10. Afkar Sakit
Pagi ini, Caca merasa jika tubuhnya didekap erat oleh sepasang tangan yang bersuhu tinggi. Rasa hangat di tubuhnya semakin lama semakin panas. Ia menyentuh lengan Afkar yang ada di balik selimut. Panas.
"Bang?" Caca berusaha melepas pelukan Afkar di tubuhnya.
"Eung ...." Afkar bergumam tak jelas sambil membuka kelopak mata.
"Abang demam," kata Caca.
Afkar menjauhkan tangan dari tubuh Caca, lalu menarik selimut sampai leher. Membalas perkataan Caca dengan dehaman yang bersuara serak.
Caca bangun. Ia duduk bersila menghadap Afkar, lalu menyentuh lembut keningnya dan mengusap rambut lelaki itu. "Ini udah pagi, berarti Abang nggak usah masuk kerja dulu. Aku buatin bubur dulu, ya." Ia melirik jam dinding kamar, sudah pukul setengah tujuh, bangun kesiangan karena selepas Subuh mereka tertidur kembali.
Afkar tak menjawab. Lelaki itu justru memutar tubuh dan memeluk guling, membelakangi Caca. Semakin merapatkan selimut pada tubuhnya yang terasa menggigil. Entah kenapa ia bisa demam seperti sekarang, padahal hanya begadang beberapa hari, tapi efeknya sampai segini besar.
Pekerjaan di kantor memang cukup menyita waktu jika sedang akhir bulan. Belum lagi, Afkar tak tega jika melihat Caca sibuk sendiri dengan skripsinya. Diam-diam, dirinya membantu mengerjakan skripsi Caca pada malam hari, setelah pekerjaannya selesai.
Belum lagi, khawatir dengan keadaan Umma semakin menjadi. Umma beberapa kali mengabari jika tubuhnya lemas, lalu berdiam diri di kamar karena tak mau membuat Tisya atau Caca khawatir dan berpikir yang tidak-tidak.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi daya tahan tubuhnya. Oleh karena itu, ia sampai jatuh sakit seperti sekarang.
***
Ketika turun ke bawah, Caca segera membuat bubur dicampur dengan beberapa sayuran. Ada Umma yang baru saja keluar dari kamar. Wanita itu menatap Caca dengan bingung karena sedang memasak sesuatu yang tak seperti hari-hari biasanya.
"Ca? Masak apa?"
Caca menoleh sejenak, lalu fokus memotong wortel. "Bubur, Umma, soalnya Abang sakit. Badannya panas, tapi selimutan," ujarnya.
Umma terkejut. "Sakit?"
Caca mengangguk. "Iya. Ada obat penurun panas nggak, Umma? Atau, kalau sakit itu biasanya Abang minum obat apa?"
Umma membuka bufet dan mengambil kotak obat. Ada plester penurun demam juga di sana untuk orang dewasa. Biasanya Tisya memakai itu. Paling-paling jika dipaksa saat sakit, Afkar mau memakainya.
Setelah mengambil obat dan plester penurun demam, Umma memberikannya pada Caca. Menaruh di atas nampan, lalu mengelus pundak perempuan itu.
"Tolong, rawat Abang, ya. Dia kadang susah makan kalau sakit. Terus, kamu bujuk juga supaya mau pakai plester demam biar cepet turun panasnya," ucap Umma.
"Tenang aja Umma, pasti aku rawat kok Abangnya, kan udah jadi tanggung jawab aku juga. Jadi, Umma jangan khawatir."
Umma berjalan mendekati meja makan, lalu mengambil beberapa helai roti dan kotak selai, kembali menuju dapur dan menaruhnya di piring.
"Umma mau buat apa?" Caca bertanya ketika melihat Umma mengambil teflon.
"Mau bikin roti bakar buat sarapannya Tisya. Kamu mau, nggak?"
"Nggak, Umma. Nanti kalau aku mau, aku buat sendiri aja." Caca kemudian meringis. "Maaf ya, Umma, karena aku kesiangan jadi nggak sempat buat sarapan gini."
Umma yang sedang mengolesi roti dengan selai itu terkekeh. "Alah, kamu ini kayak sama siapa aja. Nggak usah nggak enak gitu, kamu juga kan harus ngurusin Abang."
Setelah memasukkan sayur ke panci, Caca mengaduk bubur sampai matang. Bersama Umma di dapur mereka mengobrol banyak hal. Membicarakan hal yang akhir-akhir ini sering dilewatkan.
***
Ketika membuka pintu kamar, Caca bisa menemukan Afkar yang masih bergelung dalam selimut. Caca tersenyum melihat lelaki yang berwajah datar dan memiliki tatapan tajam itu saat ini sedang jatuh sakit. Afkar jauh lebih pendiam saat sakit.
Bukan. Bukannya ia senang Afkar sakit. Hanya saja, dari sana Caca bisa tahu kalau Afkar juga mempunyai sisi lain dari diri lelaki itu.
Setelah menaruh nampan di atas nakas, Caca duduk di tepi tempat tidur. Ia menepuk pipi Afkar lembut agar lelaki itu mau bangun. "Abang, buburnya udah siap. Makan dulu, ya."
Afkar mengerjap sambil melenguh. Ketika matanya terbuka lebar, ia berusaha untuk bangkit, merubah posisi menjadi duduk. Caca membantunya dengan menyusun bantal di kepala ranjang.
"Udah nyaman?" tanya Caca.
Afkar mengangguk.
Caca mengambil mangkuk berisi bubur. "Kalau rasanya kurang enak, bilang ya," ucapnya, lalu menyuapi Afkar.
Afkar membuka mulut, menerima suapan sang istri. Ia terus menatap Caca tanpa kedip. Perempuan itu telaten menyuapinya dengan tempo yang pas. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama.
Mereka sama-sama bungkam. Hingga pada suapan terakhir, Afkar masih diam. Tidak mengatakan apa-apa tentang rasa bubur buatan Caca. Caca sampai keheranan. Itu artinya, bubur buatannya enak, 'kan?
"Enak," ucap Afkar tiba-tiba.
Caca mengernyit sambil menaruh mangkuk di nampan kembali. "Hm?"
"Buburnya. Makasih."
Aih.
Caca malu sendiri. Ia mengangguk lucu sambil memberikan gelas berisi air. Pujian yang Afkar berikan berhasil membuat jantungnya berdebar-debar. Lelaki itu jarang berkomentar apa pun, tapi sekali memuji membuatnya mabuk kepayang.
Ah sudahlah, bucin.
"Obatnya jangan lupa."
Setelah meminum obat, Caca membuka plester penurun demam. Afkar menatapnya dengan perasaan tidak enak.
"Abang pakai ini, ya, biar panasnya cepet turun."
Nah, 'kan ....
"Nggak mau." Afkar menolak.
Caca menghela napas. "Kan, ini cuma ditempel doang, nggak diapa-apain, masa nggak mau? Ayo, dong, biar cepet sembuh," bujuknya.
"Aku nggak mau," kata Afkar kekeh.
Caca mendekat dan menyibak rambut Afkar yang menghalangi kening. Tidak peduli dengan penolakan lelaki itu, ia langsung saja menempelkan plester penurun demam tanpa banyak kata. Masa bodo jika Afkar marah.
"Sya ...."
Afkar sebal sendiri. Baginya, memakai plester penurun demam itu seperti anak kecil. Tidak jauh beda seperti Adel saat sakit.
"Abang, ih, jangan protes, deh. Udah diem!"
Dengan jarak sedekat ini, Afkar bisa melihat jika perempuan itu tampak cantik di matanya. Memakai baju tidur panjang bergambar beruang warna cokelat, rambut yang diikat asal, poni tersampir ke kanan sudah melewati alis, paras ayu nya berhasil membuatnya jatuh cinta semakin dalam.
Refleks, Afkar melingkarkan tangan di pinggang Caca. Menuntunnya lembut untuk duduk di pangkuannya. Membuat Caca terkejut akan tindakannya.
"Bang?" Caca keheranan. Ia juga tidak enak jika harus duduk di pangkuan Afkar dengan kondisi lelaki itu sedang tidak sehat.
Afkar tak menjawab. Lelaki itu menenggelamkan wajah di bahu Caca. Embusan napasnya mengenai leher Caca. Membuat perempuan itu merinding. Terlebih lagi napasnya bersuhu tinggi.
"Sya?" Afkar memanggil ketika keheningan menyeruak sebelumnya.
"Iya?"
Afkar menahan napas sejenak, dalam hati ia ragu ingin mengatakan hal ini atau tidak. Jika mengatakannya, apa Caca akan setuju?
***
Hayooooo apa tuh? Afkar mau ngomong apa?🤣
Maaf slow up kayak biasa, sibuk kerja dan tiap minggu shift kerjaku ganti terus, jadi jam istirahat di kos suka berubah, capek wkwkw
Komen untuk lanjut biar aku semangat?
Subang, 08 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro