29
Makasih komennya.
Bab ini ramein juga ya. Bolehlah kalo mo marah atau misuh-misuh. Kaga eke larang.
Di sebelah udah bab 80. Mo tamat kayaknya.
***
29 Pelangi di Langit Gladiola
Setelah perawat pada akhirnya meminta Kania dan Tata untuk menunggu saja di depan ruang operasi, barulah Gladiola merasa ketegangan menjalari tubuhnya. Tadi, waktu melihat Hans, dia menjadi sedikit gugup karena tidak menyangka di hari segenting ini, orang yang sebenarnya paling dia inginkan untuk ikut hadir adalah Hans. Tapi, berhubung dia sudah berusaha menutup rapat-rapat pintu hatinya, jadi, Gladiola memilih menghindar. Bisa gawat kalau dia minta operasi dibatalkan. Lagipula, buat apa dia masih berharap pada pria itu? Sekarang, Hans sudah pasti tahu penyakit yang dia derita dan setelah rambut kriwilnya, Gladiola bisa menebak bahan rundungan yang keluar dari bibir abang sahabatnya tersebut.
Bukankah payudara adalah harta perempuan yang paling berharga dan hari ini dia akan menjalani operasi pengangkatan benjolan? Tapi, sejurus kemudian Gladiola mencoba menghibur diri. Hanya benjolan yang akan diangkat, bukan semua jaringan. Kenapa juga dia mesti minder? Hans tidak mungkin bakal jadi suaminya dan seperti yang pernah terjadi berbulan-bulan lalu, bila pria itu mengejeknya lagi, Gladiola tidak akan ragu melempar Hans dengan batu atau mendorongnya hingga jatuh ke got.
Beberapa petugas masuk. Gladiola telah diberitahu kalau akan ada dokter anestesi yang akan membantu operasinya. Dokter tersebutlah yang akan membuat rasa sakit saat tubuhnya dibedah hilang. Tapi, Gladiola tidak menyangka yang datang adalah seorang pria yang membuatnya sedikit panik.
"Nona Gladiola?"
Apakah dia juga bakal melihat proses operasi Gladiola nanti? Gladiola sampai merasa kalau bulu-bulu halus di tubuhnya meremang. Dia tidak bisa membayangkan bakal ada orang lain lagi yang melihat kembali tubuhnya setelah petugas di ruang USG dan dokter yang menyuruhnya untuk melakukan operasi. Tapi, dia yakin, dirinya tidak ditinggal berdua saja dengan pria yang saat ini terdengar ramah. Dia bahkan tidak memberi komentar pada rambut Gladiola yang selama ini menjadi penyebab utama dia selalu minder.
Hanya saja, menurut teman-temannya, rambut pendek Gladiola membuatnya jauh lebih segar dan menarik. Bahkan, di antara SPG seangkatannya, dia disebut yang paling cantik walau Gladiola menertawakan julukan tersebut dengan suara amat keras. Mata teman-temannya sudah rusak karena bisa-bisanya memuji dia tampil menawan. Jika dijejerkan dengan Ranti, maka wajah Gladiola tidak akan berarti apa-apa.
Rasa gugup Gladiola mendadak luntur karena beberapa saat kemudian perawat lain yang seperti sang dokter kemudian bergabung. Semuanya memakai seragam hijau dan bicara kepada Gladiola dengan suara lembut. Dokter Sandi, yang sedianya akan mengoperasi sudah berada di ruang sebelah dan perawat yang masuk kemudian sekali lagi memastikan kalau Gladiola tidak lagi memakai perhiasan juga gigi palsu yang membuatnya menggelengkan kepala. Perhiasan yang dia punya paling banter cincin tembaga. Itu juga sudah bengkok dan Gladiola sudah menitipkannya kepada Kania saat masih di kamar tadi.
Untung saja dia sudah berada di ranjang operasi dan mulai merasa menggigil karena ternyata AC disetel cukup dingin. Tapi, ingin meminta perawat menaikkan suhu, membuat nyalinya hilang. Toh, di supermarket kadang suhunya lebih dingin daripada ini.
Mungkin karena gue ga pake baju, bisik Gladiola di dalam hati. Pakaian pasien yang tadi dia pakai sudah diganti dan dia bersyukur dokter yang mengurusi anestesinya sempat ke ruang sebelah begitu perawat meminta Gladiola melepas pakaiannya. Rasa malu, minder, dan pikiran hanya suami yang melihat tubuhnya sudah dia buang jauh-jauh. Kini, yang paling penting adalah selamat dan sembuh baru memikirkan mencari suami dan ngomong-ngomong, dua menit kemudian, saat mendengar dokter anestesi tersebut kembali memanggil namanya dan siap memberi suntikan bius, Gladiola hanya mampu menghela napas dan berharap dia tidak merasa sakit sama sekali ketika pisau bedah menyayat tubuhnya.
Tapi, beberapa detik kemudian, dia merasa pandangannya mengabur dan setelah itu, Gladiola tidak ingat apa-apa lagi.
***
Gladiola terbangun karena dia merasa tenggorokannya gatal. Tetapi, dia kemudian mengetahui kalau di saat yang sama ada alat-alat aneh yang membantunya bernapas dan juga ada alat lain yang menjepit telunjuk kanannya. Meski begitu, dia senang kembali ke dunia dengan selamat.
Begitu melihat pergerakannya, perawat yang sebelum ini sempat membantu dirinya di ruang operasi segera mendekat. Hanya saja, Gladiola tidak bisa bicara dan bersyukur dalam waktu yang tidak lama, semua alat tersebut dilepaskan dari tubuhnya.
Cuma, beberapa saat kemudian, dia mulai merasakan efek yang tidak nyaman di sekitar dada yang membuatnya meringis. Apakah obat biusnya sudah habis?
Sudah pasti, Gladiola menjawab sendiri di dalam hati. Jika tidak, dia tidak bakal merasakan denyut-denyut tersebut. Lagipula, mengapa dia masih sendirian? Di mana Kania dan Tata? Apakah mereka belum diperbolehkan masuk?
Gladiola bahkan tidak tahu jam berapa saat itu. Dia ingat tadi operasi dimulai sekitar pukul delapan lewat tiga puluh dan seharusnya, sekarang hanya beberapa puluh menit dari dia dimasukkan ke ruang operasi.
Meski begitu, ketika Kania diperbolehkan masuk dengan mata sembab, Gladiola sadar hampir menghabiskan seharian jauh dari temannya itu.
"Udah jam empat, Bra. Lo pasti lapar. Belum makan apa-apa sejak pagi." bisik Kania begitu pelukan mereka terlepas. Gladiola hanya bisa tersenyum tipis. Dia merasa denyut-denyut di dadanya makin menjadi dan untunglah, dokter kemudian datang lalu menjelaskan semua hal kepadanya termasuk memberitahu benjolan yang berhasil dioperasi yang jumlahnya sesuai dengan saat terakhir kali Gladiola melakukan USG.
Langkah berikutnya, memastikan jaringan yang terdapat di dalam benjolan tersebut tidak berbahaya melalui uji lab. Tetapi, dugaan dokter semua benjolan yang berhasil dikeluarkan tidak berbahaya.
"Tapi, nggak bisa memutuskan. Harus tunggu hasil lab." ujar dokter Sandi untuk terakhir kali sebelum akhirnya Gladiola dibawa ke ruang rawatnya.
Dia sebenarnya bisa saja langsung meminta pulang, tetapi, Kania tidak setuju. Lagipula, Gladiola masih harus diawasi. Di mess dia sendirian dan tadi pagi dia sudah menegaskan kepada Kania kalau gadis itu bisa tinggal sendiri. Ketakutan Gladiola kalau dia bakal membuat Kania repot kemudian hampir membuat sahabatnya ngambek.
Meski begitu, ketika dia menemukan sosok papa yang berdiri di sebelah Hans yang nampaknya belum pulang sejak tadi pagi, Gladiola tidak bisa menahan rasa terkejut.
"Loh? Papa datang?"
Papa Gladiola mengangguk. Pria itu berjalan mendekati putrinya. Tangannya terulur hendak mengusap puncak kepala Gladiola, tetapi, dengan segera, Gladiola pura-pura menunduk dan mengatakan kepada Kania kalau tangan sahabatnya itu menyenggol selang infus yang membuat Kania segera meminta maaf. Gara-gara itu juga, tangan papa Gladiola yang tadinya hampir berada di atas kepala putrinya, secara refleks kembali ditarik dan Gladiola senang sang ayah memilih melakukan hal tersebut.
"Mau lihat lo. Alhamdulillah operasinya lancar."
Wajah papa jelas sekali tampak khawatir. Tetapi, daripada itu, Gladiola lebih mencemaskan hal lain. Entah sudah berapa lama ayahnya berada di rumah sakit itu. Seperti Kania yang mengkhawatirkannya belum makan, dia yakin, papanya juga belum mengisi perut. Di sisi lain, kecemasan juga melanda Gladiola, bila sang papa menghabiskan waktu di rumah sakit, jelas tidak ada pemasukan dan sudah pasti, mama di rumah bakal marah jika suaminya tidak memberi nafkah.
"Lo nggak tahu apa, anak lo mesti sekolah. Kalau nggak dapat duit, Ranti makan apa?"
Gladiola memejamkan mata. Di rumah, papa selalu terlihat tidak berdaya. Gara-gara uang mama habis dipakai untuk membayar hutang-hutang papa, hingga kini, sang ayah selalu jadi bulan-bulanan ibunya. Tidak peduli sebanyak apa nafkah yang diberi papa setiap pulang mengojek, mama selalu merasa kurang. Dulu, papa kadang menyelipkan seribu atau dua ribu ke kantong Gladiola sebelum dia sekolah. Kini, setelah Gladiola tidak lagi sekolah, tidak ada yang mesti diberi secara curi-curi lagi.
"Papa sudah makan?"
Seharusnya, dialah yang diperhatikan. Tetapi, Gladiola lebih memilih bertanya kepada sang ayah. Mereka juga sudah bertemu. Jika setelah ini papa hendak pulang, tidak masalah. Hanya saja, Gladiola merasa dia ingin segera kembali ke kamar. Kehadiran papa di rumah sakit berarti membawa satu konsekuensi, tidak ada penghasilan yang pria itu bawa ke rumah. Karenanya, dia ingin segera mengambil dompet dan menyerahkan beberapa puluh ribu atau mungkin seratus ribu buat konsekuensi supaya mama tidak marah.
Lagipula, kehadiran papa sudah membuatnya senang. Ada keluarga yang masih memperhatikan keadaannya.
"Su… sudah. Diajak makan sama Hans tadi."
Hans. Kini, mau tidak mau, Gladiola mengalihkan pandang ke arah pemuda baik budi yang mengajak ayahnya makan. Tapi, alih-alih terharu, Gladiola lebih merasa Hans melakukannya karena papanya juga adalah papa Ranti. Setidaknya, dia berbuat seperti itu karena dia bersama ayah mantan pacarnya. Jadi, Gladiola tidak merasa terlalu bahagia. Bisa jadi, waktu kebersamaan mereka tadi dihabiskan untuk membahas Ranti dan dia tidak antusias seperti dulu saat dia kira Hans juga senang kepadanya.
Salah duga. Dulu, gue kira dia naksir. Kenyataannya, cuma dijadiin kelinci percobaan sebelum dia jajal dirinya ke Ranti.
Gladiola kemudian meminta Kania dan Tata untuk segera membawanya ke kamar. Karena dia menghuni kamar kelas tiga, tidak semua orang diperbolehkan masuk. Tata dengan bijak memberikan kesempatan kepada Kania dan papa Gladiola untuk masuk terlebih dahulu sementara dia menunggu di luar bersama Hans.
Papa bersikap sangat baik dengan membantu Gladiola naik ke tempat tidur usai putrinya berganti pakaian di kamar mandi. Dia sengaja memakai piyama lengan pendek dengan kancing di depan supaya tidak susah melepaskannya. Keuntungan setelah mampu mencari uang sendiri adalah Gladiola bisa membeli pakaian layak saat dia harus menginap atau dirawat seperti saat ini. Tidak seperti dulu, dia harus meminjam pakaian Bi Della jika ada acara yang mengharuskannya tidur di tempat orang.
“Mama nggak marah kalau Papa belum pulang?” Gladiola akhirnya buka suara setelah dia akhirnya berhasil merebahkan diri di atas tempat tidur. Kania yang berdiri di sebelahnya bersikap amat telaten dan Gladiola merasa bersyukur memilikinya sebagai sahabat. Bijaknya lagi, Kania yang biasanya nyinyir, memilih diam saat Gladiola bicara kepada ayahnya.
“Tadi sudah bilang bakal jenguk lo.”
Gladiola tidak tahu apakah sang ayah bicara jujur atau bohong. Dia merasa tidak ingin tahu karena jika benar ayahnya berdusta, dia yakin, hatinya pasti akan merasa terluka.
“Ola sudah selesai operasinya. Kalau Papa mau pulang, nggak apa-apa.”
Papa sepertinya hendak bicara. Tetapi, kemudian dia mencoba tersenyum. Matanya sempat beralih ke arah dada Gladiola yang dia tahu pastilah masih terasa sakit bekas dibedah.
“Nanti kalau mama lo nggak sibuk, Papa ajak ke sini.” ucap sang ayah yang di telinga Gladiola terdengar seperti janji. Tapi, gadis itu dengan cepat menggeleng.
“Nggak perlu, Pa. Dokter bilang Ola nggak lama di sini. Besok mungkin sudah boleh pulang. Mama, kan, sibuk jualan. Ranti juga harus belajar.”
Gladiola tahu, di belakangnya, Kania membuat gestur hendak muntah karena dia tidak percaya sama sekali dengan ucapan Ranti hendak belajar. Baginya, hal tersebut lebih terdengar seperti bualan yang tidak masuk akal. Ranti yang memandangi buku lebih dari lima menit sama saja seperti memaksa kambing berada satu kandang dengan macan.
“Tapi, Papa usahain.”
Gladiola tahu, jika berdebat, bukan tidak mungkin emosi papanya bakal tersulut sementara di tempat itu, bukan hanya dirinya yang menjadi pasien. Ada tujuh tempat tidur yang terisi penuh dan dia bakal merasa malu jikalau nanti sang papa bersikeras dan mengeluarkan suaranya. Dia tahu betul sifat kedua orang tuanya. Papa memang agak sedikit longgar dibanding mama. Tetapi, soal merepet ketika sedang kesal, keduanya sama saja. Karena itu juga, Gladiola tidak pernah mau melibatkan perasaan lebih dalam kepada orang tuanya. Dia tidak pernah mau berharap lagi. Jika papa peduli, itu sudah cukup.
Mengharap hubungan mereka bakal seakrab Kania dan ibunya, sama saja dengan berharap gajah bisa terbang dan Gladiola tidak mau hal konyol itu terjadi. Baginya, papa adalah orang tuanya. Suami dari mama. Pria yang memberi nafkah kepada keluarganya. Cukup itu saja dan meski Kania yang kini melihatnya berharap bakal mendapatkan sedikit adegan dramatis ternyata nampak kecewa, nyatanya, gadis itu dibuat terkejut ketika Gladiola minta diambilkan tas.
Buat apa?
Pertanyaan Kania terjawab sewaktu Gladiola minta tolong diambilkan dompetnya yang berada di dalam tas. Dia agak kesulitan karena selang infus menghalangi. Begitu melihat dompet Gladiola, Kania merasa sedikit sebal. Tetapi dia memutuskan untuk diam. Bukan haknya mencampuri urusan keluarga sahabatnya sendiri.
“Sebelum pulang, ini buat beli bensin sama makan malam. Papa beliin Mama sate. Ini juga ada duit ganti karena Papa nggak ngojek.”
Mata Kania membelalak. Luar biasa kelakuan sahabatnya itu. Dia dengan jelas mendapati Gladiola menyerahkan selembar uang seratus ribuan dan selembar uang lima puluh ribuan kepada sang ayah. Buatnya, jumlah itu cukup banyak.
Ola waras, nggak, sih? Dia yang sakit, malah dia yang ngasih bapaknya duit. Iya biaya operasi, rumah sakit gratis. Tapi, siapa tahu nanti obatnya bayar. Yang namanya bapak, seharusnya malah ngasih duit. Bukan sebaliknya.
Ketika dia menemukan kalau papa Gladiola bukannya menolak melainkan menerima uang pemberian putrinya, Kania cuma bisa menahan sedih yang tidak bisa dia sembunyikan. Bukan dia tidak tahu kelakuan papa Gladiola di pangkalan ojek. Setiap saat, pria itu akan mengobrol dikelilingi para tukang ojek lainnya. Papa Gladiola akan menjadi pusat perhatian dan pria itu bakal sesumbar tentang apa saja, sambil merokok, membanggakan masa jayanya yang dulu adalah kenalan pejabat A, B, C, dan lain sebagainya dan dia melakukan hal tersebut hingga berjam-jam sementara putrinya kerap kena marah sang mama.
Gladiola pernah mengadu saat hatinya sudah tidak kuat lagi, dia menangis sambil salat. Di saat yang sama, papanya yang sedang bertengkar dengan sang mama tanpa ampun bicara keji kepada anak perempuannya tersebut, “Ngapain lo salat nunggang-nungging kayak gitu? Emang Tuhan mau dengar doa lo? Sok suci.”
Sejak saat itu, Kania tidak bisa percaya wajah orang tua sahabatnya tersebut. Entah kenapa, Gladiola selalu lugu dan mau saja diperdaya.
“Gue cuma punya mereka.”
Balasan Gladiola usai papanya pamit pulang meninggalkan mereka berdua di kamar rawat membuat Kania geleng-geleng kepala. Cintanya kepada kedua orang tuanya membuat Gladiola sama tolol dan bloon ketika dia jatuh cinta kepada Hans. Tapi, bila Kania mengatai sahabatnya seperti itu, bukankah hal tersebut artinya sama saja dengan dia mengatai abangnya juga?
“Ya, sudahlah. Mau gimana lagi.” Kania menyerah. Mereka lantas diinterupsi oleh kehadiran petugas yang membawa makan malam walau hari itu masih terang benderang. Mungkin mereka tahu kalau Gladiola belum sempat mengisi perutnya sejak pagi. Setelah mengucapkan terima kasih, Kania lalu mengambil kursi dan bersiap menyuapkan nasi untuk Gladiola.
“Lo nggak ada mual, kan? Tadi gue disuruh nanya.”
Gladiola menggeleng. Dia sebenarnya tidak merasa lapar. Nyeri-nyeri baru di dadanya lebih membuatnya kepikiran dan dia amat berharap sampel jaringan benjolan miliknya yang kini dibawa ke laboratorium patologi tidaklah berbahaya. Gladiola tidak tahu mesti bagaimana lagi melanjutkan hidup bila dia terkena kanker ganas.
“Gue bisa makan sendiri.” Gladiola mengeluh karena Kania bersikap seperti ibu yang perhatian ketika menyuapkan nasi ke mulut sahabatnya itu. Pada suapan ketiga, suara salam yang jelas-jelas milik Hans membuat perhatian mereka berdua teralihkan dan Gladiola sadar bahwa mungkin saat itu, Hans hendak menjemput Kania pulang.
“Gue boleh masuk?”
Meski begitu, agak sedikit aneh karena ternyata Hans berkata dia berada di sana sama sekali bukan untuk menjemput Kania melainkan untuk melihat Gladiola yang berarti bagi SPG kosmetik itu dia harus waspada.
Bukan tidak mungkin, kali ini Hans ini kembali mengajaknya adu urat.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro