Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25

Alo gaes. Ramein vote ama komen ya. Kalo lewat 400 eke apdet lagi jam 5 ini.

***

25 Pelangi di Langit Gladiola

Bekerja sembari mengurusi pengobatan untuk dirinya yang secara medis belum terbukti kebenarannya membuat Gladiola pada akhirnya menyerah dan menuruti saran Tata untuk mendatangi fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh fasilitas layanan BPJS. Untunglah, papa mau bekerja sama membawakan berkas-berkas penting milik Gladiola. Meski begitu, ada harga yang dibayar ketika dia menguatkan diri untuk mampir ke rumah dan mengatakan kalau tidak lama lagi, besar kemungkinan Gladiola harus dioperasi. Dokter di puskesmas telah memberi surat rujukan ke faskes yang tingkatannya lebih tinggi untuk melakukan pemeriksaan dan setelahnya, dia mesti siap dengan apa pun keputusan yang diberikan oleh dokter. 

Tapi, Gladiola sudah pasrah. Telah berhari-hari dia merenungi nasib yang sebetulnya tidak malang-malang amat. Oke, dia gagal ditaksir mantan gebetan dan keluarganya sendiri tidak sayang-sayang pula kepadanya. Tapi, Gladiola merasa bersyukur mendapatkan pekerjaan yang lumayan sementara banyak orang kadang mesti bersusah payah supaya bisa mendapatkan uang. Kedua orang tuanya adalah contoh dan kadang dia berpikir, sifat mama dan papa jadi seperti itu karena kerasnya kehidupan yang mereka jalani, terutama karena harus memberi makan dua anak perempuan yang kadang tidak tahu diri, Gladiola dengan mulut dan perutnya yang selalu lapar dan Ranti yang banyak tingkah selalu ingin dibelikan ini dan itu.

“Gue sibuk. Nggak bakal bisa datang ngurus lo, jangan merengek-rengek.” ucap mama saat beliau sedang mengupas kulit kelapa. Gladiola sebenarnya tidak ingin datang. Tapi, siapa tahu operasinya gagal dan dia tiba-tiba mati. Keluarganya bakal kaget ketika nanti ada mobil jenazah datang dan putri sulung mereka tinggal jasad saja. Meski begitu, Gladiola yakin dia tidak bakal ditangisi melainkan dimarahi oleh sang ibu lantaran bakal menghabiskan uangnya. Kematian tidak pernah murah dan sebenarnya, Gladiola lebih mengkhawatirkan mama yang menggerutu.

“Di dunia aja nyusahin lo, mau mati pula.”

Sisi baiknya, Gladiola menganggap ucapan mama adalah doa supaya dia tetap hidup. Lagipula, siapa yang mau mati? Dia masih punya banyak rencana dan setelah sembuh nanti,dia akan ikut kursus alumni agar bisa kembali bergabung di universitas tempat sahabatnya Kania menimba ilmu lalu liburan keliling Indonesia dengan atau tanpa Kania. Tentang pekerjaannya sebagai SPG, Gladiola juga tidak akan berhenti. Dia sudah mendengar bahwa pegawai yang punya latar belakang pendidikan bagus, bekerja dengan amat giat bakal ditarik ke bagian manajemen dan bisik-bisik dari teman-teman, pegawai tetap seperti itu digaji dengan nominal menggiurkan, di atas sepuluh juta yang membuat mata Gladiola membelalak saking terpesonanya. 

“Doain nggak mati, Ma.” balas Gladiola pelan. Dia ingin sekali membalas walau dokter gagal menyelamatkan nyawanya, Gladiola akan terus berusaha hidup. Dia akan merayu Tuhan supaya umurnya diperpanjang. Toh, gaji sebagai supervisor supermarket saja sudah membuatnya bersemangat hidup. 

Mama memilih diam dan tidak melanjutkan sementara di depan rumah, papa sudah siap mengantar Gladiola. Namun, gadis itu menolak. Papa masih bertanya-tanya alasan Gladiola menghindari tatapan matanya dan lebih memilih untuk mengunjungi Kania yang rumahnya beberapa blok dari rumah orang tuanya. Hari itu hari Minggu dan Kania yang jomlo memilih berada di rumah. Sahabatnya itu kurang suka keramaian dan lebih suka berada di dalam kamar. Kania juga kurang suka mendengar suara berulang-ulang sehingga dia tidak suka menyetel musik, menyalakan suara notifikasi ponsel atau juga dering ponsel. Ketika Gladiola menuduhnya introvert, Kania dengan lantang membalas dia normal, tetapi kurang suka saja dengan semua itu. Hanya dengan Gladiola yang kadang juga suka dengan keheningan dia tahan. Bila tidak, setiap mendengar suara seperti klakson, tetesan air di dalam ember di kamar mandi, Kania merasa jantungnya hendak meledak dan kadang-kadang sesak napas.

Ketika Gladiola menyuruhnya datang ke dokter jiwa, Kania ngambek dan mendiamkan sahabatnya itu padahal Gladiola menegaskan, ke dokter jiwa bukan berarti Kania gila.

“Mau ke rumah Nia, Pa.” Gladiola menjawab sopan. Melihat tubuh papa yang sudah hampir berusia lima puluh membuat Gladiola menahan nyeri. Entah kapan tangan pria itu terakhir kali memeluknya, dia tidak ingat. Bila Ebiet G. Ade bilang kalau tangan ayahnya legam dan pipinya keriput, dia juga melihat hal yang sama di wajah ayahnya. Kadang, Gladiola yang kasihan membelikan papa jaket atau kaus baru. Tetapi, ketika pria itu sedang tidak baik suasana hatinya, Gladiola akan mendapat omelan yang lebih keras dari pada yang keluar dari bibir mama.

“Sekalian, Papa juga mau keluar. Rumah Nia nggak jauh dari pengkolan.”

Gladiola memilih menggeleng. Dia tidak yakin hatinya bakal kuat. Hari-hari menjelang operasi membuat perasaannya menjadi lebih lemah dan dia sadar, bakal menghadapi semua itu sendirian. Tidak ada mama atau papa yang bakal menghampiri. Ranti? Belum-belum adiknya sudah merinci biaya bila Gladiola mau memintanya mampir dan dia khawatir, Ranti bakal mempermalukan dirinya sendiri. 

Sudahlah, sendirian juga nggak apa. Lagian, gue mesti kasih tahu Nia supaya dia nggak nyari.

Syukurlah papa tidak memaksa dan mama juga tampak cuek ketika dia pamit. Gladiola tidak berharap ada adegan mesra ala-ala sinetron, tentang mama yang menangisi dan mendoakan yang terbaik. Yang penting dia sudah setor wajah dan mengatakan maksud kedatangannya hari itu. 

Gladiola berjalan sekitar tujuh menit untuk tiba hingga ke rumah sahabatnya. Setiba di sana, dua saudara, Hans dan Kania sepertinya sedang bertengkar di depan rumah. Hal tersebut jelas membuat Gladiola menyunggingkan senyum. Sejak dulu, mereka berdua selalu melakukannya. Entah di sana ada Gladiola atau saat tidak ada. Untuk kali ini, dia tidak tahu topik pertengkaran yang dipermasalahkan kedua saudara itu. 

Gladiola mengucap salam tepat ketika dia memegang pintu pagar dan segera saja kedua orang itu menoleh ke arahnya. Mulanya, Gladiola merasa agak kikuk. Tetapi, dia meyakinkan diri kalau seperti di rumah orang tuanya tadi, dia akan melewati proses ini tanpa butuh waktu lama. Meski begitu, agak sedikit aneh saja bisa melihat wajah Hans setelah pertemuan terakhir mereka di supermarket, saat Kania ternyata membawa abangnya ketika bertemu Gladiola. 

“Bra! Panjang umur banget. Baru aja dibahas.”

Kania seperti biasa selalu antusias saat melihat Gladiola. Tidak heran, Hans selalu menggodanya seperti penyuka sesama jenis dan kemudian berakhir dengan sebuah pertengkaran lagi. Hans sendiri yang tadinya duduk di kursi teras tahu-tahu saja bangun dan menyunggingkan senyum saat melihat kehadiran Gladiola. Tapi, gara-gara itu juga dia sadar, gadis itu membabat habis rambutnya hingga bawah telinga. Andai rambut Gladiola lurus, maka Hans menebak kalau potongannya mirip seperti rambut bob. 

“Nggak kerja?” basa-basi Hans mulai pembicaraan karena dari beberapa pertemuan mereka yang terakhir, Gladiola mulai ogah-ogahan merespon ucapannya. Gladiola sendiri hanya membalas dengan senyuman tipis lalu secara mencurigakan memberi kode kepada Kania untuk bicara berdua saja.

“Lho? Kenapa?” Kania bingung dan segera otaknya sadar kalau keberadaan abangnya yang membuat Gladiola enggan bicara. Tidak butuh waktu lama, Kania segera menarik tangan sahabatnya itu segera menuju kamarnya sedang Hans yang merasa diacuhkan hanya mampu menjulurkan kepala dan merasa amat penasaran.

“Lah, baru juga datang.” ujarnya dengan suara pelan. Selama beberapa kali, pemuda tampan itu mencuri pandang ke arah dalam rumah tapi tidak mendapatkan hasil apa-apa dan kemudian yang bisa dia lakukan adalah kembali duduk di kursi depan rumah dan mencoba memejamkan mata padahal dia sama sekali tidak diserang rasa kantuk melainkan mencoba mencerna dengan otaknya atas perubahan sikap Gladiola yang selama hampir satu tahun ini seperti orang asing yang tidak pernah dia temui sebelumnya.

Sementara, di dalam kamar Kania, dua sahabat itu saling pandang. Sudah beberapa bulan Gladiola tidak mampir dan dia agak pangling dengan perubahan beberapa benda di dalam kamar tersebut. Ada tambahan sebuah rak baru di sudut kamar, lengkap dengan aksesoris semacam kawat besi tempat menempelkan foto-foto dan hiasan. Ada lampu seri berwarna-warni yang menyala dan Gladiola bisa menemukan fotonya di sana. Ada beberapa foto termasuk dua yang ada Hans. Entah kenapa, Kania bisa pas mengambil gambar dua orang itu lalu mengguntingnya dengan bentuk hati. Melihatnya saja membuat tangan Gladiola gatal. Tetapi, nekat mengambil dan merobek foto tersebut bakal membuat Kania ngamuk kepadanya. 

“Tumben lo kayak ngajak rahasia-rahasia kayak gini.” Kania menarik bangku dekat meja belajar miliknya dan duduk di sana sementara Gladiola sudah menghenyakkan bokong di pinggir kasur. Tetapi, dia sangat berhati-hati agar tidak merusak tatanan seprai yang dibuai oleh sahabatnya itu. Meski mereka dekat, Gladiola sadar, dia berada di rumah orang, bukan di kamarnya di dalam mess. Bahkan, hingga detik ini, Kania masih menghargai Gladiola dan tidak memaksa untuk bisa datang ke kamarnya, baik itu di rumah orang tuanya atau di mess. 

Alasan yang pertama, Gladiola merasa malu. Kamar di rumah orang tuanya adalah kamar tambahan. Letaknya di belakang kamar mandi. Aslinya kamar Gladiola adalah sisa teras belakang rumah yang merupakan tempat pompa air manual yang kemudian menjadi terbengkalai setelah mama membeli mesin pompa air listrik. Mama memutuskan menembok belakang rumah dan menambah atap. Gladiola yang hingga berusia enam belas selalu sekamar dengan adiknya, memohon untuk tinggal di sana. Dengan gorden bekas yang dipasangi tali, dia akhirnya punya kamar sendiri. Meski begitu, karena hanya berbeda dinding saja dengan kamar mandi, dia bisa mendengar kalau anggota keluarganya buang air. Bahkan, wajahnya jelas sekali menghadap bagian belakang siapa saja yang buang hajat andai tidak dibatasi tembok.

Tapi, begitu saja dia sudah puas. Kebahagiaan punya kamar sendiri membuatnya merasa sedikit berharga dibanding saat Ranti mengajak kawannya masuk kamar saat dia duduk membaca buku lalu berkata, “Itu mbak gue. Muka kami nggak sama, kan? Cantikkan gue, kan?” 

Sebuah kalimat yang terus diulang setiap Ranti mengajak siapa saja melihat mereka berdua dan hal tersebut terus diingat Gladiola hingga detik ini. Dia berjanji akan bekerja sekeras mungkin lalu merawat wajahnya dengan tata rias paling mahal sehingga sang adik tidak bisa lagi menghinanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro