Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45

Alhamdulillah, udah ada yang komen lagi. Eke seneng. Yang pelit komen, moga kantongnya bolong, jadi kalo naro recehan jatuh mulu. Biar diambil ama bocah buat isi kuota FF.

Betewe di sebelah olahans udah mo tamat. Tinggal 1 epilog lagi. Bab boks boks ama Bang Dodo udah eke posting di KBM, Karyakarsa, dan juga Nihbuatjajan. Yang duitnya terbatas, boleh noh, ke akun eke Nihbuatjajan. Mayan lebih murce dari KK dan ga perlu pake koin. Eke juga udah apdet 2 bab "Kabur ke Bali" ama bab Shopee terima paket. Wkwkwk.

Bentar lagi eke posting work baru, insyaallah giliran dia terbit. Sehari ewang. Eh, ewang bahasa Indonesia apa bukan, yak? 🤭

Terbitnya kalo bab awal di watty juga dapet giliran. Tapi, kalo dah bab 10 ke atas, maap-maap, yang VIP dapet jatah lebih cepat setahun lebih dulu dibanding kalian🤭

Yang pertama Not So Perfect Love Story, Neng Alaia dan Pak Aayas.

Yang kedua, Sebaris Cinta dari Halaman Pertama yang aslinya mo eke kasih judul, "Pelakor Lenje Gila Korea Merebut Tunanganku" yang eke batalin, gile aje, panjang ga muat kalo ditemplokin di depan cover buku🤭🤭

Dahlah, baca bab ini sambil misuh juga boleh. Puas-puasin noh. Tar eke muncul lagi kalo open PO, ini kalo kalian pada malas komen. Silahkan nabung  ya. Eke mo buat tebel+Hard Cover.

Yang pesen lewat penulis dapat gift. Yang olshop, nggak.

***

45 Pelangi di Langit Gladiola

Hari Minggu pagi, Gladiola pada akhirnya menampakkan wajah di depan rumah keluarga Adam setelah berminggu-minggu absen. Kedatangannya tidak sendiri. Ada Ridho yang ikut mengantarnya. Waktu tiba, Hans sedang berada di pekarangan, mengeluarkan beberapa buah kipas angin dan Gladiola menduga dia sedang membersihkan semua benda tersebut.

“Assalamualaikum.”

Hans langsung berhenti bekerja. Dia bahkan refleks berdiri dan menjawab salam Gladiola. Sesaat, dia sempat diam karena memperhatikan penampilan wanita muda itu. Sebuah celana jin model boyfriend, sepatu berhak lima senti berwarna fuchsia serta kemeja lengan panjang berwarna hampir mirip dengan sepatunya. Rambut Gladiola digelung dan dirapikan dengan sebuah bandana motif bunga. Make up-nya juga tidak menor. Tipis saja. Tapi, Hans merasa udara di sekitarnya telah habis sehingga membuatnya megap-megap kesusahan mencari oksigen. 

Sial. dulu si keriting itu tidak seperti itu. Kini, secuil ikal yang keluar dari balik bandananya membuat tangan Hans gatal. Tidak. Dia tidak menyukai ikal-ikal itu. Hans terpaksa memejamkan mata dan berusaha meraih lap yang tadi jatuh di bawah kakinya. Suara Ridho kini mengganggu gendang telinganya.

“Yang, sarapannya ketinggalan.”

Yang? Peyang? Kuyang? Apakah pria kurang ajar itu tidak punya panggilan lain? Anehnya, Gladiola tampak senang-senang saja mendapatkan panggilan tersebut. Dengan langkah ceria, Gladiola kembali mendekat ke arah Ridho dan mengambil sebuah kantong kresek bening berisikan beberapa boks sterofoam. Sesuai kata pria yang kini sudah turun dari motor bebek matik itu, isinya adalah bubur.

“Siang aku jemput, ya.” suara Ridho terdengar lagi sewaktu Gladiola selesai menerima kantong pemberiannya. Wanita itu mengangguk dengan senyum merekah dan dia tidak menolak sewaktu Ridho mengusap pipi kanannya dengan lembut. Mereka saling pandang selama beberapa detik sedang Hans sesekali mencuri lihat dari belakang.

Sewaktu motor yang Ridho kemudikan berlalu meninggalkan dirinya dan Gladiola meniti jalan menuju pintu masuk, Hans berdeham. Suaranya berhasil membuat Gladiola menoleh ke arahnya.

“Hans? Tumben nggak jalan.” 

“Mama sakit, Nia masih lesu.” balas Hans sambil menunjuk ke arah dalam rumah dengan bibirnya. Kemarin, ibu sahabatnya memaksakan diri untuk kembali ke rumah. Lagipula, putrinya sudah berada di Jakarta, di rumah mereka. Tidak ada alasan bagi wanita itu untuk berlama-lama di rumah sakit.

“Kemarin gue telepon mama, beliau bilang udah baikan.” Gladiola berhenti melangkah untuk memperhatikan Hans yang kini melepaskan baling-baling salah satu kipas angin. Biasanya, dia bakal langsung masuk rumah. Tapi, kali ini kakinya agak sedikit membangkang dan memilih untuk memperhatikan mantan gebetannya itu untuk alasan yang dia sendiri tidak tahu.

“Memang. Tapi masih belum kuat ngerjain pekerjaan rumah.”

“Ya, jangan disuruh, dong, Hans.” suara Gladiola terdengar agak lebih tinggi sehingga Hans menoleh ke arahnya. Hari itu, Hans memakai kaus oblong berwarna putih dengan tulisan Work Out di bagian dada dan celana kolor berwarna khaki seukuran lutut. Gladiola bisa melihat bulu kaki pria itu melindungi kulitnya yang berwarna putih.

“Nggak gue suruh. Lo nggak lihat, apa, sekarang gue ngerjain ini semua?” Hans menunjuk ke arah kipas dan Gladiola sadar kalau mereka mulai kembali ke mode bertengkar. 

“Iya, gue lihat.” Gladiola memilih mengalah. Dia merasa tidak ada gunanya berdiri di tempat tersebut lebih lama lagi, terutama karena Hans terlihat seperti hendak melempar gagang kipas ke arahnya. Melarikan diri adalah solusi dan dia senang ketika akhirnya bisa melihat bayangan Kania sedang duduk di ruang keluarga, memencet-mencet remot TV dengan tatapan kosong. 

“Assalamualaikum. Gue datang, Bra.” 

Gladiola meletakkan kantong bubur ke atas meja. Dia kemudian mendekat ke arah Kania dan ikut duduk di sebelahnya.

“Lo oke?” Gladiola menyentuh pelan bahu kiri sahabatnya dan mendengar suara familiar di telinganya membuat Kania sadar. Dia menoleh sejenak dan mendapati kalau Gladiola sedang memandanginya. Mata wanita tersebut terlihat sembab. Wajar saja, pikir Gladiola. Kania sedang patah hati.

“Sakit.” Kania menunjuk dadanya sendiri. Air matanya tahu-tahu jatuh dan bahunya naik turun.

“Dia nggak peduli sama sekali. Abis gue dibawa pulang sama Hans …” Kania berhenti bicara. Gladiola sudah memeluknya dan dia kemudian kembali menumpahkan semua emosi yang dia tahan-tahan sebelum kedatangan Gladiola ke tempat itu. 

Gladiola sendiri memilih untuk mengusap punggung Kania dan membiarkan dia selesai menangis sebelum akhirnya dia sendiri mengambil giliran untuk bicara. Tetapi, hingga lewat lima belas menit, ratu drama di keluarga Adam tersebut terus menangis dan Gladiola hanya di sana mendengarkan. Ketika Hans muncul ke ruang tengah sambil membawa salah satu kipas yang tadi dia bersihkan, pria itu melirik sekilas ke arah Gladiola yang tampak santai walau bahunya menjadi tumpuan tubuh sahabatnya.

“Nangis lagi.” Hans pura-pura sibuk menyetel kipas angin yang letaknya tidak jauh dari televisi. Gladiola langsung melemparkan tatapan sebal kepadanya dan Kania sendiri, dengan air mata bercucuran langsung membalas, “Diam, lo. Gue nggak ngajak lo ngomong, tauk?”

Astaga, dua bersaudara ini, pikir Gladiola. Dia yang melihatnya merasa malu dengan kelakuan mereka berdua. Usia Hans dan Kania sudah di atas dua puluh lima tahun. Akan tetapi, kelakuannya persis anak umur sepuluh tahun. 

“Baru ditinggal laki-laki brengsek gitu aja lo udah ngerasa dunia runtuh? Untung belum kawin. Bini pertama dia aja udah kabur. Modelan laki papan penggilesan gitu. Gue nggak ikhlas.”

Kania berdiri lalu melawan Hans yang baru selesai mencolok kabel listrik kemudian menuding abangnya, “Lo yang gila, sok kecakepan.”

“Emang gue ganteng.” Hans membalas. Dia menghindar sewaktu Kania mencoba memukul lengan abangnya tersebut dan Gladiola seolah dipaksa lagi melihat kejadian bertahun-tahun lalu yang pernah dia lihat saat mampir ke rumah tersebut. Rasanya baru kemarin. Tapi, dia ingat sekali, waktu itu yang menahan tangis di dalam hati adalah dirinya sendiri sedang Kania berdiri dengan gagah berani membela dirinya yang patah hati karena Hans.

“Gue benci sama lo, Hans. Benci banget.” Kania berhasil meraih tangan kanan Hans. Dipukulnya kuat-kuat tangan sang abang. Air mata si bungsu meleleh hingga hidung sewaktu dia menangis sehingga Gladiola harus berdiri demi melerai sahabatnya yang dimatanya mulai menggila. Apakah Kania jadi depresi.

“Benci aja sesuka lo. Tapi, gue yang pertama bakal mukul dan nyiksa cowok mana aja yang kurang ajar sama adik kandung gue. Mati buat dia juga gue rela.”

Hans membiarkan Kania memukul tubuhnya. Tapi si bungsu malah menjerit histeris sewaktu mendengar Hans berkata kalau dia rela mati. Bukan seperti itu respon yang dia inginkan dari bibir abangnya sewaktu dia marah. Dia ingin Hans balas memukulinya biar nyeri-nyeri di hatinya tergantikan dengan sakitnya pukulan. Sayangnya, Hans masih diam di tempat dan suara mama mereka yang keluar kamar dengan dahi berhiaskan koyo adalah pemandangan yang membuat air mata Gladiola runtuh begitu saja. 

"Masih berantem? Kalian nggak sayang sama Mama?"

Mama Hans dan Kania berbeda dari mama Gladiola. Mama Hans yang dikenal Gladiola dengan nama Mama Ida adalah wanita berperawakan montok, berkulit putih langsat yang membuat Gladiola minder saat dekat dengannya. Tapi, Mama Ida punya suara dan kasih sayang yang membuat siapa saja yang berkenalan pertama kali dengannya bakal jatuh sayang. Gladiola adalah salah satu di antaranya. Dia amat berharap diangkat anak oleh wanita itu dan berkhayal menjadi anak keluarga Adam. Tapi, mimpi hanyalah mimpi. Keluarganya, meski punya suara dan sifat agak kurang elok kepada Gladiola adalah satu-satunya yang dia punya. Dulu, dia berpikir saat pembagian orang tua di akhirat, rambut keritingnya membuat dia mendapatkan diskriminasi. Hanya saja, mengingat di belahan lain Indonesia banyak ibu yang membunuh putra-putri mereka bahkan sebelum dilahirkan atau tidak sedikit yang dibuang di tempat sampah atau panti asuhan, membuat Gladiola bersyukur, dia masih dianggap anak oleh kedua orang tuanya. 

"Hans, Ma." Kania menunjuk abangnya sambil masih tersedu-sedu yang membuat Gladiola berpikir, patah hati telah menjadikan sahabatnya kembali ke usia anak-anak. Sedang Hans sendiri yang masih waras memilih diam. 

"Udahlah, Ni. Gue nggak datang jauh-jauh ke sini buat lihat kalian berdua berantem. Kasihan Mama, tahu. Kalau lo nggak mau, biar gue aja yang ambil mama lo." Gladiola memecahkan keributan pagi itu dengan berjalan mendekat ke arah Mama Ida. Diraihnya tangan ibu sahabatnya tersebut dan diciumnya punggung tangan wanita yang dulu pernah dia harap jadi mertuanya itu. 

"Lama nggak main ke sini, La. Mama sakit." ujar Mama Ida. Bibirnya melengkung dan dia menciumi pipi Gladiola dengan penuh kerinduan, "Udah cakep banget kamu. Mama sampai pangling. Kirain model dari luar negeri."

"Ah, Mama suka lebay." Gladiola bersungut. Bibirnya maju tanda ucapan ibu sahabatnya itu agak berlebihan. Dia sekarang maupun yang dulu adalah orang yang sama. Beruntung dia punya lebih banyak uang dibandingkan lima tahun lalu sehingga sudah bisa membeli perawatan muka yang layak untuk memelihara kulitnya agar tetap sehat. 

"Mama nggak bohong, La. Kamu cakep banget sekarang. Wangi pula. Pantes Hans kesengsem." 

Entah sengaja atau tidak ucapan yang keluar dari bibir Mama Ida, tetapi, nyatanya telah berhasil membuat mereka berempat saling tatap dalam diam. Selang beberapa detik, Gladiola tertawa dengan suara besar sehingga membuat baik Hans maupun Kania langsung sadar kalau satu-satunya orang yang bukan keluarga Adam tersebut merasa telinganya salah dengar.

"Ma, Ola bawa oleh-oleh. Buat Mama sama Papa. Oh, iya, buat Nia juga. Nggak tahu lo kemarin di Palembang sempat beli atau nggak, tapi, gue pikir lo sibuk paca …"

Hans melotot memandangi Gladiola yang sepertinya tidak sadar kalau bibirnya lancar membahas soal Kania dan Dino sehingga dia sendiri dengan refleks memukul bibir. Padahal, belum genap lima menit, Kania terisak-isak menyalahkan Hans atas patah hatinya.

"Sori-sori. Gue nggak maksud."

"Lo sama aja." Kania menghentakkan kaki. Air matanya banjir lagi dan Gladiola yang merasa bersalah kemudian menggaruk-garuk pelipis lalu berkata, "Bukan gitu, Bra. Gue salah …"

Kania mendorong Hans sehingga sang abang hampir menabrak kipas angin yang tadi dia perbaiki lalu wanita dua puluh lima tahun itu berlari menuju kamar sementara Gladiola memarahi dirinya sendiri telah lancang bicara sembarangan.

"Eh, Nia. Tunggu dulu." 

Gladiola refleks mengejar Kania dan melemparkan kantong oleh-olehnya kepada Hans yang memang berdiri tidak jauh dari dirinya sementara Mama Ida memandangi kekacauan pagi itu sambil menghela napas.

"Adekmu itu, Hans. Kelakuannya kayak bocah. Laki-laki nggak cuma Dino. Tapi, dia ditinggalin kayak perawannya habis dibawa kabur oleh pria gila itu. Aduuuh, kepala Mama pusing banget mikirin Nia."

Hans menaikkan alis melihat kelakuan ibunya. Memang kondisi sang mama belum terlalu pulih dibanding dia yang biasa. Tetapi, nada suaranya terdengar jauh lebih jahil dan sikapnya sekarang ini persis sekali dengan yang selalu dia lakukan saat ini melarikan diri dari masalah. Bukankah sekarang Kania sudah bersama pawangnya, alias Gladiola sehingga mama Hans tidak perlu lagi mengejar putrinya lalu meyakinkan Kania kalau semua bakal baik-baik saja?

Yang jadi perhatian Hans adalah kata-kata Mama Ida tadi yang sempat membuat jantungnya seolah ditarik keluar dari tempatnya. Setelah pengakuan Hans pada hari Jumat malam sebelumnya, Gladiola bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan dia amat tidak suka menyaksikan kedatangan Ridho yang mengantarnya tadi. Rasanya seperti Gladiola sengaja menunjukkan kepada Hans kalau dia punya Ridho untuk melakukan segalanya.

"Jangan kabur, Ma. Mama mesti tanggung jawab sudah kelepasan ngomong yang bukan-bukan sama Ola tadi." 

"Eh, ngomong yang bukan-bukan apa? Bukannya itu kenyataan? Harusnya kamu sudah di Pekanbaru sekarang. Tapi, gara-gara Ola balik lagi ke Jakarta, kamu mundur dari tugasmu. Padahal komisinya lumayan, kan?" balas Mama Ida kepada Hans yang langsung mematung ketika mendengar ucapan tersebut.

"Kamu nggak keren, sih. Mama dengar nggak lama lagi Ola mau dilamar sama cowoknya. Masak kamu kalah sama anak supermarket itu? Atau gini aja, kamu Mama kenalin sama anak buah Papa, mau?" 

Hans mendengus mendengar ucapan sang mama. Ingatkan dia siapa yang beberapa menit lalu merasa pening dan sakit kepala. Kini, ibunya seperti tidak pernah kena penyakit dan terlihat cukup ceria.

"Senang aja lihat mukamu kusut." 

Mama Ida tertawa dan suaranya persis sekali dengan ibu-ibu jahat di sinetron yang berhasil menjatuhkan menantunya ke lubang sumur. Sungguh menyebalkan dan anehnya, bukannya membantu anak bujangnya yang sudah semakin lapuk, wanita itu malah amat puas melihat Hans terseok-seok dan hanya mampu memandangi Gladiola dari jauh tanpa bisa banyak bicara seperti yang selalu dia inginkan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro