Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37

Gaes, share ke segala penjuru ya, cerita ini. Follow juga IG eke. Eriska Helmi. Biar rame aja ghibah di sana.

Hari ini di KK ama KBM boom apdet 3 bab dan ada sopiler bab Bali yang bikin emak-emak gaduh. Apaan, tuh, Bah Bali? Bakal tayang di sini, kaga?

Ya kagaaa😂😂

Pake nanya lagi. Baca yang ada aja yes.

***

37 Pelangi di Langit Gladiola

Belum pernah Gladiola merasa jengkel seperti yang dia rasakan saat ini. Dia bahkan merencanakan untuk pura-pura tidur sepanjang perjalanan yang membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam. Akan tetapi, dia kemudian menertawakan keputusan bodohnya tersebut. Untuk apa dia tiba-tiba marah? Bukankah yang menyuruhnya ke Palembang adalah bos? Yang patut dipertanyakan adalah Hans sendiri. Mengapa tiba-tiba pria itu bisa muncul dan tahu-tahu duduk di sebelahnya?

Tapi, dia sama sekali tidak bisa membohongi diri begitu wajahnya terlihat kusut sewaktu Hans menyebutkan namanya. Dari sekian banyak tempat duduk di pesawat, bisa-bisanya Hans jadi tetangganya. Amat aneh dan tidak masuk akal sehingga dia sempat berpikiran buruk, ada oknum di kantor yang punya akses untuk membocorkan keberangkatannya kepada pria tersebut.

Hanya saja, sekali lagi dia mempertanyakan kevalidan pikirannya itu. F-Beauty Network tempatnya bekerja bukanlah tempat yang punya asosiasi dengan Hans. Sudah tiga tahun dia bekerja di sana dan kenal semua pegawainya. Karena itu juga, dia bersyukur tidak langsung marah-marah dan menuduh sembarangan.

Dia cuma merasa aneh saja karena Hans baru berangkat hari ini sedang dari kemarin malam pria itu meneleponnya. Ah, entah kemarin, entah dua hari yang lalu, Gladiola merasa otaknya kacau saat berhitung tentang waktu. Menurutnya, jika tahu posisi Kania, Hans seharusnya berangkat sesegera mungkin. Hal inilah yang membuatnya tidak bisa berpikir positif dan susah untuk tidak menganggap Hans telah menyabotase keberangkatannya ke Palembang.

Tapi, sekali lagi, hampir selama lima atau enam tahun ini dia tidak pernah berpikir positif terhadap abang sahabatnya itu dan entah kenapa, Gladiola merasa dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Semesta sepertinya amat suka mempermainkan dirinya dan tidak membiarkan hidupnya tenang jauh dari Hans sekuat apa pun dia mencoba.

"Bibir maju terus dari tadi padahal cuaca lagi oke, loh."

Gladiola mengangkat wajahnya dari depan majalah. Ditolehnya Hans yang kini menunjuk ke arah jendela yang berada di samping kiri Gladiola. Memang cuaca sedang cerah. Awan saja terlihat biru dan sebetulnya, hembusan pendingin udara di atas kepalanya sudah mulai membuat mata Gladiola kriyep-kriyep. Tapi, jika sekarang memilih tidur, ketahuan sekali kalau dia memang berusaha menghindari Hans seperti yang selalu dilakukannya selama ini.

"Terus, lo suruh gue loncat keluar, gitu?"

Dia tidak bermaksud berkata demikian, tetapi, semua yang berkaitan dengan Hans membuatnya cepat sekali emosi. Hans sendiri malah tertawa dan nadanya terdengar amat renyah. Entah sejak kapan dia berubah jadi seramah ini, Gladiola tidak mau ingat. Tapi dia tahu, sejak dia minggat dari rumah dan bekerja di supermarket, Hans tidak lagi banyak mengata-ngatainya. Bahkan, jauh lebih bersahabat dibanding saat dia tinggal bersama keluarganya dulu.

"Elah, La. Pedes amat omongan lo. Gue lagi nyari topik biar bisa ngomong doang, lo balas ketus. Kayak kita musuh bebuyutan aja. Padahal gue udah senang banget pas lihat lo di depan pintu masuk terminal tadi. Lo tulus sama Kania sampai mau ke Palembang cariin dia."

"Idih. GR" Gladiola langsung membalas, "Tugas kantor, kali. Lo yang aneh, tahu-tahu duduk di sebelah gue. Sabotase tiket, ya?"

Hans terdengar beristighfar sebelum membalas. Hampir saja Gladiola membuang muka dan menoleh ke arah jendela saat pria itu kemudian membalas, "Gue nggak bisa langsung berangkat kemarin waktu telepon lo Kania kemungkinan ada di Palembang. Lo tahu gue juga kerja, mesti ngurus cuti. Mama dan Papa nggak bisa ikut. Lo tahu, kan, kalau Mama lagi sakit gara-gara mikirin Nia. Udah gue usahakan secepatnya berangkat dan setelah gawean gue kelar, baru sekarang bisa berangkat. Sejak lo ngomel-ngomel di telepon, gue nggak berani lagi ngajak. Tapi yang namanya jodoh ..."

"Amit-amit." Gladiola memukul bahu Hans beberapa kali. Kalimat itu entah mengapa membuatnya bergidik dan dia teringat wajah Ridho yang tadi membelai dahinya. Awas saja kalau kalimat itu jadi nyata, dia tidak sudi.

"Aih, sok amit-amit," Hans yang masih tertawa hanya mengangkat sebelah tangan kirinya yang jadi sasaran Gladiola saat itu. Wajah lawan bicaranya tampak kusut sehingga Hans harus mencari jejak kebohongan yang biasanya muncul bila kaum Hawa bicara kepadanya. Hans amat percaya diri bila membahas soal ketampanan wajahnya dan seperti biasa, bila berhadapan dengan Gladiola, dia akan menjadi amat heran. Heran karena sahabat adiknya itu tampak seperti batu, cuek bebek kepadanya. Bukankah dulu Gladiola sempat naksir?

"Lah, iya. Ngapain gue jadi jodoh lo? Sinting." Gladiola mendengus. Dia sudah menggulung majalah, siap untuk memukul Hans lagi bila dia kelewatan, namun, batal karena seorang pramugari lewat di dekat mereka.

"Biasa aja kali. Orang cuma bercanda."

"Gue nggak suka."

Wajah Gladiola memerah. Tapi, daripada malu-malu, Hans tahu kalau wanita itu benar-benar tidak senang. Karenanya, Hans segera tersenyum lebar dan membuat tanda damai dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya agar marah Gladiola tidak menjadi. Dia senang, kemudian lawan bicaranya memilih menyandarkan punggungnya kembali ke sandaran bangku.

"Tadi gue lihat Ridho jalan ke parkiran." Hans bicara lagi. Gladiola hanya membalas dengan gumam. Sesungguhnya, mereka memang tidak bisa melakukan apa-apa. Ingin mengutak-atik ponsel, rasanya malas karena dibuat mode pesawat. Maskapai yang mereka tumpangi sebenarnya memiliki aplikasi yang bisa diakses tanpa internet namun, baik Hans dan Gladiola tampaknya sangat patuh pada aturan keselamatan di udara sehingga mereka memilih diam. Cuma, gara-gara tidak ada kesibukan, Hans kemudian merasa gatal. Dia tidak pernah berbuat seperti itu saat menumpang pesawat sebelumnya. Tapi, bepergian berdua seperti ini membuatnya ingin mengobrol. Bagaimana pun juga, Gladiola adalah kenalannya, sahabat adiknya. Agak aneh kalau mereka pura-pura tidak kenal.

"Nggak pakai adegan Rangga sama Cinta, kan, di bandara?" Hans bertanya lagi. Tidak butuh waktu lama, ucapannya membuat Gladiola melirik ke arahnya dengan tatapan hendak memasukkan gulungan majalah di dalam pegangannya ke mulut Hans.

"Otak lo nggak ada kerjaan lain selain mikirin begituan? Itu, ya, yang lo buat waktu pacaran? Segala anak orang lo sosor?"

Benar-benar puas rasanya bagi Gladiola bisa memuntahkan ucapan barusan. Urusannya dengan Ridho adalah hal pribadi. Kenapa juga Hans ikut campur.

"Kepo, ya?"

Idih, Gladiola sampai berjengit. Apa urusan dia sampai kepo?

"Pantas Nia sampai kabur. Abangnya sinting kayak gini. Gue kira, tambah tua lo tambah dewasa."

"Lah, gue cuma nanya, lho. Kok, bisa-bisanya lo bahas soal Nia dan kedewasaan?"

"Dewasa dari mana kalau lo sibuk mau tahu urusan gue?"

Suara deham dari samping mereka terdengar dan Gladiola sadar kalau dia agak sedikit ngegas membalas Hans yang mulutnya bagai rem blong. Dia segera mengecilkan suara. Kenapa, sih, di sebelah pria itu dia tidak pernah bisa jadi anggun dan selalu saja mereka bertengkar untuk masalah sepele?

Coba kalau ada yang mendengar ucapan Hans tadi? Adegan Cinta dan Rangga di bandara adalah adegan dewasa dan biarpun dia tidak alim-alim amat seperti wanita lain, dia tidak bakal mempertontonkan hal tersebut di depan semua orang. Tidak heran, Gladiola jadi murka.

Hans sendiri, setelah peringatan dari tetangganya, memilih untuk diam sejenak. Tapi, hal tersebut tidak menghentikannya untuk kembali mengajak Gladiola bicara.

"Lo dijemput? Apa mau bareng? Nginep di hotel mana?"

"Dijemput orang kantor."

Wajah Gladiola tampak ogah-ogahan sewaktu bicara tentang kedatangannya tadi. Dia merasa Hans sudah pasti akan mengajaknya mencari Kania padahal tadi sudah jelas dia mengatakan kalau dia ke Palembang murni untuk bekerja. Jika ada waktu luang, dia tidak juga berniat bergabung dengan pria itu. Bagaimanapun juga, Kania sudah membalas pesannya dan mengatakan bakal bertemu walau kemudian ketika Gladiola bertanya lebih lanjut, pesannya tidak dibalas lagi oleh Kania.

Bila dia bersama Hans, otomatis Kania tidak bakal menggubris Gladiola lagi karena menyangka dia bersekongkol. Maka dari itu, Gladiola berpura-pura tidak tahu apa-apa.

"Kita searah, nggak? Siapa tahu bisa cari Nia bareng."

Tuh, benar, kan, tebakannya. Meski tidak lagi naksir Hans seperti dulu, Gladiola paham sekali sifat abang sahabatnya ini. Tapi, semakin usianya bertambah tua, kadang Gladiola merasa cara berpikir Hans tidak ikut berkembang. Seharusnya dia berpikir sebelum mengunjungi Palembang, lokasi kekasih adiknya berada. Hanya saja, Gladiola malas bertanya tentang kejelasan hal tersebut kepada Hans. Jika nanti dia melakukannya, bisa jadi Hans makin besar kepala.

"Gue sudah dapat alamat orang tua Dino, nyari lewat FB dan sempat inbox teman dekatnya. Makanya gue nekat ke sini."

Nah, kan. Tanpa perlu bertanya, Hans sendiri yang cuap-cuap sehingga Gladiola merasa dirinya seperti baru saja mendapat contekan saat ulangan.

"Nggak nyangka banget ketemu lo. Gue kira lo nggak peduli. Sumpah, belum pernah gue selega ini setelah berhari-hari ditinggal Nia, La. Rasanya, gue nggak sendirian walau gue tahu, lo datang ke Palembang sebenarnya buat urusan kerja. Tapi, bener, deh, andai lo jadi gue, ketika lihat orang yang paling lo kenal duduk sendirian menunggu pesawat berangkat, gue udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Gue kira lo mau ke Batam atau Bangka, tahunya kita satu pesawat, seumur hidup, gue nggak pernah selega ini lihat lo."

Suara Hans terdengar lembut dan tulus sehingga membuat Gladiola yang tadinya malas-malasan kemudian menoleh lagi kepadanya. Dilihatnya Hans tersenyum, tetapi, dia kemudian memutuskan untuk kembali memandangi langit siang itu.

"Serah."

Tidak peduli Hans bilang senang dengan tulus atau bohong, Gladiola merasa kalau dia tidak lagi mendapatkan momen seperti saat dulu dia masih menggemari pria itu. Tidak ada jantung berdebar, pipi menjadi hangat, atau keinginan meloncat tinggi-tinggi karena berhasil disenyumi oleh pria yang paling dia inginkan. Semuanya terasa biasa saja dan dia tidak tersentuh sama sekali. Toh, dia tidak bakal berniat bergabung dengan Hans berkeliling Palembang. Lupakan saja.

Bukankah mereka berdua sudah punya jalan hidup masing-masing?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro