Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26

26 di sini di sana sudah bab 71. Apdetnya lama karena komennya ga sampai 400 ya kemarin. Lucunya, pas vote udah 400 ada yang teriak apdet. Efek puasa kayaknya.😅

Kenapa diulang terus nanya ola bukan anak kandung? Kalian mainnya kurang jauh, ya, gaes? Atau keluarga kalian emang sayang banget sama kalian? Di belahan Indonesia yang lain, model ortu kayak ola ini bejibun. Makanya, selain baca wattpad, sering2 masuk grup curhat, yes. Supaya tahu kalau anak-anak yang nggak beruntung karena ortunya pilih kasih, banyak banget jumlahnya. Eke juga yakin, di antara yang baca, banyak yang senasib sama Ola.

Dia anak kandung. Oke. Sudah ada penjelasan, muka ola mirip sama muka mamanya. Dah, jangan lagi ditanyain anak siapa. Ada lagi pake anak selingkuhan.

Oh iya, eke baru bikin paketan Ola di KK per 10 bab. Adanya bab berapa itu eke lupa😅 58-67 dan 68-77, tapi yang paket 68-77 baru sampe bab 71 ya. Kayaknya kalo dah beli paket, ga beli lagi kalo ada apdetan.

Terus ama yang protes udah bayar, tapi kekunci lagi, kayaknya bukan eke dah. Soalnya work eke berlaku seumur hidup. Yey ama penulis lain kali, ada juga  sampai 30 hari. Tapi, kalo di work eke yang terkunci, yey cobak kirim bukti pembayaran di IG eke eriskahelmi via dm ig ya. Jangan lupa, follow juga ig eke.

***

Sebuah kalimat yang terus diulang setiap Ranti mengajak siapa saja melihat mereka berdua dan hal tersebut terus diingat Gladiola hingga detik ini. Dia berjanji akan bekerja sekeras mungkin lalu merawat wajahnya dengan tata rias paling mahal sehingga sang adik tidak bisa lagi menghinanya.

Alasan yang kedua, Kania tahu, di mess tidak hanya Gladiola yang tinggal di sana. Dia juga tidak tahu kondisi tempat itu seperti apa dan seperti pada alasan pertama, Gladiola terlalu minder untuk mengajak Kania yang mahasiswa. Entahlah, Kania sendiri merasa bingung dengan sikap sahabatnya itu. Setamat SMA rasa rendah diri Gladiola makin meningkat dan Kania hanya bisa menghormati semua keputusan sahabatnya tersebut.

“Nggak enak didengar Hans. Lagian, lo temen gue. Kalau nggak dikasih tahu, nanti gue salah.” Gladiola membalas. Tadi, sejak di mess, dia sudah menguatkan diri tidak bakal menangis. Di rumah orang tuanya, Gladiola bisa bertahan. Sekarang, dia yakin juga bakal bisa melakukannya.

“Lah, emangnya ada apa, sih? Tumben lo kayak gini?” Kania yang penasaran menegakkan tubuhnya. Dia jadi sedikit tegang karena wajah Gladiola terlihat serius. Apakah sahabatnya itu sudah dilamar orang?

“Sembarangan.” balas Gladiola, memajukan bibirnya. Kalau memang ada yang mau melamar, dia sudah pasti tidak bakal menolak. Tapi, pernikahan kadang bukanlah suatu jawaban walau dia merasa hidupnya mungkin bisa berubah bila ada yang mengajaknya menikah. Belum tentu, setelah menikah keadaan makin baik. Dia tidak bisa meramal masa depan.

“Kirain sama yang kemarin …” Kania mencoba menebak. Tetapi, dia lantas diam karena Gladiola tampak tidak tertarik melanjutkan.

“Gini. Bulan depan, mungkin gue bakal susah ditemui.” Gladiola kembali bicara. Sebenarnya operasi payudara tidak mungkin menghabiskan waktu hingga satu bulan. Tapi, Gladiola yang memilih jalur gratisan masih harus mengurus ini dan itu sehingga dia yakin bakal susah ditemui bila Kania mencari. Dia juga sudah membeli ponsel biasa, yang tidak ada kamera dan bukan android. Benar-benar HP berlayar hitam putih yang cuma bisa telepon dan SMS demi menjaga agar kartu SIM-nya tidak mati. Gara-gara itu juga, dia kemudian berani menunjukkan kepada Kania kalau sekarang sahabatnya sudah boleh menelepon Gladiola lagi.

“Gaya lo.” Kania mendadak tertawa. Memang lawak kelakuan Gladiola itu. Kalau dia tidak bisa ditemu, cukup beritahu saja Kania. Kalau sudah begini, kelihatan sekali kalau dia sedang banyak lagak.

“Bukan begitu.” Gladiola kembali membalas, “Lo ingat, tahun kemarin gue pernah jatuh pas hujan, ketimpa galon?”

Wajah Gladiola tampak serius saat dia melanjutkan dan tawa yang tadi ada di bibir Kania mendadak menghilang begitu dia mengangguk.

“Gue nggak tahu, apakah ada hubungannya, tapi, karena kejadian itu, gue jadi banyak fokus nyentuh dan meraba dada gue. Lo, kan, tahu kalau awal-awal jatuh dulu gue menderita banget, sampai demam.”

Kania masih belum paham dengan kata-kata Gladiola tersebut. Matanya malah tertuju ke arah dada sahabatnya yang kini di matanya agak sedikit berisi. Benarkah, kejadian setahun yang lalu bisa membuat dada temannya itu membengkak? Tapi, dia juga tahu kalau berbulan-bulan, Gladiola sudah makan makanan yang bergizi. Tidak seperti saat dia masih tinggal di rumah ibunya. Untung saja, saat itu Gladiola tidak makan sampah asal dia bisa hidup. 

“Lo ngomong muter-muter. Yang jelas aja langsung ke inti pembahasan. Lo, kan, tahu gue bego.” Kania memberi ceramah dan karena itu juga, Gladiola yang tadinya duduk, lantas berdiri. Dia merasa nyaman bila bicara cukup dekat dengan Kania.

“Gue mau dioperasi, minggu ke dua bulan satu.”

Rasanya, Kania seperti disiram air dingin mulai dari atas kepala hingga ujung kaki. Meski begitu, dia masih mencerna kata-kata yang keluar dari bibir sahabatnya selama beberapa detik sebelum memberi respon sambil berusaha tertawa agar suasana tidak aneh di sekitar mereka.

“Lo, mah. Masak gara-gara ketimpa galon langsung operasi. Emangnya dada lo kenapa? Setahu gue, yang mesti dioperasi, tuh, yang kena tumor, kena kanker. Kecuali, lo mau gedein dada biar kayak Duo Serigala.”

Wajah Gladiola tampak kecut. Dia sendiri tidak tahu mesti menjawab apa. Yang pasti, dia berharap kalau setelah dioperasi nanti, benda aneh yang menempel di dadanya itu tidaklah berbahaya, minimal tidak ganas. Dia bahkan sudah berjanji akan menjalani hidup sehat, kalau perlu hanya makan daun biar tidak lagi tertimpa musibah seperti ini. 

“Nggak.” Kania menggelengkan kepala lalu meremas pelipis seolah menyesal karena kata-katanya barusan seperti doa yang terkabulkan padahal dia tidak menginginkannya.

“Lo kalau ngomong yang bener, dong.” 

Marah, Kania kini ikut berdiri seperti Gladiola dan entah kenapa, Malah dia yang menangis lebih dulu. Pipinya memerah menahan emosi sewaktu melihat Gladiola berusaha tersenyum, “Gue bahkan belum ngomong dan lo sendiri yang nebak.”

Dengan punggung tangan, Kania menyeka air mata yang tahu-tahu luber. Bahunya bahkan naik turun. Respon seperti ini tidak dia dapat dari keluarganya sendiri. Bahkan, Ranti sempat mengirimkan pesan dan berkata kalau Gladiola adalah ratu drama paling lihai di dunia.

Tapi, dia tidak membalas adiknya. Dibiarkan saja Ranti bicara seperti itu. Malah, ujung-ujungnya, Ranti minta uang dan Gladiola terpaksa memblokir nomor adiknya. Sungguh menjijikkan perilaku tuan putri kesayangan orang tuanya itu dan dia tidak habis pikir, mereka berdua mewarisi darah yang sama.

Bukan. Ranti ogah banget disamain sama gue. Inget itu,La. Dan lo seharusnya juga ogah punya saudara matre kayak dia.

“Kenapa lo nggak bilang dari dulu? Harusnya dari awal, La.” Kania terisak, “Pasti gara-gara ini lo nggak mau ketemu gue. Sampai lo nggak les lagi.” 

Ada banyak alasan dia tidak melanjutkan kursus bahasa Inggris. Rencana operasi adalah salah satunya. Tetapi, dia juga ingin menenangkan diri dan tidak perlu baper setiap melihat wajah Hans. Dia akui, tidak terlalu kuat menjauh dari pemuda tampan itu. Hatinya busuk dan amat lemah, tidak peduli kelakuan dan mulut Hans selalu membuatnya sedih. 

Hari ini juga, dia berniat mampir supaya bisa bertemu Hans, menyerap energi sebanyak-banyaknya untuk dia simpan sebagai obat penenang saat dioperasi nanti. Tidak mungkin Hans bersikap seperti pria baik di dalam novel dan juga dia tidak berharap Hans bakal jatuh cinta karena dia punya penyakit. Tidak! Itu terlalu klise dan terkesan memaksa. Cerita cintanya bakal jadi amat norak dan dia tidak suka. 

Toh, dia ingin realistis saja untuk saat ini. Hans tidak punya perasaan kepadanya dan dia sudah menyerah. Umurnya juga hampir sembilan belas. Tidak terlalu tua untuk disebut wanita kurang laku. Malah, bila dia menikah sekarang, orang-orang bakal mengatainya kegatalan sehingga yang paling tepat adalah bersikap sewajarnya, menjadikan kesembuhan sebagai fokus dan mencari uang supaya nanti dia bisa menikmati hidup sebagai hal yang utama. 

“Gue juga baru tahu, kok.” Gladiola membalas. Dia lalu panjang lebar menceritakan pengalamannya termasuk respon keluarganya yang membuat Kania terperangah. Gara-gara itu mental Gladiola amblas hingga ke titik terendah dan dia tidak sanggup bertemu siapa saja. 

“Kalau bukan karena teman-teman di mess yang maksa gue berobat, belum tentu gue mau. Lo nggak tahu aja gimana hancurnya gue kemarin.”

Gladiola bersyukur dia tidak secengeng dulu dan di antara mereka berdua hanya Kania yang menangis. Sepertinya, dia merasa amat menyesal tidak berada di sisi Gladiola di masa-masa sulitnya. 

“Bukan. Gue tahu lo sibuk. Sudahlah, nggak perlu diperdebatkan lagi soal kemarin. Yang gue mau, segala kenangan buruk gue di tahun ini, selesai sampai di sini. Tahun depan, gue dioperasi, sembuh, punya banyak duit, bisa jalan-jalan sama lo.Tapi, kalau harus milih, gue mau kuliah, menata hidup gue yang berantakan biar balik normal lagi kayak kalian.”

Usai mengucapkan hal tersebut, Kania malah memeluk tubuh Gladiola. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak seperti ini dan dia merasa amat bersalah. Karena itu, begitu pelukan mereka akhirnya terlepas, Kania lantas bicara, “Bra, setelah ini, jangan main rahasia lagi kalau lo masih menganggap gue sahabat. Hidup gue sebagai mahasiswa nggak ada hubungan sama persahabatan kita. Gue sayang banget sama lo sebagai kawan, saudara. Lo tahu, gue cuma punya Hans dan jadi adiknya nggak seenak sama lo. Jangan minder karena penyakit atau kondisi lo. Malah, gue bangga punya sahabat kayak lo yang terus bangkit nggak peduli keluarga atau malah abang gue jahat banget.”

“Oke.” Gladiola membalas singkat seolah kehilangan kata-kata. Entah kenapa, mendengarnya membuat dia jadi ingin menangis juga, terutama setelah Kania menawarkan diri untuk menemani gadis itu saat dioperasi nanti.

“Jangan. Lo mesti kuliah.” Gladiola mencoba menolak. Tak urung dia gagal karena Kania mengatakan kalau semester baru dimulai pada bulan Februari dan apa pun yang akan terjadi, dia akan mengikuti sahabatnya itu bahkan kalau perlu hingga ke ujung dunia. 

“Tapi, lo janji, kalau mampir nanti, jangan ajak Hans. Jangan sampai dia tahu …” 

Sampai di situ, Gladiola merasa tenggorokannya tercekat. Rasanya begitu menyakitkan sehingga tidak sadar air matanya meleleh padahal sejak tadi dia merasa amat kuat. Entah kenapa, begitu nama Hans dia sebut, rasanya benteng yang dia bangun selama bobol begitu saja.

Dasar lemah. Makanya dia nggak suka lo.

“Dia nggak bakal tahu.” Kania meyakinkan. Senyumnya sedikit mengembang dan dia meyakinkan Gladiola kalau semua akan berakhir baik-baik saja. Sahabatnya itu akan segera sembuh dan mereka akan menghabiskan waktu hingga berumur seratus tahun lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro