Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44

Bab segini masih datar aja ceritanya, karena si Ola masih bahagia ama Ridho.
Kalo eke matiin Ridho, klean hepi?

Ujungnya jadian sama siapa, hayo?

Kalo eke, mah, selalu ya  ML ama FL biar kata dunia protes, wkwk.

Betewe, bentar lagi ada part spesial, di KK. Di KBM paling nambah 1 bab lagi karena part berikutnya terlarang. Buat yang males beli koin di karyakarsa eke kasih solusi di NihBuatJajan. Tinggal ketik aja namanya dan tambahin eriskahelmi, itu bisa beli pake apa aja, dan ga ada app. E betewe sudah eke bilang, ya, kalo beli2 karya eke, artinya dah selamanya milik kalian. Jangan disebarluaskan kecuali engkau reseller eke, yang cuma beberapa bijik itu. Lainnya kaga ada Hak menjual, melainkan Hak baca tok. Kan, versi gratisan dah dikasih di WP.

Salahnya adalah, pas masih gratis kaga dibaca, pas dah diapus marah2.

Itu juga, yang kaga polow eke, polow, dah. Apaan kalian ngemeng eke fans berat, tapi pollow aja kagak, pret lah. Kayak omongan Dino, duda konak yang g ada duit, ke hotel aja rencananya mo minta bayarin Nia.

Ada 2 work baru nanti beriringan. Ga usah tanya work lain yang ga ada.  Diem-diem aja di sini.

***

44 Pelangi di Langit Gladiola

Beberapa hari sepeninggal Hans dan Kania kembali ke Jakarta, Gladiola jadi sering mengecek ponselnya sendiri demi mencari tahu perkembangan terakhir ibu dari sahabatnya tersebut. Dia juga mencemaskan keadaan Kania, tetapi, Kania sendiri sepertinya masih merajuk sehingga dia tidak punya pilihan lain selain bertanya kepada Hans.

Tentu saja Gladiola melakukannya saat waktu kerjanya usai. Dia juga ingat, di hari Jumat malam, menjelang kepulangannya esok Sabtu, dia bicara dengan pria itu seperti Hans adalah sahabatnya sendiri. Gladiola bahkan lupa kalau seminggu sebelumnya selalu bertengkar dengan Hans karena terus-menerus diganggu pria tersebut dalam urusan mencari Kania. 

Kini, setelah adiknya jadi banyak berubah akibat pelariannya dengan Dino, Gladiola bohong kalau dia tidak cemas. Tidak lama setelah tiba di Jakarta, Hans memberi tahu kalau keadaan Kania seperti orang linglung. 

“Masak dia jadi gitu? Nggak diguna-guna sama si Dino-Dino itu, kan?” 

Gladiola jarang menuduh orang. Tapi, menurutnya si Dino itu sudah sangat kelewatan. Dia juga pernah patah hati, tapi tidak sampai membuatnya jadi seperti orang gila.

“Bukan. Dia kaget sewaktu lihat Mama yang memang sakit.” jawaban pelan yang keluar dari bibir Hans membuat Gladiola sadar kalau tuduhannya salah. Tapi, mau meminta maaf kepada Dino juga percuma. Kalau pun mereka bertemu, Gladiola lebih suka marah-marah kepadanya karena telah membuat seorang ibu jatuh sakit. 

“Terus si Dino itu gimana?” tanya Gladiola lagi. Nadanya sudah seperti seorang investigator polisi. Dia malah lupa kalau saat ini seharusnya dia mandi dan memilih bergulingan di atas tempat tidur empuk. Ah, bila teringat cita-citanya dulu yang tidak muluk-muluk, bisa berkeliling Indonesia, naik pesawat, keluar masuk hotel, Gladiola ingin tertawa. Tuhan begitu mudah mengabulkan pintanya. 

Apakah dia boleh meminta pinta lain? Seperti menyatukan dirinya dan Ridho dalam satu bahtera rumah tangga? Seorang pria baik yang yang mampu membuatnya menerima dan mencintai dirinya. 

"Nggak bisa dihubungi. Kayaknya nomor Nia dia blokir. Buktinya waktu gue telepon pakai nomor lain, nadanya ada." 

Alis Gladiola berkerut. Mendengarnya saja dia merasa amat kesal. Bagaimana bisa sikap Dino jadi seperti itu. Padahal sebelumnya dia sudah melarikan anak gadis orang. 

"Kurang ajar banget." Gladiola yang emosi, tanpa sadar memukul tempat tidur, "Gue masih di Palembang. Kalau perlu, besok pagi gue cari dia lalu seret ke Jakarta buat minta pertanggungjawabannya."

"No. Nggak perlu, La. Nia kayaknya trauma juga lihat muka dia. Dikiranya, selama ini Dino bakal bela dia mati-matian. Tapi, sekali berurusan ama gue aja dia kabur. Nggak tahu gimana nasib bini pertamanya, cuma, gue nggak heran mereka cerai."

Gladiola setuju sekali soal hal tersebut. Dia bahkan mengangguk-angguk sewaktu Hans membeberkan hasil penyelidikannya selama beberapa hari di Palembang. 

"Suka KDRT juga." 

"Amit-amit." Gladiola memotong sebelum Hans menyelesaikan kalimatnya. Hal tersebut segera membuat Hans terdiam.

"Tuhan masih baik jauhin mereka berdua sebelum sempat nikah." Gladiola bicara lagi. Tapi, kemudian dia segera sadar dan melanjutkan ucapannya, "Nia udah ditanyain lagi, soal Dino yang udah berbuat jauh sama dia?"

Topik yang amat sensitif sebenarnya. Tapi, Gladiola bohong kalau dia tidak penasaran. Kania masih belum mengangkat telepon darinya. Gladiola tidak marah mendapat perlakuan demikian. Dia sudah terbiasa. Nanti, Kania sendiri yang akan mencari-carinya bila butuh. Toh, tidak satu atau dua kali saja dia mendapati sikap tuan putri dari keluarga Adam seperti itu. Dibandingkan adik kandungnya sendiri, Gladiola merasa dia lebih paham sikap Kania. 

Ada keheningan di seberang saluran telepon. Gladiola yang masih berbaring, kemudian memutuskan untuk duduk saking dia tidak tahan.

"Hans. Gue nanya." 

Usai bicara seperti itu, Gladiola cepat-cepat menampar bibirnya sendiri. Semoga nada bicaranya tadi tidak terdengar manja. Dia terbiasa bicara kepada Ridho dan tidak sengaja menggunakan nada yang sama kepada Hans. 

Jangan sampai, Hans salah sangka. Dia tidak bermaksud menggoda pria itu, serius.

"Nia bersumpah, dia sama Dino belum berbuat sejauh itu." ujar Hans pada akhirnya, sehingga membuat Gladiola mengucap syukur di dalam hati. Semua orang boleh saja bilang, hal tersebut adalah hak Kania karena dia hidup sebagai seorang perempuan bebas. Namun, sebagai seorang wanita, Gladiola amat berharap kalau Kania bisa mempersembahkan kesuciannya untuk suami masa depannya nanti. Dia juga seperti itu, mempersiapkan mahkotanya kepada Ridho kelak.

"Cuma, kalau lo nggak nelepon gue waktu itu, ada kemungkinan si Dino bakal bawa Nia ke hotel. Mereka sudah … " 

Ada nada tercekat ketika Hans menghentikan ucapannya dan Gladiola harus menebak-nebak kelanjutan kalimat tersebut. Bahkan, mereka sempat saling diam ketika otak masing-masing berusaha memaknai nasib Kania bila waktu itu Gladiola egois menolak menghubungi Hans. 

"Mungkin itu juga penyebab Nia jadi pendiam. Tapi, sudahlah. Semua sudah lewat. Gue bakal berusaha jaga dia dan pastiin jadi abang yang baik buat dia terutama dalam kondisi kayak gini."

Hans sudah banyak berubah sejak Kania memilih minggat. Tapi, Kania juga belum begitu bisa bersikap dewasa, pikir Gladiola. Tidak hanya sahabatnya, Ranti adiknya juga seperti itu. Apakah hal tersebut adalah kecenderungan sifat yang dimiliki oleh anak bungsu, dia tidak tahu. Yang pasti, Gladiola yang sudah kenyang dirundung, mesti berhati-hati bila ada yang tiba-tiba naksir. Kepada Ridho, dia juga tidak sembarangan membalas perasaannya. Pria itu juga telah menunggu lama untuk …

"Jadi, besok lo pulang jam berapa?"

Suara Hans membuyarkan lamunan Gladiola dan dia sadar kalau waktunya di Palembang tidak lama lagi.

"Berangkat jam delapan." 

Gladiola tidak mengerti ke mana hilangnya suara yang dulu selalu ketus keluar dari bibirnya setiap menjawab pertanyaan abang sahabatnya tersebut. Tetapi, dia berpikir, Hans telah bertanya dengan ramah dan akan kurang ajar sekali bila dia membalas dengan kasar. 

"Lo mau gue jemput?"

Yang ini juga. Seharusnya Gladiola merasa marah. Apakah Hans lupa kalau saat ini Gladiola punya Ridho? Urusan jemput-menjemput adalah pekerjaannya, bukan pria lain. Bahkan, papanya saja tidak pernah melakukan hal tersebut. Alasannya sudah jelas. Bandara terlalu jauh dari rumah. Bila nekat menjemput, papa bakal kehilangan banyak rupiah dari mengantar penumpang. Jika sudah begitu, mama sudah pasti bakal mengoceh karena pendapatan suaminya berkurang. 

Toh, setelah tiba di Jakarta, rumah orang tuanya juga bakal dia datangi.

Lalu, kenapa Hans mau jadi sukarelawan dalam urusan yang sudah menjadi kewajiban Ridho Panca Pratama alias kekasih Gladiola?

"Ola?"

Suara Hans terdengar lagi dan Gladiola tergagap begitu dia sadar, di sebelah, Hans sedang menunggu jawabannya. 

"Nggak perlu. Ridho sudah bilang bakal jemput gue."

Hening. 

Mereka saling diam. Gladiola kemudian memutuskan untuk kembali berbaring. Ponsel dia letakkan di atas tempat tidur dan dia menekan tombol pengeras suara sementara dirinya sendiri kemudian berbaring terlentang. Dia tahu, Hans masih di seberang, tapi, pria itu memilih tidak bicara lagi. 

Sesekali, Gladiola memejamkan mata, membayangkan bahwa esok hari, Ridho bakal berdiri menunggunya dengan senyum terkembang dan Gladiola muncul dari dalam bandara sambil mendorong koper. Hal yang sama selalu berulang selama hampir satu tahun terakhir, setiap bulan, dan Gladiola selalu hapal siklus kebiasaan mereka.

"Lo masih mau ngomong, nggak? Kalau nggak, gue matiin." Gladiola bicara lagi setelah lima belas detik keheningan di antara mereka tidak berkembang menjadi pembicaraan panjang. Dia merasa kemampuan adu mulut yang selama ini dia miliki setiap berhadapan dengan Hans menguap entah ke mana. 

"Lo jaga aja Nia kalau memang lagi senggang. Dia lagi butuh lo sebagai abang. Oh, iya, mama kalian juga. Gue paham benar gimana rasanya."

Pendingin ruangan di kamar tempat Gladiola saat ini berada menghembuskan udara sejuk yang entah kenapa membuat pandangan matanya berkabut. Kedua tangannya sudah terlipat di dada dan dia merasa memejamkan mata di saat seperti ini adalah solusi yang amat baik. 

Lo belum mandi, La. Belum cuci muka. Ntar muka lo jerawatan, Gladiola memarahi dirinya sendiri. Tapi, sebenarnya sudah tidak banyak lagi pekerjaan yang bisa dia lakukan. Semua pakaian sudah terlipat di dalam koper kecuali yang dia pakai sekarang. Oleh-oleh juga sudah di-packing dengan rapi. Dia juga mendapat cinderamata dari kantor cabang yang belum dibukanya sama sekali dan setelah hampir satu minggu yang panjang, hari inilah Gladiola bisa bersantai. 

Lalu, besok dia akan bertemu Ridho kembali. Si tampan itu sengaja mengosongkan hari supaya mereka bisa menghabiskan waktu bersama hingga malam. Akhir pekan yang indah dan jika tidak salah, kekasihnya sudah memesan dua buah tiket untuk mereka menonton. 

"Lo tahu, nggak? Kadang gue marah sama diri gue karena sudah begitu bodoh. Nggak satu atau dua kali, gue berharap bisa menendang Ridho dari hati lo …"

Gladiola mengerjap. Apakah telinganya salah dengar? Hans yang asli tidak bakal bicara seperti itu. Mustahil. 

"Gara-gara lo, La, gue nggak pernah bisa lihat wanita dengan cara yang sama lagi."

Suara Hans di telepon terdengar gemerisik dan Gladiola akhirnya tidak tahan dengan rasa kantuknya sendiri. Tidak ada yang bisa dia lakukan, kecuali memejamkan mata dan masa bodohnya jika dia lupa memutuskan panggilan. Hans sendiri yang bakal melakukannya jika dia sudah bosan.

Mandi? Sepertinya dia akan melewatkan hal tersebut malam ini. 

Jerawat? 

Sudahlah, hal itu bakal dia pikirkan lain kali.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro