia berjalan dengan santai menuju kasir.
Orang gila kali lo, ya, Hans. Ngapain coba, malah nenteng-nenteng softex kayak gitu. Kalau buat Nia, ya, wajar. Lah, lo begitu buat gue. Otak lo kepentok di mana, coba?
Namun, Gladiola tidak tahu walau kini dirinya terus memaki perbuatan bodoh yang dilakukan oleh Hans Bastian Adam tersebut, nyatanya, pria tampan berambut cepak itu malah tidak bisa menahan senyum di dalam hati dan dia tidak malu pamer dan mengatakan kepada siapa saja yang bertanya alasan dia melakukan hal tersebut.
Ingat. Sekarang baru softex. Nanti, yang lain jadi urusan gue semua, La.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro