Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

57

Masih betah?

Masih dukung Bang Dodo?

Apaaah? Ngefans ama Riana gegara gelang emasnya gede-gede?

***

57 Pelangi di Langit Gladiola

Atas bantuan Kania, Gladiola akhirnya berhasil tiba di supermarket The Lawson tempat Ridho bekerja selama beberapa tahun terakhir. Bicara tentang setia, pria itu sudah membuktikan kesetiaannya yang bekerja bertahun-tahun di supermarket yang sama tanpa berpindah. Tidak seperti Gladiola yang saat ini bekerja di kantor lain dengan alasan gaji dan jam kerja yang lebih baik. 

Ketika mereka tiba, kondisi supermarket tampak ramai dan menurut Gladiola wajar saja. Saat itu masih suasana awal bulan. Banyak orang berbelanja mengisi kebutuhan rumah karena baru gajian. Tapi, fokus dan tujuan Gladiola bukan itu. Dia sedang mencari seorang pria yang beberapa hari terakhir tidak lagi berkomunikasi dengannya. Karena itu juga, matanya tampak mencari-cari keberadaan Ridho yang dia tahu pada jam segitu biasanya berkeliling mengecek barang-barang yang tersedia di supermarket.

Kalau kamu nggak mau aku kerja lagi, aku akan bersedia. Yang paling penting, kita mesti bicara.

"Lo ketemu?" suara Kania terdengar setelah lima menit mereka berpisah. Tadi, Kania berinisiatif mencari Ridho di bagian lain supermarket. Tetapi, dia kembali dengan tangan kosong. Ketika bertemu lagi dengan Gladiola, mata sahabatnya itu masih merah walau Gladiola tidak menangis lagi.

"Nggak kelihatan. Biasanya dia masih kerja." ucap Gladiola dengan nada lemah. Kepalanya berkali-kali bergerak menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi, sosok familiar yang selalu nangkring di mimpi dan hari-harinya itu seperti hilang.

"Tanya temen lo dulu, deh. Si Tata atau Kiki itu masih, nggak kerja di sini?" Kania bertanya lagi. Seperti Gladiola, dia juga menjulurkan kepala. Beberapa kali dia berharap kalau dia bisa lebih dulu menemukan Ridho dan mematahkan batang leher pria pengecut itu. Cih, bisa-bisanya dia berlari tanpa bilang apa-apa setelah dimintai duit seratus juta. Bukankah, seharusnya yang marah itu Gladiola? Sudah disuruh berhenti, dia juga bakal disuruh mengasuh nenek-nenek yang sebenarnya baik-baik saja. Dunia sudah gila. Apakah ini adalah modus baru mencari pembantu tanpa perlu menggaji mereka?

Oh, mungkin, dengan DP 100 juta, mereka bisa melakukan hal tersebut. Tetapi, bukankah sebelum perjanjian deal, Ridho sudah keburu menghilang? Duh, Kania tidak habis pikir. 

"Mbak Kiki udah nikah. Udah keluar lama banget, setahun pas gue gabung. Kalau Mbak Tata masih ada." Gladiola membalas. Tangannya lalu merogoh tas kerja yang dia pakai, mencari-cari ponsel. Begitu menemukannya, dia segera mengaktifkan layar. Yang paling pertama Kania temukan adalah gambar Gladiola dan Ridho sedang duduk bersama, di sebuah kafe, sedang menikmati malam dengan dua cup kopi merk yang cukup terkenal. 

Kania melemparkan pandang ke arah lain begitu dia merasa kalau Gladiola sadar dia diperhatikan dan si bungsu dari dua bersaudara tersebut memilih pura-pura menyanyi lagu entah apa yang penting asal keluar dari bibirnya. Tidak lama, Gladiola kemudian terdengar berbicara dengan seseorang dari saluran telepon dan Kania menduga, lawan bicaranya adalah Tata yang tadi disebutkan oleh Gladiola. Kania sendiri tidak mendengar lanjutan obrolan Gladiola dan Tata karena dia memutuskan melihat-lihat barisan makanan ringan dan teringat kalau abangnya suka sekali dengan jajanan itu. 

Kania juga lantas teringat lagi ulah Hans yang menurut Kania ketinggalan zaman saat awal Gladiola usai dioperasi dan mulai kembali bekerja. Hampir setiap hari dia mampir ke supermarket dan supaya tidak dianggap penguntit gila, Hans membeli beberapa bungkus makanan ringan tersebut dan membawanya ke kasir. Begitu terus sampai ulahnya ketahuan Kania dan Gladiola kemudian memutuskan berhenti bekerja di supermarket lalu bergabung dengan kantornya yang sekarang. 

"Ngapain lo beli ciki sampe segunung?"

Kania ingat sekali betapa penuhnya kamar sang abang dengan makanan ringan tersebut saat dia tidak sengaja menemukan tumpukan benda itu di dekat lemari pakaian Hans, jika tidak salah, hampir empat kardus banyaknya. Hans sendiri tidak banyak komentar, tetapi, kantong plastik bertuliskan The Lawson, membuatnya mengerti ada yang sedang menguntit Gladiola tanpa dia sadari sama sekali.

Dan bodohnya, Hans saat itu tidak mau mengaku kalau dia sudah punya perasaan kepada Gladiola.

"Lo jangan salah kira. Gue cuma kasihan. Takut jualan dia nggak laku."

Jualan Gladiola tidak laku? Demi Tuhan! Si Hans bodoh itu bahkan tidak ingat kalau yang dijual Gladiola adalah kosmetik dan biarpun dia membeli tiga gunung ciki tidak akan memberi pengaruh sama sekali dengan komisi yang didapat oleh Gladiola dan kedunguan itu masih berlangsung hingga detik ini, sampai-sampai Hans lupa kalau umurnya terus bertambah dan dia tidak ingin mengencani wanita lain.

Bujang lapuk sinting! Tuhan akhirnya ngasih Hans karma. Sayangnya, orang yang paling dia mau, sekarang kayak orang bego ngejar-ngejar cowok cemen yang gemeter dimintai calon mertuanya duit seratus jeti.

"Mbak Tata bilang Mas Ridho sudah pulang jam empat tadi." 

Sebuah tepukan di bahu kanan Kania membuatnya hampir melompat. Dia kaget karena saat sedang memikirkan abangnya, tahu-tahu saja Gladiola mengagetkannya. Kania mana tega membiarkan Gladiola kini mengerjapkan mata berkali-kali menahan air matanya yang hampir jatuh. Sialnya lagi, matanya sendiri seolah sehati sepenanggungan, bisa-bisanya ikut pedih seolah tercolok potongan cabai.

"Jadi kita mesti gimana, Bra? Lo mau ke rumahnya?" Kania merasa tenggorokannya tertusuk duri, pedih dan ngilu. Hidungnya juga tiba-tiba mampet. Dasar perempuan, makin dekat hubungannya, makin mudah menangis. Itulah, seharusnya dia memarahi Gladiola, jangan naksir kepada Ridho. Hans lebih baik. Dia tidak bakal membuat Gladiola mewek seperti ini.

Ralat. Dulu, Gladiola dibuat jungkir balik oleh Hans dan Kania lupa, sekarang, di dalam hati sahabatnya, mana ada lagi pojok yang tersedia buat abangnya nangkring. Bila abangnya nekat buka lapak di sana, Gladiola tanpa ragu akan menendang keberadaan pria itu seperti yang sudah-sudah. 

"Ka … kalau lo mau temenin." sahut Gladiola terbata-bata. Kania jadi tidak tega melihatnya. Dulu, saat dia hancur dan galau di Palembang, Gladiolalah yang menenangkannya. Apalagi, di saat yang sama, dia punya keinginan amat besar untuk menempeleng Hans dan untunglah, Gladiola menahannya sekuat mungkin. 

"Ya, gue temenin, lah. Masak nggak?" Kania menghela napas. Dia membantu Gladiola berjalan ke luar dari supermarket. Percuma juga berlama-lama di sana. Orang yang dicari juga tidak ada batang hidungnya.

"Kalau sudah balik, biasanya dia ke mana?" tanya Kania sewaktu mereka berdua sudah berada di luar supermarket. Wajah Gladiola masih agak sembab dan dia beberapa kali mengedipkan kelopak mata menahan air mata supaya tidak jatuh.

"Kalau nggak jemput gue, dia langsung balik."

"Sekarang dia nggak jemput lo, berarti langsung balik?" potong Kania. Gladiola mengangguk dan pada detik yang sama air matanya jatuh setetes. 

"Lo telepon, gih. Pastiin dulu dia di rumah atau nggak." suruh Kania dan walau Gladiola merasa tidak ada gunanya melakukan hal tersebut, dia berpikir, siapa tahu Ridho menjawab. Apakah pria itu tidak merindukannya? Gladiola saja rindu. Mendengar suaranya saja sudah cukup asal Ridho menjawab telepon darinya.

"Nggak ngangkat, Ni." ujar Gladiola sekitar dua menit kemudian. Dia mencoba lagi sebanyak dua kali dan mendapat hasil yang sama.

"Ya, udahlah. Kita berangkat ke rumahnya." Kania bicara dengan suara sedikit bersemangat. Bagus sekali ide ini. Mereka akan datang ke rumah pria pengecut itu lalu minta kejelasan. 

Minta pertanggung jawaban agak susah, duitnya kurang, Kania bicara dalam hati. Untung saja dia tidak menyuarakan kalimat tersebut. Bisa gawat kalau Gladiola mendengar. Tapi, dia tidak salah, kan? 

Jangan memutuskan menikah bila mental, finansial, juga usia belum cukup. Untuk kasus Ridho, Kania tahu, umur pria tersebut amat sangat memenuhi syarat. Tapi, soal mental, bah, dia yakin, abangnya lebih tahan banting. Dulu Hans memang punya kelakuan macam monyet egois yang diberi makan satu bakul. Sekarang dia sudah berubah. Kania tahu betul walau dia sempat bertengkar dengan abangnya. Itu juga karena Hans amat memikirkan dirinya. 

Mereka berkendara ke rumah Ridho dengan alamat sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Gladiola. Untung saja jarak antara supermarket dan rumah Ridho tidak jauh. Mungkin, itu juga alasan pria itu betah bekerja bertahun-tahun di sana. Kania juga tidak tahu. Yang dia pikirkan saat ini adalah keadaan Gladiola yang tidak henti meremas kedua tangannya sendiri sambil melihat-lihat jalan, berharap menemukan sosok kekasihnya yang hilang. 

Cih, dia bukan hilang, pikir Kania, tapi kabur. 

"Itu, Ni. Dua rumah di depan. Yang dicat warna orange. Dekat tiang listrik. Lo parkir aja di rumah depannya. Biasanya, Mas Ridho siap-siap ke masjid. Dia muadzin kampung." ucap Gladiola dengan nada bersemangat karena tahu bakal bertemu dengan kekasihnya. Tapi, bagi Kania tidak seperti itu. Muadzin, kok, suka kabur dan membiarkan anak orang menangis?

Kania tidak sempat lagi berpikir karena begitu mobilnya mati, Gladiola langsung melompat keluar dan berlari-lari kecil sambil menenteng tas kerjanya. Kania terpaksa mengikuti dengan buru-buru keluar dari mobil lalu berusaha menyamakan langkah dengan sahabatnya itu.

"Sabar, Bra. Kaki gue pendek-pendek. Nggak kayak lo yang sekarang jadi tinggi. Kalau gue keserimpet, lo mau tanggung jawab?" Kania merepet dalam bisikan sementara balasan Gladiola hanyalah ucapan sori tanpa menoleh lagi yang membuatnya menghela napas. 

Begitulah. Jika sedang jatuh cinta, sobat paling akrab seperti kutang, pun, mesti dilepas juga. Tapi, jangan harap selamanya Gladiola tidak memakai kutang. Kania Bella Adam memastikan, sahabatnya itu bakal berpikir dua kali jika melakukannya. 

Suasana perumahan di tempat Ridho berada mulai sepi. Maklum, sudah hampir waktu salat Magrib yang bakal berlangsung sekitar lima belas menit lagi. Tapi, masih ada beberapa ibu-ibu yang mengobrol di depan pagar dan Kania mengintip lewat ekor mata tentang bahasan gosip mereka sore itu. 

"Mendadak juga, sih… " 

Hm, dia tertarik mendengar, tetapi Gladiola sudah membuka pagar rumah keluarga Ridho dan mengucap salam sehingga Kania juga mempercepat langkah dan hingga akhirnya Kania berada di belakang Gladiola.

"Assalamualaikum." Gladiola mengucap salam untuk yang kedua kali. Tidak ada balasan dari dalam. Malah, menurutnya agak aneh karena pintu rumah tersebut tertutup dan semua jendelanya tidak dibuka. Lampu teras dan dalam rumah juga tidak dinyalakan. Padahal, menjelang Magrib, suasana di dalam rumah biasanya mulai gelap. 

"Ketok, Say." Kania memberi saran. Pada akhirnya, dia sendiri yang melangkah dan melakukan hal tersebut, sementara Gladiola kembali memeriksa ponsel. Tidak perlu ditebak, sudah pasti dia mencoba menghubungi kembali kekasihnya dan yang Kania lakukan selagi menunggu pintu dibuka adalah melihat-lihat sekeliling. 

Rumah Ridho sebenarnya bukanlah rumah kompleks. Malah, seperti pada umumnya rumah di pemukiman penduduk pinggiran Jakarta. Berada di pinggir lorong yang tidak terlalu besar. Tapi, keluarga tersebut masih beruntung memiliki rumah yang bisa dilewati mobil. Kebanyakan malah tinggal di gang senggol yang saking sempitnya, menyentuh badan tetangga. Jika ada lahan, semua bakal dibangun menjadi tembok dan masa bodoh tetangga bisa lewat atau tidak. 

Beruntung juga keluarga Kania dan Gladiola tinggal di kompleks perumahan. Rumah Gladiola sendiri, meski bertipe lebih kecil dan lebih sederhana, jauh lebih baik dibanding dengan rumah-rumah yang tadi disebutkan. 

Mereka menunggu hingga beberapa saat dan Kania merasa malu mengetuk pintu hingga beberapa kali, sementara Gladiola sendiri menatap layar ponselnya dengan wajah bingung.

"Belum sampai rumah kali. Lo coba telepon orang rumahnya dulu. Kakak atau ibunya. Punya nomor mereka, kan?" 

Gladiola menggeleng. Dia menutup bibirnya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memegangi ponsel. Matanya kembali merah. Kania kini merasa iba kepadanya. Jika tadi dia kesal kepada Ridho seorang, kini, kekesalannya bertambah. Ke mana perginya semua orang rumah ini? Apa mereka berduyun-duyun salat di masjid? 

"Eh, Ola, yang datang, ya? Pantas tadi kayak kenal." 

Seorang perempuan memakai songkok hitam bahan beludru berdiri di depan pagar. Dia mengenali Gladiola sebagai kekasih Ridho dan karena itu juga memutuskan untuk berhenti. Gladiola dan Kania sendiri menoleh kepada wanita tersebut dan mendekat karena berpikir, tidak ada gunanya berdiri di depan pintu rumah orang yang tidak punya niat membuka pintu untuk menyambut tamunya. 

"Nyari Ridho?" tanyanya lagi begitu Gladiola hanya berjarak lima meter dari dirinya. Perempuan muda itu mengangguk. Memang itu tujuannya datang ke sana.

"Iya. Ibu tahu? Kok, rumahnya kosong?"

Wanita berusia empat puluh lima tahun itu menoleh sekilas ke arah rumah Ridho lalu kembali kepada lawan bicaranya sebelum berkata, "Iya, seminggu ini keluar terus. Dijemput Riana sama suaminya. Apa makan di luar, apa gimana, gitu." 

Gladiola terdiam sesaat mendengar lawan bicaranya itu bercerita dan melanjutkan kembali ucapannya.

"Ibu juga nggak paham-paham banget, sih. Tapi, agak sedih juga karena baru tahu dari Riana kalian sudah putus. Malah, kami kaget, si Ridho ternyata sudah dijodohin lagi sama teman kerjanya Rizwan."

Waduh, pikir Kania. Jika dia saja sampai terkejut, Gladiola pasti seperti terkena serangan jantung begitu mendengar kabar tersebut. Karena itu juga dia memutuskan mendekat dan menyentuh punggung sahabatnya.

"Ah, yang bener, Bu? Ola nggak ada putus dari Ridho. Kenapa sudah ada jodoh-jodohan aja? Ini kita berdua ke sini mau cari tahu. Dua minggu kemarin, keluarga mereka silahturahmi ke keluarga Ola, tapi habis itu malah nggak ada kabar." Kania yang gemas, memilih jadi juru bicara. Apa-apaan berita yang baru dia dengar? Telinganya tidak salah, kan? Si Ridho dijodohkan? 

"Babik!" Gladiola mendengar Kania mengumpat. Tangan wanita berambut ikal tersebut sudah gemetar dan matanya mengerjap berkali-kali. Jika ini lelucon, sumpah tidak lucu sekali, pikirnya. 

"Wah, Ibu nggak tahu, Neng. Atau kalian mau menunggu di warung Mbah Supit aja? Di sini banyak nyamuk."

Masa bodoh dengan nyamuk. Suara orang mengaji yang terdengar dari TOA masjid semakin lantang dan artinya, tidak baik menunggu manusia yang kelihatannya tidak menghargai kekasihnya sama sekali. Memang kurang seons Ridho itu, pikir Kania. Bisa-bisanya dia mau dijodohkan padahal sudah siap melamar Gladiola. Mereka harus pergi dari sini. Jangan sampai ada cerita, sahabatnya harus mengemis-ngemis dan terseok-seok di bawah kaki pria sepengecut itu.

"Tunggu dulu, Nia. Gue mesti dengar penjelasan Ridho." Gladiola menolak sewaktu Kania menarik tangannya. Air matanya mulai jatuh dan wanita yang menemani mereka jadi tidak enak hati.

"Duh, Neng. Malah nangis. Maafin Ibu, yak. Ibu nggak ada maksud. Kirain kamu sudah tahu." katanya dengan wajah menyesal. Gladiola sendiri kini sibuk mengusap kedua pipinya yang basah. Kania tidak bisa tidak empati. Dia sahabatnya dan si Ridho itu harus merasakan pembalasan.

"Pulang, Ola. Lo jangan nangis di sini. Jangan juga emaknya atau kakak perempuannya ngeliat lo mewek. Mereka bakal senang." Kania sudah hampir mengucapkan sederet kalimat sumpah serapah tapi kemudian ingat, tetangga Ridho yang memandanginya dengan wajah kebingungan itu tidak tahu berada di pihak mana. Jika dia berada di pihak Ridho, maka mereka berdua bakal jadi bahan cerita yang kisahnya bakal digoreng dan ditambahi bumbu. Kania amat yakin, ibu dan kakak perempuan Ridho yang sebenarnya kurang suka kepada Gladiola bakal senang sekali mendengar kabar Gladiola menangis meraung-raung di depan rumahnya. 

Ih, itu amat tidak elegan dan murahan sekali. 

"Tapi, … " Gladiola masih enggan melangkah jauh. Dia tahu, jika menunggu, bahkan bila sampai tengah malam pun, Ridho pasti akan kembali. 

"Pulang, Bra. Ini sudah mau Magrib. Apa lagi yang mau lo tunggu? Setan? Dia aja nggak mikirin lo sama sekali. Kalau dia peduli, dari pertama lo nelepon, sudah pasti dia angkat. Kenyataannya, nggak, kan? Masih ingat kata-kata lo buat gue waktu kita di Palembang? Kalau lo cukup berharga buat seorang pria, dia bakal berjuang sampai titik penghabisan. Dan hari ini, yang barusan kita dengar, dia nggak berjuang sama sekali buat lo. Dia dijodohkan sama orang lain dan Ridho nggak nolak."

Gladiola menggigit bibirnya yang bergetar selagi air matanya terus jatuh. Kania tidak salah. Kata-katanya juga benar. Tapi, Gladiola tidak mau mempercayai ini, ketika dulu dia memberi penguatan buat sahabatnya, hal yang sama bakal terjadi juga kepada dirinya. 

"Dia cinta gue, Nia." Gladiola mencoba menggeleng. Tetapi, Kania menulikan telinganya saat ini demi menarik tangan Gladiola agar mengikutinya menuju mobil. 

"Cinta. Yang gue tahu, baik lo atau gue, kita sama-sama belum beruntung. Dan yang paling baik, lo tahu, menerima semua itu dengan ikhlas dan lapang dada."

Dia tidak sok kuat. Kalau dibiarkan, air mata Kania juga bakal jatuh karena dia tahu, akan sangat berat melupakan seseorang yang selama beberapa tahun mendampingi Gladiola. Hanya saja, mungkin lebih baik berakhir begini, walau tanpa pamit. Besok, setelah sahabatnya lelah menangis, dia bakal bisa mengangkat kepala dan mengalahkan dunia.

"Inget, dia milih keluarganya dan lo juga. Nggak ada yang salah buat itu. Cuma, agak bikin sakit aja, tepat di bagian yang selalu buat lo berbunga-bunga. Gue tahu rasanya, tapi lo bakal pulih."

Gladiola tidak menjawab walau mereka berdua kini sudah berada di dalam mobil, tepat pada saat azan Magrib berkumandang dan Kania memutuskan untuk menunggu selama beberapa saat. Nanti, bila azan sudah selesai, dia akan membawa Gladiola ke mana pun wanita itu mau dan berada di sisinya hingga tangis sahabatnya itu reda. Dia berjanji.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro