Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09. Bubur Kacang

Sejatinya perasaan yang benar-benar nyata adalah dia yang berani mengungkapkan, lalu mengikat. Bukan memberi janji manis, dan akhirnya hanya berujung tangis.
-Pelabuhan Hati-

Tepat setelah Afkar lulus kuliah, ia memutuskan untuk mendatangi sebuah rumah yang sudah lama sekali tak ia jumpai. Sudah hampir empat tahun pintu berwarna cokelat itu baru ia tatap lagi saat ini. Detik ini, sendirian dengan keberanian dan tekad yang bulat.

Setelah menekan bel, Afkar menarik napasnya dalam-dalam. Menetralkan detak jantungnya yang cepat. Melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya, pintu cokelat itu terbuka. Muncul seorang wanita yang ia ketahui ibu dari teman adiknya. Sekaligus kakak dari perempuan yang menjadi alasannya untuk datang ke rumah ini.

"Maaf, siapa, ya?"

Afkar tersenyum tipis dan menunduk sopan. "Saya kakaknya Tisya, temannya Azhar, Mbak."

Wanita itu yang tak lain adalah Esha langsung membulatkan bibirnya. "Kakaknya Tisya, rupanya. Ayo, masuk. Ada perlu sesuatu 'kan? Ngobrol di dalam aja, ayo!"

Afkar mengikuti Esha. Ini kali pertama ia melihat isi rumah yang Caca tempati, meski ini bukan rumah milik keluarga perempuan itu. Ini adalah rumah milik suami kakak Caca, Akbar.

Setelah menyuruh Afkar duduk di sofa ruang tamu, Esha ingin membuatkan minum, akan tetapi Afkar mencegahnya lebih dulu.

"Emm ... Mbak? Saya sebenernya ada perlu sama suami Mbak. Atau wali dari adik Mbak, Arsya," ucap Afkar.

Esha mengernyit, kebingungan. Ia duduk di sofa yang berseberangan dengan tempat duduk Afkar. Menatap lelaki itu lamat-lamat. "Kamu kenal Caca? Kok bisa? Kalian dekat? Punya hubungan sesuatu atau ...." Pertanyaan itu menggantung.

"Atau apa, Mbak?"

"Kalian pacaran?!" Esha melotot.

Afkar menggeleng tegas. "Nggak. Sama sekali nggak." Ia jadi khawatir sendiri kalau Esha salah paham. Bikin jantungan saja.

Esha terdiam. "Oh, nggak, ya?" gumamnya, kemudian beranjak. "Ya udah, tunggu dulu saya panggil suami dan mertua saya karena jika menyangkut Caca, mereka yang turun tangan langsung. Sebentar ya."

Berhadapan dengan dua orang laki-laki sekaligus? batin Afkar.

Afkar menenangkan detak jantungnya dengan cara menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Sesekali berdeham untuk mengurangi rasa gugup yang menyelimuti dirinya.

Tak lama kemudian, dua orang laki-laki dewasa berbeda usia berjalan mendekat. Afkar sontak berdiri dan mencium tangan keduanya. Saat mencium tangan pria paruh baya yang pernah bertemu dengannya dulu, bahunya ditepuk dua kali.

"Kayaknya muka kamu nggak asing di mata saya?"

Afkar tersenyum tipis. "Dulu, saya pernah ke sini dan bertemu Kakek," ucapnya.

Pria itu—Kakek Fadil—terkekeh. "Oh ... iya, temannya Caca, 'kan?"

Afkar mengangguk. "Sekaligus kakaknya Tisya, teman sekolah Azhar."

"Jadi, kamu kakaknya Tisya?" Kali ini Akbar yang bersuara setelah mereka duduk di posisi masing-masing.

"Iya, Mas."

"Ada perlu apa ke sini?" Kakek Fadil bertanya saat Esha datang membawa minuman dan duduk di samping Akbar.

"Saya ..." Afkar sungguhan gugup. "... ada yang mau saya katakan. Ini bukan soal Tisya dan Azhar, tapi tentang saya. Alasan kenapa saya datang ke sini karena Arsya."

"Saya ...."

"Tunggu." Akbar mengangkat tangannya. Ia menatap Afkar penuh selidik. Di sini dirinya bisa melihat jika lelaki itu sungguh serius. Jelas, ini bukan hal yang sepele, akan tetapi kenapa menyangkut dengan Caca?

"Bar, jangan nyela gitu," kata Kakek Fadil. "Biarin Nak Afkar jelasin dulu maksud dan tujuan dia ke sini itu apa. Baru kita bisa bicara. Lanjutkan, Nak Afkar."

Afkar mengangguk, lalu menarik napasnya dalam. Kemudian ia berkata, "Saya ... saya ingin melamar Arsya untuk menjadi istri saya. Saya ingin menikahinya."

"Apa?!" Esha memekik spontan.

Akbar dan Kakek Fadil sama terkejut, namun mereka menutupinya dengan berdeham pelan. Ini kali pertama ada laki-laki yang mengutarakan niatnya secara langsung jika ingin meminang Caca untuk dijadikan teman hidup. Menikahi perempuan itu.

Namun, kejadian seperti itu tak pernah ada di benak Esha, Akbar dan Kakek Fadil. Mereka hanya fokus menjaga Caca selayaknya anak sendiri. Tanpa memikirkan bagaimana kisah asmara yang dialami atau akan dihadapi oleh Caca.

Lalu, sekarang, Afkar mengutarakan niatnya untuk melamar Caca? Menjadikannya sebagai istri?

"Kamu ...." Esha kehilangan kata-kata.

Akbar mengusap tangan Esha, menenangkan wanita itu. Ia kemudian menatap Afkar yang masih menunggu respons darinya dan Kakek Fadil. Jika menyangkut dengan Caca, Akbar tidak mau lengah sedikit pun. Ia tidak mau gagal menjaga perempuan itu, sampai membuat Esha khawatir atau sedih.

"Kamu suka sama Caca?" Kakek Fadil bertanya.

Dengan kaku, Afkar mengangguk.

"Sayang?"

Afkar meneguk ludahnya. "Saya ...."

Akbar mendengkus. "Kamu jawabnya aja ragu, gimana kami yakin kalau kamu serius?"

Tanpa peduli akan ucapan Akbar, Kakek Fadil kembali bertanya, "Sejak kapan kamu suka Caca?"

"Sejak masih SMA."

"Jadi, waktu kamu malam-malam ke sini, kamu udah suka sama Caca?"

"M-mungkin," kata Afkar.

"Kenapa harus Caca?" tanya Akbar.

Afkar dengan mantap menjawab, "Karena nggak ada perempuan lain yang seperti Arsya. Cuma dia. Cuma Arsya satu-satunya."

***

Caca berjalan menuju ruang tengah sambil membawa mangkuk berisi bubur kacang buatannya untuk Umma yang menonton televisi. Tadi, Umma memang memintanya untuk membuatkan bubur kacang, kepingin katanya.

"Kamu bawa apa?"

Caca menoleh dan berhenti melangkah. Di anak tangga terakhir ada Afkar yang menatapnya. "Bubur kacang buat Umma. Abang mau? Bentar, ya, aku kasih ini dulu ke Umma. Bentar, tungguin!" katanya, lalu melangkah cepat mendekati Umma.

Afkar diam di sana sambil menatap Caca yang memberikan bubur kacang itu pada Umma dengan semangat. Begitu juga Umma yang menerimanya dengan senang hati. Melihat pemandangan itu, hatinya menghangat. Senyum kedua perempuan yang ia cintai begitu menyejukkan.

Caca datang kembali dan menarik tangan Afkar tanpa banyak kata. "Dih, malah diem aja kayak patung. Ayo, sini cobain bubur kacang buatan aku!"

Afkar diam saja sambil menatap tangannya yang ditarik oleh Caca. Perempuan itu sampai menggenggamnya dengan kedua tangan karena dengan satu tangan saja tidak akan cukup. Tangan mereka sangat berbeda ukuran.

"Mau pakai santan apa nggak?" Caca melepas genggamannya, lalu mengambil mangkuk dan membuka tutup panci berisi bubur kacang buatannya.

Afkar duduk di kursi pantry sambil menatap perempuan itu. "Dikit aja," sahutnya.

Sesudah mengambilkan bubur kacang untuk Afkar, Caca berdiri di samping lelaki itu. Menaruh mangkuk di atas pantry. "Awas, masih panas."

Sambil mengaduk bubur kacang, Afkar menarik kursi di sebelahnya untuk Caca duduki. Ia menepuk-nepuk kursi itu. "Duduk."

Suapan pertama masuk ke mulut Afkar ketika Caca sudah duduk di sampingnya. Caca menatap Afkar tanpa kedip. Menunggu respons lelaki itu tentang rasa bubur kacang yang ia buat. Ini pertama kalinya ia membuat bubur kacang setelah sebulan lebih mereka hidup satu atap.

"Gimana? Enak, nggak?" tanya Caca antusias.

Afkar menjawab dengan wajah datar. "Enak, manis, kayak yang buat."

"Apa?!" Caca melotot, sungguhan.

Afkar memalingkan wajah. Asyik menyuapi bubur ke dalam mulutnya. Tidak peduli akan ucapannya tadi berhasil membuat jantung sendiri kelabakan.

Apa itu tadi? Setan putih mana yang merasukinya?

"Abang! Ih, tadi ngomong apa?" Caca menarik tangan Afkar.

"Apaan? Nggak ada."

Caca sebal sendiri. Jelas-jelas Afkar tadi menggodanya. Afkar kira ia budek? Atau, lebih tepatnya lelaki itu malu sendiri dengan ucapannya?

Baiklah, jika Afkar tidak mau mengaku, biarkan saja.

Caca melipat kedua tangan di atas meja dan menaruh kepala di sana, menatap Afkar yang benar-benar fokus pada makanan di hadapannya.

Cukup lama mereka saling diam, Caca membuka suara kembali. "Bang," panggilnya.

Afkar menoleh sambil menaikkan satu alis. Apa susahnya sih mengatakan, "Iya kenapa?". Caca mendengkus lirih.

"Makin manis ya buburnya kalau ngelihat aku?"

Afkar memalingkan wajah.

Sial.

Tengil sekali wajah perempuan itu saat menggodanya.

Tapi, kenapa ia menyukainya?

Senjata makan tuan! Niat ingin menggoda, justru dirinya yang merasa malu!

***

Dikit-dikit flashback ya biar nyambung, aku suka alur maju mundur soalnya😂

Boleh kali ya tengok Instagram aku? @enungg20, inget G nya 2, depan pake E

Gimana sama part ini?🙈

Subang, 26 April 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro