47
Tim Ridho-Ola kudu hepi2 di bab ini. Jangan nyari-nyari Hans. Kalian, kan, bencik ama dia.
Ramein kolom komen, yes.
***
50 51 Pelangi di Langit Gladiola
Hingga dua hari usai kedatangannya ke rumah keluarga Ridho, Gladiola jadi tidak bisa berpikir dengan jernih. Beberapa kali dia gagal fokus pada pekerjaannya dan hampir salah menginput jumlah unit barang yang sedang dia supervisi. Untung saja anak buahnya mengingatkan dan Gladiola mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Meski begitu, ucapan Riana dan ibu Ridho telah membuatnya memikirkan perkataan mereka hingga larut malam.
“Kalian itu sudah cukup lama sama-sama, toh? Jadi Ibu nggak perlu basa-basi lagi. Ridho juga sudah dewasa. Sudah butuh kepastian mau dibawa ke mana hubungan kalian. Toh, ujung-ujungnya pasti ke jenjang pernikahan, kan? Ngapain juga ditunda-tunda lama?”
Kalimat yang keluar dari bibir ibu Ridho membuat Gladiola terdiam selama beberapa saat. Namun, belum sempat dia memproses semua itu di kepala, Riana melanjutkan ucapan ibunya, “Lo berenti aja kerja. Ridho bisa, kok, nyukupin kebutuhan kalian. Temenin ibu di sini, kasihan sendirian. Gue mesti ikut suami dan Rini juga mesti bolak-balik kuliah. Yah, namanya juga mantu. Nanti bisa-bisa lo, lah.”
Gladiola tidak tahu, apakah Riana tidak sadar kalau nada dan kalimat yang dia pilih saat bicara barusan kurang apik diterima di telinga wanita muda itu. Dia berharap, Riana bisa lebih bijak memilih kata karena dia jauh lebih dewasa dibandingkan Gladiola. Juga, karena latar belakang pergaulannya dengan para istri pejabat bank. Pertama, soal menikah. Gladiola tahu, hubungan percintaan mana saja tentu akan bermuara di sebuah ujung yang bernama bahtera rumah tangga. Tapi, hal tersebut juga bukan keputusan sepihak. Gladiola tidak hidup sendiri. Dia juga punya keluarga yang mesti dia konsultasikan setiap keputusannya.
Kedua, Gladiola merasa hidup di Jakarta dengan mengandalkan Ridho saja sudah pasti adalah sebuah perjuangan amat berat. Dia bukan mengejek gaji calon suaminya itu. Akan tetapi, seorang laki-laki tidak mungkin akan menyerahkan semua gajinya kepada istri, apalagi ada ibu dan adik perempuan yang butuh sokongan finansial. Keluarganya saja masih bergantung kepada Gladiola dan bila dia memilih fokus di rumah, dia tidak bisa membayangkan dari mana Gladiola akan mengeluarkan dana demi membantu keluarganya sendiri.
Usaha sampingannya? Tentu saja itu akan sangat berguna. Tapi, dari pembicaraan Riana dan ibunya, mereka menginginkan Gladiola mengabdi sepenuhnya kepada keluarga dan dengan berat hati dia mungkin akan menutup usahanya tersebut. Membayangkannya saja sudah membuat kepalanya pusing. Dia memang cinta dan sayang kepada Ridho, tapi dia realistis, dirinya juga butuh uang, keluarganya juga dan dari pengalaman-pengalaman sebelum ini, wanita yang hanya mengandalkan gaji suami hampir selalu dipandang sebelah mata karena dianggap sebagai biang kerok pengeruk harta suami.
Dan ketiga, tinggal bersama ibu Ridho, dia tidak menolak. Tapi, bukankah sebaiknya ada pembicaraan walau Ridho adalah satu-satunya anak laki-laki. Gladiola sejak dulu sudah terbiasa mengurus neneknya yang kini sudah meninggal. Mengurus Ibu Ridho yang lebih sehat tentu bukan masalah. Akan tetapi, sebaiknya anak kandung wanita itu yang lebih berhak, selagi masih ada kesempatan untuk mengurus orang tua yang hanya tinggal ibu saja.
Saat pulang kerja, Gladiola meminta agar Ridho tidak perlu menjemput. Gladiola ingin bertemu dengan Kania lalu meminta pendapatnya. Menikah bukan untuk satu atau dua hari. Ada banyak konflik yang mesti dia pertimbangkan demi kelangsungan masa depan dan dia yakin sekali, menikahi Ridho bukan berarti dia hanya mengenal dan mengetahui pria itu saja melainkan juga keluarganya dan obrolan di hari Minggu sore kemarin telah membuat dia merasa agak panik.
Nia pasti tahu jawabannya. Gagal kawin sama Dino mungkin bakal membuat pikirannya lebih terbuka, bisik Gladiola kepada dirinya sendiri ketika Kania minta diajak bertemu di sebuah mal dan dia menyanggupi.
Kania sendiri tidak menyangka pada akhirnya dia akan menjadi tempat curhat lagi bagi si Kriwil paling cantik yang pernah dia kenal. Ketika muncul, dia menyangka Gladiola adalah Mbak-Mbak SCBD. tapi mengingat mereka tidak mampir di Starbuck melainkan starling alias Starbuck keliling, kesukaan Gladiola sejak dulu, yang artinya adalah kantin karyawan di mal, maka Kania sadar, yang datang menghampirinya adalah wanita yang sama.
“Nggak sama Bang Dodo, kan?” Kania memeriksa sekeliling. Bukan Gladiola jika tidak ada mandor di belakangnya. Namun, Gladiola sendiri dengan cepat membalas, “Kaga ada abang lo, kan?”
Mereka saling pandang sepersekian detik dan keduanya saling geleng.
“Beneran nggak ada, kan?” Gladiola memastikan lagi. Dia menoleh ke arah sekeliling dan mencoba mencari sosok tinggi jangkung yang selalu memata-matai setiap dia bersama Kania. Bukan tanpa alasan dia khawatir, Kania sudah diberi label tahanan kota dan mustahil bisa keluar rumah tanpa pengawalan abangnya itu.
“Hans kerja. Lo kayak nggak percaya gue aja. Lagian, dia dimarahin sama bosnya kebanyakan cuti jadi mesti ke Pekanbaru dua minggu.” jelas Kania seolah tahu kalau saat ini Gladiola sedang waspada. Bila hal tersebut menyangkut tentang usaha menjodohkan Gladiola dengan Hans, maka dia tidak perlu percaya kepada Kania.
"Gue nggak bohong." Kania menaikkan alis ketika Gladiola kembali memandanginya sambil menyeruput es teh. Salah siapa coba, selalu bermain api di belakangnya sehingga Gladiola tidak lagi bisa percaya dengan mudah?
"Yang bener, lo?" Gladiola memastikan kebohongan dari wajah Kania, tapi nihil. Artinya, sahabatnya itu tidak bicara dusta. Hanya saja, karena terlalu sering dikibuli, mau tidak mau, Gladiola memasang alarm bila nanti Hans tiba-tiba muncul.
"Gue nggak bohong. Ngapain juga gue gituin lo. Untung juga kagak. Lo udah cinta mati sama Ridho."
Gladiola sempat diam sejenak sewaktu mendengar Kania bicara begitu. Sahabatnya tersebut sepertinya tidak menyadari perubahan dari raut wajah Gladiola dan dia malah mengaduk-ngaduk bakso pesanannya sebelum dimakan.
"Soal itu, … " Gladiola menahan napas selama beberapa saat. Jika ingin curhat, sekaranglah saatnya.
"Kenapa? Lo putus?" antusias, Kania bertanya sampai dia lupa menyuapkan bakso ke mulut.
Gladiola sendiri memilih menggeleng dan dia menjawab dengan nada rendah, "Sebaliknya. Keluarga mereka minta kami serius dan kayaknya, nggak lama lagi Mas Ridho mau lamar gue ke rumah Papa."
"Yang bener, lo?"
Bola mata Kania membesar dan sendok yang dipegangnya hampir lepas dari pegangan. Baksonya saja yang jatuh. Tapi, hal tersebut tidak menghentikan Kania untuk mendesak sahabatnya bicara.
"Lo gila, Bra. Gue batal kawin, eh, lo malah nikung gue. Sakit banget, ini, mah. Mana kawinnya sama Ridho, lagi."
Dobel sakit kalau Kania mesti jujur. Dia masih punya cita-cita yang sama sejak dulu, menjodohkan Hans dengan Gladiola. Tapi, Gladiola telah memilih Ridho, bahkan sebelum Hans telah menyadari perasaannya dan sekarang, Bra-nya yang paling dia cinta itu bakal dilamar orang. Oh, mimpi apa Kania tadi malam. Rasa-rasanya neraka seperti dipercepat. Dia awalnya ingin jahil saja kepada abangnya. Tetapi, malah mendapat karma seperti ini.
"Gue sesak napas." Kania megap-megap. Gladiola sendiri berusaha tidak terpengaruh. Lah, kemarin saja waktu Kania kabur ke Palembang, dia tidak memikirkan perasaan Gladiola sama sekali. Skor satu sama walau saat ini ada pihak yang merana.
"Gue masih simpen Ventolin sama Kenacort lo, mau?"
Cih, Kania sampai merasa cuping hidungnya mengembang dan ingusnya terbang begitu Gladiola mengaku masih menyimpan obat asmanya ketika menginap beberapa waktu lalu. Padahal, Kania sedang bermain drama supaya perhatian Gladiola penuh kepadanya.
"Tolak, dong." rayu Kania tanpa ragu sehingga membuat bola mata Gladiola melotot ke arahnya.
"Lo kalau ngomong suka asal, deh. Gue ke sini mau ajak lo cerita, sekarang lo nyuruh gue nolak. Gue balik, nih." ancam Gladiola. Jika Kania jahil, dia juga bisa. Buktinya, walau Gladiola tidak bergerak, Kania sudah panik dibuatnya.
"Eit, ntar dulu. Sini cerita ama gue, Bra. Gue selalu ada buat menampung keluh kesah lo." Kania menepuk dadanya sendiri, kemudian dia menyendok satu pentol bakso dan mulai mengunyah. Yang penting mendengar cerita Gladiola dulu. Soal jadi kompor meleduk, nanti saja kalau sobatnya itu kelar bicara.
Gladiola tidak menunggu lagi sewaktu Kania berjanji akan menjadi pendengar yang baik. Dia juga sudah membuat lambang janji dengan kedua tangannya kepada Gladiola sehingga dia kemudian memutuskan untuk bicara.
"Pas datang kemarin, ibu sama Mbak Riana nanyain kelanjutan hubungan kami. Toh, sudah dua tahun juga dan Mas Ridho usianya lebih dari cukup. Lo tahu, kan, dia sudah mau dua puluh delapan bulan depan? Mereka nanyain kesiapan gue."
Gladiola berhenti sejenak untuk menarik napas, lalu melanjutkan, "Soal siap, bisa gue usahain. Tapi, permintaan mereka supaya gue bisa berhenti kerja dan fokus jadi istri di rumah sambil ngurus mamanya bikin gue agak mikir, mak gue aja nggak segitunya gue ngurus. Ini, mesti ngurus ibunya Mas Ridho sementara ada dua anak perempuan."
Gladiola agak berat bicara seperti ini. Dia bukannya tidak tahu jika kemarin pembicaraan mereka tidak dihentikan oleh Ridho karena hari telah menjelang Magrib, Riana bakal terus menyerangnya.
"Perempuan itu kalau nikah, nurut sama suami. Melayani suami sepenuh hati adalah tugas. Apalagi orang tua suami, wajib lo urus. Soal orang tua lo, nanti jadi urusan adik lo juga."
Dari cerita Ridho, Gladiola tahu kalau Riana kurang akur dengan mertuanya. Tapi, mengapa dia lantas mendoktrin Gladiola harus menurut? Bukannya dia tidak mau melakukannya. Hanya saja, alasan Riana kurang kuat. Lain cerita bila ibu Ridho terkapar dan tidak ada yang bisa membantunya beraktivitas.
Dia hanya tidak habis pikir …
"Ntar dulu. Tuh, si Dodo nyari bini apa nyari pembantu?" Kania menahan geli usai mendengar cerita Gladiola. Jika disimpulkan, seolah-olah Riana telah mendoktrin Gladiola untuk melakukan sederet tugas sementara dia sendiri beralasan harus mengabdi kepada suaminya. Gladiola harus berhenti bekerja dan patuh kepada Ridho beserta keluarganya. Tidak perlu lagi mengurusi papa dan mamanya, apalagi melanjutkan bakti kepada mereka.
"Hei, bukannya itu mimpi lo dari dulu, nggak perlu balik ke rumah orang tua lo. Bukannya kawin adalah jalan ninja andalan semua anak gadis yang seumur hidup dibenci orang tua mereka?" Kania nyengir. Tapi, sekejap dia menutup mulut karena tatapan mata Gladiola seolah melaser biji matanya sendiri.
"Dulu gue bodoh dan nggak tahu terima kasih. Mau sebenci apa pun gue sama mama dan papa, kenyataannya mereka orang tua gue dan sekarang, hubungan kami baik-baik aja."
Itu karena lo ngasih duit sama mereka, makanya bibir mak lo terkunci rapat, bisik Kania dalam hati. Bicara terlalu jujur berpotensi mendapat cubitan di perut.
"Tapi, jujur. Gue nggak menemukan tendensi keuntungan kalau lo kawin sama dia." Kania mulai bicara. Di dalam hati, dia mulai membanding-bandingkan Hans dan Ridho. Jelas abangnya menang telak.
"Satu, lo disuruh resign. Gila, kan. Junior manager, loh, disuruh jadi bini yang kerjaannya bukan cuma nyapu rumah doang, tapi seabrek. Dia bisa ganti gaji lo sebulan? Belum lagi olshop lo. Gue aja ngiler. Berapa, sih, gaji si Dodo? Sepuluh juta? Atau nggak sampai segitu? UMR lebih dikit, kan?" tanya Kania dengan wajah polos.
"Gue nggak terpikir sampai situ." Gladiola mengibaskan tangan, tetapi, Kania menggebrak meja dengan penuh semangat, "Jelas mesti lo pikirin. Gaji si Ridho ini bakal jadi perhitungan yang jelas. Mana pos buat lo, buat maknya, buat adeknya, belum lagi listrik, bensin, beras, minyak, sepuluh juta bagi tiga, terus bagian orang tua lo juga mesti ada. Ini rasional, Bra."
Rasional, sih, rasional. Tapi, Gladiola melirik sebal kepada Kania yang merasa kalau dia jauh lebih pintar. Bukankah kemarin, di Palembang, dia juga keluar uang demi membiayai si kadal Dinosaurus yang mokondo tersebut? Mereka berdua nyaris berada di dalam situasi yang sama. Cuma sekarang, berkaca dari kasus Kania, Gladiola berusaha memikirkan semua ini sebelum jatuh ke lubang lebih dalam.
"Lo jangan mikirin gue kaya raya gara-gara kerja ke luar kota terus, Bra." Gladiola memperingatkan, "Gaji gue dan Mas Ridho nggak jauh beda. Gue cuma dikasih lebihan kerja tambahan tapi nggak nguras emosi dan tenaga lewat olshop. Kalau sudah kaya, nggak bakal gue jadi kacung. Kaya itu, ya, macam lo. Ongkang-ongkang kaki, duit sawit ngalir."
Mereka sepertinya bakal debat kusir tidak peduli Kania membalas harga sawit tidak semahal dulu dan papanya cuma pengepul sawit di kecamatan saja yang membuat Gladiola hendak muntah. Dia tahu betul kalau papa Kania dan Hans punya sekitar delapan puluh hektar sawit di kampung. Itu juga jadi alasan Hans sering bolak-balik ke Sumatera dan di depan matanya sendiri, Kania memilih merendah. Dasar humblebrag!
"Apalah. Pokoknya, gue udah bisa prediksi masa depan lo bakal sekacau apa. Iya, si Dodo penuh kasih sayang. Tapi, Bra, kalau dia kerja dan lo di rumah, gue pastikan, kayakl sinetron Ondosiar, lo siap-siap kena racun kakak ipar dan mertua tengik, terus lo kabur dari rumah, perut melendung, ditabrak taksi pula. Jangan mau dijadiin kacung. Cukup mak bapak lo yang gituin anak pertamanya."
Kania jelas tidak main-main dengan kata-katanya dan Gladiola sendiri, walau tahu kalimat Kania benar-benar berlebihan, mampu membuatnya bergidik dan bukannya senang, di akhir pembicaraan dengan sang sahabat, wajahnya seperti habis menelan dua biji jeruk lemon, masam.
"Gimana pun gue berbusa, yang jalanin ya elo sama Ridho. Gue nggak bisa ngapa-ngapain selain kasih dukungan dan penampungan kalau benar-benar ucapan gue jadi kejadian." Kania menekankan, "Lo tahu sendiri, orang yang lagi jatuh cinta bisa sinting dan bodoh kayak gue kemaren. Lo bisa nilai sendiri, Bra. Tapi, saran gue satu lagi, lo ngomong sama emak bapak lo sendiri. Gitu-gitu, mereka juga bisa kasih saran yang agak masuk akal. Ya, kali, mereka sama sekali nggak peduli dan biarin lo gitu aja. Dahlah, gue ngoceh panjang lebar kayak gini, gue ngerasa mau ketawa sendiri, kok bisa si Kania sok bijak. Kemaren aja hawanya ngebucin. Yailah, jatuh cinta bikin orang sableng bener. Oooh, Dino Sedeeeng. Lo mikirin gue, kagak?" Kania bermonolog, hingga tangannya bergerak-gerak aneh, membuat Gladiola malu sendiri.
Untung saja, otak Gladiola masih normal dan dia merasa butuh ke rumah orang tuanya untuk meminta pendapat sehingga dia buru-buru pamit kepada Kania sampai tidak sempat lagi menikmati soto pesanannya.
"Ya, balik aja sana. Gue ntar lagi pulang. Ngabisin soto lo dulu. Sayang. Hihihi, ama soto aja gue sayang, apalagi Dino. Waduh, kacau otak gue. Baliklah sana, lo, Bra." Kania mengoceh sendiri dan memandangi mangkuk soto milik Gladiola yang dari tadi belum tersentuh sama sekali.
Begitu bayangan Gladiola menghilang, Kania meraih sendok dan mulai menyeruput kuah soto yang separuh dingin. Dia terbatuk sebelum sempat menuang sambal dan yang mampir di telinganya adalah suara berisik menyebalkan dari bibir pria yang seumur hidup selalu mengganggunya.
"Dina, Dino, Dina, Dino. Si cemen itu sudah gue sunat di Palembang."
"Bacot, loh. Dahlah. Matiin telepon lo. Gue sebel banget, lagi curhat dimandorin ama lo. Udah di ujung dunia, masih aja kepo ama Ola. Dia mau kawin."
Sebuah kekehan terdengar. Agak sedikit lebih riang daripada beberapa hari terakhir dan Kania juga, meski ogah mengakui, dia juga agak sedikit senang.
"Bodohlah. Yang penting gue masih punya kesempatan." pongah, Hans menjawab dan balasannya mendapat sindiran telak dari adik perempuannya tersebut.
"Mimpi. Dia nggak nolak. Artinya, lo nggak punya kesempatan. Cowok baik kayak Ridho cuma ada satu di antara semilyar dan gue yakin, dia bakal berdiri membela Ola dari saudara dan emaknya sendiri."
Kania bisa mendengar suara klakson kapal dari seberang saluran dan menebak, sedang ada kapal besar lewat ketika sang abang sedang bicara kepadanya.
"Lagian, dia nggak bakal noleh sama sekali kepada lo, cowok yang sedikit pun nggak pernah ada usaha memperjuangkan dia. Cuma modal jomlo doang bertahun-tahun. Ola nggak bakal percaya, Hans. Lo udah terlalu pede dan bangga sama diri lo selama bertahun-tahun. Ola bukan lagi orang yang sama kayak yang dulu suka lo goda. Dia udah berubah dan gue sangsi dia bakal melepas Ridho. Ada cowok yang mau berjuang buat dia aja sudah buat dia janji, nggak bakal noleh sama orang lain lagi, kecuali dia mati ditabrak onta."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro