38
Gaes, yang baca di KK ama KBM sabar, yes. Eke lagi ngetik Bra-Bra kita di Bali, yang kemaren itu lo, yang anunya udah dicek ama Hans🤭🤭, itu yang penyok-penyok, ingat, ga?
Yang laen ga usah bacak di KK dan KBM, ga bagus.🤭 ini cuma bab khusus buat yang tahu aja. Wkwkwk. Pada girang semua dah yang di sebelah.
Kalian jangan brisik yes.
Baca aja yang ini. Sama kasih komen.
***
38 Pelangi di Langit Gladiola
Menjelang azan Magrib, Gladiola pada akhirnya baru bisa menghela napas lega. Pada saat itu dia sudah berada di kamar hotel. Dua orang staf menjemputnya dari bandara dan Gladiola merasa amat bersyukur bisa terpisah dari Hans yang sepanjang waktu bertanya kepadanya bak seorang wartawan. Dia yang kadung kesal karena ucapan Hans saat berada di pesawat tadi kemudian tidak lagi menoleh kepada pria itu. Sayangnya, Hans sendiri memilih sebaliknya. Dia malah membantu mengambilkan koper Gladiola dan membawakannya hingga ke luar terminal sehingga gara-gara hal tersebut dia disangka berpacaran oleh dua staf yang menjemput.
Pacaran. Huh. Dulu hal tersebut adalah impiannya. Tapi kini, menyadari bahwa dia tahu banyak segala keburukan Hans yang sepertinya tidak ditutupi sama sekali oleh pria itu, membuatnya berpikir dua atau tiga kali untuk kembali merasakan naksir seperti dulu kala. Bagaimana bisa dia merasa kagum lagi kepada Hans?
Gladiola kemudian sadar dia belum berkabar dengan orang-orang terdekatnya. Karena itu juga dia lantas meraih ponsel yang tadi diletakkan di atas kasur lalu mulai mengaktifkan layar.
Aku udah sampai di hotel, Mas.
Pesan pertama dia kirim kepada Ridho dan langsung terbaca oleh pria itu sehingga membuat senyum di bibir Gladiola mengembang. Selagi menunggu balasan, dia kemudian memberi kabar yang sama kepada papa.
Mbak sudah di Palembang.
Pesan kepada papa hanya centang satu. Biasanya jam segitu ayahnya sedang mengantar penumpang. Tapi, centang satu bisa berarti data internet sang ayah belum menyala. Yang paling buruk tentu saja, papa kehabisan kuota. Tapi, bila di rumah nanti ada internet dari ponsel mama dan biasanya papa menggunakan hotspot dari ponsel mama untuk memeriksa pesan masuk. Yang pasti, dia sudah memberitahu keadaannya.
Bra, gue sudah di Palembang. Di hotel di daerah R Sukamto. Kabari gue posisi lo. Gue masih free di sini sampai besok pagi karena gue ngisi acara.
Pesan kepada Kania agak lebih panjang dari yang lain karena dia memberi beberapa informasi pada pesannya. Dia harap posisi Kania tidak terlalu jauh dari hotelnya berada. Sejujurnya, Gladiola belum pernah ke Palembang dan bertemu Kania sudah pasti bakal membuatnya senang dan artinya dia tidak sendiri. Beberapa staf yang tadi menyambutnya sudah menawari kalau Gladiola ingin berkeliling, akan tetapi, dia menolak. Gladiola masih ingin meluruskan tubuh dan dia bukan termasuk wanita yang gemas berkeliling kota apalagi saat ini masalah Kania sudah menjadi masalahnya juga.
Sebuah pesan masuk lagi. Tapi, yang dia kira berasal dari Ridho ternyata bukan. Pria itu malah tidak lagi mengetik dan sedikit membuat Gladiola penasaran apa yang terjadi di seberang sana. Namun, fokus perhatiannya kini adalah kiriman pesan dari Hans yang membuat alisnya naik.
Hotel kita nggak jauh. Mau makan bareng? Atau mau ikut keliling Palembang malam ini cari Nia?
Hans adalah definisi orang yang kurang melakukan persiapan, menurut Gladiola. Dia bahkan tidak mengerti tujuan Hans ke Palembang apakah benar mencari adiknya atau untuk menguntit Gladiola karena dia terlihat seperti orang yang hilang arah. Pertama, siapa orang yang memberi tahu kalau Kania ada di Palembang? Mengapa Hans tidak menghubungi orang itu dan mendesaknya untuk mengantarkan Hans menuju Kania. Yang kedua, entah apa yang sekarang ada di dalam pikiran Hans, mengajak Gladiola makan malam bersama lalu jalan-jalan? Itu saja sudah membuat Gladiola menyangsikan kewarasan pria itu. Jika Ranti adiknya minggat, Gladiola akan melakukan segala cara supaya adiknya bisa ketemu. Boro-boro makan, yang ada malah dia yakin tidak bisa tidur satu minggu.
Gladiola mengabaikan pesan tersebut ketika tidak lama dering telepon membuatnya tersenyum lebar. Rupa-rupanya Ridho yang menelepon. Gladiola pun tidak butuh waktu lama untuk menekan layar menjadi panggilan diterima.
“Assalamualaikum.”
Ridho yang terlebih dulu mengucap salam dan segera dia jawab dengan cepat. Tidak lama, terdengar lagi permintaan maaf dari bibir lawan bicaranya tersebut.
“Maaf, agak lama. Tadi salat Magrib dulu.”
Oh, Gladiola lupa kalau saat ini dia di Palembang. Waktu salat berbeda beberapa menit. Dia sendiri sedang tidak salat sehingga lupa tentang perbedaan tersebut.
“Nggak apa-apa, Mas. Kamu sudah pulang?”
Sebenarnya Gladiola tidak terlalu sering berteleponan seperti ini dengan Ridho. Dia adalah tipe yang lebih suka berkirim pesan. Bila merasa ingin bicara, Gladiola akan menunggu hingga mereka bertemu. Biasanya tidak akan lama, sekitar sore atau pagi berikutnya jika sempat Ridho menjemput. Tapi, bila sudah tidak tahan dia akan mengirim pesan WA. Kini, kasusnya mereka terpisah antar pulau dan Gladiola merasa pria itu adalah orang terdekat baginya setelah Kania sehingga kini mendengar suaranya saja telah membuat Gladiola merasa amat senang.
Mereka mengobrol selama beberapa menit dan berhenti karena lawan bicaranya mesti kembali bertugas. Buat Gladiola hal tersebut sudah cukup dan karena dia juga sedang menanti kabar dari Kania, maka pembicaraan dua anak manusia tersebut segera berakhir tanpa banyak drama. Gladiola sendiri kemudian kembali membuka aplikasi Whatsapp miliknya dan menemukan beberapa pesan termasuk dari ketua tim yang sedang mengabsen anak buahnya, dari Tata yang bertanya kabarnya, dari teman satu tim yang cukup akrab dengannya yang bernama Suci, serta lagi lagi, Hans yang membuatnya jengkel.
Kenapa, sih, dengan otak pria itu? Apakah dia tidak punya kekasih untuk diganggu sehingga dia selalu menggerecoki Gladiola dengan pesan-pesannya? Bahkan, menurut Gladiola yang paling penting saat ini adalah menghubungi Kania, bukannya dia.
Ada pempek, La. Mau gue kirim ke hotel lo?
Hans bahkan mengirim gambar sepiring makanan khas Palembang itu kepada Gladiola yang membuatnya menggelengkan kepala. Memangnya, di sekitar hotel wanita itu tidak ada yang menjual makanan serupa? Gladiola bahkan mendapat sebuah pesan baru dari staf yang tadi menemaninya, yang kemudian memperkenalkan dirinya dengan nama Sinta, agar Gladiola mau makan malam bersama-sama.
Ga
Gladiola langsung membalas pesan Hans. Setelah itu dia kembali lagi ke halaman utama aplikasi Whatsapp demi mencari pesan baru dari Kania. Tapi, seperti pesannya tadi siang, pesan malam ini juga belum terkirim, masih centang satu. Mau tidak mau wanita muda itu sedikit merasa cemas. Bagaimana pun juga, kedatangannya ke Palembang sedikit banyak juga dikarenakan dia ingin bertemu Kania dan bertanya tentang kejelasan kasus yang menimpa sahabatnya itu. Dia ingin adil dan membantu Kania mengambil jalan tengah. Dia juga seorang anak perempuan dari ayahnya dan Gladiola berpikir, bila Dino adalah orang baik, maka dia seharusnya menjadi penengah antara Kania dan keluarganya.
Karena Kania menjadi agak defensif berkaitan dengan hubungan asmaranya dengan duda tersebut, Gladiola juga akhirnya menjadi segan untuk banyak membahas soal tersebut ketika mereka bersama.
Gladiola tidak sadar sudah terlelap selama beberapa saat ketika akhirnya suara dering telepon membangunkannya. Dia telah terbaring di atas kasur empuk dan saat kelopak matanya terbuka, dia menyadari suasana kamar temaram. Pantas saja kantuknya datang.
Dering nyaring telepon terdengar lagi dan sang penelepon bukanlah Ridho atau Kania, atau juga staf kantor yang mengurusinya selama di Palembang. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah mantan gebetan dan Gladiola langsung memijat dahi sewaktu melihat nama pria itu terpampang di layar.
“Aah, Hans sialan! Ngapain, sih, lo gangguin hidup gue melulu?” keluh Gladiola sambil menghentakkan kaki di atas tempat tidur. Bagaimana caranya dia bisa lepas dari pria itu sementara setiap hari Hans selalu berhasil menguntitnya seperti ini?
Gladiola mendiamkan saja dering telepon itu hingga akhirnya dia kesal sendiri dan tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali mengangkatnya.
“Lo apa-apaan, sih? Bisa nggak telepon pacar lo aja daripada ganggu gue? Nggak puas seharian tadi lo ngintilin gue?” panjang lebar Gladiola merepet dengan harapan Hans paham, dia sedang meredakan rasa letih. Tetapi suara Hans kemudian membuat dia diam.
“Gue lagi jalan di mal, nggak jauh dari hotel. Coba tebak, gue lihat Nia jalan sama pacarnya. Lo tahu, kalau gue jahat, sudah gue seret dia dan bawa pulang ke bandara sekarang. Tapi, adik gue tersenyum seolah-olah Dino pria terbaik yang dia punya dan perlakuan orang itu ke adik gue nggak jelek-jelek amat. Menurut lo, gue mesti gimana sekarang.”
Gladiola segera bangkit dari tempatnya berbaring dan memilih duduk di atas tempat tidur. Dia berusaha memastikan lagi kalau yang menelepon adalah benar abang sahabatnya dan dia tidak salah dengar. Tetapi, gara-gara itu juga dia sadar alasan Kania tidak membalas pesannya.
Jika dia jadi Hans, peduli amat dengan perasaan Dinosaurus itu. Dia akan menyeret adiknya pulang walau apa pun yang terjadi.
“Mal mana? Gue penasaran. Mereka lagi apa?”
Jika posisinya dekat, Gladiola bisa memesan ojek online. Dia juga sebenarnya amat penasaran dengan gadis sinting yang bisa-bisanya bersikap seperti anak kecil baru kenal cinta monyet. Padahal, seharusnya dia melanjutkan marah-marahnya kepada Hans daripada memikirkan tentang Kania yang sudah pasti sedang kasmaran.
"Lo mau ke sini? Yang bener?"
Hampir tidak pernah Gladiola menyetujui atau menganggukkan kepala setiap Hans mengajaknya melakukan sesuatu. Akan tetapi, dia bohong kalau tidak ingin tahu kondisi sahabatnya yang sejak seharian ini seolah menghindar. Dia tidak terlalu tahu tentang si Dino Dino itu, hanya mendengar cerita dari Kania. Tapi, jika pria itu juga berhasil membuat Kania-nya melupakan Gladiola, seperti Hans, dia punya keinginan menyeret wanita itu dan membawanya kabur.
Bahkan, lima menit kemudian, ketika Gladiola telah berhasil tiba di mal yang jaraknya tidak lebih dari satu kilometer dari hotel, Gladiola menanyakan kewarasannya sendiri begitu melihat Hans berlari menyambutnya di depan lobi mal sambil melambai-lambai dan tersenyum dengan bibir merekah amat lebar seolah-olah mereka baru dipertemukan kembali setelah bertahun-tahun tidak jumpa.
Begitu juga, saat Hans meraih telapak tangan kanannya untuk dia genggam dan mereka berlari-lari kecil menuju eskalator yang akan membawa keduanya ke lantai dua, Gladiola hanya mampu memandangi tautan tangan itu dan merasa pikirannya kosong untuk sesuatu yang tidak dia pahami sama sekali.
Harusnya jangan biarkan dia pegang tangan lo, Ola. Lepasin. Lepasin tangan kalian.
Semuanya berjalan seperti sebuah gerakan lambat dalam film India, Hans yang berusaha berlari dan memintanya untuk cepat-cepat bergerak sementara Gladiola seperti orang linglung yang kelihatan baru saja kehilangan dompetnya.
Ini salah, La. Salah besar. Lepasin tangan Hans. Lo ngerti, nggak? Bangun! Bangun!
Dasar si Ola bloon!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro