11. Permintaan
Lapak ini karatan, jamuran, bersarang laba-laba, lumutan😭
⚠️15+⚠️
Manis-manis manjaaaaaa
Happy reading!
****
"Sya?" Afkar memanggil ketika keheningan menyeruak sebelumnya.
"Iya?"
Afkar menahan napas sejenak, dalam hati ia ragu ingin mengatakan hal ini atau tidak. Jika mengatakannya, apa Caca akan setuju?
Keheningan menyeruak kembali. Afkar justru menjauhkan tubuh, lalu matanya menatap Caca yang menunggu ucapannya.
"Kenapa?" Caca bertanya lembut.
"A-aku pengen kita punya anak."
Dentuman keras di hati Caca membuat perempuan itu meneguk ludah kasar. Tatapan keduanya saling mengunci. Sama-sama merasakan debaran gila yang membuncah di dalam sana tanpa saling mengatakan.
Afkar mengerjap. "Ma-maaf, aku nggak bermaksud buat kamu-"
"Bang." Caca menyela. "Berarti aku harus hamil dulu 'kan?" tanyanya polos.
"Ha?" Sebentar, Afkar jadi bingung. Ya, kalau bukan Caca yang hamil, lalu siapa? Dirinya, begitu?
"Ya, kalau bukan kamu yang hamil, terus siapa? Aku?" tanya Afkar, jadi sebal sendiri.
Caca cemberut. "Tapi, aku belum hamil, tuh." Ia mengelus perut ratanya. "Biar hamil, gimana?"
"Kamu anak IPA atau bukan?" Afkar sepertinya akan bertambah demam jika membahas hal ini dengan istrinya.
"Alumni sih lebih tepatnya," kata Caca. "Emang kenapa?"
Kemudian, hening. Afkar mengembuskan napasnya pelan-pelan, seakan tidak mau membuat suara dari keluarnya embusan itu. Caca masih duduk di pangkuannya, tidak sadar jika perempuan itu sedang malu.
Afkar tidak pernah bermanja seperti ini pada Caca. Mungkin, lebih tepatnya, Caca yang belum tahu saja bagaimana sifat asli lelaki itu. Mereka sudah menjadi suami-istri, jadi wajar saja jika Afkar berperilaku demikian.
Meskipun mereka belum pada tahap benar-benar saling tahu satu sama lain—baik luar atau pun dalam—mereka sama-sama ingin belajar. Afkar belajar memperlakukan Caca selayaknya perempuan yang benar-benar ia cintai, menghargai dan menghormati perempuan itu sebagaimana mestinya. Dan Caca, ia belajar menjadi istri yang baik. Yang bisa mengurus Afkar dan bisa memenuhi semua apa yang Afkar mau karena itu memang kewajibannya.
Jika saat ini pembahasan mereka tentang anak, maka Caca tidak akan merasa tidak enak. Ia menerima apa pun keinginan Afkar, selagi itu hal yang baik.
"Tapi, kamu lagi skripsi," ucap Afkar tiba-tiba.
Caca menoleh terkejut, lalu bertanya, "Emang masalahnya di mana?"
"Nanti keganggu." Tatapan mereka kemudian bertemu.
"Emangnya langsung jadi, ya?"
Ya Allah ....
Afkar gemas sendiri. Ia menarik kecil rambut Caca. "Ya ... tergantung," ucapnya kaku.
"Mati dong." Caca kemudian tersenyum kuda ketika Afkar menatapnya datar. "Becanda, hehehe."
Afkar masih saja menatap Caca datar. Sungguh, ekspresinya tidak ada sama sekali. Caca gemas sendiri, lalu menarik kedua sudut bibir Afkar. Bukannya membentuk senyuman, akan tetapi seperti ekspresinya Joker.
"Abang, tuh, mukanya kayak tembok, datar. Tapi, kadang-kadang nggak juga, sih. Tergantung."
"Mati dong," ucap Afkar, menirukan ucapan Caca tadi.
"Abang?"
"Hm?" Afkar seperti mempunyai adik baru kalau seperti ini.
Caca menatap serius lelaki itu. "Aku siap kalau emang sekarang udah saatnya."
Ada keraguan yang terpancar di mata Afkar. Ada sebuah kejanggalan yang menghantuinya. Ada sebuah pernyataan yang tak mau ia ucapkan, namun sekarang perempuan yang ada di dekatnya ini sama sekali tidak ragu atas permintaannya.
Apa rasa cinta sudah ada dalam hati Caca untuknya? Itu yang Afkar pikirkan.
"Soal skripsi aku, Abang nggak perlu terlalu mikirin. Abang sendiri yang bilang kalau aku pasti bisa. Jadi, misalkan kedepannya ada suatu hal yang terjadi, itu nggak akan jadi penghambat." Caca menaruh kedua tangannya di depan dada Afkar. "Karena aku yakin, Abang akan selalu di samping aku."
Lalu, Afkar mengempaskan tubuh begitu saja membuat tubuh Caca ikut tertarik menindih tubuhnya, membuat Caca terkejut. Afkar berdeham pelan, lalu berguling. Membuat Caca kini ada di bawahnya.
Kini Afkar mengurung tubuh Caca dengan kedua tangan yang menopang tubuhnya sendiri. "Sya," panggilnya.
Caca mengangguk sebagai respons karena ia benar-benar terkejut, ditambah grogi. Tubuhnya seakan bergetar ketika Afkar mendekatkan wajah. Embusan napas menyapu lembut wajahnya.
"Pintunya udah dikunci, 'kan?"
Caca mengangguk, lagi.
Afkar mengecup lembut kening Caca, lamat-lamat, lalu berpindah pada kelopak mata. Berlanjut pada kedua pipi, hidung, dagu, dan yang terakhir gerakannya terhenti di depan bibir.
Caca meremas seprai, menanti apa yang akan Afkar lakukan padanya dengan mata tertutup. Ketika Afkar mengatakan untuknya membuka mata, ia menurut. Perlahan, kelopak matanya terbuka, langsung disuguhkan sepasang mata yang menatapnya lembut. Ia benar-benar menyukai tatapan ini.
Afkar langsung menciumnya. Caca membulatkan kedua mata, sedangkan Afkar menikmati aksinya. Ia menutup mata dan perlahan mulai menggerakkan bibir.
Cukup lama, hingga suara berat milik Afkar berbisik di sela-sela kegiatan. "Kalau nanti kamu ikutan demam, aku bakal tanggung jawab."
"Kalau mau aku berhenti di tengah jalan, maaf, Sya, aku nggak bisa."
***
Pagi ini menatap sebal Afkar yang sudah rapi memakai pakaian kantor, sedang memakai jam tangan. "Aku kok nggak bisa jalan?!" tanyanya, kesal.
Afkar menoleh pada Caca yang menutup rapat-rapat tubuhnya dengan selimut. Seketika ingatannya kembali pada hari kemarin ketika mereka berbagi kehangatan untuk yang pertama kalinya. Sentuhan-sentuhan halus yang diberikannya pada Caca masih membekas di telapak tangannya.
Sial!
Afkar merasakan jantungnya berdebar gila.
"Ngesot aja," ucap Afkar, enteng.
Mata Caca berkaca mendengar itu. Ia memutar tubuh agar memunggungi Afkar. Rasa kesalnya semakin bertambah karena lelaki itu sepertinya cuek-cuek saja setelah kemarin mereka ....
Ah, sudahlah! Caca malu mengingatnya!
Afkar menatap punggung yang tertutup selimut itu tanpa ekspresi. Ia kemudian berjalan memutari tempat tidur dan duduk di tepian agar bisa melihat wajar Caca.
"Sebel!" kata Caca sambil melotot ketika melihat Afkar duduk di dekatnya.
Afkar menatap Caca. Mata bening itu berembun. Tanpa kata ia mendekat, membuat Caca was-was sendiri.
"Ih, ngapain?!"
"Gendong kamu." Afkar menyelipkan tangannya di bawah leher dan lutut perempuan itu. Mengangkatnya tanpa merasa berat. Tubuh Caca itu ringan karena badannya kecil.
Caca terdiam sambil menatap Afkar dari bawah. Ya Allah, keuwuan ini tidak bisa ia tolak kebaperannya. Hatinya benar-benar menghangat karena tindakan Afkar.
Lagi dan lagi, hatinya jatuh pada laki-laki itu.
***
Umma menatap Afkar yang menuruni anak tangga sendirian. Di meja makan sudah tersedia sarapan berupa nasi goreng, susu putih, dan roti, tinggal memilih saja mau yang mana.
"Abang, kok, sendirian?"
"Arsya ada di kamar." Afkar duduk di kursi samping Umma. "Soal permintaan Umma hari itu ...."
Umma tersenyum. "Kalian ...?"
Afkar mengangguk kaku. Umma tersenyum bahagia. Ia mengelus lengan anak laki-lakinya. "Makasih, ya, Bang. Makasih karena udah mau berusaha mewujudkan permintaan Umma. Mungkin itu bakal jadi permintaan terakhir Umma ke kalian-"
"Ma." Afkar menyela. Ia tidak suka jika Umma membahas soal kapan ajal datang dan siapa yang akan pergi lebih dulu dari dunia ini. "Udah jadi tugas aku buat mewujudkan permintaan orang tua sendiri, dan aku nggak suka Umma ngomongin hal yang cuma Allah yang tahu."
"Pokoknya, Umma fokus sama kesehatan Umma. Buat urusan cucu, doakan aja semoga cepat terkabul. Afkar melakukan ini semua demi Umma, untuk Umma."
Lalu, apakah kejadian kemarin dilandasi oleh rasa cinta? Atau justru hanya karena permintaan Umma saja?
***
Jadi, gimana? Absen disini yg kangen Bang Afkar?????
Tinggalkan jejak yups🥺⭐👇🏻
Kapan-kapan lagi update, kalo inget
Subang, 20 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro