Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32

Nggak.

Nggak lagi baek.

Cuma masih edisi lebaran aja.

Habis ini, kalau pada malas vote komen alias cuma numpang baca doang, eke apdet setahun sekali.

Yee, mak, kita pembaca habis kuota keles baca2 ginian. Lu kaga tau makasih cerita lu kita baca.

Ya kali eke aplot pake awan kinton dan modal makasih doang ama telkompret?

Yang rikues orang ketiga, keempat, kelima, se-RT, se-kabupaten, baca aja di sebelah. Dah 83 bab. Ga bisa direvisi lagi. Malees. Mo tamat juga🤣

***

32 Pelangi di Langit Gladiola

Jakarta. Lima tahun kemudian. Awal 2020

Hampir pukul empat subuh saat Gladiola mendengar dering dan getar dari ponsel yang dia letakkan di atas nakas. Matanya terbuka dan sekeliling kamar ternyata masih gelap. Hanya pancaran sinar dari layar ponsel yang membuatnya kemudian malas-malasan mengangkat badan untuk memeriksa siapa pelaku yang telah lancang membangunkannya. 

Hansnya Nia

Nama itu tertulis di bagian depan layar ponsel dan wajah Hans memenuhi seluruh layar. Gladiola mesti menarik napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan pria itu. 

"Waalaikumsalam. Baik bener lo bangunin gue, sekalian subuhan, gitu?" 

"Nia sudah telepon? Sudah ada kabar?" 

Tanpa basa-basi Hans langsung ke pokok masalah dan gara-gara itu juga, Gladiola kembali merasa kepalanya berdenyut-denyut. Ingatannya kembali segar dan dia sadar, baru empat jam sebelum terakhir kali dia berpisah dengan pria itu tepat di depan pagar kontrakannya tadi malam. 

"Belum." 

Dia tidak tahu apakah saat tertidur tadi Kania menghubungi atau tidak. Toh, belum sempat Gladiola memeriksa ponselnya sendiri, Hans sudah memborbardir dirinya dengan pertanyaan lain, "Dia kirim WA? Atau cek IG sama FB lo. Akses semua keluarga kami sudah diblok sama dia."

"Sabar kali. Gue tarik napas dulu, minum dulu. Baru bangun bener." Gladiola mencoba duduk dan mengucek mata. Benar-benar sinting pria di seberang sana. Memangnya dia tidak tidur sepanjang malam ini?

 Sudah tiga hari Gladiola dirongrong oleh Hans tanpa henti. Bahkan, tiga hari juga dia dicegat setiap pulang kantor. Alasannya? Hans memaksa Gladiola ikut pulang bersamanya untuk sama-sama menyusuri jalan demi mencari keberadaan Kania. Dia tiba-tiba saja menghilang dari rumah setelah sebuah pertengkaran dengan ibu dan abangnya. Sebagai sahabat, Gladiola mau tidak mau kena getah. Dia sempat menjadi tempat perlindungan wanita itu selama satu hari. Tapi, dia tidak tahu kalau kemudian Kania kabur di saat dia sedang bekerja dan meninggalkannya tanpa pesan sama sekali. 

"Kasihan Mama, nangis-nangis terus, La." Hans terdengar menghela napasnya dengan berat. Gara-gara Kania, pria itu jadi tidak tenang bekerja. Kadang, Hans hanya ke kantor selama setengah hari. Sisanya, dia mengelilingi Jakarta. Tapi, hingga kini hasilnya masih nihil. 

"Ya, gue nggak tahu dia di mana. Nia udah dewasa. Dia sudah dua puluh empat. Kalau lo pikir dia kabur kayak bocah, ya, salah. Seharusnya kalian kenal dia lebih dari gue." 

Gladiola sempat menggaruk perut dan menguap sebelum dia akhirnya menuruni tempat tidur dan menyalakan lampu di atas  nakas. Setelah ini, Hans pasti akan ngomel kepadanya. Tetapi, Gladiola tidak benar-benar mendengar. Yang dia lakukan kemudian adalah meletakkan ponsel kembali ke nakas, sebelah lampu tidur, lalu menyalakan pengeras suara di ponselnya. Dia sendiri memutuskan untuk mengikat kembali rambutnya menjadi sebuah cepol sebelum merapikan tempat tidur. 

Toh, dia sudah tidak bisa tidur lagi. Sebentar lagi azan tanda salat Subuh dan sebelum pukul enam, Gladiola sudah harus berada di stasiun kereta terdekat bila tidak mau telat. Jarak kantor dari kontrakan hanya tiga puluh menit. Tetapi, dia lebih suka menikmati pemandangan dari KRL dibandingkan naik TransJakarta atau taksi online. 

"Lo, kan, tahu kalau Nia adalah kesayangan Mama. Selama ini kalian dekat. Bahkan, kalau ada apa-apa, Nia larinya ke lo bukan gue." 

Gladiola menggumam. Suaranya masih terdengar oleh Hans walau dia sudah mondar-mandir di kamar. Sekarang waktunya ke dapur. Apakah pria itu sadar kalau dia meninggalkannya? 

"Soalnya abangnya bolot." Gladiola mencoba tertawa sendiri mendengar julukan yang dia beri buat Hans. Sekarang, hubungan mereka tidak sekacau dulu. Usai dioperasi karena sakitnya, entah kenapa, dia jadi jauh lebih percaya diri menghadapi Hans. Dulu, mana berani dia melakukannya. Dirundung sedikit saja, mentalnya langsung lemah. Setelah keadaannya jadi lebih baik, Gladiola merasa dia punya banyak tenaga untuk melawan Hans. 

Tidak hanya itu, dia juga tidak lagi menolak setiap diajak Kania mampir ke rumah orang tua sahabatnya tersebut. Di sana juga Gladiola memanfaatkan hari liburnya untuk meminjam buku-buku pelajaran yang dipakai oleh Kania untuk persiapan masuk kuliah. Gladiola juga makin rajin kembali belajar bahasa Inggris. Selain itu, dia juga ikut kelas alumni. Uangnya? Berkat kegigihannya menawarkan stok kosmetik lewat media sosial, Gladiola akhirnya punya modal untuk menyetok barang-barang dan menjualnya hingga ke seluruh pelosok indonesia. Dari situ dia banyak dapat kenalan, termasuk diskon dari ekspedisi langganan.

Dua bulan pertama, Gladiola mendapat laba dua digit. Jauh lebih besar dari gaji sebagai supervisor di The Lawson yang sempat dia idam-idamkan. Ketika dia kembali membeli ponsel, Gladiola memanfaatkan betul benda tersebut untuk berdagang, termasuk ikut bergabung dengan beberapa market place. Saat usianya genap sembilan belas tahun, Gladiola gemetar mengetahui saldo di rekeningnya melebihi angka lima puluh juta. Angka itu amatlah besar dibandingkan semua tabungan mama yang dikumpulkannya seumur hidup.

 Dia tahu betul karena mama sering sekali menghitung semua harta yang beliau simpan dalam sebuah tas emas yang disembunyikan di kolong bawah lemari pakaian orang tuanya. Ada dua gelang emas dan uang sekitar delapan belas juta, itu yang dia tahu. Tapi, Gladiola tidak pernah usil apalagi berniat mencuri uang ibunya. Baginya, biar saja dia kelaparan yang penting tidak mencuri. Hampir seumur hidupnya dia selalu kena omel, kena rundung, dan dituduh mengambil uang bukanlah hal yang paling dia inginkan. Toh, sudah cita-citanya ingin mengumpulkan uang sebanyak mungkin hingga sering sekali Gladiola mengorbankan waktu tidur atau bersenang-senang dibandingkan anak muda seusianya. 

Ketika dia pada akhirnya bisa menamatkan kuliah dengan uang jerih payahnya sendiri, Gladiola juga berhasil memiliki sebuah gudang sebagai tempat menyimpan stok dan dia mempekerjakan seorang admin untuk urusan pengiriman barang. Belum menjadi sebuah toko besar karena dia juga tidak punya waktu untuk itu. Tapi, pendapatannya kemudian mampu membuatnya mengangkat kepala di depan orang tuanya sendiri. 

Gladiola tidak bercerita berapa jumlah tabungannya di rekening bank, tidak perlu. Namun, suatu hari dia datang dengan sebuah motor baru yang telah dia bayar tunai untuk mengganti motor papa yang dua kali turun mesin. Gladiola juga membayarkan uang renovasi rumah dan warung mama dan hal tersebut cukup untuk membuat sang ibu tutup mulut. 

Meski begitu, dia tetap tidak ingin lagi tinggal di rumah orang tuanya. Alasan kuliah dan bekerja sudah amat kuat buatnya mencari dalih. Setelah tamat kuliah, Gladiola tidak lagi bekerja di The Lawson. Sebuah perusahan beauty e commerce melihat kemampuannya dan menarik wanita muda itu menjadi pegawainya. Sejak sering ikut event kecantikan dan kenal dengan banyak SPG serta toko kosmetik, dia dipercaya memasok produk-produk dari lima merk terkenal. Meskipun ketika dia berada di semester lima, Gladiola mesti bolak-balik keliling konter dan toko kosmetik besar lalu mengurus kontrak masuk barang dan sebagainya. Untung saja dia bisa lulus tepat waktu dan membuktikan kepada papa dan mama dia mampu menghidupi dirinya sendiri bahkan setelah dia dianggap sebaiknya mati oleh sang mama.

"Iya. Gue bolot. Di mata Nia, Lo, gue selalu salah." 

Tumben Hans mengaku, Gladiola saja sampai ingin tertawa ketika mendengarnya.

"Ya, udah. Nanti gue kabari lagi kalau Nia telepon."

Sewaktu Gladiola hendak berjalan kembali ke nakas, Hans terdengar menahan, "Tunggu! Tunggu dulu, La."

Wanita itu duduk di tepi tempat tidur dan dia memandangi layar ponselnya sambil berpikir, apa yang sedang dilakukan Hans saat ini selain menelepon. Apakah pria itu sempat tidur atau bahkan sedang berbaring di atas kasur, dia tidak tahu.

"Kenapa, sih? Gue mau mandi."

"Mau pergi bareng, nggak? Siapa tahu ketemu Nia."

"Nggak." balas Gladiola cepat, "Hari ini gue dijemput Ridho."

Terdengar gumam pendek dan Gladiola senang Hans tidak banyak tanya.

"Sudah dulu. Assalamualaikum."

Gladiola mengarahkan telunjuk ke arah layar setelah Hans membalas salamnya. Tidak butuh waktu lama, panggilan terputus dan layar ponsel Gladiola berubah gelap. Hanya saja, setelah beberapa saat, dia kembali mengaktifkan layar dan mencoba memeriksa apakah ada pesan masuk di hari sepagi itu. 

Kenyataannya, tidak ada. Kania tidak mengirim pesan apa-apa. Pesan terakhir sudah dibalas oleh wanita itu ketika Gladiola bertanya tentang Kania yang memilih pergi dari rumah kontrakan Gladiola. Itu juga tiga hari sebelumnya, tepat saat Hans menghubunginya untuk mencari Kania. 

"Kenapa, sih, malah berantem sama Mama dan Hans? Kurang baik apa mereka sama lo? Keluarga kalian, tuh, beda. Nggak kayak keluarga gue."

Gladiola memejamkan mata. Otaknya merekam kejadian ketika Kania datang ke rumahnya dengan tubuh basah kuyup karena air hujan dan juga mata bengkak akibat terlalu lama menangis.

"Mereka semua nggak setuju sama keputusan gue buat nikah sama Mas Dino. Mama bilang gue terlalu muda dan Mas Dino itu duda. Pernikahannya aja pernah gagal dia pertahankan, apalagi sama gue. Tapi, gue tahu dia nggak begitu. Mama nggak percaya. Kata Mama, Mas Dino cuma ngincar duit kami."

Duit. Gladiola meremas seprai dan menahan perasaan nyeri di dada. Selalu, soal yang sama yang membuat orang-orang di sekelilingnya menjadi kacau seperti ini. 

"Gue mau nyusul Mas Dino, La. Gue nggak peduli sama Mama dan Hans. Mereka nggak ngerti perasaan gue."

Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa saat Kania nekat bicara seperti itu. Selama bertahun-tahun jomlo dan frustrasi karena tidak ada pria yang mau mendekati, dia amat bahagia ketika Dino menyatakan perasaannya. Padahal, menurut mama Hans, pria itu belum genap dua minggu kelar dari proses cerai dengan istrinya. Hal tersebut membuat sang ibu berusaha memperingatkan Kania, tapi dia tidak mendengar. 

"Mama nggak pernah tahu rasanya jadi gue, seumur hidup nggak ada yang naksir. Bahkan lo aja udah punya pacar. Terus, saat ada yang bilang cinta bukan karena fisik, gue mesti nolak?"

Susah menasihati orang yang sedang kasmaran dan Gladiola merasakannya sendiri ketika Kania tahu-tahu saja meninggalkan rumah. Tapi, dia paham, bila Kania memilih kabur, tidak mungkin dia seenaknya melenggang kangkung jalan-jalan ke pusat keramaian Jakarta seperti yang dikatakan oleh Hans. 

Ponsel Gladiola bergetar dan sebuah pesan masuk, membuat dirinya kemudian memeriksa notifikasi lalu menemukan nama abang sahabatnya itu yang mengirimkan pesannya.

Jangan lupa sarapan.

Cih

Hans pasti sedang ngelindur atau salah kirim. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro