Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08. Kehidupan

Kediaman Afkar didatangi oleh segerombol manusia berjumlah empat orang. Tamu dari Caca itu mengisi keramaian rumahnya, apalagi kelakuan ketiga orang laki-laki yang tak berubah. Mereka adalah Dika, Raihan dan Haikal. Gigi juga ikut.

Kemarin, Caca meminta izin pada Afkar jika teman-temannya ingin berkunjung ke rumah. Tadinya Caca mengusulkan untuk bertemu di luar saja karena takut mengganggu umma, namun Afkar mengatakan jika lebih baik di rumah saja, apalagi ada laki-lakinya.

Afkar sampai mengambil jadwal setengah hari di kantor hanya karena itu. Entahlah, ia merasa sedikit tidak nyaman ketika teman Caca bertemu perempuan itu. Ada sudut hatinya yang tersentil ketika melihat kedekatan mereka dari zaman SMA sampai sekarang.

Dan di sinilah mereka berkumpul. Di ruang tamu rumah Afkar dengan makanan dan minuman ada di atas meja. Umma yang tidak mau mengganggu, melipir ke kamar, memilih istirahat setelah diberi peringatan dari Afkar untuk jangan sampai kelelahan.

"Demi apa, sih, skripsi gue mentok di bab itu-itu aja. Bayangin! Gimana nggak mumet nih sirah!" Raihan memegangi kepalanya dramatis. Langsung mendapatkan toyoran ringan dari Haikal.

"Mikirin skripsi aja mumet, giliran hafalin nomor operator sama perempuan famous kampus aja seratus persen sehat sentosa! Ngaco lo, ya!" kata Haikal.

Raihan tersenyum kuda. "Beda aliran, tolong jangan disatukan."

Haikal lama-lama mangkel. "Iya, skripsi aliran air sungai, jernih. Kalau itu anak famous aliran air got, butek!"

Caca tertawa, mereka memang tidak pernah berubah. Sedangkan Gigi dan Dika mulai bosan melihat kedua temannya selalu ribut. Sementara di tempatnya duduk Afkar mencolek lengan Caca, dan mendekatkan tubuh untuk membisikkan sesuatu.

"Aku mau ke kamar. Bilang ke mereka pulang sebelum Magrib. Kalau ada apa-apa, panggil aku aja."

Caca mengangguk patuh.

Afkar kemudian pamit pada teman-teman Caca yang langsung mendapati anggukkan dari mereka, apalagi Raihan yang tampak semangat karena ingin bertanya sesuatu pada Caca, namun tidak ingin Afkar mengetahuinya.

"Eh, Ca, Ca!" Raihan mengusap kedua tangannya. "Gue mau tanya dong."

Dika langsung merasakan sesuatu yang tak enak. Ia menatap Raihan dengan tatapan memperingati. Temannya yang satu itu memang kadang tidak waras, lebih parah dari Haikal.

"Tanya apa, Han?"

"Han, awas lo ya!" Dika menyela sebelum Raihan bertanya yang tidak-tidak.

Raihan mengibaskan tangannya. "Slow, Bang, ini pertanyaan yang diajukan pada orang yang baru nikah pada umumnya." Nah, 'kan? Sudah pasti menjerumus pada ....

"Ca, lo udah ada tanda-tanda hamil belum?" Raihan tersenyum lebar. "Gue mau, dong, punya ponakan! Ih, gemoy!"

Dika menghela napas. Haikal tertawa melihat wajah merah Caca, ditambah dengan ekspresi perempuan itu tampak terkejut. Gigi tidak segan melempar remote tv pada Raihan, mengenai kepala lelaki itu.

"Sakit, Gi!"

"Mulut lo ya, astaghfirullah bocor banget!" Gigi mendelik.

Sembari mengusap kepala, Raihan membela diri sendiri. "Dih, apaan! Orang gue tanya itu doang, kok."

"Itu doang-itu doang, pala lo benjol!" kata Dika.

"Iya, ini udah benjol, Dika!" Raihan mangkel sendiri.

Sementara itu, Caca berdeham pelan untuk menutupi rasa malunya. Ditanya soal tanda-tanda kehamilan oleh temannya sendiri, membuatnya malu. Sungguh ... membicarakan perihal anak dengan Afkar saja belum.

Lalu, ia harus menjawab apa?

Lagi pula, tanda-tanda orang hamil itu seperti apa?

"Ca, jawab, dong."

Caca menatap Raihan yang menunggu jawabannya. "Tanda-tanda hamil itu, kayak gimana?"

Mereka kompak menertawakan Raihan yang bermuka masam. Raihan pikir, setelah menikah, otak Caca ada kemajuan dalam hal-hal yang berisi tentang bulan gelap. Akan tetapi, ternyata tidak. Agaknya, Afkar memang tidak ingin menorehkan tinta hitam pada isi kepala Caca.

Entah itu hal bagus atau tidak.

"Ya, masa lo cewek nggak tahu, Ca?" Raihan gemas sendiri.

"Tahunya muntah-muntah aja," kata Caca jujur.

Raihan menghempaskan tubuh di sandaran sofa. "Dahlah." Ia menyerah.

"Eh, tapi, Ca. Gimana sama Kak Afkar? Masih galak kayak dulu, nggak?" Kini Haikal yang bertanya.

Caca menggeleng. "Nggak, deh, biasa aja."

"Lagian, Kal, lo malah tanya gitu, udah pasti lah Caca disayang mulu, dialusin, orang dia istrinya. Ngapain dinikahin kalau digalakin?" Gigi bersuara.

"Iya, emangnya lo, Gi? Pasti suami lo nanti lo galakin mulu tiap hari. Kasian." Haikal berdecak, setelahnya.

Gigi melotot tidak terima. Raihan tertawa saja, lalu ia pandangi Caca dan bertanya kembali. "Lo bahagia, 'kan, Ca, sama kehidupan yang sekarang?"

Caca terdiam, kemudian menarik senyuman lebar. Tanpa bersuara, jawaban bisa mereka dapatkan.

Namun, suara yang tak terdengar setelah pertanyaan itu, membuat sebuah bahu kokoh dan tegap melemas. Ia berbalik, melangkah menuju kamar dengan detak jantung yang tak beraturan.

***

Ketika makan malam tiba, percakapan di meja makan didominasi oleh Umma dan Tisya. Afkar hanya diam, begitu juga Caca yang merasakan perubahan aneh pada Afkar. Diamnya tak biasa. Seperti ada yang ditutupi.

Setelah makan malam selesai, Caca meminta yang lain untuk memasuki kamar saja. Biarkan dirinya yang mencuci piring dan membereskan meja makan. Namun, alih-alih pergi, Afkar bergeming di meja makan, tanpa mengatakan apa pun. Sudah dibujuk oleh Caca, tapi tidak mempan. Ya sudah, biarkan saja. Mungkin, Afkar ingin menemani Caca mencuci piring.

Sepuluh menit kemudian, Caca sudah selesai. Setelah mengelap tangan hingga kering, ia mendekati Afkar yang menatap lurus meja makan. Ia panggil lelaki itu agar menatapnya. "Abang."

Afkar menoleh, lalu beranjak. Tangannya menarik tangan Caca lembut untuk ia genggam. Melangkah menuju kamar. Masih belum bersuara.

Meski kebingungan, Caca tetap melangkahkan kaki. Sesekali menoleh pada Afkar yang hanya diam. Sungguh, ini mengganjal sekali.

Tiba di kamar, Caca mempererat genggaman mereka. Sebelah tangannya yang bebas memegang ujung kaus Afkar. Menahan lelaki itu yang akan pergi ke kamar mandi.

"Abang, kenapa?" Caca bertanya sambil menggoyangkan ujung kaus itu. Kepalanya mendongak juga agar bisa menatap Afkar.

Afkar menunduk. Menatap iris perempuan itu dalam-dalam. Tak menjawab apa pun. Bungkam.

"Aku ada buat salah sama Abang? Abang punya masalah di kantor?"

Afkar menggeleng. Ia melepas genggaman, beralih menarik pinggang Caca untuk mendekat padanya. Helaan napas keluar, setelahnya.

"Terus, kenapa? Aku nggak mau Abang diem kayak gini," kata Caca.

"Kenapa?" Akhirnya Afkar membuka suara.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu nggak mau aku diem?"

Caca menarik napas dalam-dalam. "Karena aku khawatir sama Abang. Aku takut kalau Abang punya masalah, tapi aku nggak tahu dan nggak bisa jadi tempat buat berbagi." Ia kemudian menjatuhkan tatapan pada dada Afkar, tidak berani menatap lelaki itu. "Abang bilang sama aku kalau aku senang atau sedih harus larinya ke Abang. Jadi, Abang juga harus gitu ke aku. Kita harus bisa saling melengkapi," tuturnya.

Afkar mengulum bibir, menahan senyum karena senang Caca berkata demikian. Rasa tidak karuan dalam hatinya yang datang sejak siang tadi menguar begitu saja.

Maka, ia tarik perempuan itu ke dalam dekapannya. Hatinya benar-benar tenang hanya karena pelukan itu.

Jika Caca memang belum atau bahkan tidak bahagia dengan kehidupannya yang sekarang, Afkar bisa bukan memperbaiki semua itu? Berikan kesempatan untuknya membahagiakan Caca di atas pernikahan mereka. Agar perempuan itu tak akan pergi dari Afkar.

"Sya?"

"Iya?"

Afkar menaruh pipinya di atas kepala Caca. "Kamu bahagia hidup sama aku?"

Caca mengangguk cepat. "Bahagia."

"Menurut kamu, apa kebahagiaan yang kamu rasakan, harus diketahui orang lain?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Karena yang menjalaninya bukan mereka, tapi aku. Orang lain nggak harus tahu dan nggak akan peduli gimana hidup aku. Bahagia atau sedih. Mudah atau sulit. Itu nggak penting buat mereka tahu. Karena tanpa diberi tahu juga, aku hidup bahagia, sekarang dan semoga sampai nanti," tutur Caca.

Lantas, alasan apa yang membuat Afkar tidak semakin jatuh cinta pada perempuan itu?

"Abang?" tanya Caca setelah hening beberapa saat.

"Iya, Sya ...."

"Abang mau punya anak?"

Tanpa lama, Afkar menjawab, "Mau."

"Berapa?"

"Semampunya kamu aja."

Caca melotot dan menghentakkan kaki. Kurang ajar!

***

Maaf, jam segini baru update, ini update di saat jam istirahat aku kerja😂 maaf ya

Kangen mereka nggak? Ramein dong!

Jangan lupa tinggalkan jejak!⭐👇🏻

Subang, 20 April 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro