Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Asalkan Bahagia

Kalo ada typo maaf ya, ngetik langsung pub🥲

Semuanya bila diteliti memang seperti masih abu. Hal-hal yang seharusnya diberi tahu, justru menjadi rahasia. Peliknya, itu tentang perasaanmu padaku.

><

Pagi ini ketika Afkar akan berangkat kerja, Caca mengantar sampai depan pintu. Setelah berpamitan dan Caca mencium tangan Afkar, lelaki itu tidak kunjung berangkat. Hanya diam berdiri di depannya.

Alisnya menukik, memikirkan sesuatu apakah ada yang tertinggal.

"Ada yang kelupaan, Bang? Kok nggak berangkat?"

Afkar menelisik ke sekitar, cuaca pagi ini menyegarkan karena dini hari turun hujan tipis. Membuat suasana tampak sejuk. Matahari pun menyembul cerah perlahan. Ia kemudian menunjuk kening perempuan di depannya dengan dagu.

"Apa?" Caca menegang keningnya. "Di jidat aku ada apanya? Rambutnya keluar ya, Bang?"

"Mau cium." Afkar berkata pelan.

"Hah?" Caca meneguk ludahnya sendiri dengan jantung yang bertalu. Kenapa juga suaminya ini meminta izin, padahal bisa melakukannya dengan bebas?

Ya, walaupun mengingat sentuhan fisik mereka memang wajar jika saling meminta izin bila ingin memegang dan mencium sana-sini.

"Mau cium kening kamu, boleh?"

Nggak pake nawaitu dulu kali ya kalo ngomong? batin Caca resah.

Caca lantas mengangguk. Ia hanya diam terpaku ketika Afkar memegang kepala dan mendekatkan wajah. Sebelum bibir itu menempel di keningnya, dapat ia rasakan ibu jari Afkar mengusap lembut di sana sebanyak dua kali.

Cup.

Selang lima detik, Afkar menjauhkan wajah dan menatap Caca. Ia menatap mata kecil dan bulat itu dengan hangat. Perasaannya membuncah di dalam sana. Dadanya meletupkan kembang asmara disertai perut yang menggelitik.

Sepertinya ia harus berterimakasih pada sahabatnya, Ganda, karena memberi saran yang tidak salah. Afkar berkonsultasi pada orang yang tepat. Coba saja pada dua sahabatnya yang lain, sudah pasti tidak ada harapan.

"Aku berangkat. Assalamualaikum," ucap Afkar, lalu mengusap kepala Caca dan berjalan menjauhi perempuan itu.

Caca menjawab salam lirih sambil memandangi punggung tegap suaminya yang semakin menjauh.

Setelah mobil yang dikendarai Afkar menghilang dari penglihatannya, Caca memasuki rumah sambil bergumam tentang kejadian tadi. Ia masih terkejut karena Afkar sudah berani meminta cium-cium. Memang itu sebuah kemajuan, tapi tidak baik juga untuk jantungnya yang belum terbiasa.

Mulai sekarang ia harus mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi bila sentuhan fisik itu kembali terulang.

***

Pertemuan dengan dosen pembimbing berjalan dengan baik. Kelancaran skripsinya berkembang pesat, dinyatakan ia bisa sidang minggu depan. Langkah kakinya terasa dengan. Bahu kecilnya memancarkan aura semangat yang kentara.

Di sampingnya ada Aruna, teman baiknya sedari awal ia masuk ke kelas. Jelas saja Aruna yang lebih dulu memperkenalkan diri dan bercerita banyak tentang pengetahuan mengenai kampus yang mereka tempati. Caca tetaplah Arsya Fidiya yang pemalu dan tidak banyak bicara kepada orang baru. Sungkan, itulah yang ia rasakan setiap berdekatan dengan orang-orang baru.

Aruna memiliki tubuh yang tinggi, membuat mereka seperti adik-kakak saat berjalan beriringan seperti sekarang. Tinggi Aruna 165 cm, sedangkan Caca 155 cm.

"Cie, minggu depan sidang, habis itu wisuda, deh!" kata Aruna sambil merangkul Caca. Ia tersenyum senang karena memiliki nasib yang sama seperti temannya, yaitu sidang minggu depan.

Caca tersenyum lebar dan menggenggam jemari Aruna di bahunya. "Kamu juga, Una. Akhirnya impian kita buat lulus bareng terwujud!" balasnya.

"Habis lulus nanti, kamu jangan ngilang ya, Ca! Pokoknya kalau ada apa-apa bisa cerita dan kasih tahu aku."

Caca menurunkan tangan Aruna dari bahu dan menggenggamnya. Mereka bergandengan selayaknya sahabat sejati. Begitu romantis dan sedap dipandang. Lucu. Rasanya mereka ingin terus bersama dan dekat tanpa adanya jarak dan waktu yang menghalangi.

Namun, hidup terus berotasi. Dulu Caca juga berpikir bahwa ia tidak ingin berjauhan dengan Gigi dan temannya yang lain, tapi lambat laun ia mulai menikmati hidupnya di masa sekarang, dengan atau tidaknya jarak yang membentang dengan temannya.

Begitu juga yang akan dihadapi dengan Aruna. Mereka akan berpisah dan meneruskan hidup masing-masing bersama takdir yang belum diketahui seperti apa ke depannya.

Mereka berharap bisa terus berteman baik sampai nanti. Sampai mengadakan reuni kecil disertai keluarga masing-masing.

"Iya. Kamu juga nanti jangan sering-sering begadang buat baca novel di hape. Inget, mata kamu udah minus tiga, Una."

Aruna tertawa. "Gemes banget, sih, temen aku ini? Iya, Aca, siap! Tapi nggak janji, ya? Itu kan pelarian terbaik."

Mereka berhenti berjalan di gerbang utama kampus. Cukup ramai orang berlalu-lalang di pukul lima kurang lima belas menit ini. Mereka memilih duduk di bawah pohon mangga besar. Bangku besi panjang muat empat orang itu diduduki keduanya.

"Jadi dijemput, Na?" Caca bertanya ketika Aruna sibuk dengan ponsel, tampak sedang mengabari seseorang.

"Jadi, Ca. Keputusan Nyonya Wijaya nggak bisa ditolak." Aruna terkekeh hambar.

Caca menyandarkan kepala di lengan Aruna. Kebiasaan yang paling ia sukai saat menunggu sesuatu dan Aruna ada bersamanya. Ia beruntung memiliki Aruna, selain menjadi teman, Aruna merangkap seperti kakak. Sisinya yang dewasa sangat kental seperti Esha.

"Suami kamu udah jalan ke sini belum?"

Caca mengangguk. "Udah. Tadi pas kita keluar ruangan abang udah jalan ke sini."

"Kehidupan setelah menikah itu pelik, ya?"

"Udah usia dua bulan, semuanya masih berjalan lancar. Sampai sekarang kami baik-baik aja. Mungkin peliknya belum ada karena masih baru. Tapi, aku berharap pelik itu bisa dilewati dengan mudah." Caca memainkan jemari tangan Aruna. "Jangan takut, Una. Lelaki yang akan bersama kamu itu udah menjadi takdir yang nggak terelakkan. Aku yakin kamu pasti, apalagi kamu lebih dewasa daripada aku."

"Aku nggak kenal dia, Ca. Dia asing. Gimana bisa aku percaya? Apa yang bisa aku genggam buat jadi landasan keyakinan kalau semuanya bakal baik-baik aja?"

Akhirnya Caca memeluk tubuh itu. Mengungkung Aruna dengan tangannya yang kecil. Ia mengangguk mengerti bagaimana ketakutan dan resah yang ada dalam benak juga hati temannya.

"Awalnya aku juga berpikir kayak gitu. Aku juga nggak tahu bentuk landasan yang bisa buat aku yakin apa saat itu, sedangkan kata cinta, sayang dan suka aja nggak pernah diucapin." Caca kemudian mendongak. Tatapan mereka bertemu. Ada pancaran rasa peduli dan kasih sayang antar teman. "Tapi, Una, setiap keputusan yang dipilih dalam hidup akan menciptakan perubahan untuk diri sendiri. Entah hati, sikap, dan tingkah lakunya, pasti akan berubah jadi lebih baik, apalagi untuk pasangan hidup. Saat itu juga kamu bakal tahu landasan yang buat kamu yakin sama orang ini itu apa. Kamu cukup menjalaninya aja dengan baik."

***

Matahari tenggelam di ufuk barat tampak cantik. Perjalanan pulang sore ini diisi dengan lagu-lagu milik Ed Sheeran. Di kursinya, Caca sedang menikmati es krim yang Afkar beli dari kedai makanan cepat saji. Entah kenapa bisa Afkar tahu bahwa hari ini ia mendapatkan kabar baik dan merasa seperti diberi hadiah, walaupun kecil dan itu berupa sebuah es krim karena ia tidak memintanya.

"Hari ini dosennya full senyum, Bang. Aku jadi ikutan senyum terus sampai giginya berasa kering karena beliau banyak puji aku. Agak aneh karena mood-nya terlalu bagus, tapi untung di aku juga." Ceritanya mengalun tanpa henti. Perempuan itu menceritakan sedari ia masuk ruangan sampai keluar dan duduk bersama Aruna di bawah pohon mangga

"Seneng?" Sebenarnya ini pertanyaan yang tidak butuh jawaban, tapi Caca tetap mengangguk semangat.

"Banget?"

"Banget, banget, banget, pokoknya! Apalagi Abang beliin aku es krim padahal aku nggak minta. Senengnya jadi banget, banget, banget, banget."

Afkar terkekeh kecil. Ia mengusap lembut kepala Caca. Perasaannya menghangat karena perempuan di sampingnya ini bahagia. Tidak sia-sia ia ikut membantu mengerjakan skripsi dan membenahi apa yang salah. Apa pun, apa pun akan dilakukan asal Caca bahagia. Asal Arsya bisa tersenyum dan tertawa dan ia ada di sisinya.

***

Gimana? Mau tinggalin lapak ini? Nggak papa🥰

Sebenernya mau bikin versi AU, tapi nggak ngerti caranya hihihi

Subang, 15 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro